Friday, September 8, 2017

Lelaki di Rumah Depan



Karya : Aisyah Haura Dika Alsa

Apakah di luar sana langit-langit sedang ditumpahi bintang-bintang? Ataukah malah awan hitam yang tengah membentang? Lalu, akan membuat kumpulan air yang akan menghujan? Aku sungguh tidak tahu bagaimana keadaan malam di luar sana dan aku juga tidak ingin mencari tahu.  
Semenjak beberapa bulan yang lalu, telah ada yang tinggal di rumah depan milik keluarga kami. Sepasang bersaudara. Adiknya kuliah dan abangnya bekerja. Mereka berasal dari sebuah kabupaten yang jika dari kota sini memakan waktu 12 jam perjalanan daratan. Dan hal itu, membuatku menjadi semakin jarang keluar rumah. Meski hanya untuk membeli panganan atau minuman ringan di kedai sebrang depan rumah kami –lebih tepatnya, di sebrang depan rumah kontrakan yang saat ini ditinggali sepasang bersaudara itu, sedang kami menempati rumah milik keluarga kami di belakangnya–
       Dan sejak mereka mengontrak di rumah depan, aku benar-benar tidak pernah lagi menyengajakan diri untuk sekadar duduk-duduk di kursi taman halaman depan rumah dengan lampu taman yang indah terang. Meski di sana, ada banyak saudara laki-lakiku, ayah, atau ibu atau kakak perempuanku yang senang menghabiskan sabtu malam  sambil berkumpul menceritakan luka atau gembira.  
Akulah sebenarnya yang paling suka duduk di sana memandangi langit-langit kesukaan; langit malam yang gulita yang makin tampak indah dengan pendar bulan dan bintang yang pelita. Semua keluargaku tahu itu. Dan semua juga bertanya-tanya, mengapa sekarang aku selalu menolak untuk duduk di sana, saudara-saudara kandungku sibuk dengan rasa penasarannya. Tapi, tetap saja tidak ada yang tahu. Dan aku membiarkan mereka dengan rasa penasarannya. Tidak biasanya aku merahasiakan sesuatu. Tapi, mau bagaimana lagi. Aku bahkan malu pada diriku sendiri dengan alasannya. Apalagi jika menyampaikan jawabannya dengan yang lain. 
Padahal seharusnya, aku tidak perlu malu. Harusnyakan aku bisa merasa atau bersikap biasa saja. Tapi, kejadian itu. Kejadian pertama kali pertemuan kami. Kejadian yang rasanya paling memalukan dalam hidupku. Benar-benar sangat memalukan.
Waktu itu, aku benar-benar merasa lelah. Dari pagi hingga siang banyak sekali yang harus kuselesaikan di kampus untuk sidang meja hijau dua hari ke depan. Ditambah mentari siang yang begitu menyengat dan aku benar-benar kelupaan membawa dompet, uang di tasku telah habis mengurus ini itu untuk sidang dan sisanya hanya pas untuk ongkos sekali naik angkutan. Sisanya, aku harus berjalan kaki 10 menit untuk sampai ke rumah. Sampai di rumah, aku tergeletak di sofa ruang tengah. Wajah putihku memerah karena kepanasan. Hanya aku sendirian yang di rumah. Itu sebabnya aku tidak bisa meminta jemput siapapun.
Dan tiba-tiba aku merasa benar-benar tidak suka dengan suara bel yang ditekan seseorang dari luar. Haaaayyy, siapa pula siang-siang begini yang bertamu. Pikirku jengkel waktu itu. Karena tidak ada orang di rumah maka akulah yang harus membuka pintu depan. Dengan sisa tenaga yang juga belum sempat makan siang, aku berjalan lemah membuka pintu. Aku bahkan lupa pesan ayah, “Anak-anakku, jika ada tamu di luar, intip dulu dari jendela setelah dipastikan bahwa orang yang datang adalah orang baik-baik maka buka pintunya. Kita bukan berpikiran buruk tapi berusaha waspada.” Jadi, tentu saja, aku main buka pintu langsung.
Setelah pintu kubuka, ada dua orang yang berdiri di sisi sebelah kiri. Hm, ternyata mereka mengerti untuk tidak berdiri di depan pintu saat menunggu tuan rumah membukakan pintu. Begitu pikirku waktu itu. Aku mengarahkan pandang ke sisi sebelah kiri. Ada seorang pemuda dan seorang perempuan di sana, sepertinya sepasang suami istri. Tapi... pemuda itu, ujung bawah kain celananya di atas mata kaki dan janggut dibiarkan tumbuh di dagunya sedang kumisnya tipis dan seorang perempuan yang kuduga istrinya, berpakaian dengan jilbab pendek tapi menutupi dada, kaus panjang dan rok serta memakai kaus kaki. Dari gaya berpakainnya, aku tidak lagi mengira mereka sepasang suami istri.
Tiba-tiba begitu saja, aku merasa kikuk.
“Assalamu’alaykum.. Maaf menganggu waktu istrirahat siangnya, Mbak. Saya ingin bertemu dengan bapak pemilik rumah ini. Saya yang ingin mengontrak rumah di depan, sudah janjian sama Bapak. Kata Bapak pukul 3 sore.” Pemuda itu berkata sopan.
Tapi, aku tersinggung dengan kalimatnya. Apakah wajahku tampak sebegitu lelahnya sampai-sampai dia bilang menganggu istirahat siang. Eh, sebentar! Wajahku?! Ya Allaah!
Aku lupa memakai cadarku!
***
Jika sudah melewati pintu rumah bagian depan, aku mewajibkan diriku untuk memakai cadar. Karena pagar rumah kami bukan pagar yang menjulang tinggi dan menyembunyikan bagian dalam rumah. Ayahku sama sekali tidak suka dengan pagar seperti itu. Ayah gemar bertetangga, merasa sangat perlu untuk akrab dengan tetangga, untuk itulah ayah membeli pagar yang tingginya sedang dan orang-orang di luar pagar rumah kami bisa melihat permukaan rumah kami. Permukaan rumah yang sekarang dikontraki lebih tepatnya dan halaman yang cukup luas yang ada di sampingnya. Dan rumah kami ada di belakangnya tertutupi rumah kontrakan. Rumah kontrakan itu memang terpisah dari rumah kami. Untuk itulah, meski sedang duduk-duduk di kursi taman halaman depan rumah, aku tetap memakai cadar, biasanya menggunakan cadar tali. Tapi, kejadian pertemuan pertama kali itu. Ah, aku benar-benar malu mengingatnya.
Aku memang mengikuti ulama yang berpendapat cadar itu sunnah setelah aku mencari tahu cukup detail dalil-dalil dan penjelasan dari ustad tentang cadar wajib atau cadar sunnah. Akalku lebih dominan mengikuti yang sunnah. Jadi, kejadian pertemuan pertama kali itu tidak kuanggap berdosa karena aku masih memakai pakaian lengkap yang menutup aurat karena memang aku belum berganti baju sepulang dari kampus. Karena, aku merasa sudah di dalam rumah jadi cadarku kulepas. Karena sangkin lelahnya jadi aku tidak dapat berpikir normal. Aih, bahkan dia bilang “Maaf mengganggu waktu istirahat siangnya, Mbak..” Mungkin, wajahku waktu itu memang menunjukkan betapa lelahnya aku.
Aku merasa itu kejadian yang sangat memalukan dan rasa maluku semakin bertambah karena dia bukan pemuda biasa. Ayahku begitu menyukai pemuda itu. Hingga seringlah namanya terdengar di telinga keluargaku –termasuk aku­– karena ayah sering menceritakan kesholihannya. Dan beberapa minggu kemudian, rasa maluku menambah lagi. Aku tidak sengaja melihatnya memarkirkan sepeda motornya saat aku juga sedang memarkirkan sepeda motor di tempat yang berbeda. Parkiran laki-laki dan perempuan dipisah. Dugaanku benar, kami satu pengajian!
***
Meski, saat keluargaku berkumpul di taman –yang berada tepat di samping rumah kontrakan– pemuda itu hanya sekali pernah ikut duduk bersama di sana bersama adik perempuannya –tentu saja, aku tidak ikut duduk di sana–. Kata ayah, “Mungkin dia merasa tidak enak. Takut menganggu acara keluarga. Padahal yahh, Ayah senang-senang saja kalau dia ikut kumpul bersama kita. Sepertinya, Ayah ingin menjadikannya mantu. Sama anak perempuan Ayah yang mana yah? Anak perempuan Ayah sepertinya tinggal satu yang belum menikah.” Goda ayah melirik-lirikku dengan senyum menggodanya. Tidak seperti biasanya, candaan ayah yang ini tidak dapat kubalas sama sekali. Aku benar-benar terdiam. Tidak tahu harus menjawab bagaimana atas godaan ayah. Wajah putihku tiba-tiba memerah. Sebelum yang lain ikut menggodaku, aku meninggalkan piring sarapanku segera, menyalam tangan ibu dan ayah dan pamit menuju kampus dengan jantungku yang berdetak lebih cepat dari biasanya.
(Penulis adalah alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
Terbit di Medan Pos, 30 Juli 2017

2 comments:

  1. Oh itu om2 yang dimaksud, yg depan rumah :D, yg sering caperkan yak.

    ReplyDelete
  2. Hahaha nggak Kak Nusaibah... Ini murni imajinasi :D

    ReplyDelete