Wednesday, December 30, 2015

Si Buruk Rupa yang Cantik Jelita




Kata mereka, aku sudah yatim, piatu pula. Dan parahnya, sebatang kara. Aku hanya anak panti asuhan yang tidak pernah ada yang berkeinginan untuk memungutku sebagai apapun. Kata mereka, wajahku melebihi buruk rupa. Kata mereka, bahkan orang tuaku tak menginginkanku hingga mereka membuangku begitu saja. Dan kata mereka, kata mereka yang lainnya, yang selalu kusimpan dalam pikiran dan sukma. 
            Tapi, mereka tidak pernah tahu. Semakin mereka berucap entah itu sebagai olok-olok atau hanya sekadar kasihan, darahku semakin mendidih. Mengirimkan daya yang semakin lama semakin besar ke jantungku. Hingga lahirlah sebuah tekad. Bahwa, aku tak akan menjadi seperti yang mereka olok-olokkan.
“Lala.. Mukanya jelek... Lala.. Si Buruk Rupa…” Inilah nyanyian yang biasa anak-anak lorong itu ucapkan. Hanya satu dua ibu mereka yang memarahi, selebihnya menikmati. Meski, tidak mengejek seperti yang dilakukan anak-anak mereka. Ibu-ibu itu seolah-olah mendukung dengan tertawa santai. Dan aku, hanya berusaha untuk tidak lagi menangis. Aku hanya terus menundukkan kepala dan berusaha memekakkan telinga.
***
            “Sedang apa tho, Ndok?” Tanya nenek –seseorang yang selalu ringan mendaratkan pelukannya untukku– menghampiriku. Nenek adalah pemilik panti asuhan ini. Dan bayi merahku, neneklah yang turun tangan langsung mengasuhnya sampai aku besar kini. Dan impian-impian itu, neneklah yang menciptkan semuanya dengan baik di hari-hariku. Aku menjadi satu-satunya tukang hayal yang telah diciptakan nenek.
            “Cita-citamu opo, Ndok?” Tanya nenek suatu hari, sembilan tahun lalu.
            “Memangnya anak buruk rupa dan anak panti asuhan seperti Lala boleh punya cita-cita ya, Nek?”
            Nenek terdiam. Tentu saja, nenek tidak mengharapkan jawaban bertanya kembali seperti itu ketika pertama kali menanyakannya padaku. Aku masih ingat sekali raut nenek. Rautnya kaget dan marah. Tapi, beberapa detik setelahnya, nenek menghembuskan napas. Dan kembali tersenyum padaku dan memperlihatkan giginya yang masih saja utuh dan rapi.
            “Itu terakhir kalinya Nenek denger ucapan seperti itu. Kalau kata-kata itu diucapkan lagi, Nenek ndak mau lagi memelukmu.”
Gantian aku yang terdiam. Demi apapun, aku rela jika itu tentang pelukan nenek. Pelukan yang tidak pernah mengalpakan hadirnya saat-saat di hidupku. Saat-saat aku jatuh dari sepeda, terkilir sebab berlari-lari, demam karena main hujan, dan tentu saja pelukan yang selalu ada saat orang-orang rajin mengolok-ngolok rupaku.
Dan waktu itu, dengan polosnya, aku merasa begitu ketakutan. Aku terdiam begitu lama. Lamanya jauh melebihi diam nenek tadi. Sebab nenek tidak pernah sekalipun mengancamku dengan kalimat seperti itu. Dan runtuhlah air mata, membuat hujan dan sesenggukan di wajahku.
“Hei, piye iki, anak wedok pantang melamun magrib-magrib!” Nenek mencolek pipiku. Aku hanya membalas nyengir.
“Ngapain di sini, Ndok? Sudah dijamin masuk surga tho? Mangkanya ndak siap-siap buat magriban?” Nenek menyindirku.
Lala sedang memikirkan sesuatu, Nek.” Jawabku seadanya. Nenek diam. Duduk di sampingku dan membiarkanku menumpahkan kata-kata.
“Kenapa kita tidak boleh membalas ketika kita disakiti, Nek?” Tanyaku gusar.
Nenek tidak menjawab. Malah mencubit kulit lenganku.
“Aww.. Kok Lala malah dicubit, Nek. Salah Lala apa?” aku meringis.
“Sakit dicubit?” Nenek malah bertanya tentang rasa sakitnya. Apa jangan-jangan pertanyaanku salah?
“Ya sakit dong, Nek.” Aku mulai manyun.
“Tega ndak balas nyubit nenek balik, biar Nenek bisa tahu rasanya?”
“Ya ndak tho, Nek!”
“Nah! Ndak tega tho?! Karena sudah tahu rasa sakitnya bagaimana, membuat kita jadi ndak tega atau ndak kepengen buat itu juga ke orang lain, kan?”
Aku diam. Berpikir. Dan.. Itulah jawaban nenek atas pertanyaanku. Ah, nenek memang selalu begitu. Nenek tersenyum lembut. Mengusap kepala dan mencium keningku, tak pernah peduli, usiaku bukan lagi kanak-kanak.
“Enak tho dicium Nenek? Nah, lakukanlah hal itu pada orang-orang yang menyakiti hatimu, Ndok.. Lakukanlah pada anak-anak lorong yang sering mengolok-ngolokmu.. Tadi Pak Lurah datang. Bercerita pada Nenek. Anak-anak lorong itu tak boleh dibiarkan tak sekolah. Setelah dua tahun nanti kau mengajar mereka di sekolah singgah. Pak lurah akan menguliahkanmu di tempat paling keren dengan jurusan yang kau idam-idam. Mimpimu itu tho? Anak jenius sepertimu harus ikut berperan memperbaiki bangsa dan negara. Begitu tadi kata beliau.”
Senja yang semakin meninggi sama seperti keterkejutanku yang melambung tinggi. Aku? Kuliah? Apa tadi nenek bilang? Kuliah di tempat yang paling keren? Kuliah dengan jurusan yang kuidam-idamkan? Nyatakah? Apa aku tidak salah dengar? Apa pak lurah hanya bergurau? Oh, Allah.. Bukan hanya mimpiku yang terbang tinggi saat ini tapi aku benar-benar merasa ikut terbang jauh melebihi.
Aku melapangkan dada. Tentu butuh keberanian yang besar mengajar anak-anak lorong –yang setiap aku pulang sekolah tak pernah alpa mengolok-ngolokku–.  
“Buktikanlah, Ndok pada mereka bahwa si Buruk Rupa mereka yang sebenarnya adalah anak gadis yang hatinya cantik jelita. Inilah saatnya, tuan putri berubah menjadi lebih baik dan yang paling penting, juga bisa mengubah orang lain.”
Aku memeluk nenek sepanjang senja dan sepanjang malam. Nenek, si Buruk Rupa sangat mencintaimu.
***

No comments:

Post a Comment