Dan setelah sebulan ini, untuk pertama kalinya Sara
mematikan sepeda motornya. Mengangguk tersenyum tanda setuju. Memarkirkan
sepeda motor di garasi rumah dan masuk bersama menyantap makan siang. Nge-lunch. Tiba-tiba ada perasaan rindu
mendengar kata yang diucapkan laki-laki “sok keren” itu.
Nahhhh, itu yang di atas paragraf terakhir Hujan Sore - Part 1nya. Sekarang yuk lanjut ke part-2nya. (Eh, yang belum baca part-1nya, dilarang lanjut! Gih pegi baca dulu part-1 nyaakkk :D! Biar nyambung)
Drum drummmmm.. *eh apa ini?!* #oke #abaikan.
Check it out! Happy reading! ^.^
***
Sebulan yang lalu, tepat setelah
Najuh mengantarku pulang dan kemudian menolak halus untuk singgah makan siang
di rumah, sebab akan bermain futsal reuni bersama teman SMAnya. Ketika aku
telah di kamar dan selesai berganti pakaian. Ayah mengetuk pintuku yang
dikunci.
“Boleh Ayah masuk?”
Aku menyahut mengiyakan serta membukakan pintu. Lalu ayah
masuk. Duduk dengan tenang di kursi kayu depan kasurku. Ternyata wajah ayah tak
setenang tingkahnya. Rautnya tampak lelah. Tapi, aku bisa melihat perubahan
wajah Ayah. Jauh lebih damai daripada sebelum-sebelumnya.
“Eros.., Lapar ya? Sebentar ya. Ayah mau ngomong. Penting.
Sangat penting. Bolehkan?” Tanya ayah halus.
“Tentu boleh, Yah.” Aku mendekat. Duduk di kasur dan
berhadapan dengan tubuh ayah.
“Selama ini, Alhamdulillah
kehidupan kita jauh lebih baik ketimbang Eros SD dulu. Ayah bisa membelikan apa
yang Eros mau. Dan Eros dengan baik budi membalas itu semua dengan patuh pada
ayah dan ibu dan banyak prestasi-prestasi yang Eros raih. Shalat Eros semenjak
SMP juga sudah penuh lima waktu. Dan semenjak itu pula, sudah pakai jilbab jika
keluar rumah…”
“Eros, anak Ayah, yang sangat Ayah sayang. Sayangkan sama
Ayah?” Tanya ayah penuh harap. Matanya kutatap penuh asa.
“Ya, sayang dong, Yah!. Saaaaangat sayaaang! Sebesar apapun benda
di dunia ini, tak akan ada yang menyamainya.” Kataku sungguh-sungguh meski
terdengar seperti merayu.
Ayah tertawa pelan, “Makasih ya, sayang. Kalau begitu… Ini,
pakailah!” Ayah menyodorkan sesuatu padaku. Yang dari tadi entah karena apa
sama sekali tidak kusadari, ada yang ayah bawa di tangannya.
Aku menerima kantung plastik yang diberi ayah. Kubuka dan
entah apa rasanya ketika aku tahu isi di dalamnya.
“Ayah membelinya barusan. Masih hanya sepasang. Takut nggak pas sama Eros. Jadi setelah ini,
setelah kamu makan siang. Kita beli secukupnya untuk dipakai sehari-hari, ke
kampus ataupun jika keluar rumah ya.” Ayah tersenyum. Kutatap kembali matanya
semakin penuh asa.
Selembar gamis berwarna hijau muda dan jilbab panjang
berwarna hijau tua serta sepasang kaus kaki berwarna hijau yang lebih muda dibanding
warna gamisnya; warna kesukaanku. Dan dua buah buku tentang tuntunan menjadi
wanita shaleha.
“Eros nggak akan
maukan Ayah masuk neraka?” Tanya ayah dengan suara gemetar.
Aku yang masih merasa surprise
terdiam. Lalu cepat menggeleng.
“Nggak ada gunanya
hidup Ayah, Nak. Kalau bisa membelikan Eros gadget
terbaru, menguliahkan Eros, meleskan Eros ini itu. Tapi tak pernah membelikan
baju yang sesuai syari’at agama kita
untuk putri satu-satunya…”
“Nak, maafkan Ayah.. Tolong tulus maafkan Ayah… Baru ini
Ayah membelikan Eros baju yang dapat menutup seluruh aurat Eros. Ajal pasti
menanti. Entah ayah entah Eros yang duluan pergi. Tanggungan Ayahlah atas aurat
Eros, Sayang..” Kulihat raut ayah penuh sesal, penuh asa.
“Eros.. sayangkan sama Ayah? Eros sudah penuh shalat, sudah
lancar mengaji, dari kecil sudah diajarkan ilmu agama sampai sekarang. Tapi..
Ayah masih lalai tentang aurat Eros, tentang pergaulan Eros.. Jadi, ikhlas ya,
Sayang.. Bantu Ayah untuk tak susah melihat wajah Allah kita.. untuk tak
sia-sia hidup di dunia yang sementara…” Raut ayah mulai berubah. Lebih sesal,
dan matanya mulai penuh sesuatu; air mata.
“Tinggalkan gaya tomboy Eros mulai saat ini ya.., tinggalkan
celana jeans Eros, meski kini sudah lebih baik karena kuliah selalu pakai rok. Tinggalkan
jilbab pendek dan transparan Eros, tinggalkan berhubungan dengan teman
laki-laki jika tak ada kepentingan. Mulai pakai kaus kaki. Dibaca buku yang
Ayah beri, harus tahu siapa saja yang pantas melihat aurat Eros…”
“…Ayah tak rela, tak rela, Nak.. Aurat anak Ayah bisa
dinikmati siapa saja.. Maafkan Ayah, Nak.. Maafkan Ayah..” Kini, tumpahlah air
mata ayah. Basah di wajahnya. Aku tak pernah melihat ayah menangis. Sama sekali
tidak pernah. Ayah hanya selalu terharu tanpa air mata saja, jika aku pulang
membawa piala. Hatiku tiba-tiba rusuh. Benar-benar kisruh.
***
Saat ayah menangis tadi. Aku tidak menjawab apa-apa. Aku
hanya memeluk ayah. Memeluk ayah dengan sangat erat. Mengucapkan terima kasih
pada ayah. Mengucapkan rasa syukur pada Allah. Sebab, diberi ayah yang luar
biasa.
Aku hanya menurut, ketika selesai makan siang pergi belanja
keperluan yang syari’at. Meski malamnya, aku harus kalut luar biasa. Ayah berulang-ulang
bilang sebelum pergi berbelanja dan saat makan siang. “Baju barunya dipakai ya,
Eros sayang..” Dan tambah berulang-ulang setelah pulang berbelanja serta
diselipi nasehat lagi.
“Jangan pernah takut nggak
dapat kerja dan nggak dapat jodoh
dengan baju syari’at Eros ya. Yang beri jodoh dan kerja bukan manusia. Kalaupun
nggak ada jodoh dan kerja. Itu pasti
jodoh dan kerja yang biasa. Sebab untuk wanita sholeha yang mendahulukan
perintah Tuhannya, jodoh dan kerjanya pasti luar biasa..” Kata ayah dengan
senyum yang sangat indah, senyum yang sangat mendamaikan dada.
Aku mengangguk mengiyakan. Meski belum bisa membayangkan
bagaimana aku besok. Tapi aku percaya, ayah pasti memberikan yang terbaik untuk
anak-anaknya. Semalam suntuk aku mencoba berkawan dengan pikiran-pikiran buruk
tentang apa kata teman-temanku besok. Mencoba berdamai dengan perasaan sendiri,
sebab tak ingin membuat ayah kecewa.
Aku membuka lembar-lembar buku yang diberi ayah. Selembar
demi selembar. Dan entah apa yang menarikku. Dalam satu malam, satu buku telah
kulahap dengan halaman yang dua ratus lebih. Kalau saja bukan karena kantuk dan
letih, aku ingin habiskan bukunya yang satu lagi.
Tapi satu buku saja telah memberiku pengetahuan baru.
Pemahaman yang baru. Selama ini, islamku ternyata masih kacang-kacangan. Masih
tingkat teri. Boncengan dengan lawan jenis saja ternyata tidak boleh. Kecuali
ada urusan yang darurat. Salaman saja dilarang, apalagi pacaran, yang tempat
setan dapat kenyang.
Selama ini, maksiatku ternyata begitu penuh. Dari kecil
belajar agama. Tapi sampai menjadi mahasiswa, menutup aurat saja belum khatam. Kakiku
tiba-tiba terasa nyeri. Dadaku sesak. Utuh malam itu, untuk pertama kali, aku
benar-benar takut mati. Takut Allah tak lagi memberi kesempatan untuk esok, aku
bisa mengubah pribadi.
Aku mengucap syukur berulang-ulang. Dari ayah hidayah itu
singgah. Dan apalagi setelah ingin hijrah selain istiqomah? Aku ingat tadi
pesan ayah sebelum aku tidur, ayah singgah ke kamarku. “Najuh itu teman yang
sangat baik. Meski tanpa Eros ceritakan pun, Ayah percaya dia anak yang baik…”
“…Tapi, dia belum menjadi lelaki muslim yang baik, jika
masih berani membonceng perempuan yang tak halal untuknya. Niatnya memang baik.
Tapi, niat yang baik harus dibarengi cara yang baik pula, agar Allah ridho. Itu
syarat Allah ridho, Sayang.. Pahamkan?...”
Aku mengangguk. Tanda seutuhnya setuju.
“Carilah sahabat perempuan. Sahabat yang bukan hanya untuk
dunia, tapi surga. Akhirat, sayang..” Begitu mendengar kalimat ayah,
melayanglah pikiranku kepada sosok Sara, teman sekelasku yang sangat disegani
di kelas yang tak pernah kulihat atau kutahu bergaul terlalu akrab dengan
laki-laki.
Malam itu, banyak hal yang telah kurancang. Banyak hal yang telah
kurencanakan. Satu diantaranya adalah mendekati Sara. Sara pasti sangat senang
dan dengan baik hatinya, pasti akan membantu dan mau dekat denganku. Sebab,
sebelum-sebelumnya Sara memang sudah sering mengajakku ikut pengajian. Mengajakku
untuk memakai busana yang sesuai syariat. Tapi memang aku lebih banyak tidak
sempatnya ketimbang sempat. Lebih banyak berpikir nanti-nanti. Dua tahun atau
beberapa tahun lagi saja, akan pakai busana syar’i.
Ternyata Allah punya rencana lain. Belum sampai dua tahun,
aku harus mantap untuk memakainya. Mungkin, rasa ingin dari sebelumnya lebih
memudahkanku untuk siap menerima ajakan ayah, ajakan Sara. Ya, rasa ingin.
Niat.
***
Hari
pertama aku memakai busana syari’at. Yang sialnya, aku malah telat.
Habislah dilihat teman-teman sekelas dan dosen yang mengajar. Penampilan yang
benar-benar berbeda. Tapi, mengingat senyum ayah yang mengantarku ke kampus
barusan, hilanglah rasa kikukku.
Setelah dosen selesai mengajar,
“Eros.. cie.. Udah kayak Sara ah. Kok bisa sih Eros?” Ledek Widi yang padahal dia
ingin sebenarnya begini. Hanya masih belum bisa. Begitu alasannya waktu itu.
“Masya Allah, Eros cantik bener. “
“Eros, seneng lihat Eros yang baru.
Kayak perempuan.”(aku memang perempuan -_-)
“Udah
nggak tomboy lagi ceritanya?”
“Baju dimasukinnya dikemanain, Ros?”
“Eros udah nggak mau gaul lagi nih? Alhamdulillah..”
Dan bla..bla..bla.. masih banyak
lagi komentar-komentar yang lain. Alhamdulillah, belum ada komentar yang buruk.
Teman-teman sepertinya ikut senang dan mendukung.
“Eros, istiqomah ya.” Hanya kalimat
Sara yang seperti ini. Katanya dengan sangat ramah dan tulus.
“Insya Allah. Makasih ya, Ra.”
“Sama-sama, Ros. Berarti minggu ini
ikut kajian lagi, kan?” Sara semringah
“Insya Allah, ntar pergi bareng ya..”
“Sip. Insya Allah. Kalau gitu, Sara
duluan ya. Ada syuro sekarang.
"Assalamualaikum..” Sara berlalu dengan senyum terkembang.
“Waalaikumsalam..” Hamdalah, rasanya
begini, jauh lebih nyaman.
Daritadi sebenarnya yang paling kutunggu adalah reaksi dari
Najuh. Tapi sampai mata kuliah semuanya selesai pun, Najuh tak menunjukkan
apa-apa. Kulihat dia masih asyik ngobrol dengan Reza dan Amar. Asyik sekali.
Seperti tidak sadar, aku berada di barisan kursi seberangnya.
Tadi aku telat, Najuh ternyata jauh
lebih telat. Tidak seperti biasanya. Alasannya pada dosen, ban sepeda motornya
bocor. Dan aku utuh percaya. Yang kutahu, Najuh tak pernah berbohong, meski
sedikitpun. Pak Dosen yang mengenal Najuh pun percaya. Kebetulan Pak dosen yang
satu ini, andalannya jatuh pada Najuh. Relator kelas hanya tinggal jabatan di
pangkuan Reza dengan Pak Dosen ini.
Padahal, jika mahasiswa lain. Pasti sudah dikeluarkan.
Bayangkan saja, Najuh telat satu jam. Batasnya itu lima belas menit. Dan aku
tadi telat 5 menit. “Alasannya masuk akal.” Begitu saja Pak Dosen beralasan
tanpa ada pertanyaan dari kami. Seperti sudah tahu, bahwa dalam hati kami, kami
butuh alasan untuk membolehkan Najuh untuk masuk. Sebab selama ini, peraturan
beliau sangat ketat.
Aku sengaja menunggu Najuh untuk
menemuiku. Tapi, kutunggu-tunggu ternyata Najuh tak juga duduk di sebelahku seperti
biasanya. Dan semenjak sepakat bersahabat, baru kali ini, salah satu diantara
kami yang lebih dulu hadir, tidak menyediakan kursi untuk yang telat datang.
Aku. Akulah yang lebih dulu hadir. Dan
aku yang memang sengaja tidak menyediakan kursi untuknya di sebelahku. Padahal,
ini kali pertama Najuh telat setelah tiga semester lebih. Dan ketelatanku malah
tidak terhitung. Meski tidak duduk di sebelahnya, Najuh akan memesankan kursi
untukku pada teman yang lain, agar aku duduk di sebelah teman yang
dipesankannya. Agar aku tidak lelah mencari kursi ke kelas lain. Atau jika pun
sesekali kursi kurang. Najuh yang mencari kursi ke kelas lain untukku.
Pokoknya, sebelum aku hadir, kursi selalu sudah ada untukku.
Meski sebenarnya, tingkahnya tidak hanya untukku. Waktu itu
Sara pernah telat dan tidak ada kursi. Najuh rela berdiri, menyuruh Sara duduk
di tempatnya dan dia permisi keluar. Bahkan Reza sekalipun sering telat, dan
Najulah yang satu-satunya berdiri. Merelakan kursinya untuk Reza yang ngos-ngosan habis berlari takut telat. Dan
Najuh pergi keluar mencari kursi. Widi juga pernah telat, lagi-lagi Najuh yang
merelakan kursinya.
Hingga akhirnya, setiap pagi diam-diam, Najuh sering
menghitung kursi di dalam kelas. Aku tahu. Tapi, Najuh tak pernah ingin memberi
tahu apa yang sedang dikerjakannya. Sebenarnya, bukan kampus kami yang minim
kursi . Jumlah mahasiswa setelah kelas kami lebih banyak ketimbang jumlah kami.
Jadi, Najuhlah yang setiap hari menghitung kursi agar sesuai dengan banyaknya
kami.
Entah kenapa, tiba-tiba ada perasaan aneh setelah aku
menyadari itu semua. Menyadari kursi-kursi itu. Menyadarinya setelah Najuh yang
hari ini tidak juga menegurku, yang padahal dudukku, hanya sekitar dua meter
darinya. Perasaanku entah kenapa tiba-tiba semakin gundah.
Aku mengalah dengan perasaanku sendiri. Aku berdiri.
Mengajak Lina yang dari tadi baik hati menemaniku duduk di kelas. Sebab tak
ingin perempuan sendiri. Maka kuajak Lina. Mungkin nanti-nanti bisa kujelaskan
pada Najuh. Atau ya nanti saja, kalau Najuh bertanya.
***
Ternyata aku salah, tepat sebulan
aku istiqomah dengan busana syari’at. Najuh juga tidak menegurku, apalagi menanyaiku
kenapa aku bisa berubah. Hanya tersenyum atau menegur biasa saja ketika tak
sengaja bertemu muka atau berpapasan di luar kelas.
Setelah aku pikir-pikir, cocok saja
kalau begitu. Aku memang ingin menjaga jarak dengan Najuh. Jadi, dia yang sudah
sebulan ini tidak ada menegurku, maka sebenarnya sudah ikut mendukung
rencanaku. Menjaga interaksi dengan laki-laki. Seperti nasehat ayah selalu
semenjak aku berubah. “Tidak perlu
berhubungan dengan teman laki-laki jika tidak ada kepentingan ya, Sayang..”
Tapi, sungguh. Sungguh sebulan ini.
aku merasa rasa yang benar-benar…entahlah. Tiba-tiba aku malu mengakuinya. Malu
pada busanaku yang sudah begini. Malu pada ayah, jika ayah tahu. Padahal
sebelum-sebelumnya, aku tak pernah merahasiakan apapun pada ayah. Terlebih-lebih
malu pada Allah, yang telah Maha Baik memberi hidayah. Meski maksiatku lebih
banyak ketimbang berat timbangan kanan.
Awalnya aku berpikir, mungkin ini
perlu pembiasaan saja. Yang sebelumnya Najuh benar-benar mengisi. Kini Najuh
benar-benar pergi. Menjauh. Seperti sudah tahu apa yang kuinginkan. Padahal,
aku belum menjelaskan apapun. Dan harusnya aku tidak perlu gundah ketika Najuh menjauhiku.
Tapi, aku merasa bersalah dan ada sesuatu yang mengangguku.
***
Dua bulan kemudian, tepat
setelah Najuh (terakhir kalinya) mengantarku pulang dan kemudian menolak halus
untuk singgah makan siang di rumah, sebab akan bermain futsal reuni bersama
teman SMAnya.
Aku sudah pulang dari kampus, turun dari angkutan,
berlari-lari dari ujung gang menuju rumahku. Akhir-akhir ini, hidupku tiba-tiba
penuh entah. Tiba-tiba penuh tanya “mengapa?”. Tiba-tiba semua serasa beda,
terasa benar-benar rasa.
Sangkin sedihnya, aku tidak lagi mengucap
salam. Membuka pintu depan dan langsung menghambur ke kamar. Seisi rumah habis
keheranan. Mana pernah anak gadis ayah, tiba-tiba pulang seperti orang yang tak
pernah diajarkan sopan santun.
Dan ternyata hanya ada ayah. Hanya ada
ayah sendirian di rumah yang menyaksikan tingkah kurang ajarku. Waktu aku masuk
tiba-tiba ke rumah, ayah sedang mengaji di ruang tengah. Kamarku yang dekat
dengan ruang tengah bisa mendengar sekilas suara ayah.
Ayah kaget. Terdiam sejenak melihat
tingkahku. Lalu, selang 5 menit, mengetuk pintu yang kubiarkan terbuka.
“Boleh Ayah masuk?” (ini kalimat tanya meminta izin rutin
ayah, jika akan masuk ke kamar anak-anaknya. Ah, ayah. Begitu rendah hatinya)
Aku mengangguk. Sambil terus (masih)
terisak. Rasanya sakit sekali. Perih. Sampai harus tersedu-sedu begini.
Ayah duduk di samping kiriku; yang
aku duduk di ujung kiri kasur. “Menangislah, Sayang.. Apapun yang membuat Eros
menangis hari ini, menangislah.. Nanti jika sudah selesai, baru bagikan pada
Ayah, apa atau siapa yang membuat anak gadis Ayah menangis..” (lagi-lagi, ini
kalimat rutin ayah, jika ketahuan aku menangis) dan kali ini, aku memang
sengaja tak menyimpannya lebih dulu. Aku ingin ayah cepat tahu.
Ayah menaruh kepalaku di atas
dadanya. Tangan kanannya memeluk bahu kananku. Sambil mengusap-ngusap kepalaku
yang masih berbalut jilbab hitam panjang.
2
menit.. 3 menit.. 5 menit…
Tenagaku mulai lelah.
“Najuh, Yah. Hiks.. Hiks.. Najuh…
Najuh… Hiks.. Najuh tega, Yah..”
Ayah terdiam sejenak. Membuat aku
ikut diam.
Lalu, ayah mulai bersuara, mulai
bertanya. “Najuh tega kenapa, Sayang..?”
“Tadi.. Hiks… Eros di perpus dan
Najuh juga di situ. Kita.. Hiks.. Kita saling kaget karena ketemu di perpus…..”
Aku terdiam. Mencoba mengembalikan
suaraku yang sumbang.
“Eros.. Eros coba… Eros
mencoba…mencoba untuk menegur Najuh. Tapi.. Tapi.. Najuh hanya diam, Yah.. Eros
tahu, dia tahu Eros negur dia.. Karena kita saling lihat.. Tapi Najuh hanya
diam, Yah.. Terus tiba-tiba pergi.. Teman-teman sekelas yang lagi sama Najuh….
Sampai heran dengan tingkah Najuh…”
“…Dan nggak hanya itu, Yah… Dua kali
kita satu kelompok.. Dua kali juga Najuh undur diri dari kelompok yang ada
Eros… Najuh memilih kelompok yang lain, Yah..” Aku berusaha terus menahan
tangis. Agar tak ada sisa dari kisah pedih ini yang terlewat saat kuceritakan pada
Ayah.
“…Dan.. Dan.. seminggu ini.. Najuh
sedikitpun nggak pernah… Nggak pernah tegur Eros lagi… Walau
hanya sekadar senyum sedikit.. Nggak pernah lagi, Yah.. Apa salah Eros, Yah..?
Apa Eros salah dengan busana yang seperti ini? Eros.. Eros.. Eros rasanya sedih
sekali, Yah..” Air mata dan sesakku tumpah dan pecah lagi. Sama sekali tak
dapat kutahan. Entah kenapa, perubahan sikap Najuh membikin aku sedih
sedemikian ini. Padahal aku yang berubah, kenapa pula berdampak besar terhadap
perubahan tingkah Najuh juga.
“Sstt… Busana Eros sama sekali nggak pantas disalahkan, Sayang.. Insya
Allah, busana muslimah Eros ini sudah benar, sudah sesuai dengan syari’at,
sesuai dengan perintah Allah kita.. “
“Sayang… dengar Ayah.. Allah tidak
akan membiarkan Eros hidupnya mulus, pasti ada kelokannya, ada ujiannya.
Apalagi setelah Eros ingin berubah, hijrah menuju arah yang lebih baik.. Allah mau lihat, apa Eros sungguh-sungguh
hijrahnya? Sungguh-sungguh berubahnya?.. Sungguh-sungguh niat karena Allah…? ”
“..Tau nggak sayang, kita itu sering dapat ujian, dari
orang-orang terdekat kita.. Nah, mungkin yang lain, ujiannya dari keluarganya.
Merasa anak atau saudaranya menjadi teroris jika berpakaian yang syar’i.
Sedangkan Eros, keluarga mendukung, teman-teman juga nggak ada yang meledek.
Tapi, ujian Eros malah hadir melalui sahabat terdekat dulu. Eros waktu itu berapa tahun bersahabat dengan
Najuh?” Ayah menatapku. Bertanya dengan sangat halus.
“Tiga semester, Yah..” Jawabku pendek.
“Sekarang baru beberapa bulan semester empat, kan? Berarti, sekitar
satu setengah tahun ya udah bersahabat dengan Najuh? Dan itu bukan waktu yang
sebentar untuk kalian yang hampir setiap hari bertemu.. Hampir setiap hari
kemana-mana bersama.. Itu hal yang wajar, Sayang.. Kalau kalian tiba-tiba
merasa lain, ketika dua bulan ini kalian tidak berhubungan..” Sebelumnya, aku
memang sudah menceritakan pada Ayah, bahwa aku tidak lagi akrab dengan Najuh.
Ayah menatapku. Lekat. Sepasang bola mata ayah seperti ingin
menempel dengan sepasang bola mataku. “Coba Eros hitung, Sayang.. Berapa tahun
sudah baligh?”
Aku masih menatap ayah. Aku terdiam. “Eros, coba hitung,
Sayang..” Pinta ayah lagi sebab aku tak bereaksi. Aku
mengingat pertama kali mendapatkan tanda kedewasaan untuk seorang perempuan
itu. Waktu itu usiaku 13 tahun, kelas 2 Tsanawiyah, bahkan aku masih ingat
tanggalnya, 13 Oktober 2008. Untuk pertama kalinya kudapati itu di sekolah saat
buang air kecil. Lalu kebingungan. Dan memanggil Sasa temanku yang lebih dulu
berpengalaman. Dan Sasalah orang yang berjasa membantuku.
Aku menghitung.. “Sekitar
5 tahun setengah, Yah..”
“Berarti hampir enam tahun, kan. Baik kita genapkan saja
menjadi enam tahun. Masa hijrah Eros baru dua bulan.. sedang selama 6 tahun
Ayah harus menanggung dosa sebab Ayah membiarkan Eros tak menutup aurat dengan
penuh dan Ayah biarkan akrab dengan teman laki-laki, meski hanya bersahabat,
tak pernah ayah tahu Eros berani berpacaran. Tapi tetap sama saja dengan
bersahabat itu sebenarnya keharamannya, kan?...”
“…Enam tahun, Sayang.. Dan kita membayarnya baru dengan dua
bulan. Ketika kita bisa bertahan dalam maksiat, kenapa kita tidak bisa meredam
nafsu untuk taat?”
“Selama satu setengah tahun ayah menanggung dosa, membiarkan
Eros akrab dengan orang yang tidak halal. Dan baru dua bulan, keakraban itu
dengan izin Allah benar-benar musnah. Baru dua bulan kita membayarnya, Sayang..
Dua bulan dibanding enam tahun.. atau satu setengah tahun itu.. Jauh sekali.. Jauh
sekali…” Kini, kulihat giliran mata ayah yang penuh air.
“Maafkan Ayah, Nak.. Ayah belum menjadi Ayah yang baik. Hati
Ayah pedih melihat Eros tadi menangis, terbata-bata menyampaikan kesedihan
Eros.. Dan itu karena kesalahan Ayah, karena.. Lalainya Ayah…”
“…Maafkan Ayah, Nak.. Maafkan…” Ayah kembali menangis lagi.
Menutup matanya dengan tangan kanannya. Suaranya kudengar sangat sesal,
mengeluarkan sesak-sesak yang gempal.
“Bukan, salah Ayah.. Ini salah Eros…” Tangan kiriku mengusap
bahu Ayah. Melihat giliran ayah yang menangis, rasanya sangat menyesal.
“Ayah pikir.. Selama ini, Ayah sudah menjadi Ayah yang baik,
Ayah yang hebat untuk kalian. Tapi ternyata tidak. Masih jauh sekali.. Jauh
sekali…”
***
Nanti
lanjut lagiiiii! ^^
Eh,
Selamat pagiiii! Jangan lupa sarapan nasi…!! Nasi woy nasiii!!! *maksa*
No comments:
Post a Comment