“Sudah
pukul tujuh. Sudah waktunya pulang.” Sara menatapku serius. Wajah teduhnya
tetap teduh, meski rautnya direcoki banyak peluh, sebab memang sedari pagi
sampai kini, kami mendekam berdua di perpustakaan. Menulis segila mungkin.
Melarikan diri bersama dari penatnya omong kosong salah satu pengurus harian di
organisasi internal kampus kami untuk sementara. Dan kalimat perintah menyuruhku
pulang barusan adalah kalimat pertamanya sejak pagi tadi.
Sara memang begitu. Ketika kesal, dia akan lebih
memilih puasa berbicara. Maka kebetulan sedang tidak ada kuliah, kami sepakat
untuk kabur dari rapat dan mematikan handphone masing-masing. Menumpahkan segala
kesal, lara, amarah pada keyboard laptop yang telah baik hati menjadi saksi. Sebab, gibah dengan laptop tentu jauh lebih
baik ketimbang curhat dengan teman sendiri tentang keburukan orang lain.
Begitu katanya.
Sara tahu aku juga kesal. Maka dia mengajakku
menulis tentang kekesalan masing-masing di laptop masing-masing. Menulis sampai
puas. Keluar dari perpustakaan hanya untuk makan siang dan lebih sehatinya
lagi, kami berdua sama-sama sedang didatangi tamu bulanan. Beberapa jam untuk
membaca buku, beberapa jam untuk layar yang bisu.
Perdebatan kemarin, telah menimbulkan kekesalan
di puncaknya. Meski tentu saja, hal itu biasa terjadi pada aktivis kampus.
“Iya.”jawabku
seadanya. Tetapi dengan senyum semringah. Sebab, aku selalu merasa beruntung
memiliki sahabat seperti Sara.
“Nginap di kosku aja kenapa sih?”Sara
khawatir. Sara selalu seperti ini, ketika jadwal yang sudah mati-matian kuatur,
untuk tidak pulang di atas pukul enam sore. Dan akhirnya, kerja kerasku
membikin jadwal hanya untuk kulanggar sendiri. Menenggelamkan wajah di beberapa
organisasi tentu bukan urusan yang gampang.
“Bukan sahabat Sara kalau takut sama malam!”jawabku
dengan jawaban dan tingkah yang selalu sama, menjawab sombong sambil mencubit
pipi bakpaunya.
“Aku bosan dengan jawaban dan tingkahmu yang
sama melulu. Sudah sana, katanya sudah rindu dengan supir angkot!”usirnya
merajuk.
“Assalamualaikum..”aku pamit sambil terus
meminta pada Allah, aku ingin terus menjadi sahabat terbaik Sara sampai jannah.
***
Purnama mungkin lupa janjinya, malam ini padahal
aku ingin dia terang. Ah, aku mengusir penyakit kufur ini. Harusnya, ketika
hujan merona seperti ini pun, syukurku tetap harus membahana. Bukankah hujan
selalu sama indah? Wangi dinginnya mampu meredam kepenatan napas.
Mira adikku satu-satunya telah menemui mimpi di
kamarnya sendiri. Ibu sedang berusaha mematikan rindu, sedang sok ABG telponan sama Ayah yang kini bertugas di luar kota. Ya, sudah
sebulan ini ayah ibu LDR. Pertama
kalinya rumah sepi senyap tanpa kejahilan ayah.
Biasa ketika hujan, ayah akan selalu mengajakku
ke lantai atas. Berdiri di depan jendela, menghitung butir-butir hujan yang
singgah menemui kaca jendela. Tapi setelah itu, ayah sering akan pura-pura
permisi entah kemana. Ternyata ketika aku turun ke lantai bawah, dengan
santainya tanpa bersalah, ayah mengaku, “Ujan-ujan
lebih anget sama ibumu.”
Sebentar, mengapa di depan rumah tetangga depan
yang kosong seperti ada yang berdiri sendirian? Kalau memang itu pemilik rumahnya,
mengapa harus berdiri di depan rumah? Bulu kudukku pelan ikut berdiri. Aku yang
sedari tadi duduk di depan jendela pintu rumah depan memberanikan diri untuk
keluar. Rasa penasaranku melambung tinggi.
Kubuka pintu bersama bismillah, dan dapatlah
lebih jelas siapa sebenarnya makhluk yang berdiri sendirian di garasi rumah
kosong yang tak berpagar. Aku menebak pasti, karena lebat hujan, dia berhenti
jalan dan sedang berteduh dengan beraninya di gang rumahku yang terkenal dengan
angkernya.
Kulihat kerudungnya lebar, memakai busana
muslimah seperti yang biasa dipakai ibu dan Mira. Lalu, wajahnya setengah
ditutupi masker. Hanya kelihatan sepasang matanya yang terus menatapi hujan.
Seperti perempuan yang memakai cadar.
Gang rumahku ini terkenal sepi, kenapa aku
tiba-tiba begitu khawatir dengan perempuan itu. Ingin memanggil Mira sudah
tidur. Ingin memanggil ibu aku takut mengganggu. Maka, aku pun mengambil sikap.
***
Mentari siang ini, tak meninggalkan sisa apa-apa
atas lebat hujan tadi malam. Bahkan air dalam jalan yang berlubang telah hilang
di serap sengat mentari yang lebih ganas dari kemarin. Tanpa Sara, aku
sendirian di perpustakaan. Selain memulangkan buku, aku juga tiba-tiba merasa
ingin sendiri.
Aku seperti kehilangan arah. Rasanya gundah
gulana. Seperti gejala yang akan mendatangkan sedih yang berkepanjangan. Bahkan
dingin ac perpustakaan tak mampu membikin sejuk sesak dada. Memulangkan aku
pada lampau yang sebenarnya masih kusetiai sampai kini.
Kemarin, saat pulang malam lagi dari kampus,
ternyata di perjalanan hujan tiba-tiba meluncur dan kemudian menderas. Aku
mengutuki diriku sendiri. Aku tidak pernah berani berinteraksi langsung dengan
hujan, bahkan ketika harusnya dulu, anak seusiaku merengek pada ibu atau
ayahnya untuk diizinkan bergelut memeluk hujan, aku hanya mengurung diri di
rumah menonton televisi dengan tenang.
Aku benar-benar panik. Berdoa terus agar hujan
cukup membasah lokal, tidak perlu sampai rumahku juga. Ternyata, tidak juga reda.
Maka, janjiku kukuh mulai malam itu. Bahwa, tidak akan lagi pulang di atas
pukul enam. Karena pun memang, aku ini perempuan. Meski sebenarnya di luar rumah
tidak melakukan yang aneh-aneh, tetap saja aku perempuan timur yang tak boleh
keterlaluan punya rasa nekat lebih dari lelaki. Apalagi, jika malam ditamui
hujan.
Aku turun dari angkot. Kemudian bingung mencari
tempat teduh. Rasa takut dan panikku semakin luar biasa. Aku terus menyebut
asma Allah. Siapa lagi yang akan menolong jika begini. Aku kehabisan pulsa dan
tidak kusangka, uang yang kugenggam hanya pas-pasan untuk membayar jasa supir
angkot.
Sepasang kakiku terus mengajak jalan. Hingga
akhirnya, aku melihat peluang untuk berteduh. Ada rumah kosong yang garasinya
tak berpagar di gang yang biasa aku lewati. Rumahku sekitar 500 meter lagi. Aku
memang biasa berjalan kaki, sebab tidak ada angkot yang masuk ke jalan rumahku.
15 menit kutunggu hujan mereda, tapi tetap
dentumnya sama saja. Bukankah sebenarnya hujan ini indah? Kenapa aku tak pernah
untuk suka?
Aku berhenti menatapi hujan. Kuamati rumah yang
ada di depan. Aku tak sadar, ternyata aku tepat berhenti di depan rumah calon
suami Sara. Sara pernah memberitahu, bahwa ternyata dia dikhitbah dengan
tetangga jauhku. Tapi, aku tak kenal. Dan bulan depan, insya Allah akad akan
terlaksana.
Ah, dalam ketakutan, aku cemburu pada Sara. Aku
tak pernah bertemu calon kekasihnya itu, hanya mendengar dari Sara, insya Allah
lelaki itu soleh, dan bonusnya, karirnya mapan serta banyak perempuan yang
menilai lelaki itu tampan. Meski aku tahu, Sara tak akan berani blak-blakan berbicara
rupa calon kekasihnya itu. Sara si pemalu dari gua bidadari. Biasa begitu dia
kujuluki.
Kulihat sekilas, rumah calon suami Sara itu
pintunya terbuka. Lalu, keluar lelaki muda yang wajahnya sangat kukenali. Jantungku lupa pada laju detaknya yang biasa.
Bergetar. Berguncang. Amat hebat. Aku memejamkan mata, berharap dapat
menenangkan kekagatanku sendiri. Entah harus gembira atau berprasangka lain.
Laki-laki itu, keluar dari teras rumahnya. Lalu
membuka payung untuk melindunginya dari basah. Kemudian berjalan menuju pagar rumahnya
yang rendah, keluar menyebrang jalan dan berjalan ke arahku.
Aku ingin menangis rasanya saat ini juga. Lelaki
ini, lelaki yang acap kali kutemui dalam mimpi-mimpi. Lelaki yang selama 5
tahun ini tak pernah lagi kulihat, yang selama 5 tahun ini kunanti dan kucari.
Dan kini, dia berdiri di depanku. Mengulur senyum serta mengulur sebuah payung
yang digenggamnya.
“Ini pakailah payungku. Sudah malam dan
sepertinya hujan masih lama redanya. Nanti, kalau lewat sini lagi. Boleh dikembalikan
ke rumah yang depan itu. Permisi.”
Bukankah, 5 tahun yang lalu, dia pernah
melakukan hal ini juga padaku?
***
-Epilog-
Seragam putih
abu-abuku sudah setengah basah. Atap halte bus yang kecil tak bisa melindungiku
utuh dari air hujan. Aku harus berteduh lagi siang ini. Jam pulang ke rumah pun
terpaksa diundur, perut yang meronta lapar pun kuelus-elus agar dapat bersabar.
Hatiku berdesir. Sebab tiba-tiba, abang
senior yang berjarak dua tahun di atasku, yang sering kuperhatikan diam-diam
sedari awal masuk sampai akan naik kelas dua ini ikut berteduh di tempat yang
sama denganku.
Ada beberapa
kali, aku meminta izin keluar kelas hanya untuk lewat di depan kelasnya. Dan
terkadang, kudapati dia sedang serius mendengarkan guru menjelaskan atau dia
sedang presentasi di depan kelas, terkadang juga mengobrol dengan temannya.
Saat melewati
depan masjid, selalu yang kucari sepatunya. Dan jika berhasil kutemukan, ada
bahagia yang tidak dapat kujelaskan. Saat melewati parkiran, sepasang mataku
akan selalu bergerak tanpa kuminta, untuk menemukan sepeda motornya. Lantas,
senyum begitu saja mengembang di wajahku.
“Adek biasa pulang jalan kaki, kan? Rumahnya
sekitar 500 meter dari sini, kan? Ini, pakai aja dulu payung Abang. Hari ini, Abang
pengen main hujan.”
***
(Terbit di Analisa, 16 November 2016)
No comments:
Post a Comment