Monday, September 4, 2017

Ka Lambang Hati Fa



Karya : Aisyah Haura Dika Alsa
Fa

Hari itu, aku baru saja p­ulang dari kampus. Turun dari angkutan umum, bergegas lari mengejar rumahku yang tak bisa melarikan diri. Sepanjang gang, perutku sudah tidak sabar mem­bayangkan masakan ibu hari ini. Tadi di kampus, aku tidak sem­pat jajan apapun. Jadwal kuliah dan kegiatan di komunitas begitu padat, membuatku harus pulang pukul tiga sore. Kupikir, daripa­da jajan atau makan di luarlebih baik langsung pulang saja. Aku ingat tadi pagi ibu berpesan, ibu akan masak udang sambal kesu­kaanku. Sepanjang perjalanan, aku hanya bisa menahan air liur.

Setiba di rumah, aku berge­gas ke dapur. Membuka lemari makan, mengambil piring dan men­cium sedapnya aroma udang sambal, ditambah lagi dengan sayur bening. Air liurku ma­kin tak tertahankan. Tak lupa air hangat kesukaanku seperti bi­asa. Ah, iya, aku akan merasa mual jika minum air biasa. En­tahlah, aku juga tidak tahu meng­apa bisa begitu. Sebaiknya, aku bergegas makan daripada me­mi­kirkan hal lain. Perutku sudah begitu baik sebab sudah mau to­leransi terhadap jadwalku yang penuh.
Hm... Ini enak sekali. Setelah kurasa perutku sudah membaik, aku mencari ibu ke kamarnya. Untuk mengucapkan terima ka­sih karena selalu bisa menghi­dang makanan lezat dan bergizi. Membuatku akan merasa sa­yang jika makan di luar rumah. Ah, ibu. Kenapa tidak membuka rumah makan saja. Masakan ibu benar-benar enak sekali.

“Ibu... Assalamu’alaykum.. Tok.. Tok.. Tok..” Aku menge­tuk pintu kamar ibu sambil juga mengeluarkan bunyi tok-tok dari mulutku sendiri.

“Ibu...., Fa boleh masuk, nggak? Ibu lagi bobo siang ya?”

“Ibu... Lagi ngapain sih? Fa kangen sama Ibu nihhhh. Tahu nggak, entah kenapa tadi di kampus, Fa memikirkan ibu te­rus. Fa berpikir, Ibu sedang apa ya di kantor. Ibu nggak capek apa ya, habis pulang ngantor lang­sung masak. Huh.. Fa saja rasanya lelah sekali.” Kataku mencoba menggoda ibu.
Kalau tidak ada sahutan be­gini, pasti ibu mengerjaiku. Aku masuk saja dan ternyata pintu­nya tidak dikunci. Aku langsung rebahan di kasur ibu. Bajuku bahkan belum diganti. Aku bangkit dari kasur, ternyata ibu tidak ada di kamarnya. Mungkin ibu ada di ruang sholat. Biasa­nya, kan ibu memang lebih se­ring di ruang sholat ketimbang di kamarnya sendiri.

Nah kan, benar! Ibu ada di ru­ang sholat. Eh, ibu sedang tidur ya?

“Ya ampun Ibu. Baca Al-Quran sampai ketiduran begi­ni.”Aku duduk di samping ibu.
Beberapa detik terdiam.

“Ibu terima kasih ya.. Udang sambalnya. Selalu enak..” Aku menoleh ke wajah ibu.
“...................”
“Bu, Fa rindu sekali pada Ka. Kita menyusul Ka ke sana yuk. Sekalian umroh, Bu.
“....................”
“Bu.. begini ya rasanya jatuh cinta? Apa dulu Ibu merasakan ini juga saat baru-baru menikah dengan ayah?”
“....................”

Aku membuang napas.. Wa­jah Ka dan wajah ayah yang se­puluh tahun ini tak pernah kupan­dang lagi membuat gambar di otakku. Mungkin, ayah sudah sa­ngat bahagia di sana. Lebih de­kat dengan Sang Pencinta. Rasanya, aku bertambah sesak. Sebab, tidak hanya rindu pada Ka saja. Tiba-tiba, aku jadi sa­ngat merindukan ayah.

Aku tertidur di samping ibu dan bermimpi, ibu memeluk ayah dan menyatakan rindu ke­pada ayah di depanku. Ssaat aku terbangun, ibu sudah tidak ba­ngun lagi. Selamanya.
* * *
Ka

Nomor Fa susah sekali dihu­bungi. Aku juga tidak tahu me­ngapa menjadi khawatir sekali seperti ini pada Fa. Padahal se­jam lalu, Fa baru saja mengirim gambar udang sambal kesuka­an­nya yang dimasak ibu. Seju­jurnya, aku juga menahan air liur melihat gambar yang dikirim Fa. Bagaimana tidak, sudah sembi­lan bulan, aku tidak menikmati ma­sakan rumah. Tugas akhir ini membuatku tidak bisa sedikit­pun berjalan-jalan ke rumah ma­kan Indonesia. Sekedar untuk menggugurkan rindu yang be­nar-benar deru.

Sembilan bulan ini juga, Fa yang meruntuhkan rindu lidahku ini dengan mengirim masakan-ma­sakan ibu ataupun masakan­nya. Sebenarnya, Fa tidak be­nar-benar meruntuhkan rinduku. Fa hanya berpura-pura ikut iba. Dengan tertawa kecil, Fa akan se­lalu bilang,“Akutidak sedang menjailiKa. Aku tulus kasihan. Tenang saja, kalau pulang nanti, Aku akan masakkan semua ma­kanan kesukaan Ka.”Setelah mengucapkan kalimat itu, Fa akan tertawa terkekeh-kekeh. Fa memang hobi sekali menjaili dan menggoda suaminya yang tak berdaya ini.

Malamnya, tiba-tiba umi me­nelponku. Tidak biasanya. Ini bukan jadwal umi menelpon. Apa umi tiba-tiba sangat merin­dukan anak laki-laki satu-satu­nya ini?Ah, tapi umi bukan tipe yang romantis. Bisa dibilang, umi adalah wanita yang kaku. Ber­beda sekali dengan abi yang begitu senang menggoda; meng­goda umi tentu saja.

Selesai umi menelpon, rasa khawatirku semakin melam­bung tinggi. Perasaan gelisah da­ri tadi ternyata tidak hanya pe­rasaan. Kabar duka itu membu­atku terduduk di sisi kiri kasur. Wa­jah ibu dan Fa memenuhi kepalaku. Beberapa saat, aku meng­hubungi Fa kembali. Fa sama sekali tidak mengangkat telponku. Oh, Fa. Betapa ingin­nya aku mendengar suara­mu. Betapa inginnya aku di sisimu sa­at ini. Kalau saja aku bisa. Aku tidak akan menunggu detik untuk pergi memelukmu.
* * *
Fa menolak bicara pada sia­papun. Sepanjang waktu setelah kepulangan ibu, Fa hanya terus terisak. Tidak mau makan atau­pun minum. Syukurnya, Fa masih mengerjakan kewajiban­nya yang lima waktu. Aku tahu, Fa pasti begitu terpukul. Ini duka yang pasti begitu menyayat jan­tungnya. Fa sering kali bilang,

“Di dunia ini, sebelum Ka ada. Ibulah satu-satunya harta yang aku punya. Setelah Ka ada. Ibu tetap menjadi satu-satunya harta yang aku punya.”

“Yah.... begitu ya?“ Kataku lemah.

“Karena.. Tentu saja, Ka bukan harta. Ka-kan suamiku, gimana sih? Udah jangan cem­berut gitu ah. Jelek tahu!”

Setiap kali mengingat perca­kapan itu, aku selalu tertawa. Kali ini, perih yang merasuki.
Situasi ini, rasanya menya­kitkan sekali. Aku tidak dapat pu­lang ke kampung halaman, untuk duduk di samping istriku lalu memeluknya. Membiarkan ba­hu­ku basah oleh isaknya. Aku be­nar-benar merasa lemah. Sung­guh, sehebat apapun manu­sia, dia tidak akan bisa melaku­kan semuanya. Aku tidak bisa izin untuk tidak masuk kuliah. Meski tabunganku ada untuk me­lakukan perjalanan. Jadwal pu­lang sudah ditentukan setiap tahunnya. Sekitar tiga bulan lagi jadwal rutin mudikku.

Aku hanya bisa menunggu, dan tentu saja menunggu Fa mau berbicara denganku. Aku takut sekali Fa marah karena dia pasti akan merasa sendiri. Aku tahu, hubungan jarak jauh ini ti­dak pernah mudah. Rasanya, aku ingin sekali membawanya kemanapun aku pergi. Iya, aku bisa membawanya pergi. Se­ben­tar lagi.. sebentar lagi kuliah­ku akan selesai. Aku bisa bebas menghabiskan waktuku untuk terus bersamanya.
* * *
Fa masih tidak mau bicara denganku. Sudah hari ketiga. Dulu Fa juga pernah begini, saat dia tiba-tiba merasa cemburu. Fa, harusnya kamu tahu, sehari saja tanpa kamu, aku begitu sulit menjalani hari.
Sebelumnya, aku tidak per­nah seperti ini. Jatuh cinta. Sa­ma sekali tidak pernah. Akhir­nya umi menjodohkanku pada seorang gadis anak teman umi -yang ingin sekali anak perem­puannya segera menikah-. Ya, tentu saja, aku tahu. Ternyata fi­rasat ibu benar. Usia hidupnya di dunia tidak lama lagi. Permin­taan terakhirnya, hanya melihat anak satu-satunya menikah. Oh, ibu, sembilan bulan ini, ibu sudah menjadi mertua terbaik sepan­jang masa. Ibu begitu menya­yangiku. Ibu yang lebih sering menelponku ketimbang umiku sendiri.

Istighfar harus lebih banyak kugalakkan. Agar rasa gelisah ini pergi musnah.
Istriku itu sedang diuji kecin­taannya oleh Allah. Kabar duka ini akan membuatnya semakin mulia di mata Allah jika dia bisa ikhlas melepas ibu tercinta. Ah, aku berusaha menghibur diriku sendiri. Agar tidak terlalu resah menunggu Fa mau bicara de­ngan­ku. Aku percaya, setiap ke­sedihan menyimpan begitu ba­nyak pelajaran.
* * *
Epilog
“Ka...”
“........”
“Ka...”
“.......”
“Ka?!”
“Eh, iya halo..”
“Hoh.. Ini, Fa..”
“Iya, Fa.. Kenapa?”
“Tidak apa-apa..”
“Eh, Fa?! Fa?! Ini, Fa?!”
“Iya...”
“Alhamdulillah... Apa kabar, Sayang? Aku rindu sekali...”

Hubungan jarak jauh ini bu­kan hanya soal jarak 6.728 km. Juga soal waktu. Di sini, sedang waktunya orang tidur dan di tem­pat Fa waktunya orang-orang akan memulai aktivitas pagi hari. Aku benar-benar merasa lega dan bahagia mendengar suara Fa dan lebih bahagianya Fa yang menelponku.
Aku tidak lagi khawatir kare­na kudengar Fa sudah bisa ter­tawa seperti biasanya. Ada satu hal yang semakin membuatku tertawa. Tadi, sebelum Fa me­nelpon, aku sedang menyele­saikan tugas akhir di meja be­lajar, tertidur di sana. Tidak sadar mengangkat telpon. Ternyata se­belum tidur, tanpa kusadari, aku mengambil pena dan men­co­ret-coret kertas. Tulisan, “Ka lambang hati Fa” sudah berse­rak satu halaman. Ah, jatuh cinta ternyata bisa membuatku mela­kukan kebiasaan anak sekolah da­sar. Tidak masalah. Aku jatuh cinta pada yang halal. Selain cinta, pahala juga ikut merona.
(Terbit di Analisa, Minggu, 7 Agustus 2016)

No comments:

Post a Comment