Virus merah jambu bisa
melanda siapa saja. Apalagi anak yang akan berproses menuju remaja. Hanya
sayangnya, kisah cinta remaja saat ini sudah melampaui batas. Yakni;
berpacaran. Pacaran dianggap hal yang lumrah. Dianggap hal yang biasa dan boleh
dilakukan. Apalagi untuk pasangan yang akan menikah. Padahal, Islam tak pernah
mengajarkan untuk berpacaran sebelum menikah.
Bahkan bukan hanya pacaran yang menjerumuskan. Tapi,
interaksi antara lawan jenis yang berlebihanlah yang menjadi awal permasalahan.
Awalnya, berteman terlalu dekat dengan lawan jenis. Bahkan orang tua tidak
mewanti-wanti, jika anaknya keluar rumah. Peran orang tua atau orang dewasa
(baca; abang atau kakak) sangat diperlukan untuk memantau bagaimana interaksi
remaja dengan lawan jenisnya.
Meski bukan pacaran, bersalaman dengan yang bukan mahrom, berdua-duaan
dengan yang bukan mahrom, berboncengan naik sepeda motor dengan yang bukan
mahrom, adalah hal-hal sederhana yang dibolehkan oleh kebanyakan orang muslim
saat ini. Padahal, dalam sebuah hadits, laki-laki lebih baik ditusuk dengan
jarum besi kepalanya daripada menyentuh wanita yang bukan mahromnya.
Menyentuh sedikit saja dengan sengaja tidak dibolehkan
dalam Islam. Bagaimana pula jika harus bersalaman, baik dengan guru maupun
dengan kekasih. Yang harus diingat, orang Islam harus tahu siapa saja
mahromnya, siapa saja yang boleh melihat auratnya dan bersentuhan dengannya.
Seperti dalam ayat 31 surah An-Nur, “Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kerudung ke dadanya dan janganlah menampilkan perhiasannya
(auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara
laki-laki mereka, atau putra-putra saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putra-putra saudara-saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama
Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan
laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka
menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan
bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu
beruntung.”
Dari ayat di atas, jelaslah, siapa saja yang boleh melihat
aurat muslimah, yang boleh bersalaman atau berpergian berdua, atau berboncengan
berdua dengan muslimah. Jika tidak ada disebutkan dalam ayat di atas, maka
jatuh hukumnya adalah haram.
Jadi, sebagai muslim, dimanalah letak ketaatan pasangan (baca;
pacar), jika perintah Allah saja ditinggalkan, apalagi kita? Tentu tidak
menutup kemungkinan, esok lusa kita juga akan ditinggalkan, setelah kehormatan
(perempuan) atau harta (laki-laki) dikuras habis oleh pasangan yang bukan
mahrom atau biasa disebut pacar.
Muslim atau muslimah yang benar adalah, jika mereka
mencintai seseorang, mereka akan mencintai karena Allah. Bertemu karena Allah
dan berpisah karena Allah. Jika, jatuh cinta tapi belum siap menikah, maka
mereka akan berusaha untuk menghilangkan rasa cinta tersebut dan lebih banyak
mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah. Sebab rasa takut yang sangat
besar. Takut dengan mencintai orang tersebut, dapat melalaikan rasa cintanya
terhadap Allah.
Allah hanya meridhoi rasa cinta hanya terhadap orang yang
sudah menikah, setelah akad digemakan sesuai syari’at. Jika rasa cinta itu
timbul sebelum menikah, maka solusinya adalah mempersiapkan diri untuk segera
menikah atau jika belum siap maka berpuasalah, karena puasa dapat menjadi
benteng bagi diri muslim dan muslimah.
Ya, itulah solusi jika pemuda Islam jatuh cinta. Menikah
atau puasa. Tentu, diri kita sendirilah yang tahu kemantapan hati kita. Tetapi,
alangkah baiknya, jika pemuda Islam menikah muda atau menyegerakan menikah. Jika
berlama-lama, takut menimbulkan fitnah. Bukankah fitnah lebih kejam dari
pembunuhan?
Nah, untuk menghindari timbul rasa cinta kepada yang bukan
mahrom, maka ada beberapa hal yang harus dijaga dalam berinteraksi dengan lawan
jenis. Yakni, pertama, berinteraksi jika hanya ada kepentingan yang benar-benar
penting, misal dalam pendidikan, kesehatan dan ekonomi, jika hanya mengobrol
biasa dan membuat panjang cerita, tinggalkanlah. Karena, dari situlah setan
akan menggoda. Jika pun, mengobrol dalam kepentingan, harus ada yang menemani
si muslimah. Misal, teman perempuan si muslimah, atau saudara/mahrom si
muslimah. Dilarang keras berdua-duaan, apalagi di tempat yang tidak ada orang.
Jika berbicara, baik muslim maupun muslimah, harus
berbicara seperlunya saja. Tidak boleh dimanja-manjakan, dilembut-lembutkan
(perempuan) dan tidak boleh bercanda berlebihan. Muslimah harus tegas dalam
berbicara, tapi bukan berarti galak dan menyeramkan. Tegas dan galak, tentu
berbeda.
Meski hanya mengobrol lewat sms, chat ataupun media sosial,
atau telpon tetap tidak boleh jika tidak berkepentingan. Sebab, setan paling
bisa menggoda walaupun kita hanya melanggar peraturan sedikit. Jangan biarkan
celah untuk setan menggoda. Dan ada baiknya, muslim dan muslimah yang bukan
mahrom sama-sama dapat menjaga interaksi. Sama-sama mengetahui bagaimana
berinteraksi dengan baik dan benar dalam Islam.
Jika
sudah siap menikah, maka utarakan pada orang tua. Berpacaran bertahun-tahun
sama sekali tidak diperlukan dalam mencari jodoh. Toh, berpacaran sekian tahun,
tapi jika bukan jodoh, tentu itu hanya membuang-buang waktu saja. Lebih baik,
waktu pacaran itu diganti untuk beribadah lebih banyak kepada Allah, belajar
dan bekerja yang rajin, membantu orang tua dan saudara.
Ta’aruf adalah solusi pemuda Islam jika siap menikah. Jika
memang, sudah memiliki sasaran, dan sasaran tersebut sudah di-istikhorohkan dan
hasilnya mantap, maka untuk laki-laki datanglah kepada ayah atau ibunya atau
walinya untuk melamarnya dengan niat baik, yakni niat mengambil si perempuan
untuk beribadah kepada Allah dan menyempurnakan separuh agama dan sunnah
Rasulullah saw. jika si perempuan bersedia, maka disegarakan untuk segera
menyiapakan pernikahan, agar terhindar dari fitnah.
Untuk perempuan, jika sudah memiliki sasaran, maka
diperbolehkan untuk mengajukan diri lebih dulu. Lalu, jika laki-lakinya juga
mau bersanding dengan si perempuan yang mengajukan diri, maka laki-lakinya yang
datang melamar atau mengkhitbah si perempuan pada orang tua atau walinya.
Muslimah tidak perlu gengsi, takut, ataupun malu jika sudah
memiliki sasaran calon pasangan. Utarakan saja karena Allah. Meski memang, rasa
malu perempuan jauh lebih besar dalam percintaan ketimbang lelaki. Sebagaimana,
bunda Khadijah yang mengutarakan diri pada Rasulullah. Meski, bunda Khadijah
janda, tapi tidak mengundurkan niatnya untuk melamar seorang lajang. Bagaimana,
jika bunda Khadijah terlalu memikirkan rasa malunya, bisa jadi akan tetap
menikah dengan Rasulullah, bisa jadi juga tidak. Dan Alhamdulillah, rasa ingin
bunda Khadijah berjodoh dengan takdir Allah swt.
Jadi, saudara seimanku. Jika sudah siap untuk menikah,
jangan ditunda-tunda lagi. Hati sudah siap, namun harta belum mendukung.
Ingatlah, bahwa Allah akan menolong orang-orang yang menikah. Dan untuk saudara
seimanku, jika belum siap untuk menikah, maka berpuasalah. Tinggalkanlah
berinteraksi berlebihan dengan orang yang bukan mahramnya. Tapi, jika sudah
siap, maka menikahlah segera. Sebab, Rasulullah senang jika pengikutnya
melimpah.
(Penulis
adalah mahasiswi Bahasa dan Satra Indonesia FKIP UMSU dan kader PK KAMMI UMSU)
No comments:
Post a Comment