Sunday, September 6, 2015

Hujan Sore - Part 2 (Sebab Cinta tak Hanya Sekadar Rasa, Tapi Ibadah)



Dan setelah sebulan ini, untuk pertama kalinya Sara mematikan sepeda motornya. Mengangguk tersenyum tanda setuju. Memarkirkan sepeda motor di garasi rumah dan masuk bersama menyantap makan siang. Nge-lunch. Tiba-tiba ada perasaan rindu mendengar kata yang diucapkan laki-laki “sok keren” itu.

Nahhhh, itu yang di atas paragraf terakhir Hujan Sore - Part 1nya. Sekarang yuk lanjut ke part-2nya. (Eh, yang belum baca part-1nya, dilarang lanjut! Gih pegi baca dulu part-1 nyaakkk :D! Biar nyambung) 

Drum drummmmm.. *eh apa ini?!*  #oke #abaikan.
Check it out! Happy reading!  ^.^
                                                                            ***

             Sebulan yang lalu, tepat setelah Najuh mengantarku pulang dan kemudian menolak halus untuk singgah makan siang di rumah, sebab akan bermain futsal reuni bersama teman SMAnya. Ketika aku telah di kamar dan selesai berganti pakaian. Ayah mengetuk pintuku yang dikunci.
          
          “Boleh Ayah masuk?”

Aku menyahut mengiyakan serta membukakan pintu. Lalu ayah masuk. Duduk dengan tenang di kursi kayu depan kasurku. Ternyata wajah ayah tak setenang tingkahnya. Rautnya tampak lelah. Tapi, aku bisa melihat perubahan wajah Ayah. Jauh lebih damai daripada sebelum-sebelumnya.

“Eros.., Lapar ya? Sebentar ya. Ayah mau ngomong. Penting. Sangat penting. Bolehkan?” Tanya ayah halus.

“Tentu boleh, Yah.” Aku mendekat. Duduk di kasur dan berhadapan dengan tubuh ayah.

“Selama ini, Alhamdulillah kehidupan kita jauh lebih baik ketimbang Eros SD dulu. Ayah bisa membelikan apa yang Eros mau. Dan Eros dengan baik budi membalas itu semua dengan patuh pada ayah dan ibu dan banyak prestasi-prestasi yang Eros raih. Shalat Eros semenjak SMP juga sudah penuh lima waktu. Dan semenjak itu pula, sudah pakai jilbab jika keluar rumah…”

“Eros, anak Ayah, yang sangat Ayah sayang. Sayangkan sama Ayah?” Tanya ayah penuh harap. Matanya kutatap penuh asa.

“Ya, sayang dong, Yah!. Saaaaangat sayaaang! Sebesar apapun benda di dunia ini, tak akan ada yang menyamainya.” Kataku sungguh-sungguh meski terdengar seperti merayu.

Ayah tertawa pelan, “Makasih ya, sayang. Kalau begitu… Ini, pakailah!” Ayah menyodorkan sesuatu padaku. Yang dari tadi entah karena apa sama sekali tidak kusadari, ada yang ayah bawa di tangannya.

Aku menerima kantung plastik yang diberi ayah. Kubuka dan entah apa rasanya ketika aku tahu isi di dalamnya.

“Ayah membelinya barusan. Masih hanya sepasang. Takut nggak pas sama Eros. Jadi setelah ini, setelah kamu makan siang. Kita beli secukupnya untuk dipakai sehari-hari, ke kampus ataupun jika keluar rumah ya.” Ayah tersenyum. Kutatap kembali matanya semakin penuh asa.

Selembar gamis berwarna hijau muda dan jilbab panjang berwarna hijau tua serta sepasang kaus kaki berwarna hijau yang lebih muda dibanding warna gamisnya; warna kesukaanku. Dan dua buah buku tentang tuntunan menjadi wanita shaleha.

“Eros nggak akan maukan Ayah masuk neraka?” Tanya ayah dengan suara gemetar.

Aku yang masih merasa surprise terdiam. Lalu cepat menggeleng.

Nggak ada gunanya hidup Ayah, Nak. Kalau bisa membelikan Eros gadget terbaru, menguliahkan Eros, meleskan Eros ini itu. Tapi tak pernah membelikan baju yang sesuai syari’at agama kita untuk putri satu-satunya…”

“Nak, maafkan Ayah.. Tolong tulus maafkan Ayah… Baru ini Ayah membelikan Eros baju yang dapat menutup seluruh aurat Eros. Ajal pasti menanti. Entah ayah entah Eros yang duluan pergi. Tanggungan Ayahlah atas aurat Eros, Sayang..” Kulihat raut ayah penuh sesal, penuh asa.

“Eros.. sayangkan sama Ayah? Eros sudah penuh shalat, sudah lancar mengaji, dari kecil sudah diajarkan ilmu agama sampai sekarang. Tapi.. Ayah masih lalai tentang aurat Eros, tentang pergaulan Eros.. Jadi, ikhlas ya, Sayang.. Bantu Ayah untuk tak susah melihat wajah Allah kita.. untuk tak sia-sia hidup di dunia yang sementara…” Raut ayah mulai berubah. Lebih sesal, dan matanya mulai penuh sesuatu; air mata.

“Tinggalkan gaya tomboy Eros mulai saat ini ya.., tinggalkan celana jeans Eros, meski kini sudah lebih baik karena kuliah selalu pakai rok. Tinggalkan jilbab pendek dan transparan Eros, tinggalkan berhubungan dengan teman laki-laki jika tak ada kepentingan. Mulai pakai kaus kaki. Dibaca buku yang Ayah beri, harus tahu siapa saja yang pantas melihat aurat Eros…”

“…Ayah tak rela, tak rela, Nak.. Aurat anak Ayah bisa dinikmati siapa saja.. Maafkan Ayah, Nak.. Maafkan Ayah..” Kini, tumpahlah air mata ayah. Basah di wajahnya. Aku tak pernah melihat ayah menangis. Sama sekali tidak pernah. Ayah hanya selalu terharu tanpa air mata saja, jika aku pulang membawa piala. Hatiku tiba-tiba rusuh. Benar-benar kisruh.
***

Saat ayah menangis tadi. Aku tidak menjawab apa-apa. Aku hanya memeluk ayah. Memeluk ayah dengan sangat erat. Mengucapkan terima kasih pada ayah. Mengucapkan rasa syukur pada Allah. Sebab, diberi ayah yang luar biasa.

Aku hanya menurut, ketika selesai makan siang pergi belanja keperluan yang syari’at. Meski malamnya, aku harus kalut luar biasa. Ayah berulang-ulang bilang sebelum pergi berbelanja dan saat makan siang. “Baju barunya dipakai ya, Eros sayang..” Dan tambah berulang-ulang setelah pulang berbelanja serta diselipi nasehat lagi.

“Jangan pernah takut nggak dapat kerja dan nggak dapat jodoh dengan baju syari’at Eros ya. Yang beri jodoh dan kerja bukan manusia. Kalaupun nggak ada jodoh dan kerja. Itu pasti jodoh dan kerja yang biasa. Sebab untuk wanita sholeha yang mendahulukan perintah Tuhannya, jodoh dan kerjanya pasti luar biasa..” Kata ayah dengan senyum yang sangat indah, senyum yang sangat mendamaikan dada.  
   
Aku mengangguk mengiyakan. Meski belum bisa membayangkan bagaimana aku besok. Tapi aku percaya, ayah pasti memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Semalam suntuk aku mencoba berkawan dengan pikiran-pikiran buruk tentang apa kata teman-temanku besok. Mencoba berdamai dengan perasaan sendiri, sebab tak ingin membuat ayah kecewa.

Aku membuka lembar-lembar buku yang diberi ayah. Selembar demi selembar. Dan entah apa yang menarikku. Dalam satu malam, satu buku telah kulahap dengan halaman yang dua ratus lebih. Kalau saja bukan karena kantuk dan letih, aku ingin habiskan bukunya yang satu lagi.

Tapi satu buku saja telah memberiku pengetahuan baru. Pemahaman yang baru. Selama ini, islamku ternyata masih kacang-kacangan. Masih tingkat teri. Boncengan dengan lawan jenis saja ternyata tidak boleh. Kecuali ada urusan yang darurat. Salaman saja dilarang, apalagi pacaran, yang tempat setan dapat kenyang.

Selama ini, maksiatku ternyata begitu penuh. Dari kecil belajar agama. Tapi sampai menjadi mahasiswa, menutup aurat saja belum khatam. Kakiku tiba-tiba terasa nyeri. Dadaku sesak. Utuh malam itu, untuk pertama kali, aku benar-benar takut mati. Takut Allah tak lagi memberi kesempatan untuk esok, aku bisa mengubah pribadi.

Aku mengucap syukur berulang-ulang. Dari ayah hidayah itu singgah. Dan apalagi setelah ingin hijrah selain istiqomah? Aku ingat tadi pesan ayah sebelum aku tidur, ayah singgah ke kamarku. “Najuh itu teman yang sangat baik. Meski tanpa Eros ceritakan pun, Ayah percaya dia anak yang baik…”

“…Tapi, dia belum menjadi lelaki muslim yang baik, jika masih berani membonceng perempuan yang tak halal untuknya. Niatnya memang baik. Tapi, niat yang baik harus dibarengi cara yang baik pula, agar Allah ridho. Itu syarat Allah ridho, Sayang.. Pahamkan?...”

Aku mengangguk. Tanda seutuhnya setuju.

“Carilah sahabat perempuan. Sahabat yang bukan hanya untuk dunia, tapi surga. Akhirat, sayang..” Begitu mendengar kalimat ayah, melayanglah pikiranku kepada sosok Sara, teman sekelasku yang sangat disegani di kelas yang tak pernah kulihat atau kutahu bergaul terlalu akrab dengan laki-laki.

Malam itu, banyak hal yang telah kurancang. Banyak hal yang telah kurencanakan. Satu diantaranya adalah mendekati Sara. Sara pasti sangat senang dan dengan baik hatinya, pasti akan membantu dan mau dekat denganku. Sebab, sebelum-sebelumnya Sara memang sudah sering mengajakku ikut pengajian. Mengajakku untuk memakai busana yang sesuai syariat. Tapi memang aku lebih banyak tidak sempatnya ketimbang sempat. Lebih banyak berpikir nanti-nanti. Dua tahun atau beberapa tahun lagi saja, akan pakai busana syar’i.

Ternyata Allah punya rencana lain. Belum sampai dua tahun, aku harus mantap untuk memakainya. Mungkin, rasa ingin dari sebelumnya lebih memudahkanku untuk siap menerima ajakan ayah, ajakan Sara. Ya, rasa ingin. Niat.
***
         
           Hari pertama aku memakai busana syari’at. Yang sialnya, aku malah telat. Habislah dilihat teman-teman sekelas dan dosen yang mengajar. Penampilan yang benar-benar berbeda. Tapi, mengingat senyum ayah yang mengantarku ke kampus barusan, hilanglah rasa kikukku.
Setelah dosen selesai mengajar,
            
 “Eros.. cie.. Udah kayak Sara ah. Kok bisa sih Eros?” Ledek Widi yang padahal dia ingin sebenarnya begini. Hanya masih belum bisa. Begitu alasannya waktu itu.
            
 “Masya Allah, Eros cantik bener. “
             
“Eros, seneng lihat Eros yang baru. Kayak perempuan.”(aku memang perempuan -_-)
            
 Udah nggak tomboy lagi ceritanya?”
            
 “Baju dimasukinnya dikemanain, Ros?”
            
 “Eros udah nggak mau gaul lagi nih? Alhamdulillah..”
            
      Dan bla..bla..bla.. masih banyak lagi komentar-komentar yang lain. Alhamdulillah, belum ada komentar yang buruk. Teman-teman sepertinya ikut senang dan mendukung.
            
          “Eros, istiqomah ya.” Hanya kalimat Sara yang seperti ini. Katanya dengan sangat ramah dan tulus.
            
 “Insya Allah. Makasih ya, Ra.”
            
 “Sama-sama, Ros. Berarti minggu ini ikut kajian lagi, kan?” Sara semringah
            
 “Insya Allah, ntar pergi bareng ya..”

 “Sip. Insya Allah. Kalau gitu, Sara duluan ya. Ada syuro sekarang. 

"Assalamualaikum..” Sara berlalu dengan senyum terkembang.
             
“Waalaikumsalam..” Hamdalah, rasanya begini, jauh lebih nyaman.

Daritadi sebenarnya yang paling kutunggu adalah reaksi dari Najuh. Tapi sampai mata kuliah semuanya selesai pun, Najuh tak menunjukkan apa-apa. Kulihat dia masih asyik ngobrol dengan Reza dan Amar. Asyik sekali. Seperti tidak sadar, aku berada di barisan kursi seberangnya.
             
         Tadi aku telat, Najuh ternyata jauh lebih telat. Tidak seperti biasanya. Alasannya pada dosen, ban sepeda motornya bocor. Dan aku utuh percaya. Yang kutahu, Najuh tak pernah berbohong, meski sedikitpun. Pak Dosen yang mengenal Najuh pun percaya. Kebetulan Pak dosen yang satu ini, andalannya jatuh pada Najuh. Relator kelas hanya tinggal jabatan di pangkuan Reza dengan Pak Dosen ini.

Padahal, jika mahasiswa lain. Pasti sudah dikeluarkan. Bayangkan saja, Najuh telat satu jam. Batasnya itu lima belas menit. Dan aku tadi telat 5 menit. “Alasannya masuk akal.” Begitu saja Pak Dosen beralasan tanpa ada pertanyaan dari kami. Seperti sudah tahu, bahwa dalam hati kami, kami butuh alasan untuk membolehkan Najuh untuk masuk. Sebab selama ini, peraturan beliau sangat ketat.
            
          Aku sengaja menunggu Najuh untuk menemuiku. Tapi, kutunggu-tunggu ternyata Najuh tak juga duduk di sebelahku seperti biasanya. Dan semenjak sepakat bersahabat, baru kali ini, salah satu diantara kami yang lebih dulu hadir, tidak menyediakan kursi untuk yang telat datang.
            
         Aku. Akulah yang lebih dulu hadir. Dan aku yang memang sengaja tidak menyediakan kursi untuknya di sebelahku. Padahal, ini kali pertama Najuh telat setelah tiga semester lebih. Dan ketelatanku malah tidak terhitung. Meski tidak duduk di sebelahnya, Najuh akan memesankan kursi untukku pada teman yang lain, agar aku duduk di sebelah teman yang dipesankannya. Agar aku tidak lelah mencari kursi ke kelas lain. Atau jika pun sesekali kursi kurang. Najuh yang mencari kursi ke kelas lain untukku. Pokoknya, sebelum aku hadir, kursi selalu sudah ada untukku.

Meski sebenarnya, tingkahnya tidak hanya untukku. Waktu itu Sara pernah telat dan tidak ada kursi. Najuh rela berdiri, menyuruh Sara duduk di tempatnya dan dia permisi keluar. Bahkan Reza sekalipun sering telat, dan Najulah yang satu-satunya berdiri. Merelakan kursinya untuk Reza yang ngos-ngosan habis berlari takut telat. Dan Najuh pergi keluar mencari kursi. Widi juga pernah telat, lagi-lagi Najuh yang merelakan kursinya.

Hingga akhirnya, setiap pagi diam-diam, Najuh sering menghitung kursi di dalam kelas. Aku tahu. Tapi, Najuh tak pernah ingin memberi tahu apa yang sedang dikerjakannya. Sebenarnya, bukan kampus kami yang minim kursi . Jumlah mahasiswa setelah kelas kami lebih banyak ketimbang jumlah kami. Jadi, Najuhlah yang setiap hari menghitung kursi agar sesuai dengan banyaknya kami.

Entah kenapa, tiba-tiba ada perasaan aneh setelah aku menyadari itu semua. Menyadari kursi-kursi itu. Menyadarinya setelah Najuh yang hari ini tidak juga menegurku, yang padahal dudukku, hanya sekitar dua meter darinya. Perasaanku entah kenapa tiba-tiba semakin gundah.

Aku mengalah dengan perasaanku sendiri. Aku berdiri. Mengajak Lina yang dari tadi baik hati menemaniku duduk di kelas. Sebab tak ingin perempuan sendiri. Maka kuajak Lina. Mungkin nanti-nanti bisa kujelaskan pada Najuh. Atau ya nanti saja, kalau Najuh bertanya.
***
            
        Ternyata aku salah, tepat sebulan aku istiqomah dengan busana syari’at. Najuh juga tidak menegurku, apalagi menanyaiku kenapa aku bisa berubah. Hanya tersenyum atau menegur biasa saja ketika tak sengaja bertemu muka atau berpapasan di luar kelas.
            
          Setelah aku pikir-pikir, cocok saja kalau begitu. Aku memang ingin menjaga jarak dengan Najuh. Jadi, dia yang sudah sebulan ini tidak ada menegurku, maka sebenarnya sudah ikut mendukung rencanaku. Menjaga interaksi dengan laki-laki. Seperti nasehat ayah selalu semenjak aku berubah. “Tidak perlu berhubungan dengan teman laki-laki jika tidak ada kepentingan ya, Sayang..”
             
      Tapi, sungguh. Sungguh sebulan ini. aku merasa rasa yang benar-benar…entahlah. Tiba-tiba aku malu mengakuinya. Malu pada busanaku yang sudah begini. Malu pada ayah, jika ayah tahu. Padahal sebelum-sebelumnya, aku tak pernah merahasiakan apapun pada ayah. Terlebih-lebih malu pada Allah, yang telah Maha Baik memberi hidayah. Meski maksiatku lebih banyak ketimbang berat timbangan kanan.
             
          Awalnya aku berpikir, mungkin ini perlu pembiasaan saja. Yang sebelumnya Najuh benar-benar mengisi. Kini Najuh benar-benar pergi. Menjauh. Seperti sudah tahu apa yang kuinginkan. Padahal, aku belum menjelaskan apapun. Dan harusnya aku tidak perlu gundah ketika Najuh menjauhiku. Tapi, aku merasa bersalah dan ada sesuatu yang mengangguku.
***
           
Dua bulan kemudian, tepat setelah Najuh (terakhir kalinya) mengantarku pulang dan kemudian menolak halus untuk singgah makan siang di rumah, sebab akan bermain futsal reuni bersama teman SMAnya.

Aku sudah pulang dari kampus, turun dari angkutan, berlari-lari dari ujung gang menuju rumahku. Akhir-akhir ini, hidupku tiba-tiba penuh entah. Tiba-tiba penuh tanya “mengapa?”. Tiba-tiba semua serasa beda, terasa benar-benar rasa.
            
          Sangkin sedihnya, aku tidak lagi mengucap salam. Membuka pintu depan dan langsung menghambur ke kamar. Seisi rumah habis keheranan. Mana pernah anak gadis ayah, tiba-tiba pulang seperti orang yang tak pernah diajarkan sopan santun.
            
      Dan ternyata hanya ada ayah. Hanya ada ayah sendirian di rumah yang menyaksikan tingkah kurang ajarku. Waktu aku masuk tiba-tiba ke rumah, ayah sedang mengaji di ruang tengah. Kamarku yang dekat dengan ruang tengah bisa mendengar sekilas suara ayah.
            
         Ayah kaget. Terdiam sejenak melihat tingkahku. Lalu, selang 5 menit, mengetuk pintu yang kubiarkan terbuka.

  “Boleh Ayah masuk?” (ini kalimat tanya meminta izin rutin ayah, jika akan masuk ke kamar anak-anaknya. Ah, ayah. Begitu rendah hatinya)
            
             Aku mengangguk. Sambil terus (masih) terisak. Rasanya sakit sekali. Perih. Sampai harus tersedu-sedu begini.
            
         Ayah duduk di samping kiriku; yang aku duduk di ujung kiri kasur. “Menangislah, Sayang.. Apapun yang membuat Eros menangis hari ini, menangislah.. Nanti jika sudah selesai, baru bagikan pada Ayah, apa atau siapa yang membuat anak gadis Ayah menangis..” (lagi-lagi, ini kalimat rutin ayah, jika ketahuan aku menangis) dan kali ini, aku memang sengaja tak menyimpannya lebih dulu. Aku ingin ayah cepat tahu.
            
          Ayah menaruh kepalaku di atas dadanya. Tangan kanannya memeluk bahu kananku. Sambil mengusap-ngusap kepalaku yang masih berbalut jilbab hitam panjang.

2 menit.. 3 menit.. 5 menit…
            
 Tenagaku mulai lelah.
            
 “Najuh, Yah. Hiks.. Hiks.. Najuh… Najuh… Hiks.. Najuh tega, Yah..”
            
 Ayah terdiam sejenak. Membuat aku ikut diam.
            
 Lalu, ayah mulai bersuara, mulai bertanya. “Najuh tega kenapa, Sayang..?”
            
 “Tadi.. Hiks… Eros di perpus dan Najuh juga di situ. Kita.. Hiks.. Kita saling kaget karena ketemu di perpus…..”
            
 Aku terdiam. Mencoba mengembalikan suaraku yang sumbang.
            
             “Eros.. Eros coba… Eros mencoba…mencoba untuk menegur Najuh. Tapi.. Tapi.. Najuh hanya diam, Yah.. Eros tahu, dia tahu Eros negur dia.. Karena kita saling lihat.. Tapi Najuh hanya diam, Yah.. Terus tiba-tiba pergi.. Teman-teman sekelas yang lagi sama Najuh…. Sampai heran dengan tingkah Najuh…”
            
            “…Dan nggak hanya itu, Yah… Dua kali kita satu kelompok.. Dua kali juga Najuh undur diri dari kelompok yang ada Eros… Najuh memilih kelompok yang lain, Yah..” Aku berusaha terus menahan tangis. Agar tak ada sisa dari kisah pedih ini yang terlewat saat kuceritakan pada Ayah.
             
            “…Dan.. Dan.. seminggu ini.. Najuh sedikitpun nggak pernah… Nggak pernah tegur Eros lagi… Walau hanya sekadar senyum sedikit.. Nggak pernah lagi, Yah.. Apa salah Eros, Yah..? Apa Eros salah dengan busana yang seperti ini? Eros.. Eros.. Eros rasanya sedih sekali, Yah..” Air mata dan sesakku tumpah dan pecah lagi. Sama sekali tak dapat kutahan. Entah kenapa, perubahan sikap Najuh membikin aku sedih sedemikian ini. Padahal aku yang berubah, kenapa pula berdampak besar terhadap perubahan tingkah Najuh juga.
            
           “Sstt… Busana Eros sama sekali nggak pantas disalahkan, Sayang.. Insya Allah, busana muslimah Eros ini sudah benar, sudah sesuai dengan syari’at, sesuai dengan perintah Allah kita.. “
            
            “Sayang… dengar Ayah.. Allah tidak akan membiarkan Eros hidupnya mulus, pasti ada kelokannya, ada ujiannya. Apalagi setelah Eros ingin berubah, hijrah menuju arah yang lebih baik..  Allah mau lihat, apa Eros sungguh-sungguh hijrahnya? Sungguh-sungguh berubahnya?.. Sungguh-sungguh niat karena Allah…? ”

 “..Tau nggak sayang, kita itu sering dapat ujian, dari orang-orang terdekat kita.. Nah, mungkin yang lain, ujiannya dari keluarganya. Merasa anak atau saudaranya menjadi teroris jika berpakaian yang syar’i. Sedangkan Eros, keluarga mendukung, teman-teman juga nggak ada yang meledek. Tapi, ujian Eros malah hadir melalui sahabat terdekat dulu.  Eros waktu itu berapa tahun bersahabat dengan Najuh?” Ayah menatapku. Bertanya dengan sangat halus.

“Tiga semester, Yah..” Jawabku pendek.

“Sekarang baru beberapa bulan semester empat, kan? Berarti, sekitar satu setengah tahun ya udah bersahabat dengan Najuh? Dan itu bukan waktu yang sebentar untuk kalian yang hampir setiap hari bertemu.. Hampir setiap hari kemana-mana bersama.. Itu hal yang wajar, Sayang.. Kalau kalian tiba-tiba merasa lain, ketika dua bulan ini kalian tidak berhubungan..” Sebelumnya, aku memang sudah menceritakan pada Ayah, bahwa aku tidak lagi akrab dengan Najuh.

Ayah menatapku. Lekat. Sepasang bola mata ayah seperti ingin menempel dengan sepasang bola mataku. “Coba Eros hitung, Sayang.. Berapa tahun sudah baligh?”

Aku masih menatap ayah. Aku terdiam. “Eros, coba hitung, Sayang..” Pinta ayah lagi sebab aku tak bereaksi. Aku mengingat pertama kali mendapatkan tanda kedewasaan untuk seorang perempuan itu. Waktu itu usiaku 13 tahun, kelas 2 Tsanawiyah, bahkan aku masih ingat tanggalnya, 13 Oktober 2008. Untuk pertama kalinya kudapati itu di sekolah saat buang air kecil. Lalu kebingungan. Dan memanggil Sasa temanku yang lebih dulu berpengalaman. Dan Sasalah orang yang berjasa membantuku.

Aku menghitung..  “Sekitar 5 tahun setengah, Yah..”

“Berarti hampir enam tahun, kan. Baik kita genapkan saja menjadi enam tahun. Masa hijrah Eros baru dua bulan.. sedang selama 6 tahun Ayah harus menanggung dosa sebab Ayah membiarkan Eros tak menutup aurat dengan penuh dan Ayah biarkan akrab dengan teman laki-laki, meski hanya bersahabat, tak pernah ayah tahu Eros berani berpacaran. Tapi tetap sama saja dengan bersahabat itu sebenarnya keharamannya, kan?...”

“…Enam tahun, Sayang.. Dan kita membayarnya baru dengan dua bulan. Ketika kita bisa bertahan dalam maksiat, kenapa kita tidak bisa meredam nafsu untuk taat?”

“Selama satu setengah tahun ayah menanggung dosa, membiarkan Eros akrab dengan orang yang tidak halal. Dan baru dua bulan, keakraban itu dengan izin Allah benar-benar musnah. Baru dua bulan kita membayarnya, Sayang.. Dua bulan dibanding enam tahun.. atau satu setengah tahun itu.. Jauh sekali.. Jauh sekali…” Kini, kulihat giliran mata ayah yang penuh air.

“Maafkan Ayah, Nak.. Ayah belum menjadi Ayah yang baik. Hati Ayah pedih melihat Eros tadi menangis, terbata-bata menyampaikan kesedihan Eros.. Dan itu karena kesalahan Ayah, karena.. Lalainya Ayah…”

“…Maafkan Ayah, Nak.. Maafkan…” Ayah kembali menangis lagi. Menutup matanya dengan tangan kanannya. Suaranya kudengar sangat sesal, mengeluarkan sesak-sesak yang gempal.

“Bukan, salah Ayah.. Ini salah Eros…” Tangan kiriku mengusap bahu Ayah. Melihat giliran ayah yang menangis, rasanya sangat menyesal.

“Ayah pikir.. Selama ini, Ayah sudah menjadi Ayah yang baik, Ayah yang hebat untuk kalian. Tapi ternyata tidak. Masih jauh sekali.. Jauh sekali…”

                                                              *** 

-BERSAMBUNG-




Nanti lanjut lagiiiii! ^^

Eh, Selamat pagiiii! Jangan lupa sarapan nasi…!! Nasi woy nasiii!!! *maksa*

No comments:

Post a Comment