Saturday, September 5, 2015

Saat Pemuda Islam Jatuh Cinta (Mimbar Umum, 4 September 2015, Rubrik Dakwah)


          Virus merah jambu bisa melanda siapa saja. Apalagi anak yang akan berproses menuju remaja. Hanya sayangnya, kisah cinta remaja saat ini sudah melampaui batas. Yakni; berpacaran. Pacaran dianggap hal yang lumrah. Dianggap hal yang biasa dan boleh dilakukan. Apalagi untuk pasangan yang akan menikah. Padahal, Islam tak pernah mengajarkan untuk berpacaran sebelum menikah.
          Bahkan bukan hanya pacaran yang menjerumuskan. Tapi, interaksi antara lawan jenis yang berlebihanlah yang menjadi awal permasalahan. Awalnya, berteman terlalu dekat dengan lawan jenis. Bahkan orang tua tidak mewanti-wanti, jika anaknya keluar rumah. Peran orang tua atau orang dewasa (baca; abang atau kakak) sangat diperlukan untuk memantau bagaimana interaksi remaja dengan lawan jenisnya.
          Meski bukan pacaran, bersalaman dengan yang bukan mahrom, berdua-duaan dengan yang bukan mahrom, berboncengan naik sepeda motor dengan yang bukan mahrom, adalah hal-hal sederhana yang dibolehkan oleh kebanyakan orang muslim saat ini. Padahal, dalam sebuah hadits, laki-laki lebih baik ditusuk dengan jarum besi kepalanya daripada menyentuh wanita yang bukan mahromnya.
          Menyentuh sedikit saja dengan sengaja tidak dibolehkan dalam Islam. Bagaimana pula jika harus bersalaman, baik dengan guru maupun dengan kekasih. Yang harus diingat, orang Islam harus tahu siapa saja mahromnya, siapa saja yang boleh melihat auratnya dan bersentuhan dengannya.
          Seperti dalam ayat 31 surah An-Nur, “Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya dan janganlah menampilkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara-saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.”
          Dari ayat di atas, jelaslah, siapa saja yang boleh melihat aurat muslimah, yang boleh bersalaman atau berpergian berdua, atau berboncengan berdua dengan muslimah. Jika tidak ada disebutkan dalam ayat di atas, maka jatuh hukumnya adalah haram.
          Jadi, sebagai muslim, dimanalah letak ketaatan pasangan (baca; pacar), jika perintah Allah saja ditinggalkan, apalagi kita? Tentu tidak menutup kemungkinan, esok lusa kita juga akan ditinggalkan, setelah kehormatan (perempuan) atau harta (laki-laki) dikuras habis oleh pasangan yang bukan mahrom atau biasa disebut pacar.
          Muslim atau muslimah yang benar adalah, jika mereka mencintai seseorang, mereka akan mencintai karena Allah. Bertemu karena Allah dan berpisah karena Allah. Jika, jatuh cinta tapi belum siap menikah, maka mereka akan berusaha untuk menghilangkan rasa cinta tersebut dan lebih banyak mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah. Sebab rasa takut yang sangat besar. Takut dengan mencintai orang tersebut, dapat melalaikan rasa cintanya terhadap Allah.
          Allah hanya meridhoi rasa cinta hanya terhadap orang yang sudah menikah, setelah akad digemakan sesuai syari’at. Jika rasa cinta itu timbul sebelum menikah, maka solusinya adalah mempersiapkan diri untuk segera menikah atau jika belum siap maka berpuasalah, karena puasa dapat menjadi benteng bagi diri muslim dan muslimah.
          Ya, itulah solusi jika pemuda Islam jatuh cinta. Menikah atau puasa. Tentu, diri kita sendirilah yang tahu kemantapan hati kita. Tetapi, alangkah baiknya, jika pemuda Islam menikah muda atau menyegerakan menikah. Jika berlama-lama, takut menimbulkan fitnah. Bukankah fitnah lebih kejam dari pembunuhan?
          Nah, untuk menghindari timbul rasa cinta kepada yang bukan mahrom, maka ada beberapa hal yang harus dijaga dalam berinteraksi dengan lawan jenis. Yakni, pertama, berinteraksi jika hanya ada kepentingan yang benar-benar penting, misal dalam pendidikan, kesehatan dan ekonomi, jika hanya mengobrol biasa dan membuat panjang cerita, tinggalkanlah. Karena, dari situlah setan akan menggoda. Jika pun, mengobrol dalam kepentingan, harus ada yang menemani si muslimah. Misal, teman perempuan si muslimah, atau saudara/mahrom si muslimah. Dilarang keras berdua-duaan, apalagi di tempat yang tidak ada orang.
          Jika berbicara, baik muslim maupun muslimah, harus berbicara seperlunya saja. Tidak boleh dimanja-manjakan, dilembut-lembutkan (perempuan) dan tidak boleh bercanda berlebihan. Muslimah harus tegas dalam berbicara, tapi bukan berarti galak dan menyeramkan. Tegas dan galak, tentu berbeda.
          Meski hanya mengobrol lewat sms, chat ataupun media sosial, atau telpon tetap tidak boleh jika tidak berkepentingan. Sebab, setan paling bisa menggoda walaupun kita hanya melanggar peraturan sedikit. Jangan biarkan celah untuk setan menggoda. Dan ada baiknya, muslim dan muslimah yang bukan mahrom sama-sama dapat menjaga interaksi. Sama-sama mengetahui bagaimana berinteraksi dengan baik dan benar dalam Islam.
          Jika sudah siap menikah, maka utarakan pada orang tua. Berpacaran bertahun-tahun sama sekali tidak diperlukan dalam mencari jodoh. Toh, berpacaran sekian tahun, tapi jika bukan jodoh, tentu itu hanya membuang-buang waktu saja. Lebih baik, waktu pacaran itu diganti untuk beribadah lebih banyak kepada Allah, belajar dan bekerja yang rajin, membantu orang tua dan saudara.
          Ta’aruf adalah solusi pemuda Islam jika siap menikah. Jika memang, sudah memiliki sasaran, dan sasaran tersebut sudah di-istikhorohkan dan hasilnya mantap, maka untuk laki-laki datanglah kepada ayah atau ibunya atau walinya untuk melamarnya dengan niat baik, yakni niat mengambil si perempuan untuk beribadah kepada Allah dan menyempurnakan separuh agama dan sunnah Rasulullah saw. jika si perempuan bersedia, maka disegarakan untuk segera menyiapakan pernikahan, agar terhindar dari fitnah.
          Untuk perempuan, jika sudah memiliki sasaran, maka diperbolehkan untuk mengajukan diri lebih dulu. Lalu, jika laki-lakinya juga mau bersanding dengan si perempuan yang mengajukan diri, maka laki-lakinya yang datang melamar atau mengkhitbah si perempuan pada orang tua atau walinya.
          Muslimah tidak perlu gengsi, takut, ataupun malu jika sudah memiliki sasaran calon pasangan. Utarakan saja karena Allah. Meski memang, rasa malu perempuan jauh lebih besar dalam percintaan ketimbang lelaki. Sebagaimana, bunda Khadijah yang mengutarakan diri pada Rasulullah. Meski, bunda Khadijah janda, tapi tidak mengundurkan niatnya untuk melamar seorang lajang. Bagaimana, jika bunda Khadijah terlalu memikirkan rasa malunya, bisa jadi akan tetap menikah dengan Rasulullah, bisa jadi juga tidak. Dan Alhamdulillah, rasa ingin bunda Khadijah berjodoh dengan takdir Allah swt.
          Jadi, saudara seimanku. Jika sudah siap untuk menikah, jangan ditunda-tunda lagi. Hati sudah siap, namun harta belum mendukung. Ingatlah, bahwa Allah akan menolong orang-orang yang menikah. Dan untuk saudara seimanku, jika belum siap untuk menikah, maka berpuasalah. Tinggalkanlah berinteraksi berlebihan dengan orang yang bukan mahramnya. Tapi, jika sudah siap, maka menikahlah segera. Sebab, Rasulullah senang jika pengikutnya melimpah.
(Penulis adalah mahasiswi Bahasa dan Satra Indonesia FKIP UMSU dan kader PK KAMMI UMSU)

No comments:

Post a Comment