Karya : Aisyah Haura Dika Alsa
Aku memandangi kalkulator miniku yang
berwarna biru. Aku suka dengan bentuknya yang mungil. Mirip telepon genggam
pintar hanya saja bentuknya sedikit lebih lebar. Kalkulator ini sebenarnya terpaksa
aku beli untuk mata kuliah Statistik. Lebih tepatnya untuk “ujian” mata kuliah
Statistik. Jika perkuliahan biasa dibolehkan menggunakan handphone untuk
menghitung, tentu saja saat ujian tidak diperkenankan. Dan dosen kami
membolehkan jika dengan kalkulator. Dan kalian tahu? Hanya itu satu-satunya
mata kuliah yang menghitung. Mata kuliah di jurusanku ialah merangkai kata
dengan baik dan benar. Jadi, pasti kami kelimpungan jika tanpa alat bantu
hitung.
Baiklah, pasti membingungkan membaca
judul dan paragraf pertama tulisanku. Seperti tidak ada korelasinya? Maka dari
itu, aku ingin melanjutkan tulisan ini. Agar ia berkorelasi.
Aku masih memandangi kalkulator mini
biruku. Aku memang seperti orang yang tidak ada kerjaan. Aku tengah menunggu
seorang pelanggan setiaku. Pelanggan? Setia lagi? Mengapa tulisanku kali ini
malah banyak menimbulkan pertanyaan?
***
“Jadi, Hilya, kerjanya sekarang begini?”
Kata temanku dengan jujurnya. Ekspresinya kutangkap seperti meremehkan
pekerjaanku. Dan jujur saja, aku tersinggung. Tapi, adegan ketersinggungan itu
tidak kuperlihatkan.
“Penghasilan perbulan alhamdulillah sama
seperti penghasilan ngajar sebulan. Cuma bedanya, aku kerja dari rumah aja.”
Jawabku sambil nyengir. Maksudku penghasilanku, dari hasil jualan dan menulis
di media koran. Dia tentu saja meremehkan pekerjaan jualanku bukan menulisku.
Karena, saat itu aku tengah mengantarkan barang jualanku kepada temanku satunya
lagi. Tapi, sudahlah. Aku tidak ingin tersinggung lama. Mungkin, mengajar lebih
bergengsi menurutnya ketimbang jualan. Apalagi,
memang, saat itu gayaku persis seperti kurir-kurir pengantar barang. Memakai
helm merahku dan jaket abangku.
Aku memang memilih bekerja dari dalam
rumah. Aku tidak menganggap mengajar itu bukan pekerjaan yang mulia atau tidak
baik sehingga saat tamat kuliahku, aku malah memilih untuk tidak mengajar. Tawaran
mengajar ada hinggap padaku tapi aku memang belum berkeinginan.
Setelah mengantar barang jualanku kepada
teman-temanku dengan menggunakan sepeda motor yang kupinjam dari adik ibuku,
aku membeli rujak di sebelah kampusku. Rujak langgananku saat kuliah dahulu. Rujak
ini sangat laris manis. Harus tahan antri jika membelinya. Selain karena murah
dan buahnya segar. Aku juga senang dengan penjualnya. Seorang ibu muda dengan
dua anak yang berjilbab syar’i. Kalian tahu? Dari dialah, aku mencontoh
kejujurannya saat berjualan. Dia akan mengatakan buahnya asam jika memang asam.
Bahkan pembelinya boleh mencicipi terlebih dahulu. Dia memang ‘hanya’ penjual
rujak. Tapi, di mataku. Dia adalah salah satu guruku tentang kejujuran. Aih,
harusnya memang, kita tak meremehkan pekerjaan. Apapun itu.
“Apa kegiatannya sekarang, Dek?” tanyanya
sambil memotong-motong buah yang kupesan. Tangannya ligat sekali membuatkan
pesanan.
“Jualan online, Kak. Kerja di rumah
aja.” Jawabku ramah. Aku salut padanya. Selain kejujurannya yang patut ditiru. Ternyata
ingatannya juga kuat. Dia masih saja tanda padaku meski wajahku tidak lagi
kelihatan.
“Oh iyalah, kerja di rumah. Is, Kakak
irilah sebenarnya sama kelen ini. Kakak pun mau nutup wajah kakak. Kadang, ada
pembeli (laki-laki) yang nengoki aja. Awak kan udah bersuami. Ga enak juga
rasanya. Kalau pakai cadar kan bagus, ketutup muka awak. Nggak jadi fitnah.” Katanya
cukup panjang mencurahkan keinginannya.
Sejujurnya, aku terhibur dengan kalimat
kakak penjual rujak yang baik hati ini. Mengobati ketersinggungan atas
keremehan pekerjaanku tadi. Ya, setiap orang memang memiliki pendapat. Tinggal
kita yang ingin tetap memegang kokoh prinsip yang kita punya atau gugur karena
hanya omongan orang lain. Itulah memang salah satu alasanku tidak bekerja di
luar rumah. Kemungkinan membuka cadar saat bekerja di luar rumah itu lebih
besar. Meski memang, aku tidak masalah jika suatu hari nanti aku terpaksa
bekerja di luar rumah lalu membuka cadar sebab memang aku menghukuminya sunnah.
“Iya, Kak. Udahlah banyak dosa awak.
Tambah lagi dosa karena muka awak. Karena pun perempuan, kalau nggak cantik pun,
ketika dia keluar rumah bakal dihiasi sama setan kan, Kak? Pakai cadar ini, insya
Allaah, ngurangi dosa awak sikitlah ya kan, Kak..”
“Iya-iya, Dek.. bener itu...” Katanya
mengangguk dengan tanda penuh setuju.
Ketika aku masih bisa bekerja di dalam
rumah dan dapat membiayai sendiri keperluanku tanpa memusingkan orang tua. Aku
tidak boleh goyah saat ada yang meremehkan pekerjaanku. Meski memang, aku tidak
pernah berpikir setelah tamat kuliah, aku akan bekerja sebagai pedagang. Karena,
dahulu kala, dalam pikiranku, aku sama sekali tidak ada pandai-pandainya
berjualan. Apalagi saat merayu orang lain untuk membeli daganganku. Rasanya
waktu itu, entah kenapa aku merasa sangat tidak tega. Aih, lucu sekalikan?
Dan saat ini, alhamdulillah belum
sebulan aku jualan, produk yang aku jual telah mencapai ratusan barang. Alhamdulillah.
Segala puji bagi Allah. Aku memang percaya dan aku berusaha menjadi hamba yang
tawakkal. Sebab, memang rezeki telah diatur sedemikian rupa. Kalau dulu, aku
berpikir, bisnis adalah persaingan. Tapi, saat setelah aku lebih mendalami
agamaku, bisnis adalah rezeki yang tak akan tertukar. Dahulu saja, ulama
bekerja hanya dua jam dalam sehari semalam. Selebihnya menuntut ilmu. Aih, aku
jauh sekali dari ulama itu. Dan aku tak ingin risaukan rezekiku karena sebelum
nyawaku tercabut, rezekiku telah dijamin –oleh Sang Maha Pemberi Rezeki– akan
terus memenuhi hidupku. Yang perlu aku risaukan adalah, surga tak terjamin
untukku. Tidak ada yang dapat menjaminkanku surga: tempat gembira yang
selamanya.
Lagi-lagi, aku tak ingin merisaukan
pekerjaanku. Sebab orang yang paling mulia diantara manusia manapun, yang
pernah hidup di dunia ini, pekerjaannya adalah pedagang. Bahkan salah satu
perempuan yang paling mulia yang pernah hidup di dunia ini –yang menjadi
istrinya– juga pedagang. Kalian sudah pasti bisa menebaknya. Muhammad shalallaahu
‘alaihi wassalam dan Khadijah Radiallahu ‘anha.
Jadi, sekarang, Kalian sudah bisa pahamkan,
korelasi dari judul cerita pendekku ini dengan isi ceritanya. Meski tidak
menceritakan banyak tentang skin care. Tapi, itulah barang daganganku saat ini.
Barang daganganku yang juga kupakai rutin. Sebab, tentu saja, aku ingin
terlihat indah di mata lelakiku nanti.
(Penulis adalah Alumni Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
(Terbit di Medan Pos, 3 September 2017)
No comments:
Post a Comment