Sunday, September 3, 2017

Menjadi Titisan Dosen

Karya : Aisyah Haura Dika Alsa

Ada semut-semut merah di layar dan di sela-sela tuts-tuts laptopku. Aku rasa kehadiran mereka disebabkan oleh susu adik sepupuku yang tumpah. Adik sepupuku sangat sulit minum susu. Jadi, agar ibuku –semoga Allah menyayanginya– dapat menyendokkan susu dengan lancar ke mulutnya maka ia harus diajak main game di laptop. Dan tidak jarang, susu dari sendok itu tumpah karena senggolan atau karena adik sepupuku tiba-tiba menolak dan membuang wajahnya dari sendok susu itu.
Baiklah, cukup membicarakan semut-semut merah yang ada di laptopku. Aku takut terdengar mereka dan menjadi tersinggung sebab mereka masih ada disini –di sela-sela tuts-tutsnya–. Sebenarnya, sudah beberapa minggu yang lalu aku ingin menuliskan ini. Menuliskan seseorang, seseorang yang benar-benar layak digugu dan ditiru. Ketika ia mengajar, ia tak sekadar memindahkan harumnya ilmu yang ada di kepalanya menuju kepala mahasiswa-mahasiswanya. Namun, ia juga dapat membuat kebaikan akhlaknya benar-benar ditiru oleh mahasiswanya. Yah, tentu saja ia seorang dosen.
   Jari-jariku hening sejenak, sepasang mataku menatap layar laptop yang ternyata telah tersusun di sana dua alinea. Lalu, aku mencari-cari kenangan dalam kepalaku. Di sana, aku melihat sosok wajah itu dan aku menjadi haru mengingatnya. Wajah itu, wajah yang ketika bertemu aku, melebarkan senyumnya dengan semringah dan menyapa namaku ceria. Tidak, ia tidak pernah menspesialkan aku. Ia tidak hanya mengingat namaku. Tapi, ia juga mengingat nama teman-temanku. Bahkan nama teman satu kelasku. Mungkin juga kelas-kelas lainnya. Aku tidak heran jika ‘guru’ mengingat seluruh nama anak-anak didiknya, apalagi seorang wali kelas. Tapi, baru ia satu-satunya dosen yang kutahu, yang berusaha mengingat semua nama mahasiswanya. “Iya, ibu sedang berusaha mengingat nama kalian semua.” Begitu katanya tulus waktu itu. Dan aku. Syahdu mendengar kalimatnya barusan.
Sebenarnya, ketika ia mengingat namaku. Tentu saja aku merasa senang namun...itu tidak spesial. Ya, aku katakan itu jujur. Karena rata-rata dosen yang masuk ke kelas, mengingat nama dan wajahku. Sekarang, jangan pusatkan padaku. Alihkan pada teman-temanku yang tidak aktif di kelas atau hanya sesekali saja memberanikan diri untuk berbicara dengan dosen di dalam kelas. Kuyakin, alangkah senang hati teman-temanku itu. Itu pasti terasa sangat spesial dan membuat mereka percaya diri untuk turut andil dalam pengajaran mata kuliah di kelas. Dan itu memang terbukti. Ketika ada game yang diadakan oleh dosenku –semoga Allah menyayanginya– maka yang memenangkan game mata kuliah itu adalah teman-teman yang tidak disangka-sangka. Sedang aku? Aku bahkan sedikit pun tidak membaca catatan binder mata kuliah itu sebagai persiapan. Karena waktu itu, aku kelelahan sebab sedang sibuk-sibuknya di organisasi. Aih, aku menjadi mahasiswa yang lupa tujuan utamanya di kampus biru itu.
Aku kembali mengamati tuts-tuts laptopku yang berwarna hitam sedang huruf-hurufnya diwarnai dengan warna lawannya yakni warna putih. Tidak lagi kutemukan di sana semut-semut merah itu. Kemana perginya mereka? Apa jangan-jangan mereka membuat kemah di bagian dalam laptopku? Mungkin, laptopku terasa manis bagi mereka hingga betah berlama di sana.
Aku membuang pandang dari laptopku menuju jendela kamar yang telah ditamui pagi. Dan aku bersyukur pagi ini, matahari yang baik hati masih terbit dari arah Timur. Tiba-tiba, aku ngeri membayangkan diriku jika melihat matahari terbit dari arah Barat. Yang akan terjadi sebelum nanti alam semesta akan memasuki halaman terakhir. Aku memanjatkan doa, semoga aku dan dosenku –semoga Allah menyayanginya– memasuki halaman terakhir masing-masing dengan ‘happy ending’ atau husnul khatimah.
***
Sudah satu tahun masa-masa PPL di sekolah hijau itu terlalui. Tapi, pesan masuk di pesan facebookku masih ramai dengan chat dari murid-murid PPL sekolah hijau itu. Mereka masih sering kali menanyakan kabarku. Dan beberapa minggu yang lalu mendesakku dengan sedikit memaksa untuk main ke rumah. Mereka rindu sekali katanya dan menginginkanku untuk berkunjung ke sekolah hijau sana. Aku bukan tidak ingin mereka bermain ke rumahku sini. Aku hanya memikirkan jarak yang cukup jauh dari sekolah hijau itu menuju rumahku. Bagaimana pun, mereka masih remaja tanggung yang satu tahun lebih muda dibanding adik kandungku.  
Karena terus didesak oleh mereka maka aku mengadakan pertemuan sebagai perayaan rindu satu tahun tidak bertemu. Juga karena atas saran dari adik kelas fakultasku, yang juga PPL di sana. Aku menjadi merasa tidak enak dengan adik kelasku itu. Karena, aku memperkenalkannya pada murid-murid PPLku lewat chat di facebook. Habislah ia diserbu oleh murid-murid PPLku. Tentu saja, penyerbuan itu tidak pernah kusangka dan adik kelasku juga merasa takjub dengan keberanian mereka menghampirinya yang padahal bukan guru PPL mereka. Karena adik kelasku itu, mengajar di aliyah(SMA) sedang aku dulu mengajar di tsanawiyah (SMP). Murid-murid PPLku mendesak mengajak adik kelasku itu untuk berkunjung ke rumahku. Ah, begitu rindunya mereka padaku?
Aku sungguh tidak menyangka mereka masih ingin bertemu dan mengatakan rindu. Apakah aku sebegitu mengesankannya bagi mereka? Aku mengingat-ingat, apa yang telah kulakukan dahulu pada mereka? Aku mengajar hanya biasa-biasa saja. Jarang membuat game. Karena aku memang tidak suka pembelajaran itu dengan game. Aku lebih senang guru atau aku menjelaskan dan aku atau murid-muridku mendengarkan. Metode belajar kuno. Tapi aku menyukainya. Aku juga sering marah-marah kalau mereka mulai aktif bersuara tidak sewajarnya saat pembelajaran. Meski, memang, aku sering bercerita kisah bermanfaat pada mereka. Ah, tapi itu hal yang tidak begitu spesial sepertinya,
Aku mengingat sesuatu. Ya, sesuatu. “Ibu kenapa bisa hafal nama kami semuanya?” Celetuk salah satu murid PPLku satu tahun lalu. Aku terkesiap. Hening tiba-tiba. Aku mengingat sesuatu yang tidak sengaja kulupakan. Aku memang bukan dosen. Bukan juga guru ‘sebenarnya’. Hanya guru PPL selama tiga bulan di sekolah hijau itu. Tapi, aku berusaha mencontoh apa yang dilakukan dosenku –semoga Allah menyayanginya–.
Sedari awal PPL, aku memang ingin mengingat semua nama muridku di kelas tanpa terkecuali. Tidak peduli ia aktif atau tidak dikelas. Tidak peduli ia pintar atau tidak. Memperlakukan mereka sama rata. Sangat berusaha untuk tidak berpilih kasih. Seperti yang telah dicontohkan oleh dosenku. Aku pikir, hal itulah yang membuat mereka begitu setia merinduiku. Begitu berkesan. Karena tidak hanya satu-dua yang masih meramaikan pesan masuk di facebookku. Tapi banyak.
Aku mengingat hari-hari akhir bersama mereka. Mereka begitu ringan tangan memberiku banyak hadiah dan itu hadiah-hadiah pribadi dari mereka. Hadiah kerudung, boneka, hiasan bunga, bahkan aku mendapatkan mpek-mpek dari salah satu mereka, makanan khas sukuku dan tentu saja kesukaanku. Dan hadiah yang paling lucu tapi yang paling berguna menurutku adalah hadiah balsem yang bentuknya langsing dan aromanya harum. Dan itu kupakai sampai tak tersisa. Lucu? Iya, mereka memang lucu-lucu. Dan rindu memenuhi kamarku. Semoga sampai kepada mereka lewat hantaran angin, kepada mereka yang saat ini tengah belajar di sekolah hijau itu.   
(Penulis adalah Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)  
(Terbit di Medan Pos, 27 Agustus 2017) 

No comments:

Post a Comment