Sunday, September 3, 2017

Skin Care



Karya : Aisyah Haura Dika Alsa

Aku memandangi kalkulator miniku yang berwarna biru. Aku suka dengan bentuknya yang mungil. Mirip telepon genggam pintar hanya saja bentuknya sedikit lebih lebar. Kalkulator ini sebenarnya terpaksa aku beli untuk mata kuliah Statistik. Lebih tepatnya untuk “ujian” mata kuliah Statistik. Jika perkuliahan biasa dibolehkan menggunakan handphone untuk menghitung, tentu saja saat ujian tidak diperkenankan. Dan dosen kami membolehkan jika dengan kalkulator. Dan kalian tahu? Hanya itu satu-satunya mata kuliah yang menghitung. Mata kuliah di jurusanku ialah merangkai kata dengan baik dan benar. Jadi, pasti kami kelimpungan jika tanpa alat bantu hitung.
Baiklah, pasti membingungkan membaca judul dan paragraf pertama tulisanku. Seperti tidak ada korelasinya? Maka dari itu, aku ingin melanjutkan tulisan ini. Agar ia berkorelasi.
Aku masih memandangi kalkulator mini biruku. Aku memang seperti orang yang tidak ada kerjaan. Aku tengah menunggu seorang pelanggan setiaku. Pelanggan? Setia lagi? Mengapa tulisanku kali ini malah banyak menimbulkan pertanyaan?
***

“Jadi, Hilya, kerjanya sekarang begini?” Kata temanku dengan jujurnya. Ekspresinya kutangkap seperti meremehkan pekerjaanku. Dan jujur saja, aku tersinggung. Tapi, adegan ketersinggungan itu tidak kuperlihatkan.
“Penghasilan perbulan alhamdulillah sama seperti penghasilan ngajar sebulan. Cuma bedanya, aku kerja dari rumah aja.” Jawabku sambil nyengir. Maksudku penghasilanku, dari hasil jualan dan menulis di media koran. Dia tentu saja meremehkan pekerjaan jualanku bukan menulisku. Karena, saat itu aku tengah mengantarkan barang jualanku kepada temanku satunya lagi. Tapi, sudahlah. Aku tidak ingin tersinggung lama. Mungkin, mengajar lebih bergengsi menurutnya ketimbang  jualan. Apalagi, memang, saat itu gayaku persis seperti kurir-kurir pengantar barang. Memakai helm merahku dan jaket abangku.
Aku memang memilih bekerja dari dalam rumah. Aku tidak menganggap mengajar itu bukan pekerjaan yang mulia atau tidak baik sehingga saat tamat kuliahku, aku malah memilih untuk tidak mengajar. Tawaran mengajar ada hinggap padaku tapi aku memang belum berkeinginan.
Setelah mengantar barang jualanku kepada teman-temanku dengan menggunakan sepeda motor yang kupinjam dari adik ibuku, aku membeli rujak di sebelah kampusku. Rujak langgananku saat kuliah dahulu. Rujak ini sangat laris manis. Harus tahan antri jika membelinya. Selain karena murah dan buahnya segar. Aku juga senang dengan penjualnya. Seorang ibu muda dengan dua anak yang berjilbab syar’i. Kalian tahu? Dari dialah, aku mencontoh kejujurannya saat berjualan. Dia akan mengatakan buahnya asam jika memang asam. Bahkan pembelinya boleh mencicipi terlebih dahulu. Dia memang ‘hanya’ penjual rujak. Tapi, di mataku. Dia adalah salah satu guruku tentang kejujuran. Aih, harusnya memang, kita tak meremehkan pekerjaan. Apapun itu.
“Apa kegiatannya sekarang, Dek?” tanyanya sambil memotong-motong buah yang kupesan. Tangannya ligat sekali membuatkan pesanan.
“Jualan online, Kak. Kerja di rumah aja.” Jawabku ramah. Aku salut padanya. Selain kejujurannya yang patut ditiru. Ternyata ingatannya juga kuat. Dia masih saja tanda padaku meski wajahku tidak lagi kelihatan.
“Oh iyalah, kerja di rumah. Is, Kakak irilah sebenarnya sama kelen ini. Kakak pun mau nutup wajah kakak. Kadang, ada pembeli (laki-laki) yang nengoki aja. Awak kan udah bersuami. Ga enak juga rasanya. Kalau pakai cadar kan bagus, ketutup muka awak. Nggak jadi fitnah.” Katanya cukup panjang mencurahkan keinginannya.
Sejujurnya, aku terhibur dengan kalimat kakak penjual rujak yang baik hati ini. Mengobati ketersinggungan atas keremehan pekerjaanku tadi. Ya, setiap orang memang memiliki pendapat. Tinggal kita yang ingin tetap memegang kokoh prinsip yang kita punya atau gugur karena hanya omongan orang lain. Itulah memang salah satu alasanku tidak bekerja di luar rumah. Kemungkinan membuka cadar saat bekerja di luar rumah itu lebih besar. Meski memang, aku tidak masalah jika suatu hari nanti aku terpaksa bekerja di luar rumah lalu membuka cadar sebab memang aku menghukuminya sunnah.
“Iya, Kak. Udahlah banyak dosa awak. Tambah lagi dosa karena muka awak. Karena pun perempuan, kalau nggak cantik pun, ketika dia keluar rumah bakal dihiasi sama setan kan, Kak? Pakai cadar ini, insya Allaah, ngurangi dosa awak sikitlah ya kan, Kak..”
“Iya-iya, Dek.. bener itu...” Katanya mengangguk dengan tanda penuh setuju.
Ketika aku masih bisa bekerja di dalam rumah dan dapat membiayai sendiri keperluanku tanpa memusingkan orang tua. Aku tidak boleh goyah saat ada yang meremehkan pekerjaanku. Meski memang, aku tidak pernah berpikir setelah tamat kuliah, aku akan bekerja sebagai pedagang. Karena, dahulu kala, dalam pikiranku, aku sama sekali tidak ada pandai-pandainya berjualan. Apalagi saat merayu orang lain untuk membeli daganganku. Rasanya waktu itu, entah kenapa aku merasa sangat tidak tega. Aih, lucu sekalikan?
Dan saat ini, alhamdulillah belum sebulan aku jualan, produk yang aku jual telah mencapai ratusan barang. Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah. Aku memang percaya dan aku berusaha menjadi hamba yang tawakkal. Sebab, memang rezeki telah diatur sedemikian rupa. Kalau dulu, aku berpikir, bisnis adalah persaingan. Tapi, saat setelah aku lebih mendalami agamaku, bisnis adalah rezeki yang tak akan tertukar. Dahulu saja, ulama bekerja hanya dua jam dalam sehari semalam. Selebihnya menuntut ilmu. Aih, aku jauh sekali dari ulama itu. Dan aku tak ingin risaukan rezekiku karena sebelum nyawaku tercabut, rezekiku telah dijamin –oleh Sang Maha Pemberi Rezeki– akan terus memenuhi hidupku. Yang perlu aku risaukan adalah, surga tak terjamin untukku. Tidak ada yang dapat menjaminkanku surga: tempat gembira yang selamanya.
Lagi-lagi, aku tak ingin merisaukan pekerjaanku. Sebab orang yang paling mulia diantara manusia manapun, yang pernah hidup di dunia ini, pekerjaannya adalah pedagang. Bahkan salah satu perempuan yang paling mulia yang pernah hidup di dunia ini –yang menjadi istrinya– juga pedagang. Kalian sudah pasti bisa menebaknya. Muhammad shalallaahu ‘alaihi wassalam dan Khadijah Radiallahu ‘anha.
Jadi, sekarang, Kalian sudah bisa pahamkan, korelasi dari judul cerita pendekku ini dengan isi ceritanya. Meski tidak menceritakan banyak tentang skin care. Tapi, itulah barang daganganku saat ini. Barang daganganku yang juga kupakai rutin. Sebab, tentu saja, aku ingin terlihat indah di mata lelakiku nanti.
(Penulis adalah Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
(Terbit di Medan Pos, 3 September 2017)

No comments:

Post a Comment