Karya : Aisyah Haura Dika Alsa
Ada semut-semut
merah di layar dan di sela-sela tuts-tuts laptopku. Aku rasa kehadiran mereka
disebabkan oleh susu adik sepupuku yang tumpah. Adik sepupuku sangat sulit
minum susu. Jadi, agar ibuku –semoga Allah menyayanginya– dapat menyendokkan
susu dengan lancar ke mulutnya maka ia harus diajak main game di laptop. Dan
tidak jarang, susu dari sendok itu tumpah karena senggolan atau karena adik
sepupuku tiba-tiba menolak dan membuang wajahnya dari sendok susu itu.
Baiklah, cukup
membicarakan semut-semut merah yang ada di laptopku. Aku takut terdengar mereka
dan menjadi tersinggung sebab mereka masih ada disini –di sela-sela
tuts-tutsnya–. Sebenarnya, sudah beberapa minggu yang lalu aku ingin menuliskan
ini. Menuliskan seseorang, seseorang yang benar-benar layak digugu dan ditiru. Ketika
ia mengajar, ia tak sekadar memindahkan harumnya ilmu yang ada di kepalanya
menuju kepala mahasiswa-mahasiswanya. Namun, ia juga dapat membuat kebaikan
akhlaknya benar-benar ditiru oleh mahasiswanya. Yah, tentu saja ia seorang
dosen.
Jari-jariku hening sejenak, sepasang mataku
menatap layar laptop yang ternyata telah tersusun di sana dua alinea. Lalu, aku
mencari-cari kenangan dalam kepalaku. Di sana, aku melihat sosok wajah itu dan
aku menjadi haru mengingatnya. Wajah itu, wajah yang ketika bertemu aku, melebarkan
senyumnya dengan semringah dan menyapa namaku ceria. Tidak, ia tidak pernah menspesialkan
aku. Ia tidak hanya mengingat namaku. Tapi, ia juga mengingat nama
teman-temanku. Bahkan nama teman satu kelasku. Mungkin juga kelas-kelas
lainnya. Aku tidak heran jika ‘guru’ mengingat seluruh nama anak-anak didiknya,
apalagi seorang wali kelas. Tapi, baru ia satu-satunya dosen yang kutahu, yang
berusaha mengingat semua nama mahasiswanya. “Iya, ibu sedang berusaha mengingat
nama kalian semua.” Begitu katanya tulus waktu itu. Dan aku. Syahdu mendengar
kalimatnya barusan.
Sebenarnya,
ketika ia mengingat namaku. Tentu saja aku merasa senang namun...itu tidak
spesial. Ya, aku katakan itu jujur. Karena rata-rata dosen yang masuk ke kelas,
mengingat nama dan wajahku. Sekarang, jangan pusatkan padaku. Alihkan pada
teman-temanku yang tidak aktif di kelas atau hanya sesekali saja memberanikan
diri untuk berbicara dengan dosen di dalam kelas. Kuyakin, alangkah senang hati
teman-temanku itu. Itu pasti terasa sangat spesial dan membuat mereka percaya
diri untuk turut andil dalam pengajaran mata kuliah di kelas. Dan itu memang
terbukti. Ketika ada game yang diadakan oleh dosenku –semoga Allah
menyayanginya– maka yang memenangkan game mata kuliah itu adalah teman-teman
yang tidak disangka-sangka. Sedang aku? Aku bahkan sedikit pun tidak membaca
catatan binder mata kuliah itu sebagai persiapan. Karena waktu itu, aku kelelahan
sebab sedang sibuk-sibuknya di organisasi. Aih, aku menjadi mahasiswa yang lupa
tujuan utamanya di kampus biru itu.
Aku kembali
mengamati tuts-tuts laptopku yang berwarna hitam sedang huruf-hurufnya diwarnai
dengan warna lawannya yakni warna putih. Tidak lagi kutemukan di sana
semut-semut merah itu. Kemana perginya mereka? Apa jangan-jangan mereka membuat
kemah di bagian dalam laptopku? Mungkin, laptopku terasa manis bagi mereka
hingga betah berlama di sana.
Aku membuang
pandang dari laptopku menuju jendela kamar yang telah ditamui pagi. Dan aku bersyukur
pagi ini, matahari yang baik hati masih terbit dari arah Timur. Tiba-tiba, aku
ngeri membayangkan diriku jika melihat matahari terbit dari arah Barat. Yang
akan terjadi sebelum nanti alam semesta akan memasuki halaman terakhir. Aku
memanjatkan doa, semoga aku dan dosenku –semoga Allah menyayanginya– memasuki
halaman terakhir masing-masing dengan ‘happy ending’ atau husnul khatimah.
***
Sudah satu tahun
masa-masa PPL di sekolah hijau itu terlalui. Tapi, pesan masuk di pesan
facebookku masih ramai dengan chat dari murid-murid PPL sekolah hijau itu. Mereka
masih sering kali menanyakan kabarku. Dan beberapa minggu yang lalu mendesakku
dengan sedikit memaksa untuk main ke rumah. Mereka rindu sekali katanya dan
menginginkanku untuk berkunjung ke sekolah hijau sana. Aku bukan tidak ingin
mereka bermain ke rumahku sini. Aku hanya memikirkan jarak yang cukup jauh dari
sekolah hijau itu menuju rumahku. Bagaimana pun, mereka masih remaja tanggung
yang satu tahun lebih muda dibanding adik kandungku.
Karena terus
didesak oleh mereka maka aku mengadakan pertemuan sebagai perayaan rindu satu
tahun tidak bertemu. Juga karena atas saran dari adik kelas fakultasku, yang
juga PPL di sana. Aku menjadi merasa tidak enak dengan adik kelasku itu.
Karena, aku memperkenalkannya pada murid-murid PPLku lewat chat di facebook.
Habislah ia diserbu oleh murid-murid PPLku. Tentu saja, penyerbuan itu tidak
pernah kusangka dan adik kelasku juga merasa takjub dengan keberanian mereka
menghampirinya yang padahal bukan guru PPL mereka. Karena adik kelasku itu,
mengajar di aliyah(SMA) sedang aku dulu mengajar di tsanawiyah (SMP). Murid-murid
PPLku mendesak mengajak adik kelasku itu untuk berkunjung ke rumahku. Ah,
begitu rindunya mereka padaku?
Aku sungguh
tidak menyangka mereka masih ingin bertemu dan mengatakan rindu. Apakah aku
sebegitu mengesankannya bagi mereka? Aku mengingat-ingat, apa yang telah
kulakukan dahulu pada mereka? Aku mengajar hanya biasa-biasa saja. Jarang
membuat game. Karena aku memang tidak suka pembelajaran itu dengan game. Aku
lebih senang guru atau aku menjelaskan dan aku atau murid-muridku mendengarkan.
Metode belajar kuno. Tapi aku menyukainya. Aku juga sering marah-marah kalau
mereka mulai aktif bersuara tidak sewajarnya saat pembelajaran. Meski, memang,
aku sering bercerita kisah bermanfaat pada mereka. Ah, tapi itu hal yang tidak begitu
spesial sepertinya,
Aku mengingat sesuatu.
Ya, sesuatu. “Ibu kenapa bisa hafal nama kami semuanya?” Celetuk salah satu
murid PPLku satu tahun lalu. Aku terkesiap. Hening tiba-tiba. Aku mengingat
sesuatu yang tidak sengaja kulupakan. Aku memang bukan dosen. Bukan juga guru
‘sebenarnya’. Hanya guru PPL selama tiga bulan di sekolah hijau itu. Tapi, aku berusaha
mencontoh apa yang dilakukan dosenku –semoga Allah menyayanginya–.
Sedari awal PPL,
aku memang ingin mengingat semua nama muridku di kelas tanpa terkecuali. Tidak
peduli ia aktif atau tidak dikelas. Tidak peduli ia pintar atau tidak. Memperlakukan
mereka sama rata. Sangat berusaha untuk tidak berpilih kasih. Seperti yang
telah dicontohkan oleh dosenku. Aku pikir, hal itulah yang membuat mereka
begitu setia merinduiku. Begitu berkesan. Karena tidak hanya satu-dua yang
masih meramaikan pesan masuk di facebookku. Tapi banyak.
Aku mengingat
hari-hari akhir bersama mereka. Mereka begitu ringan tangan memberiku banyak
hadiah dan itu hadiah-hadiah pribadi dari mereka. Hadiah kerudung, boneka, hiasan
bunga, bahkan aku mendapatkan mpek-mpek dari salah satu mereka, makanan khas
sukuku dan tentu saja kesukaanku. Dan hadiah yang paling lucu tapi yang paling
berguna menurutku adalah hadiah balsem yang bentuknya langsing dan aromanya
harum. Dan itu kupakai sampai tak tersisa. Lucu? Iya, mereka memang lucu-lucu. Dan
rindu memenuhi kamarku. Semoga sampai kepada mereka lewat hantaran angin,
kepada mereka yang saat ini tengah belajar di sekolah hijau itu.
(Penulis
adalah Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
(Terbit di Medan Pos, 27 Agustus 2017)
No comments:
Post a Comment