-Prolog-
Najuh
“Kenapa namamu Eros? Jika dibaca dari
kanan berarti…”
“Hei, kenapa memusingkan namaku?!” Tanyaku
diputuskannya begitu saja. Kali ini, dia lagi-lagi sebal. Sebab aku benar-benar
lupa lagi membawa catatannya. Dan untuk meredam kesalnya. Aku mencoba mencari
topik yang lain. Ternyata, lagi-lagi gagal.
***
Eros
Siang kini telah menyangkut di lahan
waktu. Teman-teman sudah jenuh menunggu dosen yang kerap kali tak sempat hadir.
Lagi-lagi mata kuliah menjadi tumpukan janji. Sebab mata kuliah terakhir,
apalagi yang akan membikin betah duduk di bangku kelas kampus? Serempak seisi
kelas keluar. Memencar. Mencari bahagianya masing-masing, setelah lagi-lagi kami dibikin pusing.
Langkah kakiku terhenti di seberang
pintu kelas. Melengketkan tubuh di dinding lantai dua. Menatap ke bawah.
Beraneka mahasiswa sedang dengan kesibukannya. Hanya tersisa satu dari seisi
kelas yang bingung tujuannya; aku.
“Perpus yok! Mau balikin buku nih.
Sambil mau icip-icip wi-fi sebelum nge-lunch.”
Oh, ternyata tersisa dua. Najuh dengan gayanya yang biasa. Tersenyum sok keren.
Sok keren atas englishnya barusan.
Entahlah. Teman-teman sekelas selalu membantah olokanku atas “sok keren”
padanya itu. Mereka selalu setuju, Najuh itu memang keren. Tingkah keren yang
alami. Tanpa pernah direkayasa. Begitu kata teman-teman. Meski sampai kini aku
masih bingung. Keren alami itu yang seperti apa?
Aku menatapnya sambil mengernyitkan
dahi. Yang kutatap malah tertawa, lalu membuang badan dari arahku. Berjalan
membelakangi tubuhku. Lalu balik badan kembali, sebab belum menemukanku di
sampingnya.
“Come
on, Girl!”
Aku mengalah. Menuruti langkahnya. Mensejajarkan
tubuhku dengan tubuhnya.
“Mau jadi guru Bahasa Indonesia atau
Bahasa Inggris, sih?”
“Dua-duanya.” Jawabnya. Dan. Tertawa
lagi.
***
Najuh mengantarku pulang. Selalu
begitu. Setiap hari. Meski setiap hari juga aku harus menolak. Sebab, rumahnya
begitu berlawanan arah dari rumahku. Dan setiap hari pula, Najuh selalu
berhasil membikin kilah-kilah yang akan membuatku mengangguk mau.
“Makasih, Juh! Mau mampir nggak?” kalimat ini, kalimat rutin yang
keluar setelah aku melepas helm. Sungguh, itu bukan kalimat basa-basi. Ongkos
dari kampus ke rumahku rupiahnya lebih banyak daripada nasi sebungkus di dekat
kampus.
“Nge-lunchmu
itu di rumahku aja.” Dan ini kalimat rutin kedua. Setidaknya, makan siang di
rumahku dengan masakan ibu, sebagai ucapan terima kasih atasnya yang selalu
baik. Biasanya dia mematikan sepeda
motor. Tanda “iya” atas jawaban pertanyaanku. Tapi kali ini tidak.
“Bukannya nggak mau (ini jawaban halus rutinnya
kalau menolak). Nggak sempat. Nih mau langsung futsal. Reunian bareng temen
SMA. Titip salam aja sama ibu ya (ini lanjutan jawaban yang kadang-kadang).”
Aku mengangguk. Sepeda motornya melaju
kembali. Sampai tubuhnya hilang di ujung gang. Baru aku masuk. Selalu begitu.
Ya, lagi-lagi sebagai rasa terima kasih. Atas Najuh yang selalu baik. Meski dia
tak pernah tahu dan berbalik.
***
Sebulan
kemudian dari Najuh
mengantarku pulang dan kemudian menolak halus untuk singgah makan siang di
rumah, sebab akan bermain futsal reuni bersama teman SMAnya. Setelah banyak waktu terasa menyenangkan bersama
Najuh. Setelah banyak puisi-puisi yang kutaruh di larik-larik tanpa (dulu)
pernah kusadari. Bahwa ternyata, dirinya yang kurangkum dalam bait-bait bukan
rasa sebab ia selalu baik. Setelah banyak tawa dan senyumku saat bersamanya
atau sebabnya, yang ternyata bukan (lagi) senang, karena aku memiliki teman
sepertinya.
“Semua
tiba-tiba terasa benar-benar rasa.”
Najuh menjauh. Tidak lagi ada ajakan ke
perpus, ke kantin, ke warung makan atau ke masjid kampus sekalipun. Atau
kemana-kemana. Tidak lagi ada Najuh yang baik hati mengantarku pulang. Tidak lagi
ada Najuh yang senang tertawa ketika menatapku. Tidak lagi ada Najuh yang selalu
duduk di kursi sebelahku. Tidak lagi ada Najuh yang menyediakan kursi untukku
ketika aku telat. Tidak lagi ada Najuh yang mengajak menyiapkan tugas bersama.
Tidak lagi ada Najuh yang rusuh meminjam catatan dan kerap kali lupa
mengembalikannya.
Tidak lagi ada Najuh yang suka membikin
sebal dan kesal. Tidak lagi ada Najuh yang senang meminjam buku-bukuku. Tidak
lagi ada Najuh yang membantah rayuan teman-teman atas kami yang saban dekat.
“Eros itu sahabat. Sama seperti aku menganggap kalian, Girls” jawabnya dengan gaya “sok keren” biasanya. Yang kini
berganti jawaban “diam”. Ketika teman-teman bertanya, mengapa Najuh tak pernah
duduk di depan lagi; duduk di kursi dekatku seperti biasa. Kenapa Najuh tak
pernah terlihat ngobrol lagi dengan aku sebulan ini.
“Semua
tiba-tiba terasa benar-benar rasa.”
Najuh menjauh. Dan mulai tampak nyata,
rasa yang sebenarnya tengah singgah, di dadaku. Setelah tiga semester, aku dan
Najuh bersepakat menjadi sahabat. Kini, berbeda. Mungkin, selamanya tak akan
sama. Tak akan seperti sedia kala.
***
“Eros, ntar hari minggu ada kajian oleh Ustadz Al-Fatih. Datang ya. Ustadz
Al-Fatih, ustadz favorit aku dan pasti calon favorit kamu. Hehe ” Sara tertawa.
Begitu mirip Najuh. Tawanya sering keterlaluan ramah. Tawa tulus tanpa rekayasa.
“Insya Allah. Syukron katsiir ya, Ra. Tumpangan yang selalu menyenangkan.”
(kalimat rutin yang sungguh bukan basa-basi, yang sebulan ini berganti setelah
aku melepas helm).
“Singgah yuk, makan siang dulu. Kasihan
peliharaan di perut kalau kelamaan. Hehe..” (kalimat rutin kedua sebagai rasa
terima kasih turut berganti)
Dan setelah sebulan ini, untuk pertama
kalinya Sara mematikan sepeda motornya. Mengangguk tersenyum tanda setuju. Memarkirkan
sepeda motor di garasi rumah dan masuk bersama menyantap makan siang. Nge-lunch. Tiba-tiba ada perasaan rindu
mendengar kata yang diucapkan laki-laki “sok keren” itu.
***
-BERSAMBUNG-
Kudu ikuti part 2 nya ya! Jrenggg... Jrenggg #ehapaansihhh #abaikan
Okeeee... Ntar kita sambung lagi. Mau malam mingguan dulu nih :p *kabuur*
Kudu ikuti part 2 nya ya! Jrenggg... Jrenggg #ehapaansihhh #abaikan
Okeeee... Ntar kita sambung lagi. Mau malam mingguan dulu nih :p *kabuur*
No comments:
Post a Comment