Wednesday, December 30, 2015

Surat Cinta tak Bernyawa



Katanya, hujan adalah puisi paling mesra.
Katanya, hujan adalah kenangan paling terindukan.
Katanya, hujan adalah hadiah paling hebat dari Tuhan kepada semesta.

            Namun, kataku. Hujan adalah segala tentang kamu.

            Surat itu, surat yang kutulis di binder kuliahku, masih rapi terjaga di sudut buku, di lembar yang aku paling girang menghapal halamannya. Halaman lima.

Lima. Angka kelahiranmu.
***
            Namanya, Mei. Aku tidak pernah tahu apa alasan orang tuanya memberi nama Mei. Dia, sama sekali tak berwajah oriental. Wajahnya malah sedingin bau hujan dan setenang gigilnya yang mengusik kulit tubuh. Tidak putih tetapi kuning langsat bersih. Tidak. Aku tidak akan mendeskripsikan bagaimana wajahnya yang telah sering membuatku uring-uringan saat malam.
             Kata Mamak –sewaktu sekolah menengah dulu, saat aku patah hati karena ternyata gadis yang kutaksir, lebih memilih pacaran dengan temanku sendiri­– “Cinta itu butuh alasan, Mi! Nenek kau, 10 tahun menikah tak pernah mencintai Kakek kau! Dia hanya mengerti prinsip. Bahwa surga nerakanya, ada di ridho Kakek kau! Hingga akhirnya, kau tahu kan, bagaimana mesranya Kakek – Nenek kau, meninggal pun dalam waktu dan keadaan yang bersamaan. Mereka wafat dengan keadaan berpelukan….”
“…Cinta tak semain-main anak se-usia kau, Mi! Bersyukurlah! si Mira yang kau puja-puja itu, sudah kelihatan aslinya, ternyata mau dengan gampangnya diajak pacaran!” Mamak dengan suara menekannya kembali menekan hatiku. Duh, Mamak…
Sesaat setelah mengucapkan kalimat itu, Mamak pergi. Tapi kembali lagi, dengan pakaian bersih dan wangi yang baru saja disetrikanya dan diberikan padaku. “Mandilah. Temani Mamak jalan-jalan..” Ah, Mamak. Memang selalu ketus dan terbuka saat menasehatiku. Tapi, solusinya, selalu menenangkan.
Ah, Mei. Aku mengingatmu kembali. Bagaimana dulu kau kutemui dalam keadaan kuyup basah. “Eh, kok basah – basah? Kok bukannya malah nunggu hujan reda. Di kelas dingin tau!” Kataku sok tidak peduli. Padahal, aku ingin sekali meminjamkan jaketku untuknya.
“Mandi hujan. Udah lama nggak main hujan. Aku pinjam jaketmu, ya. Mau pulang.” Dia, seenaknya saja mengambil jaketku di atas sepeda motorku.
“Loh, nggak kuliah?”
“Dosennya nyebelin.” Jawabnya datar. Pergi menuju parkiran di gedung lain, tempat biasa dia memarkirkan kendarannya.  
***
            “Makasi Jaketnya. Ternyata badanmu kurus. Jaketmu ngepas di badanku.” Dari kalimatnya aku tahu, 3 setengah tahun ini, dia sama sekali tak pernah memerhatikanku, meski aku teman sekelasnya sekalipun, yang sering nongol di depan kelas atau yang paling sering angkat tangan kalau dosen bertanya.
            Kuperhatikan, setelah dia memulangkan jaketku, Mei tiba-tiba lebih rajin hadir di kelas   –aku pikir, dia akan mencalonkan diri menjadi mahasiswa abadi– dan itu membuatku tiba-tiba menaikkan percaya diri. Apa karena dia meminjam jaketku lantas dia senang hadir di kuliah. Meskipun, dosennya nyebelin. Seperti katanya..
            Semenjak itu, aku dan Mei memang menjadi dekat. Mei sering bertanya tentang materi, tugas ataupun serentetan lain tentang perkuliahan. Aku menjadi semakin suka padanya. Dan tentu, menjadi sering salah tingkah ketika kami saling ngobrol. Dan aku tidak pernah benar-benar menatap wajahnya. Aku terlalu takut. Sebab, apalagi yang akan membuatku paling rindu, jika bukan wajahnya yang meski dingin tetapi tetap merdu. Manis. Semanis buah jambu. Mungkin.
            Mei memang berbeda dari teman – teman perempuanku yang lain. Yang lain sibuk dengan dandanan, Mei tak pernah kulihat menghiasi wajahnya dengan make–up. Yang lain sibuk memamerkan tas dan sepatu branded terbaru, Mei memakai tas dan sepatu yang itu-itu saja. Tas lusuh tapi bersih dengan kets biru bertali putih. Yang lain sibuk dengan gadget paling mutakhir, Mei selalu sibuk membaca dan menulis di deretan tempat duduk paling akhir. Padahal siapapun tahu, Mei mampu melakukannya. Bahkan bisa melebihi seluruh perempuan di fakultas ini.
Mei memang selalu menyendiri. Selain tentang dia menyukai hujan, angka lahirnya, selalu parkir di gedung fakultas lain, dan tentang dosen yang dianggapnya nyebelin, aku tak pernah tahu apapun tentang Mei. Dan Mei juga tak pernah bertanya apapun tentangku, selain tentang perkuliahan.
***

            “Mei, kenapa suka main hujan?” Tanyaku suatu hari.
            “Fahmi, kenapa suka angkat tangan kalau dosen bertanya?”
            “Loh? Beda dong, Mei.”
“Sama. Judulnya. Sama-sama kesenangan. Aku nggak pernah denger Fahmi tanpa beban jawab pertanyaan semua dosen. Memang jenius.”
            “Loh, Mei kan selalu duduk di belakang? Mana pernah memerhatikanku di depan.”
“Geer. Kan aku bilang denger tadi. Bukan lihat. Aku nggak pernah denger suara Fahmi kayak orang gugup gitu. Selalu bagus kalau menjelaskan sesuatu. Karena itu memang kesenangan Fahmi. Berbagi. Nggak pernah pelit sama ilmu. Siapapun bertanya selalu ditanggapi dengan sama rata. Memang baik.”

            Aku terdiam. Lalu, membuang wajah. Tentu aku tidak mau ketahuan jika pipiku memerah. Untuk pertama kalinya, Mei memujiku. Aku pikir, Mei adalah perempuan yang benar-benar tak peduli pada sekitarnya. Aku memang tak pernah melihat Mei memerhatikanku dengan seksama dari belakang. Tapi ternyata, Mei pendengar yang baik. Ah, Mei. Ada mekar yang terus segar di sini. Di bilik-bilik jantungku di tiap sisi.

***
Untuk kedua kalinya aku menanyakan tentang hujan pada Mei. Dan aku girang bukan main. Sebab, Mei mau menjawab. Dan jawabannya ada di paragraf paling atas yang sudah kutuliskan.
***
Dua minggu kemudian, untuk pertama kalinya, Mei yang bertanya padaku. “Kalau menurutmu, Hujan itu apa?” Aku diam. Pura – pura berpikir. Padahal, aku sudah menyimpan jawabannya sedari dua minggu lalu. Ketika akan kujawab, Mei tiba – tiba teringat sesuatu.
“Eh iya. Datang ya. Minggu depan tuh” Mei memberi sebuah kartu. Kartu undangan. Undangan pernikahan. Kuperhatikan pelan-pelan siapa nama yang ada di kartu undangan itu. Ardi? Apa ada nama panjang Ardi selain nama temanku yang anak fakultas pertanian itu? Tiba-tiba, aku paham sesuatu. Aku bisa menjawab pertanyaanku sendiri selama ini, kenapa Mei selalu memakirkan mobilnya di fakultas pertanian dan lebih memilih berjalan ke gedung fakultas kami.
Ah, ada nyeri luar biasa yang menikam dadaku. Jantungku. Sebab, nama Mei juga tersanding di kartu undangan pernikahan itu.
***
            Aku memandangi surat yang sudah lusuh itu. Surat itu kutulis saat selesai ngobrol dengan Mei ketika kedua kalinya kutanyakan, “Mengapa Mei menyukai hujan?”. Dan dengan kemantapan, kutulis surat itu. Agar suatu hari, jika Mei yang bertanya padaku tentang hujan, aku tak perlu menjawabnya dengan lisan. Kuharap surat itu dapat mewakili perasaan.

            “Kau ini memang nggak dibolehin pacaran Fahmi. Dari dulu naksir sama perempuan tapi selalu didului teman sendiri. Harusnya bersyukur. Bukan nggak selera makan gitu. Mamak mau, kau hadir ke pesta pernikahannya! Gandeng Mamak ke sana. Biar kulihat dulu anak gadis yang sering kau puja-puja dua tahun ini. Tapi nggak pernah berani kau datangi orang tuanya. Padahal, nggak pernah kularang kau nikah muda.”
            Udahlah, nggak perlu lesu gitu! Nggak mesti kau pacaran buat cari istrimu nanti. Nggak ada yang bisa jamin. Pacarmu jodohmu nanti. Mamak pun nggak suka kalau kau pacar-pacaran. Kayak nggak ada kegiatan yang lebih penting. Kakek-nenekmu, ayah-mamakmu, abang-abangmu hasil perjodohan semua. Nggak saling kenal. Nggak ada kami galau-galau macam kau gini. Tapi bisa awet. Apa yang kurang darimu coba. Wajah oke. Tinggi oke. Otak oke. Calon lulusan ekonomi ideal kau ini. Ditambah lagi nggak pernah pacaran. Siapa yang nggak mau samamu?” Mamak merepet panjang lebar seperti biasa.
            Aku mengangguk. Mamak memang paling bisa menyemangati. Aku ingat nasihat seorang teman. “Lebih baik mencintai orang yang kau nikahi, ketimbang menikahi orang yang kau cintai, Mi. Karena, ketika kau mencintai seseorang, kau akan lebih mengutamakan nafsu. Sehingga, apa-apa yang tidak baik, akan kelihatan baik. Pernikahan itu suci, Mi. Masak mau kita awali dengan perbuatan yang kotor. Pacaran itu jalan yang kotor. Karena, disitulah celah setan paling banyak menguatkan nafsu. Bersyukurlah kalau dua kali jatuh cinta, dua kali didahului teman sendiri. Allah sedang campur tangan dengan kisah cintamu. Agar tak ternodai sebelum saatnya. Dalamilah bagaimana seharusnya berhubungan dengan lawan jenis dalam agama kita. Kau pantas mendapatkan yang lebih baik, Fahmi. Muslimah sejati. Insya Allah..”

Katanya, hujan adalah puisi paling mesra.
Katanya, hujan adalah kenangan paling terindukan.
Katanya, hujan adalah hadiah paling hebat dari Tuhan kepada semesta.

            Namun, kataku. Hujan adalah segala tentang kamu.
            Dan.. Kamu, maukah duduk bersamaku di panggung pelaminan?

Aku membunuh surat yang tak pernah sampai ke tempat tujuannya itu. Robekannya bertebaran di atas lantai kamarku dan disaksikan Mamak yang mengelus lembut kepalaku.
***

No comments:

Post a Comment