Wednesday, November 15, 2017

Lamaran Lelaki Kutub Selatan

Karya : Aisyah Haura Dika Alsa

Dia. Anak laki-laki itu, yang sedang duduk di kursinya barisan dua sisi kanan sedang asyik ngobrol dengan teman laki-lakinya. Aku. Yang dari tadi menahan langkah terduduk di kursiku, berusaha keras mendiamkan kesalku. Anak laki-laki itu memang tidak berubah-ubah semenjak dulu. Seenak jidatnya selalu. Apa tadi dia bilang? Dia tidak bisa ikut mengerjakan tugas kelompok karena sudah janji dengan teman-temannya naik gunung. Dia membuatku geli sekali. Naik gunungnya jauh lebih penting ketimbang kuliahnya. Ingin sekali kutinju mukanya itu!
Beruntung Nay membawaku segera minggat dari kelas. Nay tahu sekali wajahku sudah seperti air rebus. Jangan sampai dibiarkan matang. Nanti banyak asapnya. Sebaiknya langsung dipadamkan apinya. Nay membawaku jajan tempura di depan kampus. “Vey, kita bisa kok ngerjai tugasnya tanpa Bagas. Nanti laporannya Bagas aja yang ngerjai semuanya. Dia juga yang ngeprint. Plus buat power pointnya. Aku yakin dia mau aja kok.” Nay mencomot tempura pertamanya.
“Baguslah kalau dia nggak ikut. Aku nggak lihat muka dia besok satu harian.” Nay tersedak. Tersenyum setengah tertawa. “Nggak boleh benci-benci kali, Vey. Kebanyakan terlalu benci bisa cinta. Gitu sih kebanyakan. Aku ngomong berdasarkan fakta di sekitar ya, Vey. Jadi akurat.” “Aku lagi males bercanda, Nay.” Nay hanya balas menyengir.
Aku dan anak laki-laki itu entah kenapa selalu sekelas sejak SMP. Bahkan masih juga sekelas saat kuliah. Ah, iya. Dia masih anak-anak di mataku. Entah karena membencinya. Jadi, aku enggan menyebutnya sebagai lelaki. Kami tidak pernah bertengkar sebenarnya. Tidak pernah adu mulut sekalipun. Karena selalu, jika aku kesal dan marah-marah padanya. Dia hanya menanggapinya dengan sikap dingin. Terakhir kali, aku merecoki telinganya dengan mulutku saat tahun pertama di SMA. Saat aku marah-marah, tiba-tiba seisi kelas melihat ke arah kami. Kelas terasa benar-benar tegang. Merasa diperhatikan seisi kelas, aku mendiamkan mulutku. Sedang anak laki-laki itu berdiri dari bangkunya, pergi meninggalkan kelas dengan sikap dinginnya. Sejujurnya, aku merasa bersalah telah memarahinya di depan teman-teman kami. Dan sejak saat itu, aku tidak lagi berkeinginan untuk menceracau mulutku padanya. Meski ia sering membikin darahku naik. Tapi aku selalu berusaha menahannya.
Dari awal mengenalnya, aku memang sudah tidak suka padanya. Dia anak yang pendiam. Tapi teman-temanku selalu bilang senang mengobrol dengannya. Meski dia lebih banyak mendengarkan. Tapi dia benar-benar peduli terhadap lawan bicaranya. Pendengar yang baik. Meski ada saat-saat dia terbahak lama sekali. Tapi itu adegan yang jarang terjadi. Berbeda denganku yang ceria. Meski dimarahi ibu di rumah. Aku bisa tetap riang di sekolah. Rasa semakin tidak suka itu semakin besar saat ternyata dia juara kelas. Sedang peringkatku satu tangga di bawahnya. Aku merasa sudah benar-benar berada di atas langit waktu itu. Tapi mendengar pengumuman juara kelas, langitku runtuh seketika. Sejak itu, aku benar-benar merasa dia adalah saingan beratku bahkan sampai hari ini. Kami memang tidak pernah bertengkar. Tapi juga tidak pernah berteman.
***

 “Vey, kalau ada laki-laki yang baik yang ingin menikah dengan Vey saat ini. Vey bersedia?” Tanya ibu dengan nada hati-hati sambil mengelus rambutku. Aku sedikit kaget dan geli. “Ibu, Vey baru saja semester dua di kuliah. Masih mau serius belajar.” Jawabku sambil lanjut membaca. “Tapi menurut Ibu, Vey sudah bisa. Dan menikah bukan berarti nggak bisa belajar serius. Asal paham tanggung jawab, insya Allah semua akan lancar.” “Vey belum mau, Bu.” “Kalau Ibu jadi Vey, Ibu takut menyesal menolaknya. Dia anak yang baik, cerdas, wajahnya tampan, dari keluarga yang baik-baik juga.” Aku langsung bangkit dari tiduran di paha ibu. Merasa tertarik. “Memangnya siapa yang melamar Vey, Bu?” “Tapi tadi katanya belum mau.” Ibu menggodaku. “Hehe.. Nanya siapakan bukan berarti mau, Bu. Nanya doang hehehe..”  Ibu tersenyum. “Bagas, Nak. Teman kamu.” Mataku membelalak. Mulutku menganga lebar. Mengeluarkan bunyi dua huruf dengan rasa terkejut paling tinggi. “HA???????!” Jantungku seperti diledakkan dan pecah hingga tercecer kemana-mana.
     Yang benar saja. Anak laki-laki itu sudah gila kupikir. Berani-beraninya dia. Dia pikir dia siapa. Apa tadi ibu bilang, sudah sejak kelulusan SMA dia datang dengan orang tuanya saat aku tidak di rumah. Tapi saat itu ibu dan ayah menolaknya secara halus. Dan dua hari lalu, dia sendiri datang saat aku tidak di rumah lagi. Kali ini ayah dan ibu mempertimbangkannya. Karena melihat aku sudah berani diantar pulang teman laki-laki. Meski hanya sekali. Dan berita-berita pacaran yang kelewat batas hingga ‘kecelakaan’ dan akhirnya harus menikah dengan terpaksa. Itu yang membuat ibu dan ayah sangat mempertimbangkannya. Mereka merasa benar-benar khawatir dengan pergaulan anak muda masa kini. Merasa harus segera membuatku menikah. Apalagi ditambah dengan adegan ayah dan ibu yang sudah ingin menimang cucu. Karena aku anak yang sulung.
Ha, bagaimana ini? Bagaimana nanti aku harus bertemu muka dengannya? Bagaimana kalau teman-teman SMP, SMA, kuliah, semuanya tahu? Mereka semua tahu bahwa ada perang dingin antar aku dan anak laki-laki itu. Karena memang aku sering menunjukkannya. Meski tidak dengan merepet di depan mukanya. Tapi saat diskusi di kelas, kami sering saling menjatuhkan. Aih, bahkan guru-guru dan dosen-dosen tahu, bagaimana dinginnya kami saat saling beradu pendapat. Kalau sudah begitu, seisi kelas tidak ada yang berani menganggu. Membiarkan kami berdua saling menjatuhkan. Guru atau dosen di depan, biasa juga hanya ikut memperhatikan. Dan kebanyakan berakhir dengan tertawa bersama kalimat, “Bagas, Vey, sudah cukup. Kalian tidak boleh sering-sering begini. Jadilah yang ditengah-tengah. Terlalu cinta juga tidak baik. Terlalu benci apalagi. Hati-hati, jangan-jangan nama kalian nanti satu tempat di kartu undangan.”  Seisi kelas menertawakan kami.
***
“Aduh.. Bagaimana ini.. Kalau begini, bisa-bisa aku ingin pindah kelas. Ah, pindah kampus sekalian. Awas saja, gara-gara dia aku seperti ini... Aduh...” Aku bertahan di kamar mandi fakultas. Akhirnya dengan amat terpaksa, aku mengalah dengan rasa maluku sendiri. Tidak mungkin aku tidak masuk kelaskan? Meski aku tidak tahu harus menaruh wajahku di mana saat melihatnya. Rasanya jika sampai di kelas, aku ingin menggerebek mejanya dan meninju mukanya. Aih, itu kriminal namanya. Oh iya, dia m elamar, bukan berarti tidak bisa aku tolakkan? Ya Tuhan, kenapa aku tidak berpikir dari kemarin. Aih, betapa bodohnya pikiranku. Iya, aku harus menolaknya. Bagaimana bisa aku menikah dengan laki-laki sedingin es di kutub Selatan. Aaahh, aku tidak mau membayangkan menikah dengannya. Hoy, kabar ini seperti mimpi buruk bagiku. Aku harus segera menelpon ibu. Aku harus segera bilang aku SAMA SEKALI tidak bersedia menikah dengan anak laki-laki dari kutub Selatan itu. Entah dari mana dia dapat ide melamarku.
“Taruh semua tas kalian di depan kelas. Kita tes hari ini. Jelek nilai kalian, nggak usah lulus di mata kuliahku. Jumpa lagi tahun depan. Tahunya aku, sayang kalian samaku.” Handphoneku hampir loncat dari tanganku. Pak Saragih masuk dengan tiba-tiba. Tes berjalan 30 menit. Aku lancar saja mengerjakannya karena memang setiap malam aku belajar. Aku meletakkan penaku. Bersiap bangkit dari kursi. Tapi, anak kutub Selatan itu lebih dulu bangkit dan mengantarnya di meja dosen. Huh. Aku memonyongkan bibirku melihatnya.
Kelas Pak Saragih satu setengah jam kemudian selesai. Aku melihat ke arahnya. Dia selalu duduk di baris kedua sisi kanan. Sedang aku duduk di barisan ketiga sisi kiri. Dia duduk sambil membaca. Kami sedang menunggu mata kuliah selanjutnya. Di sela itu, teman perempuanku Mila yang terkenal cantik dan baiknya menghampiri anak kutub Selatan itu dan berdiri di depan duduknya. “Hm.. Bagas, Mila belum terlalu paham tugas dari Pak Saragih tadi. Karena kita satu kelompok. Nanti sebelum pulang tolong jelasi ke Mila dulu, ya.” “Iya, bisa, Mila. Tapi, nggak bisa lama ya.” “Cieee.....................” Satu kelas kompak menyoraki mereka.
Dari awal masuk, teman-teman memang suka menjodoh-jodohkan satu dengan yang lain. Dan di kelas ini, anak kutub Selatan itu dijodoh-jodohkan dengan Mila hanya karena Mila sering bertanya pada anak laki-laki itu soal tugas dan mata kuliah. Jodoh-jodohan begitu aku tidak pernah peduli. Itu olokan paling kekanak-kanakan menurutku. Karena itu hanya membuat malu, salah tingkah, dan serba salah kepada yang sedang dijodoh-jodohkan. Apalagi jika yang dijodoh-jodohkan memang memiliki rasa suka terpendam. Bisa makin banyak salah tingkahnya.
Tapi, saat ini. Saat ini rasanya. Kenapa aku merasa peduli dengan olokan itu. Kenapa aku merasa olokan itu benar-benar menjadi hidup untuk anak kutub Selatan itu dan Mila. Untuk pertama kalinya, aku tidak suka anak laki-laki kutub Selatan itu dijodoh-jodohkan dengan Mila atau barangkali juga dengan siapapun. Kenapa aku malah tidak lagi berniat menelpon ibu. Kenapa sepertinya aku merasa cemburu.
(Penulis adalah Alumni Pendidikan  Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
Terbit di Medan Bisnis, 12 November 2017  

No comments:

Post a Comment