Karya : Aisyah Haura Dika Alsa
Fa
Hari itu, aku baru saja pulang dari kampus.
Turun dari angkutan umum, bergegas lari mengejar rumahku yang tak bisa
melarikan diri. Sepanjang gang, perutku sudah tidak sabar membayangkan masakan
ibu hari ini. Tadi di kampus, aku tidak sempat jajan apapun. Jadwal kuliah dan
kegiatan di komunitas begitu padat, membuatku harus pulang pukul tiga sore.
Kupikir, daripada jajan atau makan di luarlebih baik langsung pulang saja. Aku
ingat tadi pagi ibu berpesan, ibu akan masak udang sambal kesukaanku.
Sepanjang perjalanan, aku hanya bisa menahan air liur.
Setiba di rumah, aku bergegas ke dapur. Membuka
lemari makan, mengambil piring dan mencium sedapnya aroma udang sambal,
ditambah lagi dengan sayur bening. Air liurku makin tak tertahankan. Tak lupa
air hangat kesukaanku seperti biasa. Ah, iya, aku akan merasa mual jika minum
air biasa. Entahlah, aku juga tidak tahu mengapa bisa begitu. Sebaiknya, aku
bergegas makan daripada memikirkan hal lain. Perutku sudah begitu baik sebab
sudah mau toleransi terhadap jadwalku yang penuh.
Hm... Ini enak sekali. Setelah kurasa perutku sudah
membaik, aku mencari ibu ke kamarnya. Untuk mengucapkan terima kasih karena
selalu bisa menghidang makanan lezat dan bergizi. Membuatku akan merasa sayang
jika makan di luar rumah. Ah, ibu. Kenapa tidak membuka rumah makan saja.
Masakan ibu benar-benar enak sekali.
“Ibu... Assalamu’alaykum.. Tok.. Tok.. Tok..” Aku
mengetuk pintu kamar ibu sambil juga mengeluarkan bunyi tok-tok dari mulutku
sendiri.
“Ibu...., Fa boleh masuk, nggak? Ibu
lagi bobo siang ya?”
“Ibu... Lagi ngapain sih? Fa kangen sama
Ibu nihhhh. Tahu nggak, entah kenapa tadi di kampus, Fa
memikirkan ibu terus. Fa berpikir, Ibu sedang apa ya di kantor. Ibu nggak
capek apa ya, habis pulang ngantor langsung masak. Huh.. Fa
saja rasanya lelah sekali.” Kataku mencoba menggoda ibu.
Kalau tidak ada sahutan begini, pasti ibu
mengerjaiku. Aku masuk saja dan ternyata pintunya tidak dikunci. Aku langsung
rebahan di kasur ibu. Bajuku bahkan belum diganti. Aku bangkit dari kasur,
ternyata ibu tidak ada di kamarnya. Mungkin ibu ada di ruang sholat. Biasanya,
kan ibu memang lebih sering di ruang sholat ketimbang di kamarnya sendiri.
Nah kan, benar! Ibu ada di ruang sholat. Eh, ibu
sedang tidur ya?
“Ya ampun Ibu. Baca Al-Quran sampai ketiduran begini.”Aku
duduk di samping ibu.
Beberapa detik terdiam.
“Ibu terima kasih ya.. Udang sambalnya. Selalu enak..”
Aku menoleh ke wajah ibu.
“...................”
“Bu, Fa rindu sekali pada Ka. Kita menyusul Ka ke sana
yuk. Sekalian umroh, Bu.
“....................”
“Bu.. begini ya rasanya jatuh cinta? Apa dulu Ibu
merasakan ini juga saat baru-baru menikah dengan ayah?”
“....................”
Aku membuang napas.. Wajah Ka dan wajah ayah yang sepuluh
tahun ini tak pernah kupandang lagi membuat gambar di otakku. Mungkin, ayah
sudah sangat bahagia di sana. Lebih dekat dengan Sang Pencinta. Rasanya, aku
bertambah sesak. Sebab, tidak hanya rindu pada Ka saja. Tiba-tiba, aku jadi sangat
merindukan ayah.
Aku tertidur di samping ibu dan bermimpi, ibu memeluk
ayah dan menyatakan rindu kepada ayah di depanku. Ssaat aku terbangun, ibu
sudah tidak bangun lagi. Selamanya.
* * *
Ka
Nomor Fa susah sekali dihubungi. Aku juga tidak tahu
mengapa menjadi khawatir sekali seperti ini pada Fa. Padahal sejam lalu, Fa
baru saja mengirim gambar udang sambal kesukaannya yang dimasak ibu. Sejujurnya,
aku juga menahan air liur melihat gambar yang dikirim Fa. Bagaimana tidak,
sudah sembilan bulan, aku tidak menikmati masakan rumah. Tugas akhir ini
membuatku tidak bisa sedikitpun berjalan-jalan ke rumah makan Indonesia.
Sekedar untuk menggugurkan rindu yang benar-benar deru.
Sembilan bulan ini juga, Fa yang meruntuhkan rindu
lidahku ini dengan mengirim masakan-masakan ibu ataupun masakannya.
Sebenarnya, Fa tidak benar-benar meruntuhkan rinduku. Fa hanya berpura-pura
ikut iba. Dengan tertawa kecil, Fa akan selalu bilang,“Akutidak sedang
menjailiKa. Aku tulus kasihan. Tenang saja, kalau pulang nanti, Aku akan
masakkan semua makanan kesukaan Ka.”Setelah mengucapkan kalimat itu, Fa akan
tertawa terkekeh-kekeh. Fa memang hobi sekali menjaili dan menggoda suaminya
yang tak berdaya ini.
Malamnya, tiba-tiba umi menelponku. Tidak biasanya.
Ini bukan jadwal umi menelpon. Apa umi tiba-tiba sangat merindukan anak
laki-laki satu-satunya ini?Ah, tapi umi bukan tipe yang romantis. Bisa
dibilang, umi adalah wanita yang kaku. Berbeda sekali dengan abi yang begitu
senang menggoda; menggoda umi tentu saja.
Selesai umi menelpon, rasa khawatirku semakin melambung
tinggi. Perasaan gelisah dari tadi ternyata tidak hanya perasaan. Kabar duka
itu membuatku terduduk di sisi kiri kasur. Wajah ibu dan Fa memenuhi kepalaku.
Beberapa saat, aku menghubungi Fa kembali. Fa sama sekali tidak mengangkat
telponku. Oh, Fa. Betapa inginnya aku mendengar suaramu. Betapa inginnya aku
di sisimu saat ini. Kalau saja aku bisa. Aku tidak akan menunggu detik untuk
pergi memelukmu.
* * *
Fa menolak bicara pada siapapun. Sepanjang waktu
setelah kepulangan ibu, Fa hanya terus terisak. Tidak mau makan ataupun minum.
Syukurnya, Fa masih mengerjakan kewajibannya yang lima waktu. Aku tahu, Fa
pasti begitu terpukul. Ini duka yang pasti begitu menyayat jantungnya. Fa
sering kali bilang,
“Di dunia ini, sebelum Ka ada. Ibulah satu-satunya
harta yang aku punya. Setelah Ka ada. Ibu tetap menjadi satu-satunya harta yang
aku punya.”
“Yah.... begitu ya?“ Kataku lemah.
“Karena.. Tentu saja, Ka bukan harta. Ka-kan
suamiku, gimana sih? Udah jangan cemberut gitu ah. Jelek tahu!”
Setiap kali mengingat percakapan itu, aku selalu
tertawa. Kali ini, perih yang merasuki.
Situasi ini, rasanya menyakitkan sekali. Aku tidak
dapat pulang ke kampung halaman, untuk duduk di samping istriku lalu
memeluknya. Membiarkan bahuku basah oleh isaknya. Aku benar-benar merasa
lemah. Sungguh, sehebat apapun manusia, dia tidak akan bisa melakukan
semuanya. Aku tidak bisa izin untuk tidak masuk kuliah. Meski tabunganku ada
untuk melakukan perjalanan. Jadwal pulang sudah ditentukan setiap tahunnya.
Sekitar tiga bulan lagi jadwal rutin mudikku.
Aku hanya bisa menunggu, dan tentu saja menunggu Fa
mau berbicara denganku. Aku takut sekali Fa marah karena dia pasti akan merasa
sendiri. Aku tahu, hubungan jarak jauh ini tidak pernah mudah. Rasanya, aku
ingin sekali membawanya kemanapun aku pergi. Iya, aku bisa membawanya pergi. Sebentar
lagi.. sebentar lagi kuliahku akan selesai. Aku bisa bebas menghabiskan waktuku
untuk terus bersamanya.
* * *
Fa masih tidak mau bicara denganku. Sudah hari ketiga.
Dulu Fa juga pernah begini, saat dia tiba-tiba merasa cemburu. Fa, harusnya
kamu tahu, sehari saja tanpa kamu, aku begitu sulit menjalani hari.
Sebelumnya, aku tidak pernah seperti ini. Jatuh
cinta. Sama sekali tidak pernah. Akhirnya umi menjodohkanku pada seorang
gadis anak teman umi -yang ingin sekali anak perempuannya segera menikah-.
Ya, tentu saja, aku tahu. Ternyata firasat ibu benar. Usia hidupnya di dunia
tidak lama lagi. Permintaan terakhirnya, hanya melihat anak satu-satunya
menikah. Oh, ibu, sembilan bulan ini, ibu sudah menjadi mertua terbaik sepanjang
masa. Ibu begitu menyayangiku. Ibu yang lebih sering menelponku ketimbang
umiku sendiri.
Istighfar harus lebih banyak kugalakkan. Agar rasa
gelisah ini pergi musnah.
Istriku itu sedang diuji kecintaannya oleh Allah.
Kabar duka ini akan membuatnya semakin mulia di mata Allah jika dia bisa ikhlas
melepas ibu tercinta. Ah, aku berusaha menghibur diriku sendiri. Agar tidak
terlalu resah menunggu Fa mau bicara denganku. Aku percaya, setiap kesedihan
menyimpan begitu banyak pelajaran.
* * *
Epilog
“Ka...”
“........”
“Ka...”
“.......”
“Ka?!”
“Eh, iya halo..”
“Hoh.. Ini, Fa..”
“Iya, Fa.. Kenapa?”
“Tidak apa-apa..”
“Eh, Fa?! Fa?! Ini, Fa?!”
“Iya...”
“Alhamdulillah... Apa kabar, Sayang? Aku rindu
sekali...”
Hubungan jarak jauh ini bukan hanya soal jarak 6.728
km. Juga soal waktu. Di sini, sedang waktunya orang tidur dan di tempat Fa
waktunya orang-orang akan memulai aktivitas pagi hari. Aku benar-benar merasa
lega dan bahagia mendengar suara Fa dan lebih bahagianya Fa yang menelponku.
Aku tidak lagi khawatir karena kudengar Fa sudah bisa
tertawa seperti biasanya. Ada satu hal yang semakin membuatku tertawa. Tadi,
sebelum Fa menelpon, aku sedang menyelesaikan tugas akhir di meja belajar,
tertidur di sana. Tidak sadar mengangkat telpon. Ternyata sebelum tidur, tanpa
kusadari, aku mengambil pena dan mencoret-coret kertas. Tulisan, “Ka lambang
hati Fa” sudah berserak satu halaman. Ah, jatuh cinta ternyata bisa membuatku
melakukan kebiasaan anak sekolah dasar. Tidak masalah. Aku jatuh cinta pada
yang halal. Selain cinta, pahala juga ikut merona.
(Terbit di Analisa, Minggu, 7 Agustus 2016)
No comments:
Post a Comment