Wednesday, December 30, 2015

Suatu Hari Ada yang Kembali..





Hujan belum kunjung reda, setelah deras satu jam pada ini malam. Angin masuk lewat kisi-kisi jendela, membikin dinding-dinding kedinginan, membikin kain jendela bergoyangan dan membikin aku menarik selimut panjang, lalu entah mengapa tiba-tiba mengingat kenang. Kenang-kenang itu rapi berbaris. Masuk menyusup pelan-pelan ke pikiran, kemudian membuat jantungku berdentang. Kesakitan.
        
    “Tok… Tok… Mila…” Suara pintuku diketuk dan ada yang memanggil namaku dari luar kamar.
      
      “…Boleh ayah masuk?” Tanya ayah. Masih dari luar.
      
      Aku diam. Lama.
      
      “Nak…” Panggil ayah lagi. Sabar. Berdiri di depan pintu yang tak dibuka-buka.

Aku mengalah. Kuputar kunci dan pintu kubuka. Senyum lembut langsung menyapa wajahku.

“Ayah sudah lapar bener nih... Mila pasti sudah lapar jugakan?” Lagi-lagi, tanya ayah dengan lembut.

Lagi-lagi, aku mengalah. Sebab, aku tak pernah sanggup memutus wajah harap ayah. Aku mengikuti langkah ayah. Dan malam itu, bersama ayah, aku mengenyangkan malam, setelah seminggu selalu menolak makan bersama di meja makan. Sebab, seminggu ini, aku begitu merindu ibu ikut makan malam bersama di meja makan ini. Meski ibu hanya sesekali bertanya tentang sekolahku dan sisanya, ibu lebih banyak diam.
***
            3 tahun lalu. Ibu pergi. Melewati aku yang baru pulang sekolah dan terpukau di depan pagar rumah. Tubuhku kaku, melihat ibu sambil menangis masuk ke dalam mobil yang disupiri laki-laki yang tidak aku kenal. Aku tidak sanggup memanggil ibu, apalagi menahannya. Lima menit aku terdiam bersama jalanan depan rumah yang ikut lengang. Selengang di dalam rumah kami yang cukup besar. Dan aku menemukan ayah duduk lesehan, memeluk lututnya sambil deras air matanya. Seperti seorang anak laki-laki yang ditinggal ibunya pergi.

Ayah. Ayahku… menangis.
***
            Sejak kepergian ibu –yang hingga kini selalu kutunggu dan tak pernah muncul meski hanya kabarnya– aku tidak tahu menjelaskan diriku seperti apa. Aku tidak dekat dengan ibu. Dari pukul tujuh sampai pukul tujuhnya lagi, ibu sibuk bekerja. Seperti lupa, bahwa ada anak dan suami yang sering merindukannya di rumah.
          
Ayah dari dulu membuka usaha warung di rumah, yang padahal sudah begitu mencukupi, apalagi aku anak mereka, hanya seorang diri dan ibu bekerja di luar dengan alasan ingin lebih membahagiakan. Jadi, dari dulu aku selalu bersama ayah. Ayah yang bukan hanya ayah, tapi ibu bagiku juga, serta sahabat yang selalu ada.
             
Usiaku saat ini 11 tahun. Aku tidak pernah tahu masalah ayah dengan ibu. Ayah atau ibu tidak pernah membuka hal itu di depanku. Yang aku tahu, ayah selalu menunjukkan wajah gembira. Setiap hari. Setiap waktu. Hingga 3 tahun lalu, pertama kali kutemukan ayah menangis sesenggukan. Sebab, ibu tiba-tiba pergi hanya dengan tas kerjanya, tak berkenan melihat walau hanya melirikku dan kemudian dengan segera memasuki mobil.
             
Jika memang ayah dan ibu baik-baik saja, kenapa ayah tak pernah memeluk ibu seperti ayah memelukku? Kenapa ayah lebih sering tidur di kamarku ketimbang di kamarnya bersama ibu? Sungguh, aku tidak tahu bagaimana cara orang dewasa menunjukkan mesra kasih sayang. Mesra sepasang kekasih yang pernah kulihat di televisi sama sekali tak pernah terjadi dengan ayah dan ibu. Hanya itu yang aku ketahui.
***

Epilog

“Dari dulu, aku tidak setuju kamu bekerja di luar, Sa.. Kita itu memiliki anak. Kamulah yang harusnya mengurus anak di rumah, menjadi madrasah pertama yang tepat baginya. Sekarang beginilah jadinya. Dengan gampangnya kamu bilang jatuh cinta kembali seperti anak remaja. Pantaslah betah seharian di luar rumah. Kamu tak pernah menurut meski aku sudah pernah mengemis, Sa!”

“Apa, Mas? Memiliki anak? Dia bukan anakku, Mas.. Dia anak adikmu yang miskin lantas kaupungut! Aku sudah lelah hidup denganmu, Mas. Hidup dengan laki-laki mandul! Ayah ibuku selalu menanyakan kabar anak yang akan lahir dari rahimku. Tapi tak pernah ada berita bahagia dan menenangkan hingga kini!”

Riduan terdiam. Tak menyangka. Untuk pertama kalinya, wanitanya –yang begitu dia cintai– membalas kalimat amarah dan kasarnya dengan lebih menyakitkan.

Riduan terduduk di kursi tamu.     

“Nisa.. Kita sudah usaha.. bersama. Tapi kamu menyerah dengan memilih bekerja di luar rumah. Hingga tak ada waktu untuk kita menikmati waktu berdua. Sampai akhirnya, semenjak kamu menjadi wanita karir kembali, kita begitu dingin. Kamu tahu, Mila selalu bertanya berkali-kali padaku, ‘Kenapa ayah tidak pernah mencium dan memeluk ibu, seperti ayah mencium dan memeluk Mila?’ Kamu tahu, aku tak pernah berhasil menjawab…” Kalimat Riduan melemah.. sampailah bulir-bulir menjadi gerimis di wajahnya.

Nisa terdiam. Dan sampailah kalimatnya, kalimat yang dari dulu ingin diutarakan, kalimat yang dari dulu sudah dipersiapkan. “Aku pergi, Mas. Aku lelah. Maaf..”

Riduan tersentak. Jantungnya seperti dicampakkan milyaran kilometer dan dibanting-banting sampai menghujam bumi paling dasar.

“Pergilah.. dengan syarat, jangan bawa barang-barang Nisa sedikitpun. Jika nanti Mila bertanya, Mas bisa menjawab, bahwa ibunya hanya pergi sebentar.”

Nisa. Dengan ego melebihi gunung paling tinggi di muka bumi, pergi. Meski di hatinya, sisa-sisa rasa cinta masih begitu terasa di dada dengan laki-lakinya yang jarang sekali marah.

Riduan bangkit. Tak sanggup melihat wanitanya –yang mengaku telah lelah hidup bersamanya– pergi. Namun, kakinya lelah untuk berangkat melangkah lebih banyak, hingga jatuh, terduduk di lantai lengang. Sampai sesenggukan.

Riduan memang sengaja, tak mengizinkan sedikitpun Nisa membawa barang-barangnya. Selain memiliki jawaban yang baik untuk anak seusia Mila. Dia masih membiarkan dadanya menyulam harap. Bahwa suatu hari nanti, wanitanya akan pulang kembali. Dan dia, yang akan pertama kali menyambutnya dan akan memeluk wanitanya seperti dia memeluk anaknya, Mila.
***

No comments:

Post a Comment