Sunday, September 6, 2015

Hujan Sore - Part 1 (Sebab Cinta tak Hanya Sekadar Rasa, Tapi Ibadah)




-Prolog-

Najuh

“Kenapa namamu Eros? Jika dibaca dari kanan berarti…”

“Hei, kenapa memusingkan namaku?!” Tanyaku diputuskannya begitu saja. Kali ini, dia lagi-lagi sebal. Sebab aku benar-benar lupa lagi membawa catatannya. Dan untuk meredam kesalnya. Aku mencoba mencari topik yang lain. Ternyata, lagi-lagi gagal.
***
Eros

Siang kini telah menyangkut di lahan waktu. Teman-teman sudah jenuh menunggu dosen yang kerap kali tak sempat hadir. Lagi-lagi mata kuliah menjadi tumpukan janji. Sebab mata kuliah terakhir, apalagi yang akan membikin betah duduk di bangku kelas kampus? Serempak seisi kelas keluar. Memencar. Mencari bahagianya masing-masing, setelah lagi-lagi kami dibikin pusing.
           
        Langkah kakiku terhenti di seberang pintu kelas. Melengketkan tubuh di dinding lantai dua. Menatap ke bawah. Beraneka mahasiswa sedang dengan kesibukannya. Hanya tersisa satu dari seisi kelas yang bingung tujuannya; aku.

“Perpus yok! Mau balikin buku nih. Sambil mau icip-icip wi-fi sebelum nge-lunch.” Oh, ternyata tersisa dua. Najuh dengan gayanya yang biasa. Tersenyum sok keren. Sok keren atas englishnya barusan. Entahlah. Teman-teman sekelas selalu membantah olokanku atas “sok keren” padanya itu. Mereka selalu setuju, Najuh itu memang keren. Tingkah keren yang alami. Tanpa pernah direkayasa. Begitu kata teman-teman. Meski sampai kini aku masih bingung. Keren alami itu yang seperti apa?

Aku menatapnya sambil mengernyitkan dahi. Yang kutatap malah tertawa, lalu membuang badan dari arahku. Berjalan membelakangi tubuhku. Lalu balik badan kembali, sebab belum menemukanku di sampingnya.

Come on, Girl!

Aku mengalah. Menuruti langkahnya. Mensejajarkan tubuhku dengan tubuhnya.

“Mau jadi guru Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris, sih?”

“Dua-duanya.” Jawabnya. Dan. Tertawa lagi.
***
            
           Najuh mengantarku pulang. Selalu begitu. Setiap hari. Meski setiap hari juga aku harus menolak. Sebab, rumahnya begitu berlawanan arah dari rumahku. Dan setiap hari pula, Najuh selalu berhasil membikin kilah-kilah yang akan membuatku mengangguk mau.

“Makasih, Juh! Mau mampir nggak?” kalimat ini, kalimat rutin yang keluar setelah aku melepas helm. Sungguh, itu bukan kalimat basa-basi. Ongkos dari kampus ke rumahku rupiahnya lebih banyak daripada nasi sebungkus di dekat kampus.

Nge-lunchmu itu di rumahku aja.” Dan ini kalimat rutin kedua. Setidaknya, makan siang di rumahku dengan masakan ibu, sebagai ucapan terima kasih atasnya yang selalu baik.  Biasanya dia mematikan sepeda motor. Tanda “iya” atas jawaban pertanyaanku. Tapi kali ini tidak.

“Bukannya nggak mau (ini jawaban halus rutinnya kalau menolak). Nggak sempat. Nih mau langsung futsal. Reunian bareng temen SMA. Titip salam aja sama ibu ya (ini lanjutan jawaban yang kadang-kadang).”

Aku mengangguk. Sepeda motornya melaju kembali. Sampai tubuhnya hilang di ujung gang. Baru aku masuk. Selalu begitu. Ya, lagi-lagi sebagai rasa terima kasih. Atas Najuh yang selalu baik. Meski dia tak pernah tahu dan berbalik.
***

Sebulan kemudian dari Najuh mengantarku pulang dan kemudian menolak halus untuk singgah makan siang di rumah, sebab akan bermain futsal reuni bersama teman SMAnya.  Setelah banyak waktu terasa menyenangkan bersama Najuh. Setelah banyak puisi-puisi yang kutaruh di larik-larik tanpa (dulu) pernah kusadari. Bahwa ternyata, dirinya yang kurangkum dalam bait-bait bukan rasa sebab ia selalu baik. Setelah banyak tawa dan senyumku saat bersamanya atau sebabnya, yang ternyata bukan (lagi) senang, karena aku memiliki teman sepertinya.

Semua tiba-tiba terasa benar-benar rasa.”    

Najuh menjauh. Tidak lagi ada ajakan ke perpus, ke kantin, ke warung makan atau ke masjid kampus sekalipun. Atau kemana-kemana. Tidak lagi ada Najuh yang baik hati mengantarku pulang. Tidak lagi ada Najuh yang senang tertawa ketika menatapku. Tidak lagi ada Najuh yang selalu duduk di kursi sebelahku. Tidak lagi ada Najuh yang menyediakan kursi untukku ketika aku telat. Tidak lagi ada Najuh yang mengajak menyiapkan tugas bersama. Tidak lagi ada Najuh yang rusuh meminjam catatan dan kerap kali lupa mengembalikannya.

Tidak lagi ada Najuh yang suka membikin sebal dan kesal. Tidak lagi ada Najuh yang senang meminjam buku-bukuku. Tidak lagi ada Najuh yang membantah rayuan teman-teman atas kami yang saban dekat. “Eros itu sahabat. Sama seperti aku menganggap kalian, Girls” jawabnya dengan gaya “sok keren” biasanya. Yang kini berganti jawaban “diam”. Ketika teman-teman bertanya, mengapa Najuh tak pernah duduk di depan lagi; duduk di kursi dekatku seperti biasa. Kenapa Najuh tak pernah terlihat ngobrol lagi dengan aku sebulan ini.

Semua tiba-tiba terasa benar-benar rasa.”   

Najuh menjauh. Dan mulai tampak nyata, rasa yang sebenarnya tengah singgah, di dadaku. Setelah tiga semester, aku dan Najuh bersepakat menjadi sahabat. Kini, berbeda. Mungkin, selamanya tak akan sama. Tak akan seperti sedia kala.
***
            
        “Eros, ntar hari minggu ada kajian oleh Ustadz Al-Fatih. Datang ya. Ustadz Al-Fatih, ustadz favorit aku dan pasti calon favorit kamu. Hehe ” Sara tertawa. Begitu mirip Najuh. Tawanya sering keterlaluan ramah. Tawa tulus tanpa rekayasa.
           
        “Insya Allah. Syukron katsiir ya, Ra. Tumpangan yang selalu menyenangkan.” (kalimat rutin yang sungguh bukan basa-basi, yang sebulan ini berganti setelah aku melepas helm).

“Singgah yuk, makan siang dulu. Kasihan peliharaan di perut kalau kelamaan. Hehe..” (kalimat rutin kedua sebagai rasa terima kasih turut berganti)  

Dan setelah sebulan ini, untuk pertama kalinya Sara mematikan sepeda motornya. Mengangguk tersenyum tanda setuju. Memarkirkan sepeda motor di garasi rumah dan masuk bersama menyantap makan siang. Nge-lunch. Tiba-tiba ada perasaan rindu mendengar kata yang diucapkan laki-laki “sok keren” itu.
***
-BERSAMBUNG-

Kudu ikuti part 2 nya ya! Jrenggg... Jrenggg #ehapaansihhh #abaikan

Okeeee... Ntar kita sambung lagi. Mau malam mingguan dulu nih :p *kabuur*

No comments:

Post a Comment