Karya : Aisyah
Haura Dika Alsa
Apakah di luar
sana langit-langit sedang ditumpahi bintang-bintang? Ataukah malah awan hitam
yang tengah membentang? Lalu, akan membuat kumpulan air yang akan menghujan? Aku
sungguh tidak tahu bagaimana keadaan malam di luar sana dan aku juga tidak
ingin mencari tahu.
Semenjak
beberapa bulan yang lalu, telah ada yang tinggal di rumah depan milik keluarga
kami. Sepasang bersaudara. Adiknya kuliah dan abangnya bekerja. Mereka berasal
dari sebuah kabupaten yang jika dari kota sini memakan waktu 12 jam perjalanan
daratan. Dan hal itu, membuatku menjadi semakin jarang keluar rumah. Meski
hanya untuk membeli panganan atau minuman ringan di kedai sebrang depan rumah
kami –lebih tepatnya, di sebrang depan rumah kontrakan yang saat ini ditinggali
sepasang bersaudara itu, sedang kami menempati rumah milik keluarga kami di
belakangnya–
Dan sejak mereka mengontrak di rumah
depan, aku benar-benar tidak pernah lagi menyengajakan diri untuk sekadar duduk-duduk
di kursi taman halaman depan rumah dengan lampu taman yang indah terang. Meski
di sana, ada banyak saudara laki-lakiku, ayah, atau ibu atau kakak perempuanku
yang senang menghabiskan sabtu malam sambil berkumpul menceritakan luka atau
gembira.
Akulah
sebenarnya yang paling suka duduk di sana memandangi langit-langit kesukaan;
langit malam yang gulita yang makin tampak indah dengan pendar bulan dan
bintang yang pelita. Semua keluargaku tahu itu. Dan semua juga bertanya-tanya,
mengapa sekarang aku selalu menolak untuk duduk di sana, saudara-saudara
kandungku sibuk dengan rasa penasarannya. Tapi, tetap saja tidak ada yang tahu.
Dan aku membiarkan mereka dengan rasa penasarannya. Tidak biasanya aku
merahasiakan sesuatu. Tapi, mau bagaimana lagi. Aku bahkan malu pada diriku
sendiri dengan alasannya. Apalagi jika menyampaikan jawabannya dengan yang
lain.
Padahal
seharusnya, aku tidak perlu malu. Harusnyakan aku bisa merasa atau bersikap
biasa saja. Tapi, kejadian itu. Kejadian pertama kali pertemuan kami. Kejadian
yang rasanya paling memalukan dalam hidupku. Benar-benar sangat memalukan.
Waktu itu, aku
benar-benar merasa lelah. Dari pagi hingga siang banyak sekali yang harus
kuselesaikan di kampus untuk sidang meja hijau dua hari ke depan. Ditambah
mentari siang yang begitu menyengat dan aku benar-benar kelupaan membawa
dompet, uang di tasku telah habis mengurus ini itu untuk sidang dan sisanya
hanya pas untuk ongkos sekali naik angkutan. Sisanya, aku harus berjalan kaki 10
menit untuk sampai ke rumah. Sampai di rumah, aku tergeletak di sofa ruang tengah.
Wajah putihku memerah karena kepanasan. Hanya aku sendirian yang di rumah. Itu
sebabnya aku tidak bisa meminta jemput siapapun.
Dan tiba-tiba
aku merasa benar-benar tidak suka dengan suara bel yang ditekan seseorang dari
luar. Haaaayyy, siapa pula siang-siang begini yang bertamu. Pikirku jengkel
waktu itu. Karena tidak ada orang di rumah maka akulah yang harus membuka pintu
depan. Dengan sisa tenaga yang juga belum sempat makan siang, aku berjalan
lemah membuka pintu. Aku bahkan lupa pesan ayah, “Anak-anakku, jika ada tamu di
luar, intip dulu dari jendela setelah dipastikan bahwa orang yang datang adalah
orang baik-baik maka buka pintunya. Kita bukan berpikiran buruk tapi berusaha
waspada.” Jadi, tentu saja, aku main buka pintu langsung.
Setelah pintu
kubuka, ada dua orang yang berdiri di sisi sebelah kiri. Hm, ternyata mereka
mengerti untuk tidak berdiri di depan pintu saat menunggu tuan rumah membukakan
pintu. Begitu pikirku waktu itu. Aku mengarahkan pandang ke sisi sebelah kiri. Ada
seorang pemuda dan seorang perempuan di sana, sepertinya sepasang suami istri.
Tapi... pemuda itu, ujung bawah kain celananya di atas mata kaki dan janggut
dibiarkan tumbuh di dagunya sedang kumisnya tipis dan seorang perempuan yang
kuduga istrinya, berpakaian dengan jilbab pendek tapi menutupi dada, kaus
panjang dan rok serta memakai kaus kaki. Dari gaya berpakainnya, aku tidak lagi
mengira mereka sepasang suami istri.
Tiba-tiba begitu
saja, aku merasa kikuk.
“Assalamu’alaykum..
Maaf menganggu waktu istrirahat siangnya, Mbak. Saya ingin bertemu dengan bapak
pemilik rumah ini. Saya yang ingin mengontrak rumah di depan, sudah janjian
sama Bapak. Kata Bapak pukul 3 sore.” Pemuda itu berkata sopan.
Tapi, aku
tersinggung dengan kalimatnya. Apakah wajahku tampak sebegitu lelahnya
sampai-sampai dia bilang menganggu istirahat siang. Eh, sebentar! Wajahku?! Ya
Allaah!
Aku lupa memakai
cadarku!
***
Jika sudah
melewati pintu rumah bagian depan, aku mewajibkan diriku untuk memakai cadar. Karena
pagar rumah kami bukan pagar yang menjulang tinggi dan menyembunyikan bagian
dalam rumah. Ayahku sama sekali tidak suka dengan pagar seperti itu. Ayah gemar
bertetangga, merasa sangat perlu untuk akrab dengan tetangga, untuk itulah ayah
membeli pagar yang tingginya sedang dan orang-orang di luar pagar rumah kami
bisa melihat permukaan rumah kami. Permukaan rumah yang sekarang dikontraki
lebih tepatnya dan halaman yang cukup luas yang ada di sampingnya. Dan rumah
kami ada di belakangnya tertutupi rumah kontrakan. Rumah kontrakan itu memang
terpisah dari rumah kami. Untuk itulah, meski sedang duduk-duduk di kursi taman
halaman depan rumah, aku tetap memakai cadar, biasanya menggunakan cadar tali. Tapi,
kejadian pertemuan pertama kali itu. Ah, aku benar-benar malu mengingatnya.
Aku memang
mengikuti ulama yang berpendapat cadar itu sunnah setelah aku mencari tahu
cukup detail dalil-dalil dan penjelasan dari ustad tentang cadar wajib atau
cadar sunnah. Akalku lebih dominan mengikuti yang sunnah. Jadi, kejadian
pertemuan pertama kali itu tidak kuanggap berdosa karena aku masih memakai pakaian
lengkap yang menutup aurat karena memang aku belum berganti baju sepulang dari
kampus. Karena, aku merasa sudah di dalam rumah jadi cadarku kulepas. Karena
sangkin lelahnya jadi aku tidak dapat berpikir normal. Aih, bahkan dia bilang
“Maaf mengganggu waktu istirahat siangnya, Mbak..” Mungkin, wajahku waktu itu memang
menunjukkan betapa lelahnya aku.
Aku merasa itu
kejadian yang sangat memalukan dan rasa maluku semakin bertambah karena dia
bukan pemuda biasa. Ayahku begitu menyukai pemuda itu. Hingga seringlah namanya
terdengar di telinga keluargaku –termasuk aku– karena ayah sering menceritakan
kesholihannya. Dan beberapa minggu kemudian, rasa maluku menambah lagi. Aku
tidak sengaja melihatnya memarkirkan sepeda motornya saat aku juga sedang
memarkirkan sepeda motor di tempat yang berbeda. Parkiran laki-laki dan
perempuan dipisah. Dugaanku benar, kami satu pengajian!
***
Meski, saat
keluargaku berkumpul di taman –yang berada tepat di samping rumah kontrakan– pemuda
itu hanya sekali pernah ikut duduk bersama di sana bersama adik perempuannya
–tentu saja, aku tidak ikut duduk di sana–. Kata ayah, “Mungkin dia merasa
tidak enak. Takut menganggu acara keluarga. Padahal yahh, Ayah senang-senang
saja kalau dia ikut kumpul bersama kita. Sepertinya, Ayah ingin menjadikannya
mantu. Sama anak perempuan Ayah yang mana yah? Anak perempuan Ayah sepertinya
tinggal satu yang belum menikah.” Goda ayah melirik-lirikku dengan senyum
menggodanya. Tidak seperti biasanya, candaan ayah yang ini tidak dapat kubalas
sama sekali. Aku benar-benar terdiam. Tidak tahu harus menjawab bagaimana atas
godaan ayah. Wajah putihku tiba-tiba memerah. Sebelum yang lain ikut
menggodaku, aku meninggalkan piring sarapanku segera, menyalam tangan ibu dan
ayah dan pamit menuju kampus dengan jantungku yang berdetak lebih cepat dari
biasanya.
(Penulis adalah alumni Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
Terbit di Medan Pos, 30 Juli 2017
Oh itu om2 yang dimaksud, yg depan rumah :D, yg sering caperkan yak.
ReplyDeleteHahaha nggak Kak Nusaibah... Ini murni imajinasi :D
ReplyDelete