Katanya, hujan adalah puisi paling
mesra.
Katanya, hujan adalah kenangan paling
terindukan.
Katanya, hujan adalah hadiah paling
hebat dari Tuhan kepada semesta.
Namun, kataku. Hujan adalah segala tentang
kamu.
Surat itu,
surat yang kutulis di binder kuliahku, masih rapi terjaga di sudut buku, di
lembar yang aku paling girang menghapal halamannya. Halaman lima.
Lima. Angka kelahiranmu.
***
Namanya,
Mei. Aku tidak pernah tahu apa alasan orang tuanya memberi nama Mei. Dia, sama
sekali tak berwajah oriental. Wajahnya malah sedingin bau hujan dan setenang gigilnya
yang mengusik kulit tubuh. Tidak putih tetapi kuning langsat bersih. Tidak. Aku
tidak akan mendeskripsikan bagaimana wajahnya yang telah sering membuatku
uring-uringan saat malam.
Kata Mamak –sewaktu sekolah menengah dulu, saat
aku patah hati karena ternyata gadis yang kutaksir, lebih memilih pacaran
dengan temanku sendiri– “Cinta itu butuh alasan, Mi! Nenek kau, 10 tahun
menikah tak pernah mencintai Kakek kau! Dia hanya mengerti prinsip. Bahwa surga
nerakanya, ada di ridho Kakek kau! Hingga akhirnya, kau tahu kan, bagaimana
mesranya Kakek – Nenek kau, meninggal pun dalam waktu dan keadaan yang bersamaan.
Mereka wafat dengan keadaan berpelukan….”
“…Cinta tak semain-main anak se-usia
kau, Mi! Bersyukurlah! si Mira yang kau puja-puja itu, sudah kelihatan aslinya,
ternyata mau dengan gampangnya diajak pacaran!” Mamak dengan suara menekannya
kembali menekan hatiku. Duh, Mamak…
Sesaat setelah mengucapkan kalimat itu,
Mamak pergi. Tapi kembali lagi, dengan pakaian bersih dan wangi yang baru saja
disetrikanya dan diberikan padaku. “Mandilah. Temani Mamak jalan-jalan..” Ah, Mamak.
Memang selalu ketus dan terbuka saat menasehatiku. Tapi, solusinya, selalu
menenangkan.
Ah, Mei. Aku mengingatmu kembali.
Bagaimana dulu kau kutemui dalam keadaan kuyup basah. “Eh, kok basah – basah?
Kok bukannya malah nunggu hujan reda. Di kelas dingin tau!” Kataku sok tidak
peduli. Padahal, aku ingin sekali meminjamkan jaketku untuknya.
“Mandi hujan. Udah lama nggak main
hujan. Aku pinjam jaketmu, ya. Mau pulang.” Dia, seenaknya saja mengambil
jaketku di atas sepeda motorku.
“Loh, nggak kuliah?”
“Dosennya nyebelin.” Jawabnya datar.
Pergi menuju parkiran di gedung lain, tempat biasa dia memarkirkan kendarannya.
***
“Makasi
Jaketnya. Ternyata badanmu kurus. Jaketmu ngepas
di badanku.” Dari kalimatnya aku tahu, 3 setengah tahun ini, dia sama sekali
tak pernah memerhatikanku, meski aku teman sekelasnya sekalipun, yang sering
nongol di depan kelas atau yang paling sering angkat tangan kalau dosen
bertanya.
Kuperhatikan,
setelah dia memulangkan jaketku, Mei tiba-tiba lebih rajin hadir di kelas –aku pikir, dia akan mencalonkan diri
menjadi mahasiswa abadi– dan itu membuatku tiba-tiba menaikkan percaya diri. Apa
karena dia meminjam jaketku lantas dia senang hadir di kuliah. Meskipun, dosennya
nyebelin. Seperti katanya..
Semenjak
itu, aku dan Mei memang menjadi dekat. Mei sering bertanya tentang materi,
tugas ataupun serentetan lain tentang perkuliahan. Aku menjadi semakin suka
padanya. Dan tentu, menjadi sering salah tingkah ketika kami saling ngobrol. Dan
aku tidak pernah benar-benar menatap wajahnya. Aku terlalu takut. Sebab,
apalagi yang akan membuatku paling rindu, jika bukan wajahnya yang meski dingin
tetapi tetap merdu. Manis. Semanis buah jambu. Mungkin.
Mei memang
berbeda dari teman – teman perempuanku yang lain. Yang lain sibuk dengan
dandanan, Mei tak pernah kulihat menghiasi wajahnya dengan make–up. Yang lain
sibuk memamerkan tas dan sepatu branded terbaru,
Mei memakai tas dan sepatu yang itu-itu saja. Tas lusuh tapi bersih dengan kets
biru bertali putih. Yang lain sibuk dengan gadget paling mutakhir, Mei selalu
sibuk membaca dan menulis di deretan tempat duduk paling akhir. Padahal
siapapun tahu, Mei mampu melakukannya. Bahkan bisa melebihi seluruh perempuan
di fakultas ini.
Mei memang selalu menyendiri. Selain
tentang dia menyukai hujan, angka lahirnya, selalu parkir di gedung fakultas
lain, dan tentang dosen yang dianggapnya nyebelin,
aku tak pernah tahu apapun tentang Mei. Dan Mei juga tak pernah bertanya apapun
tentangku, selain tentang perkuliahan.
***
“Mei,
kenapa suka main hujan?” Tanyaku suatu hari.
“Fahmi,
kenapa suka angkat tangan kalau dosen bertanya?”
“Loh? Beda
dong, Mei.”
“Sama. Judulnya. Sama-sama kesenangan.
Aku nggak pernah denger Fahmi tanpa beban jawab pertanyaan semua dosen. Memang
jenius.”
“Loh, Mei
kan selalu duduk di belakang? Mana pernah memerhatikanku di depan.”
“Geer. Kan aku bilang denger tadi. Bukan lihat. Aku nggak
pernah denger suara Fahmi kayak orang gugup gitu. Selalu bagus kalau menjelaskan
sesuatu. Karena itu memang kesenangan Fahmi. Berbagi. Nggak pernah pelit sama ilmu. Siapapun bertanya selalu ditanggapi
dengan sama rata. Memang baik.”
Aku terdiam.
Lalu, membuang wajah. Tentu aku tidak mau ketahuan jika pipiku memerah. Untuk
pertama kalinya, Mei memujiku. Aku pikir, Mei adalah perempuan yang benar-benar
tak peduli pada sekitarnya. Aku memang tak pernah melihat Mei memerhatikanku
dengan seksama dari belakang. Tapi ternyata, Mei pendengar yang baik. Ah, Mei.
Ada mekar yang terus segar di sini. Di bilik-bilik jantungku di tiap sisi.
***
Untuk kedua kalinya aku menanyakan
tentang hujan pada Mei. Dan aku girang bukan main. Sebab, Mei mau menjawab. Dan
jawabannya ada di paragraf paling atas yang sudah kutuliskan.
***
Dua minggu kemudian, untuk pertama
kalinya, Mei yang bertanya padaku. “Kalau menurutmu, Hujan itu apa?” Aku diam. Pura
– pura berpikir. Padahal, aku sudah menyimpan jawabannya sedari dua minggu lalu.
Ketika akan kujawab, Mei tiba – tiba teringat sesuatu.
“Eh iya. Datang ya. Minggu depan tuh” Mei memberi sebuah kartu. Kartu
undangan. Undangan pernikahan. Kuperhatikan pelan-pelan siapa nama yang ada di
kartu undangan itu. Ardi? Apa ada nama panjang Ardi selain nama temanku yang
anak fakultas pertanian itu? Tiba-tiba, aku paham sesuatu. Aku bisa menjawab
pertanyaanku sendiri selama ini, kenapa Mei selalu memakirkan mobilnya di
fakultas pertanian dan lebih memilih berjalan ke gedung
fakultas kami.
Ah, ada nyeri luar biasa yang menikam dadaku.
Jantungku. Sebab, nama Mei juga tersanding di kartu undangan pernikahan itu.
***
Aku
memandangi surat yang sudah lusuh itu. Surat itu kutulis saat selesai ngobrol
dengan Mei ketika kedua kalinya kutanyakan, “Mengapa Mei menyukai hujan?”. Dan
dengan kemantapan, kutulis surat itu. Agar suatu hari, jika Mei yang bertanya
padaku tentang hujan, aku tak perlu menjawabnya dengan lisan. Kuharap surat itu
dapat mewakili perasaan.
“Kau ini
memang nggak dibolehin pacaran Fahmi. Dari dulu naksir sama perempuan tapi
selalu didului teman sendiri. Harusnya bersyukur. Bukan nggak selera makan gitu. Mamak mau, kau hadir ke pesta
pernikahannya! Gandeng Mamak ke sana. Biar kulihat dulu anak gadis yang sering
kau puja-puja dua tahun ini. Tapi nggak pernah
berani kau datangi orang tuanya. Padahal, nggak
pernah kularang kau nikah muda.”
“Udahlah, nggak perlu lesu gitu! Nggak
mesti kau pacaran buat cari istrimu nanti. Nggak
ada yang bisa jamin. Pacarmu jodohmu nanti. Mamak pun nggak suka kalau kau pacar-pacaran. Kayak nggak ada kegiatan yang
lebih penting. Kakek-nenekmu, ayah-mamakmu, abang-abangmu hasil perjodohan
semua. Nggak saling kenal. Nggak ada kami galau-galau macam kau gini. Tapi bisa awet. Apa yang kurang
darimu coba. Wajah oke. Tinggi oke. Otak oke. Calon lulusan ekonomi ideal kau
ini. Ditambah lagi nggak pernah
pacaran. Siapa yang nggak mau
samamu?” Mamak merepet panjang lebar seperti biasa.
Aku
mengangguk. Mamak memang paling bisa menyemangati. Aku ingat nasihat seorang
teman. “Lebih baik mencintai orang yang kau nikahi, ketimbang menikahi orang
yang kau cintai, Mi. Karena, ketika kau mencintai seseorang, kau akan lebih
mengutamakan nafsu. Sehingga, apa-apa yang tidak baik, akan kelihatan baik.
Pernikahan itu suci, Mi. Masak mau kita awali dengan perbuatan yang kotor. Pacaran
itu jalan yang kotor. Karena, disitulah celah setan paling banyak menguatkan
nafsu. Bersyukurlah kalau dua kali jatuh cinta, dua kali didahului teman
sendiri. Allah sedang campur tangan dengan kisah cintamu. Agar tak ternodai
sebelum saatnya. Dalamilah bagaimana seharusnya berhubungan dengan lawan jenis
dalam agama kita. Kau pantas mendapatkan yang lebih baik, Fahmi. Muslimah
sejati. Insya Allah..”
Katanya, hujan adalah puisi paling
mesra.
Katanya, hujan adalah kenangan paling
terindukan.
Katanya, hujan adalah hadiah paling
hebat dari Tuhan kepada semesta.
Namun,
kataku. Hujan adalah segala tentang kamu.
Dan..
Kamu, maukah duduk bersamaku di panggung pelaminan?
Aku membunuh surat yang tak pernah
sampai ke tempat tujuannya itu. Robekannya bertebaran di atas lantai kamarku
dan disaksikan Mamak yang mengelus lembut kepalaku.
***
No comments:
Post a Comment