Sunday, September 27, 2015

Hujan Sore - Part 3 (Sebab Cinta tak Hanya Sekadar Rasa, Tapi Ibadah)





 “Ayah pikir.. Selama ini, Ayah sudah menjadi Ayah yang baik, Ayah yang hebat untuk kalian. Tapi ternyata tidak. Masih jauh sekali.. Jauh sekali…"
*** 
Haaa.. yang di atas itu, alinea terakhir dari "Hujan Sore" Part 2. Yuk Mareee di lanjuuut! ^^ Eitss.. Yang belum baca Part 1 and Part 2 nya harus sadar diri ya. Oke kalau nggak sadar diri, biar disadarkan. Baca dulu gih Part 1 n Part 2 nya. Biar nyambuuung :))) 


Selamat membaca, Saudara! Tak ada yang diharap selain tulisan ini dapat bermanfaat :))
Oke.. Let's Goo....!!!
                                                                                 ***
  
Malamnya, ayah mengumpulkan kami sekeluarga duduk di ruang tengah, ruangan yang biasa kami pakai untuk berkumpul berbagi canda tawa dan bermusyawarah. Setelah Ayah dan Bang Ilham, abangku satu-satunya, tepatnya saudaraku satu-satunya pulang dari berjamaah Isya di masjid. Ayah malah menunda waktu makan malam bersama.


             
“Maafkan Ayah menunda waktu malam kita. Ibu lapar?” tanya ayah pada ibu yang masih bermukenah, yang duduk tepat di hadapan ayah.
            
 Enggak, Yah.” Jawab ibu tersenyum lembut.
            
 “Abang lapar?” Tanya ayah pada Bang Ilham yang duduk di sebelah kanan ayah dan di sebelah kiri ibu dan tepat di hadapanku.
            
 Enggak, Yah.” Jawab Bang Ilham dengan jawaban yang sama dengan ibu dan cara yang serupa pula; tersenyum lembut.
            
 “Kalau Eros pasti nggak lapar, Yah. Cadangan di perutnya pasti masih banyak kali tuh, Yah..” Canda Bang Ilham. Mendahului Ayah untuk bergiliran bertanya padaku.
            
 “Abang…!” Ayah yang membalas dengan suara tegas atas ledekan Bang Ilham padaku.
            
 “Bang Ilham bener kok, Yah! Eros nggak laper. Tadi sore jam 6 makan nasi diam-diam di kamar. Tapi jangan beri tahu Ibu ya, Yah..” Aku berbisik pada Ayah yang di sebelah kananku, merasa pura-pura ibu yang di samping kiri tak mendengarnya.
            
Mendengar itu, ibu mencubit pahaku dan mendelikkan mata bulat lebarnya padaku. Ayah tertawa dan aku meringis sakit. Bang Ilham malah lebih keras tertawanya dari Ayah. Dan gantian Ayah yang giliran mencubit paha Bang Ilham. Aku menjulurkan lidahku ke arahnya, ke arah saudara satu-satunya yang kupunya.

“Ibu meneng wae, Eros nggak akan gendutan, kok!” Memang ibu yang paling parno soal berat badanku. Tapi setidaknya, banyak makanku masih selalu gagal untuk gendut. Hanya pipi ini yang entah mengapa berkembang jauh lebih pesat.

“Sudah.. sudah.. Berat badan itu bukan tema yang ingin kita musyawarahkan saat ini.”  Ayah mengembalikan kami agar serius.

“Ibu.. Abang.. Eros.. Maafkan Ayah.. Dengan Setulus hati tolong maafkan Ayah..” Lagi-lagi, ayah meminta maaf dengan suara yang sangat memohon dan lembut.

“Menjadi kepala rumah tangga, bukanlah sesuatu yang gampangan. Dulu, ayah pikir setelah kita terlihat bahagia secara ekonomi, maka itu dapat membuat kita benar-benar merasakan kebahagiaan. Tapi, ternyata tidak. Tidak sama sekali..” Suara ayah mulai parau.

“Ibu, maafkan Ayah.. Maafkan Ayah, ya? Yang sebelumnya sering membuat ibu cemburu dengan pekerjaan Ayah. Ayah lebih sering keluar kota daripada di rumah. Mengejar bisnis-bisnis yang menggiurkan rupiahnya. Yang ayah pikir dapat membuat keluarga ayah bahagia. Nyatanya tidak..”

“..Tanpa sepengetahuan kalian.. Dulu ibu lebih banyak mendiamkan ayah. Bersikap sewajarnya ketika di depan kalian. Tapi ketika berdua. Ibu seperti gulungan salju di kutub utara; dingin, beku…”

“Sekarang alhamdulillah udah nggak kok, Yah! Ayah sudah banyak di rumah. Sudah lebih menenangkan..” Ibu memotong cepat kalimat ayah. Seperti lebih ingin menyembunyikan masalah “cukup orang tua yang tahu” dari aku dan Bang Ilham.

Aku dan Bang Ilham hanya diam. Sebenarnya, sebelum ayah menyuruhku menutup aurat penuh, ayah sudah berubah jauh, berubah banyak. Hanya saja baru kusadari setelah membaca buku kedua yang diberi ayah.

Dimulai dari ayah yang lebih banyak di rumah. Yang biasanya dulu hanya dua bulan sekali terlihat "tenang" di rumah. Itupun hanya seminggu, dan lebih banyak tak utuh seminggu. Itu kenapa, ayah tidak masalah membelikan kami gadget-gadget mahal agar lebih mudah dan asyik berkomunikasi meski jauh. Ayah setiap hari memantau kami dari dua smartphonenya. Jika tidak memberi semua alamat akun media sosial dan passwordnya, ayah mengancam akan menarik kembali semua gadget yang diberi pada kami.

Lalu, makanan juga mulai sederhana. Tidak terlalu banyak seperti dulu. Yang akhirnya lebih sering mubazir. Sekarang, ayah makan secukupnya. Dan berniat untuk menurunkan berat badan. Di meja makan juga ayah mengajarkan pada kami untuk tidak makan sampai kenyang. Dan akulah yang akan paling tersindir atas ucapan ayah. Lalu, Bang Ilham merasa menang tanpa harus mengibarkan bendera perang.

Meledekku memang hal yang paling membahagiakannya, meski sekarang nasihat ayah yang akan membalasnya. Bahwa meledek tanpa ada bukti benarnya dilarang oleh Rasulullah. Bercanda juga tak boleh berbohong. Tapi, meski dia sangat menyebalkan. Dialah laki-laki setelah ayah yang paling bisa membahagiakan.  

Kusadari juga ayah lebih sering shalat berjamaah di masjid. Sebelum zuhur selalu sudah pulang, dan bersiap-siap berwangi-wangi menuju rumah Allah. Begitu juga asharnya, magribnya dan isyanya, serta esok pagi, shubuhnya. Jika magrib dan isya, Bang Ilham akan ikut. Sebab, Bang Ilham selalu pulang pukul lima. Batas yang ada di peraturan buku hitam ayah.

Ibu juga lebih dulu berubah. Nasehat ayah lebih dulu singgah pada ibu. Meski sebenarnya, ibulah yang lebih banyak memikirkan dan mendidik kami menuju akhirat. Tapi sama sepertiku juga, aurat ibu dulu belum tertutup penuh. Hanya sepasang kaki ibu saja yang belum dibalut kaus kaki. Busana lainnya, Alhamdulillah sudah syar’i.

“Maafkan, Ayah.. Saat ini, ayah tak lagi ingin kalian sukses dan bangga dengan pekerjaan kalian nanti. Yang hanya ayah inginkan dan pinta dari kalian adalah menjadi anak yang sholeh dan sholehah. Itu saja…”

“…Maafkan Ayah, uang jajan kalian 50 %  akan ayah potong..”

Aku dan Bang Ilham saling pandang.

“…Tapi, tenang saja, yang 50 % itu anggarannya masuk ke dalam jajan buku. Setiap hari harus ada satu buku yang kalian baca. Dan harus diinfokan pada ayah dan ibu manfaat apa saja yang telah didapat dari buku itu setelah kita makan malam bersama..”

“Alhamdulillah, kalau dipindahkan Ilham setuju-setuju aja, Yah.” Tentu saja aku dan Bang Ilham akan setuju. Dari kecil aku dan dia memang senang membaca buku. Terserah itu fiksi atau non-fiksi.

“Tapi, bukunya ada syaratnya. Harus buku yang berwangi agama. Kalau novel-novel, harus novel yang isinya banyak motivasi, hikmah, nasihat dan dakwah. Ayah tidak mengizinkan kalian membaca novel karya anak negri tapi bergenre barat. Tentang kisah-kisah cinta yang melewati batas..”

Maksud bergenre barat itu, gaya cinta-cintaan ala barat. Yang benar-benar jauh dari Islam. Semisal pacaran, mengejar cinta atau menanti cinta yang tak pasti. Atau membaca cerita cinta antara dua sahabat.

GLEK!

Tiba-tiba, aku menelan ludah. Cerita cinta antara dua sahabat? Tiba-tiba, aku merasa sangat…sangat… sangat malu. Benar-benar malu sekali. Tadi siang saat aku curhat dengan ayah. Aku mengaku dengan blak-blakan tentang perasaanku yang tiba-tiba hadir untuk Najuh. Dan perasaan yang baru benar-benar terasa rasa setelah aku dan Najuh menjauh. Aku seperti kehilangan saat-saat bahagia ketika dulu bersamanya. Astaghfirullah.

“Dan untuk Eros terlebih dahulu, Ayah tak ingin lagi membaca prosa-prosa atau puisi-puisi Eros tentang kisah cinta yang melewati batas. Bisakan? Menjadi penulis dan sastrawan yang islami, Sayang..? Yang menulis untuk dakwah?” Tanya ayah tegas penuh harap.

“Insya Allah diusahakan, Yah..”! Jawabku tersenyum.

“Eros masih sedihkah?” Tanya ayah lagi, tapi kali ini lebih lembut.

Aku menggeleng. “Eros sedih kenapa?” Ibu dan Bang Ilham serentak bertanya. Sangat ingin tahu.

“Ayah tahu, kamu masih sedih..” Ayah menatapku lagi, merasa belum perlu menjawab pertanyaan ibu dan Bang Ilham yang sangat ingin tahu.

“Ya sudah, ayah tanya lagi ya, untuk kedua kalinya. Apa Eros sudah siap menikah?” Yang kaget malah ibu dan Bang Ilham. Sama kagetnya seperti aku tadi siang. Pertanyaan kedua ini hanya membikin sedikit perih, tidak lagi kaget saat pertama kali sewaktu ayah bertanya.  

Aku menggeleng. Ayah menatapku lebih lekat.

“Eros, Ayah minta jawabannya dengan suara, Sayang.. Bukan dengan gelengan kepala.”

Aku diam beberapa saat. Ayah menunggu jawabanku. Jawaban atas pertanyaan pertama tadi siang, hanya gelengan kepala. Dan ayah tidak lagi ingin dengan jawaban yang sama.

“Maafkan Eros, Yah. Eros belum siap menikah. Ilmu menikah yang sesuai syari’at masih belum terjamah Eros. Eros bahkan belum pandai memasak. Menyapu dan mengepel rumah saja Eros lakukan setahun sekali. Saat bantu-bantu membersihkan rumah jika lebaran akan datang. Karena si Mbak pulang kampung. Apalagi mengurus suami dan anak-anak. Maafkan Eros yang lalai sebagai anak, Yah.. Maafkan Eros, Bu.. Maafkan Eros, Bang..” Lagi-lagi aku gagal menahan air mataku. Secepat mungkin ibu memelukku.

“Nggak apa-apa, Eros.. Nggak salah Eros. Tapi salah Ibu yang nggak pernah tegas sama Eros buat mandiri di rumah. Nanti pelan-pelan akan ibu ajarkan. Eros pasti bisa belajar cepat. Eros kan anak Ayah dan Ibu yang cerdas..” Ibu halus membelai kepalaku. Menenangkan tangisku.

“Iya, Dek. Nanti Bang Ilham bantu ngajari juga cara cuci piring yang bener!” Bang Ilham tersenyum “sok tulus”. Dan cepat dibalas ayah dengan nasihat.

“Dan selanjutnya untuk Bang Ilham..” Seketika Bang Ilham terdiam. Takzim menunduk saat ayah menatapnya. Seperti sudah tahu, apa yang akan ayah nasehati untuknya.

“Pertanyaan yang sama dengan Eros untuk Bang Ilham..”

“…..............” Bang Ilham diam. Tak bereaksi apapun. Masih setia menekuri lantai.

“Bang Ilham, sudah siapkah menikah?”

Aku dan ibu sedikit kaget atas pertanyaan ayah. Tapi..

"…................” Lagi-lagi Bang Ilham masih diam, masih setia memendam suara. Sebenarnya, jika saja ini bukan sedang membicarakan masalah yang benar-benar serius, raut muka diamnya Bang Ilham itu terlihat sangat.. sangat ingin membuat tertawa. Tapi, mengingat sedihku yang masih bersisa banyak dan rasa maluku yang begitu besar; sebab ternyata belum pantas menjadi anak kebanggan, apalagi hamba kebanggaan-Nya, niat tersenyum sedikit saja melihat raut wajah Bang Ilham sama sekali bukan selera saat ini.

“Kenapa Bang Ilham hanya diam?” Tanya ayah dengan sangat lembut.

“Maafkan Ilham, Yah. Ilham sudah tahu kesalahan Ilham. Ilham selama ini menganggap apa yang Ilham lakukan sudah benar. Ternyata sangat jauh dari syari’at. Meski hal yang paling jauh yang pernah Ilham lakukan pada Nina adalah menyentuh tangannya saat bersalaman dan hampir setiap hari memboncengnya, itu tetap salah. Bahkan ketika hanya sekadar ngobrol lewat chat, membicarakan hal-hal yang sia-sia, itu tetap salah. Maafkan Ilham, Yah..” kudengar suara Bang Ilham parau.

Ayah memang tidak memberikan buku hanya padaku. Sebab, anak ayah tentu bukan hanya aku. Sedekat-dekatnya aku dengan ayah, masih jauh lebih lekat hubungan ayah dengan Bang Ilham. Bang Ilham begitu menyanyangi ayah. Itulah sebab alasan Bang Ilham selalu pulang pukul lima. Waktu kuliahnya padahal hanya sampai pukul satu. Bang Ilham masuk ke organisasi. Setidaknya bisa sekejap membunuh rasa rindu pada ayah. Dan memang, semenjak Bang Ilham masuk kuliahlah, ayah mulai sering keluar kota.  

Pernah waktu itu, ketika Bang Ilham kelas tiga Tsanawiyah. Bang Ilham berhasil meraih olimpiade matematika se-provinsi. Ayah berjanji akan datang. Karena memang sudah tahu Bang Ilham yang memenangkannya, maka Bang Ilham ingin bersama ayahlah mengambil piala ke atas panggung sebagai juara.

Tapi, ternyata ayah mendadak keluar kota. Memang pada saat kami Tsanawiyah, disitulah mulai bisnis ayah meraih banyak rupiah. Dan waktu ayah mulai berpindah untuk bisnisnya, meski hanya raga yang tak ada. Perhatiannya masih tetap tercurah. Tapi itu tetap saja membuat Bang Ilham cemburu. Merajuk tak mau naik ke atas panggung. Menahan tangis selama perjalanan. Meski, akhirnya pecah di kamarnya. Dan itu juga yang membuat sikap dan sifat Bang Ilham begitu mirip ayah.

“Sudah ayah katakan berulang, itu bukan salah Ilham. Salah Ayah yang salah mendidik. Ayah pikir, ayah sudah hebat sekali, Ya Allah, ampunilah. Ayah sudah sangat sombong. Ayah pikir dengan ekomoni yang melimpah, anak-anak yang meraih prestasi besar, ayah sudah pantas membusungkan dada. Tapi ternyata tidak. Jauh. Ayah hanya mendidik kalian untuk berhasil dan hidup enak di dunia.. Padahal.. Padahal.. dengan semua itu tak ada menjamin kita bahagia di kehidupan yang sebenarnya..”

“…Maafkan Ayah yang pernah membuat anak Ayah berani membawa-bawa nama Allah untuk berpacaran, tak malu membawa nama Allah untuk mencintai yang tak halal, merasa hal yang baik ketika itu disebarkan di media sosial. Padahal bukan begitu didikan agama kita…”

“…Maafkan Ayah yang pernah membiarkan foto anak gadis Ayah tersebar bebas di internet, bahkan foto istri Ayah sekalipun. Bebas diakses siapa saja. Padahal.. Padahal.. Allah menyediakan hijab untuk muslimah, agar muslimah dapat serapat mungkin menyembunyikan kecantikannya. Bukan malah dipertontonkan dengan gampangnya..”

“Tidak ada cinta yang diridhoi Allah kecuali dibalut dalam pernikahan. Dalam wadah yang halal. Mencintai orang yang telah menjadi suami atau istri kita jauh lebih mulia ketimbang menikahi orang yang kita cintai…”

Kalimat ayah barusan benar-benar menusuk jantung. Aku dan Bang Ilham semakin menekur. Juga ibu, kudengar tangisnya sedikit-sedikit mulai bersuara.

“Baiklah, Ayah ulangi pertanyaan Ayah. Siapkah Ilham menikah? Jika Ilham siap, Ayah akan lebih siap.”

Bang Ilham lagi-lagi diam. Kupandangi lekat wajah saudaraku satu-satunya itu. Saudara yang lebih tua dua tahun dariku. Seorang abang yang benar-benar tahu bagaimana cara membahagian adik satu-satunya. Dulu, waktu masih Ibtidaiyah, waktu kehidupan masih dikurung kisah ekonomi yang susah. Abanglah yang sering mengalah atas setiap jatah makanan. Lambungku memang lebih besar dari lambungnya. Sehingga, aku selalu kurang jika hanya makan pas-pasan. Bang Ilhamlah yang selalu mengalah.

Waktu itu, nenek memasakkan masakan kesukaan Bang Ilham. Tapi, saat itu harga udang masih sulit digapai nenek. Hingga akhirnya, nenek hanya memberi sebisanya saja. Hanya ada 10 udang besar yang digoreng tepung. Biar adil, ibu membaginya menjadi lima-lima.

Rasanya, aku masih sangat lapar. Sebab nasi yang dimasak ibu juga jauh dari cukup. Apalagi tidak ada sarapan pagi itu untuk kami. Ayah dan ibu berpuasa. Membiarkan kami saja yang berusaha kenyang, meski jauh dari perkiraan.

Bang Ilham luar biasa senang diberi makanan kesukaannya oleh nenek yang rumahnya sangat jauh dan sengaja singgah untuk menginap satu malam. Aku tanpa merasa berdosa merengek pada ibu bahwa masih sangat lapar. Dan menangis setelah kelima udang goreng tepung dari nenek itu habis.

Sedang punya Bang Ilham, masih dimakan satu. Mungkin, karena sangkin senangnya karena bertemu nenek, apalagi dibawakan udang goreng tepung kesukaanya, dia lebih suka memandangi udang goreng tepung itu terus dan berlama-lama memakannya.

Ibu mendiamkanku. Mengelus kepalaku lembut. Ayah sibuk di luar mencari pinjaman kesana kemari. Untuk mengisi lambung meski hanya beberapa suapan nasi (saja) untuk kami.

Bang Ilham menatapku. Menatap kasihan. Kemudian balik menatap udang goreng tepung kesukaanya. Begitu berkali-kali. Bolak balik menatap aku dan si udang goreng tepung itu.

“Buat Adek aja. Ilham masih kenyang, Bu.” Bang Ilham menyodorkan empat-empat udang goreng tepung yang sangat disukainya itu dengan alasan masih kenyang? Siapa pula yang pernah mengajarkan Bang Ilham berbohong?

Malam sebelumnya, kami hanya makan nasi kurang dari cukup tanpa lauk apapun, bahkan meski hanya garam sebagai rasa asin pun tidak ada. Meski hanya minyak jelanta sisa pun tidak ada. Dan sarapan sama sekali tak menyinggahi perut kami. Dan saat makan siang itu, makan siang pukul tiga, Bang Ilham –demi melihat adiknya agar tak lagi menangis- menyodorkan semua udang goreng tepung kesukaannya untukku.

Aku diam seketika. Ibu dan nenek bahkan jauh lebih terdiam. Merasa tidak bisa berkata apa-apa atas tindakan yang sangat mengagumkan dari seorang anak laki-laki yang masih kelas empat ibtidaiyah. Entah siapa yang pernah mengajarkan tindakannya itu. Entah dari mana dia mencontoh perbuatan itu.  

“Bu, ini buat Adek aja. Ilham sedih kalau lihat Adek sedih.” Katanya memecah kekagetan aku, ibu dan nenek.

“Eh, nggak usah, Bang. Abang aja yang makan. Sebentar lagi ayah pulang, bawa makanan buat adek. Tuh adek nggak nangis lagi kok. Bang Ilhamkan belum makan seharian.”

“Ilham nggak mau lagi, Bu. Adek kan masih mau. Ilham udah makan kok udangnya satu. Yang belum makan seharian dan dari semalam itu ibu sama ayah. Ibu sama ayah aja nggak mau makan. Ilham juga nggak mau.”

Jika mengingat kisah ini -dan sebenarnya masih banyak kisah-kisah yang lain lagi tentang “mengalah”nya Bang Ilham untukku- dan menceritakan kembali –dan yang pasti ketika tidak ada Bang Ilham- sebab, Bang Ilham paling merasa tidak suka diceritakan tentang hal itu. Ibu selalu bilang, “Ternyata dari situlah Allah memberikan nikmat yang berbeda untuk Ibu. Melihat Bang Ilham yang begitu saja mengalah, seketika lelah, gundah, bahkan lapar yang sangat menggigit sekalipun dibayar lunas oleh bersihnya hati Bang Ilham..”

Dan dari kisah yang diulang-ulang itulah aku tahu darimana Bang Ilham mencontoh tindakan itu. Tentu saja dari ayah dan ibu. Yang lebih banyak menerima kesakitan dengan menenggelamkan keluhan sedalam mungkin.    
***

-BERSAMBUNG-

Insya Allah akan dilanjut lagi. Selamat menikmati weekend terakhir September ini.
Ah, September~

2 comments:

  1. Bila saja ayah ku sedemikian , bila saja aku di dukung untuk menutup rapat pakaianku, akhh barang kali aku cemburu pada eros.

    ReplyDelete
  2. Insya Allah doa dapat menjadi senjata. Selain ayah, lebih dari itu banyak hal yang bisa mendukung untuk menutup aurat. Tetap dalam semangat yang besar dalam menutup aurat ya, Ukhty :))

    ReplyDelete