Kata
mereka, aku sudah yatim, piatu pula. Dan parahnya, sebatang kara. Aku hanya
anak panti asuhan yang tidak pernah ada yang berkeinginan untuk memungutku
sebagai apapun. Kata mereka, wajahku melebihi buruk rupa. Kata mereka, bahkan
orang tuaku tak menginginkanku hingga mereka membuangku begitu saja. Dan kata
mereka, kata mereka yang lainnya, yang selalu kusimpan dalam pikiran dan
sukma.
Tapi,
mereka tidak pernah tahu. Semakin mereka berucap entah itu sebagai olok-olok
atau hanya sekadar kasihan, darahku semakin mendidih. Mengirimkan daya yang
semakin lama semakin besar ke jantungku. Hingga lahirlah sebuah tekad. Bahwa,
aku tak akan menjadi seperti yang mereka olok-olokkan.
“Lala.. Mukanya jelek... Lala.. Si
Buruk Rupa…” Inilah nyanyian yang biasa anak-anak lorong itu ucapkan. Hanya
satu dua ibu mereka yang memarahi, selebihnya menikmati. Meski, tidak mengejek
seperti yang dilakukan anak-anak mereka. Ibu-ibu itu seolah-olah mendukung dengan
tertawa santai. Dan aku, hanya berusaha untuk tidak lagi menangis. Aku hanya
terus menundukkan kepala dan berusaha memekakkan telinga.
***
“Sedang
apa tho, Ndok?” Tanya nenek –seseorang yang selalu ringan mendaratkan
pelukannya untukku– menghampiriku. Nenek adalah pemilik panti asuhan ini. Dan bayi
merahku, neneklah yang turun tangan langsung mengasuhnya sampai aku besar kini.
Dan impian-impian itu, neneklah yang menciptkan semuanya dengan baik di
hari-hariku. Aku menjadi satu-satunya tukang hayal yang telah diciptakan nenek.
“Cita-citamu
opo, Ndok?” Tanya nenek suatu hari,
sembilan tahun lalu.
“Memangnya
anak buruk rupa dan anak panti asuhan seperti Lala boleh punya cita-cita ya,
Nek?”
Nenek
terdiam. Tentu saja, nenek tidak mengharapkan jawaban bertanya kembali seperti
itu ketika pertama kali menanyakannya padaku. Aku masih ingat sekali raut
nenek. Rautnya kaget dan marah. Tapi, beberapa detik setelahnya, nenek menghembuskan
napas. Dan kembali tersenyum padaku dan memperlihatkan giginya yang masih saja
utuh dan rapi.
“Itu
terakhir kalinya Nenek denger ucapan
seperti itu. Kalau kata-kata itu diucapkan lagi, Nenek ndak mau lagi memelukmu.”
Gantian aku yang terdiam. Demi apapun,
aku rela jika itu tentang pelukan nenek. Pelukan yang tidak pernah mengalpakan
hadirnya saat-saat di hidupku. Saat-saat aku jatuh dari sepeda, terkilir sebab
berlari-lari, demam karena main hujan, dan tentu saja pelukan yang selalu ada
saat orang-orang rajin mengolok-ngolok rupaku.
Dan waktu itu, dengan polosnya, aku
merasa begitu ketakutan. Aku terdiam begitu lama. Lamanya jauh melebihi diam
nenek tadi. Sebab nenek tidak pernah sekalipun mengancamku dengan kalimat
seperti itu. Dan runtuhlah air mata, membuat hujan dan sesenggukan di wajahku.
“Hei, piye iki, anak wedok pantang
melamun magrib-magrib!” Nenek mencolek pipiku. Aku hanya membalas nyengir.
“Ngapain di sini, Ndok? Sudah dijamin masuk surga tho?
Mangkanya ndak siap-siap buat
magriban?” Nenek menyindirku.
“Lala sedang memikirkan sesuatu, Nek.”
Jawabku seadanya. Nenek diam. Duduk di sampingku dan membiarkanku menumpahkan
kata-kata.
“Kenapa kita tidak boleh membalas
ketika kita disakiti, Nek?” Tanyaku gusar.
Nenek tidak menjawab. Malah mencubit
kulit lenganku.
“Aww.. Kok Lala malah dicubit, Nek.
Salah Lala apa?” aku meringis.
“Sakit dicubit?” Nenek malah bertanya
tentang rasa sakitnya. Apa jangan-jangan pertanyaanku salah?
“Ya sakit dong, Nek.” Aku mulai manyun.
“Tega ndak balas nyubit nenek balik,
biar Nenek bisa tahu rasanya?”
“Ya ndak
tho, Nek!”
“Nah! Ndak tega tho?! Karena
sudah tahu rasa sakitnya bagaimana, membuat kita jadi ndak tega atau ndak
kepengen buat itu juga ke orang lain, kan?”
Aku diam. Berpikir. Dan.. Itulah
jawaban nenek atas pertanyaanku. Ah, nenek memang selalu begitu. Nenek
tersenyum lembut. Mengusap kepala dan mencium keningku, tak pernah peduli, usiaku
bukan lagi kanak-kanak.
“Enak tho dicium Nenek? Nah, lakukanlah hal itu pada orang-orang yang
menyakiti hatimu, Ndok.. Lakukanlah pada anak-anak lorong yang sering
mengolok-ngolokmu.. Tadi Pak Lurah datang. Bercerita pada Nenek. Anak-anak
lorong itu tak boleh dibiarkan tak sekolah. Setelah dua tahun nanti kau
mengajar mereka di sekolah singgah. Pak lurah akan menguliahkanmu di tempat
paling keren dengan jurusan yang kau idam-idam. Mimpimu itu tho? Anak jenius sepertimu harus ikut
berperan memperbaiki bangsa dan negara. Begitu tadi kata beliau.”
Senja yang semakin meninggi sama
seperti keterkejutanku yang melambung tinggi. Aku? Kuliah? Apa tadi nenek
bilang? Kuliah di tempat yang paling keren? Kuliah dengan jurusan yang
kuidam-idamkan? Nyatakah? Apa aku tidak salah dengar? Apa pak lurah hanya
bergurau? Oh, Allah.. Bukan hanya mimpiku yang terbang tinggi saat ini tapi aku
benar-benar merasa ikut terbang jauh melebihi.
Aku melapangkan dada. Tentu butuh
keberanian yang besar mengajar anak-anak lorong –yang setiap aku pulang sekolah
tak pernah alpa mengolok-ngolokku–.
“Buktikanlah, Ndok pada mereka bahwa si
Buruk Rupa mereka yang sebenarnya adalah anak gadis yang hatinya cantik jelita.
Inilah saatnya, tuan putri berubah menjadi lebih baik dan yang paling penting,
juga bisa mengubah orang lain.”
Aku memeluk nenek sepanjang senja dan
sepanjang malam. Nenek, si Buruk Rupa sangat mencintaimu.
***
No comments:
Post a Comment