Hujan
belum kunjung reda, setelah deras satu jam pada ini malam. Angin masuk lewat
kisi-kisi jendela, membikin dinding-dinding kedinginan, membikin kain jendela
bergoyangan dan membikin aku menarik selimut panjang, lalu entah mengapa
tiba-tiba mengingat kenang. Kenang-kenang itu rapi berbaris. Masuk menyusup
pelan-pelan ke pikiran, kemudian membuat jantungku berdentang. Kesakitan.
“Tok… Tok… Mila…” Suara pintuku diketuk
dan ada yang memanggil namaku dari luar kamar.
“…Boleh ayah masuk?” Tanya ayah.
Masih dari luar.
Aku diam. Lama.
“Nak…” Panggil ayah lagi. Sabar.
Berdiri di depan pintu yang tak dibuka-buka.
Aku
mengalah. Kuputar kunci dan pintu kubuka. Senyum lembut langsung menyapa
wajahku.
“Ayah
sudah lapar bener nih... Mila pasti sudah lapar jugakan?” Lagi-lagi, tanya ayah
dengan lembut.
Lagi-lagi,
aku mengalah. Sebab, aku tak pernah sanggup memutus wajah harap ayah. Aku
mengikuti langkah ayah. Dan malam itu, bersama ayah, aku mengenyangkan malam,
setelah seminggu selalu menolak makan bersama di meja makan. Sebab, seminggu
ini, aku begitu merindu ibu ikut makan malam bersama di meja makan ini. Meski
ibu hanya sesekali bertanya tentang sekolahku dan sisanya, ibu lebih banyak
diam.
***
3 tahun lalu. Ibu pergi. Melewati aku
yang baru pulang sekolah dan terpukau di depan pagar rumah. Tubuhku kaku,
melihat ibu sambil menangis masuk ke dalam mobil yang disupiri laki-laki yang
tidak aku kenal. Aku tidak sanggup memanggil ibu, apalagi menahannya. Lima
menit aku terdiam bersama jalanan depan rumah yang ikut lengang. Selengang di
dalam rumah kami yang cukup besar. Dan aku menemukan ayah duduk lesehan,
memeluk lututnya sambil deras air matanya. Seperti seorang anak laki-laki yang
ditinggal ibunya pergi.
Ayah.
Ayahku… menangis.
***
Sejak kepergian ibu –yang hingga
kini selalu kutunggu dan tak pernah muncul meski hanya kabarnya– aku tidak tahu
menjelaskan diriku seperti apa. Aku tidak dekat dengan ibu. Dari pukul tujuh
sampai pukul tujuhnya lagi, ibu sibuk bekerja. Seperti lupa, bahwa ada anak dan
suami yang sering merindukannya di rumah.
Ayah dari dulu membuka usaha warung
di rumah, yang padahal sudah begitu mencukupi, apalagi aku anak mereka, hanya
seorang diri dan ibu bekerja di luar dengan alasan ingin lebih membahagiakan. Jadi,
dari dulu aku selalu bersama ayah. Ayah yang bukan hanya ayah, tapi ibu bagiku
juga, serta sahabat yang selalu ada.
Usiaku saat ini 11 tahun. Aku tidak
pernah tahu masalah ayah dengan ibu. Ayah atau ibu tidak pernah membuka hal itu
di depanku. Yang aku tahu, ayah selalu menunjukkan wajah gembira. Setiap hari.
Setiap waktu. Hingga 3 tahun lalu, pertama kali kutemukan ayah menangis
sesenggukan. Sebab, ibu tiba-tiba pergi hanya dengan tas kerjanya, tak berkenan
melihat walau hanya melirikku dan kemudian dengan segera memasuki mobil.
Jika memang ayah dan ibu baik-baik
saja, kenapa ayah tak pernah memeluk ibu seperti ayah memelukku? Kenapa ayah
lebih sering tidur di kamarku ketimbang di kamarnya bersama ibu? Sungguh, aku
tidak tahu bagaimana cara orang dewasa menunjukkan mesra kasih sayang. Mesra
sepasang kekasih yang pernah kulihat di televisi sama sekali tak pernah terjadi
dengan ayah dan ibu. Hanya itu yang aku ketahui.
***
Epilog
“Dari
dulu, aku tidak setuju kamu bekerja di luar, Sa.. Kita itu memiliki anak.
Kamulah yang harusnya mengurus anak di rumah, menjadi madrasah pertama yang
tepat baginya. Sekarang beginilah jadinya. Dengan gampangnya kamu bilang jatuh
cinta kembali seperti anak remaja. Pantaslah betah seharian di luar rumah. Kamu
tak pernah menurut meski aku sudah pernah mengemis, Sa!”
“Apa,
Mas? Memiliki anak? Dia bukan anakku, Mas.. Dia anak adikmu yang miskin lantas
kaupungut! Aku sudah lelah hidup denganmu, Mas. Hidup dengan laki-laki mandul! Ayah
ibuku selalu menanyakan kabar anak yang akan lahir dari rahimku. Tapi tak
pernah ada berita bahagia dan menenangkan hingga kini!”
Riduan
terdiam. Tak menyangka. Untuk pertama kalinya, wanitanya –yang begitu dia
cintai– membalas kalimat amarah dan kasarnya dengan lebih menyakitkan.
Riduan
terduduk di kursi tamu.
“Nisa..
Kita sudah usaha.. bersama. Tapi kamu menyerah dengan memilih bekerja di luar
rumah. Hingga tak ada waktu untuk kita menikmati waktu berdua. Sampai akhirnya,
semenjak kamu menjadi wanita karir kembali, kita begitu dingin. Kamu tahu, Mila
selalu bertanya berkali-kali padaku, ‘Kenapa ayah tidak pernah mencium dan
memeluk ibu, seperti ayah mencium dan memeluk Mila?’ Kamu tahu, aku tak pernah
berhasil menjawab…” Kalimat Riduan melemah.. sampailah bulir-bulir menjadi
gerimis di wajahnya.
Nisa
terdiam. Dan sampailah kalimatnya, kalimat yang dari dulu ingin diutarakan,
kalimat yang dari dulu sudah dipersiapkan. “Aku pergi, Mas. Aku lelah. Maaf..”
Riduan
tersentak. Jantungnya seperti dicampakkan milyaran kilometer dan
dibanting-banting sampai menghujam bumi paling dasar.
“Pergilah..
dengan syarat, jangan bawa barang-barang Nisa sedikitpun. Jika nanti Mila
bertanya, Mas bisa menjawab, bahwa ibunya hanya pergi sebentar.”
Nisa.
Dengan ego melebihi gunung paling tinggi di muka bumi, pergi. Meski di hatinya,
sisa-sisa rasa cinta masih begitu terasa di dada dengan laki-lakinya yang
jarang sekali marah.
Riduan
bangkit. Tak sanggup melihat wanitanya –yang mengaku telah lelah hidup
bersamanya– pergi. Namun, kakinya lelah untuk berangkat melangkah lebih banyak,
hingga jatuh, terduduk di lantai lengang. Sampai sesenggukan.
Riduan
memang sengaja, tak mengizinkan sedikitpun Nisa membawa barang-barangnya.
Selain memiliki jawaban yang baik untuk anak seusia Mila. Dia masih membiarkan
dadanya menyulam harap. Bahwa suatu hari nanti, wanitanya akan pulang kembali. Dan
dia, yang akan pertama kali menyambutnya dan akan memeluk wanitanya seperti dia
memeluk anaknya, Mila.
***
No comments:
Post a Comment