Friday, July 21, 2017

Manisnya Kain Penutup Wajahnya



Karya : Aisyah Haura Dika Alsa


Perkuliahan telah selesai. Namun hujan di luar belum juga usai. Aku harus menunda waktu untuk pulang. Aku kelupaan membawa jas hujan. Padahal yahhh, baru saja siang kemarin aku jemur. Namun malah lupa mengangkatnya. Kalau di daerah rumahku hujan juga. Pasti jas hujannya kembali basah.
“Hujannya lama bener ya, Sya berhentinya. Musim hujan gini payah juga mau bergerak.” Piya, teman satu kelasku ternyata juga sedang menunggu reda hujan di depan kelas. Ikut berdiri dan menempelkan tubuh di dinding koridor gedung lantai dua. Aku tidak sadar Piya berdiri di sana. Berarti aku terlalu asyik melamunkan si jas hujan.
“Hus, nggak boleh ngomong begitu, Pi. Hujan itu rahmat dari Allah, nggak boleh dicela. Bayangkan nanti sebelum keluar Dajjal, bumi ini mengalami kekeringan selama tiga tahun. Stok hujan menipis bahkan ditahun ketiganya nanti sama sekali nggak ada hujan. Subhanallah, bayanginnya aja aku udah ngeri, Pi.”Aku bergidik sendiri atas omonganku barusan.
“Eh, iya, Sya. Astaghfirullah. Maaf. Nggak lagi deh.” Raut wajah Piya ikut membayang ngeri.
“Hujan deras gini kan mantep kalau kita doa, Pi. Kamu kan udah pengen banget nikah tuh. Nah, ini ajang yang pas buat doa.” Aku menggoda Piya untuk meruntuhkan raut wajahnya yang merasa bersalah.
“Hehe.. Kamu, Sya. Godain mulu. Oh iya, Sya. Aku lupa nyampeinnya kemarin. Kamu dapat salam lagi tuh dari abang senior. Bang Haris. Tahukan?”
“Bang Haris?Yang ketua organisasi itu ya?”
“Hu’um..” Piya mengangguk mengiyakan.
Seketika tubuhku lemas. Dan Piya menyadari raut wajahku yang berubah murung.
“Aku salah lagi ya, Sya..?” Piya hati-hati bertanya, memandang wajahku, yang malah memandang hujan yang masih senang luruh ke tanah.
“Piya, jawab jujur ya. Harus jujur pokoknya!” Pintaku serius pada Piya.
“Eh, mau tanya apa emang, Sya? Serius bener.” Piya malah kaget dengan permintaanku.
“Jawab jujur aja pokoknya, Pi.. Menurut kamu, aku ini kecentilan ya?” Kali ini, aku tidak lagi memandangi hujan, sepasang mataku kuarahkan tepat ke arah sepasang mata Piya. Piya malah mengerutkan keningnya. Dua detik kemudian tawanya lepas tanpa rasa bersalah. Membuatku sekarang yang gantian mengerutkan kening. Piya masih dengan tertawanya.
“Terus aja ketawa.” Aku membuang wajah dari tubuh Piya yang berdiri di samping kananku. Piya memberhentikan tawanya. Menyisakan sedikit kegelian di wajahnya.
“Hehe..maaf.. maaff.. Lagian, kamu ini, pertanyaannya kok tiba-tiba begitu? Kecentilan dari mana coba? Lah, kamu aja dijuluki ratu cuek di kelas hahaha..” Piya mengembalikan tawanya yang sempat diredamnya.
“Jadi.. “ Aku menahan suaraku…
“Jadi apanya, Sya? Kamu ini kenapa sih?” Piya masih menatapku dengan tawanya. Hoo, kalau tidak ingat, dia ini anak yang baik sekali sebenarnya, sudah aku tinggal pergi dari tawa pertamanya tadi. Aku kan serius bertanya. Kenapa dia malah asyik dengan tawanya.
***

Bulan sempurna di atas sana dengan lingkar purnama. Gulitanya langit membuatnya semakin istimewa dipandang. Hujan siang tadi ternyata tidak membekas pada ini malam. Malam ini, bintang dan bulan bertengger merona, membuatnya betah menatapnya. Gorden jendela kamarku, kubiarkan terbuka setengah. Aku masih ingin menatap benderang purnama. Meski jam dinding, jarum pendeknya hampir sampai tengah malam. Sebenarnya, aku masih kepikiran dengan jawaban dari Piya atas pertanyaaku siang tadi.
“Kamu itu jauh dari kata centil, Sya. Teman laki-laki di kelas aja, itu kadang rasanya pengen nimpuk kepala kamu pakai buku sangkin gemesnya sama kecuekanmu. Karena rasa segan mereka yang besar padamu jadi mereka nggak berani deh hehe..Nah, kamu itu pintar, Sya, aktif di kelas. Banyak dosen sayang sama kamu meski ya ada beberapa yang kayaknya nggak suka sama kritisnya kamu. Itu hal yang wajarlah. Saat kita semester satu aja, kamu udah jadi bahan gossip eh hehe maksudnya bahan perbincangan dosen-dosen dan kakak-kakak jurusan karena berhasil juara pertama lomba debat antar mahasiswa se kota kita ini. Belum lagi setelahnya, kamu banyak menangin lomba. Dan yang paling sesuatu, your face, Sya.” Aku menghembuskan kembali napasku yang berat ketika mengingat Piya menyebutkan kalimat terakhirnya.
Piya sudah jujur menjawab pertanyaanku siang tadi. Pertanyaanku muncul begitu pada Piya karena sudah berulang kali Piya menyampaikan salam yang entah dari siapa saja. Aku akan senang jika mendapat salam dari teman perempuan. Tapi, semua yang disampaikan Piya adalah salam dari laki-laki, entah itu teman satu angkatan yang beda kelas atau kakak-kakak tingkat bahkan beda jurusan.
Selama ini, aku sudah sangat berusaha pikirku. Itulah kenapa aku memilih cuek pada teman laki-laki di kelasku. Meski terkadang, aku merasa tidak tega juga. Tapi mau bagaimana lagi. Aku sudah pernah merasakan tidak enaknya punya banyak fans di sekolahan dulu. Dan itu sama sekali membuatku risih. Menurutku, aku benci sekali ketika ada laki-laki yang menyanjung-nyanjung wajahku. Aku merasa, diriku menjadi rendah sekali. Apalagi jika ada laki-laki yang berusaha mendekatiku, aku makin merasa diriku seperti murah. Untuk itulah, seberusaha mungkin aku menjaga jarak, jarang keluar rumah jika tidak ada hal yang penting dan mendesak, dan tentu saja menghindarkan diri untuk masuk ke komunitas atau organisasi yang ada laki-lakinya.
Aku sudah lelah sebenarnya. Tapi, aku tidak bisa menyalahkan wajahku. Ini murni ciptaan Tuhanku. Jika aku marah, berarti aku mencela ciptaanNya, itu berarti aku tidak tahu bersyukur. Hingga aku melihat seorang temanku, Salma. Beberapa hari ini, ia telah menutup wajahnya. Hanya sepasang matanya yang kelihatan. Salma bahkan tidak gentar meski dosen menyindir-nyindirnya saat di kelas, belum lagi teman-teman yang meski bercanda, mengolok-ngolok kain di wajahnya.
“Salma, Masya Allah, aku senang dengan perubahan kamu ini. Apa yang membuat kamu ingin memakainya, Ma?” Tanyaku pada Salma saat pertama kali Salma mengenakan sebuah cadar di wajahnya.
“Alhamdulillah, semua atas hidayah dari Allah, Sya. Aku tahu wajahku biasa-biasa saja, tapi aku tidak ingin menjadi fitnah di mata lelaki yang bukan mahromku. Karena, ketika perempuan keluar dari rumahnya, setan akan menghiasinya sehingga tampak semakin indah di mata lelaki. Dan menurutku, menutup aurat yang wajib saja tidak cukup.” Aku mematung mendengar penuturan Salma.
“Manisya, wajah kamu itu jauhhh lebih cantik daripada wajahku. Boleh jadi, fitnahnya semakin besar dan kamu lebih dianjurkan memakainya. Semoga kamu juga bisa pakai suatu hari ya. Aku pamit ya, aku harus pulang segera nih. Assalamu’alaykum..” Kalimat Salma di atas lebih menohok jantungku. Aku terdiam lama saat itu. Benar-benar sangat lama. Dan sampai hari ini, kalimat itu masih menghiasi hari-hariku. Saat makan, saat mau tidur, atau saat aku tidak sedang sibuk beraktifitas, kalimat Salma mengiang-ngiang di kepalaku.
Malam ini juga, aku harus bilang pada ibu dan ayah. Aku harus mengatakan kerisihanku selama ini. Aku harus berani bicara terus terang pada ibu dan ayah. Semoga ayah dan ibu belum tidur. Aku mengetuk pintu kamar mereka. Ternyata, benar, mereka masih terjaga meski sudah tengah malam.
***
Pagi ini, aku tidak peduli dengan apapun yang akan dikatakan orang-orang. Aku tidak akan dan ingin peduli. Dengan bismillah dan ridho orang tua, aku berangkat dengan selembar kain tebal tetapi sejuk dan ringan di wajahku bagian depan dan selembar kain tipisnya yang lain berada di belakang tubuhku, lebih pendek dari khimar yang aku pakai.
Dan pagi ini, aku berangkat ke luar rumah menuju kampus dengan hanya memperlihatkan sepasang mataku. Sudah aku katakan, aku tidak akan dan ingin peduli pada omongan orang-orang. Karena dengan selembar kain ini, akan lebih memuliakan perempuan muslimah siapapun, termasuk aku.
(Penulis adalah alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
(Terbit di Medan Pos, 16 Juli 2017)
Judul Asli : Manisya dan Selembar Kain di Wajahnya 

No comments:

Post a Comment