Karya : Aisyah
Haura Dika Alsa
Perkuliahan telah selesai. Namun hujan di luar belum
juga usai. Aku harus menunda waktu untuk pulang. Aku kelupaan membawa jas
hujan. Padahal yahhh, baru saja siang kemarin aku jemur. Namun malah lupa
mengangkatnya. Kalau di daerah rumahku hujan juga. Pasti jas hujannya kembali
basah.
“Hujannya lama bener ya, Sya berhentinya. Musim hujan gini
payah juga mau bergerak.” Piya, teman satu kelasku ternyata juga sedang
menunggu reda hujan di depan kelas. Ikut berdiri dan menempelkan tubuh di
dinding koridor gedung lantai dua. Aku tidak sadar Piya berdiri di sana.
Berarti aku terlalu asyik melamunkan si jas hujan.
“Hus, nggak boleh ngomong begitu, Pi. Hujan itu rahmat
dari Allah, nggak boleh dicela. Bayangkan
nanti sebelum keluar Dajjal, bumi ini mengalami kekeringan selama tiga tahun.
Stok hujan menipis bahkan ditahun ketiganya nanti sama
sekali nggak ada hujan. Subhanallah, bayanginnya aja aku udah ngeri, Pi.”Aku
bergidik sendiri atas omonganku barusan.
“Eh, iya, Sya. Astaghfirullah. Maaf. Nggak lagi deh.” Raut
wajah Piya ikut membayang ngeri.
“Hujan deras gini kan mantep kalau kita doa, Pi. Kamu
kan udah pengen banget nikah tuh. Nah, ini ajang yang pas buat doa.” Aku
menggoda Piya untuk meruntuhkan raut wajahnya yang merasa bersalah.
“Hehe.. Kamu, Sya. Godain mulu. Oh iya, Sya. Aku lupa
nyampeinnya kemarin. Kamu dapat salam lagi tuh dari abang senior. Bang Haris.
Tahukan?”
“Bang Haris?Yang ketua organisasi itu ya?”
“Hu’um..” Piya mengangguk mengiyakan.
Seketika tubuhku lemas. Dan Piya menyadari raut wajahku
yang berubah murung.
“Aku salah lagi ya, Sya..?” Piya hati-hati bertanya,
memandang wajahku, yang malah memandang hujan yang masih senang luruh ke tanah.
“Piya, jawab jujur ya. Harus jujur pokoknya!” Pintaku
serius pada Piya.
“Eh, mau tanya apa emang, Sya? Serius bener.” Piya
malah kaget dengan permintaanku.
“Jawab jujur aja pokoknya, Pi.. Menurut kamu, aku ini
kecentilan ya?” Kali ini, aku tidak lagi memandangi hujan, sepasang mataku
kuarahkan tepat ke arah sepasang mata Piya. Piya malah mengerutkan keningnya. Dua
detik kemudian tawanya lepas tanpa rasa bersalah. Membuatku sekarang yang gantian
mengerutkan kening. Piya masih dengan tertawanya.
“Terus aja ketawa.” Aku membuang wajah dari tubuh Piya
yang berdiri di samping kananku. Piya memberhentikan tawanya. Menyisakan sedikit
kegelian di wajahnya.
“Hehe..maaf.. maaff.. Lagian, kamu ini, pertanyaannya
kok tiba-tiba begitu? Kecentilan dari mana coba? Lah, kamu aja dijuluki ratu
cuek di kelas hahaha..” Piya mengembalikan tawanya yang sempat diredamnya.
“Jadi.. “ Aku menahan suaraku…
“Jadi apanya, Sya? Kamu ini kenapa sih?” Piya masih
menatapku dengan tawanya. Hoo, kalau tidak ingat, dia ini anak yang baik sekali
sebenarnya, sudah aku tinggal pergi dari tawa pertamanya tadi. Aku kan serius
bertanya. Kenapa dia malah asyik dengan tawanya.
***
Bulan sempurna di atas sana dengan lingkar purnama.
Gulitanya langit membuatnya semakin istimewa dipandang. Hujan siang tadi
ternyata tidak membekas pada ini malam. Malam ini, bintang dan bulan bertengger
merona, membuatnya betah menatapnya. Gorden jendela kamarku, kubiarkan terbuka
setengah. Aku masih ingin menatap benderang purnama. Meski jam dinding, jarum
pendeknya hampir sampai tengah malam. Sebenarnya, aku masih kepikiran dengan jawaban
dari Piya atas pertanyaaku siang tadi.
“Kamu itu jauh dari kata centil, Sya. Teman laki-laki
di kelas aja, itu kadang rasanya pengen nimpuk kepala kamu pakai buku sangkin
gemesnya sama kecuekanmu. Karena rasa segan mereka yang besar padamu jadi
mereka nggak berani deh hehe..Nah, kamu itu pintar, Sya, aktif di kelas. Banyak
dosen sayang sama kamu meski ya ada beberapa yang kayaknya nggak suka sama
kritisnya kamu. Itu hal yang wajarlah. Saat kita semester satu aja, kamu udah jadi
bahan gossip eh hehe maksudnya bahan perbincangan dosen-dosen dan kakak-kakak
jurusan karena berhasil juara pertama lomba debat antar mahasiswa se kota kita
ini. Belum lagi setelahnya, kamu banyak menangin lomba. Dan yang paling sesuatu, your
face, Sya.” Aku menghembuskan kembali napasku yang berat ketika
mengingat Piya menyebutkan kalimat terakhirnya.
Piya sudah jujur menjawab pertanyaanku siang tadi.
Pertanyaanku muncul begitu pada Piya karena sudah berulang kali Piya
menyampaikan salam yang entah dari siapa saja. Aku akan senang jika mendapat
salam dari teman perempuan. Tapi, semua yang disampaikan Piya adalah salam dari
laki-laki, entah itu teman satu angkatan yang beda kelas atau kakak-kakak
tingkat bahkan beda jurusan.
Selama ini, aku sudah sangat berusaha pikirku. Itulah
kenapa aku memilih cuek pada teman laki-laki di kelasku. Meski terkadang, aku
merasa tidak tega juga. Tapi mau bagaimana lagi. Aku sudah pernah merasakan
tidak enaknya punya banyak fans di sekolahan dulu. Dan itu sama sekali
membuatku risih. Menurutku, aku benci sekali ketika ada laki-laki yang
menyanjung-nyanjung wajahku. Aku merasa, diriku menjadi rendah sekali. Apalagi
jika ada laki-laki yang berusaha mendekatiku, aku makin merasa diriku seperti
murah. Untuk itulah, seberusaha mungkin aku menjaga jarak, jarang keluar rumah
jika tidak ada hal yang penting dan mendesak, dan tentu saja menghindarkan diri
untuk masuk ke komunitas atau organisasi yang ada laki-lakinya.
Aku sudah lelah sebenarnya. Tapi, aku tidak bisa
menyalahkan wajahku. Ini murni ciptaan Tuhanku. Jika aku marah, berarti aku
mencela ciptaanNya, itu berarti aku tidak tahu bersyukur. Hingga aku melihat
seorang temanku, Salma. Beberapa hari ini, ia telah menutup wajahnya. Hanya
sepasang matanya yang kelihatan. Salma bahkan tidak gentar meski dosen
menyindir-nyindirnya saat di kelas, belum lagi teman-teman yang meski bercanda,
mengolok-ngolok kain di wajahnya.
“Salma, Masya Allah, aku senang dengan perubahan kamu
ini. Apa yang membuat kamu ingin memakainya, Ma?” Tanyaku pada Salma saat
pertama kali Salma mengenakan sebuah cadar di wajahnya.
“Alhamdulillah, semua atas hidayah dari Allah, Sya. Aku
tahu wajahku biasa-biasa saja, tapi aku tidak ingin menjadi fitnah di mata
lelaki yang bukan mahromku. Karena, ketika perempuan keluar dari rumahnya,
setan akan menghiasinya sehingga tampak semakin indah di mata lelaki. Dan
menurutku, menutup aurat yang wajib saja tidak cukup.” Aku mematung mendengar
penuturan Salma.
“Manisya, wajah kamu itu jauhhh lebih cantik daripada
wajahku. Boleh jadi, fitnahnya semakin besar dan kamu lebih dianjurkan
memakainya. Semoga kamu juga bisa pakai suatu hari ya. Aku pamit ya, aku harus
pulang segera nih. Assalamu’alaykum..” Kalimat Salma di atas lebih menohok
jantungku. Aku terdiam lama saat itu. Benar-benar sangat lama. Dan sampai hari
ini, kalimat itu masih menghiasi hari-hariku. Saat makan, saat mau tidur, atau saat
aku tidak sedang sibuk beraktifitas, kalimat Salma mengiang-ngiang di kepalaku.
Malam ini juga, aku harus bilang pada ibu dan ayah. Aku
harus mengatakan kerisihanku selama ini. Aku harus berani bicara terus terang
pada ibu dan ayah. Semoga ayah dan ibu belum tidur. Aku mengetuk pintu kamar
mereka. Ternyata, benar, mereka masih terjaga meski sudah tengah malam.
***
Pagi ini, aku tidak peduli dengan apapun yang akan
dikatakan orang-orang. Aku tidak akan dan ingin peduli. Dengan bismillah dan
ridho orang tua, aku berangkat dengan selembar kain tebal tetapi sejuk dan
ringan di wajahku bagian depan dan selembar kain tipisnya yang lain berada di
belakang tubuhku, lebih pendek dari khimar yang aku pakai.
Dan pagi ini, aku berangkat ke luar rumah menuju
kampus dengan hanya memperlihatkan sepasang mataku. Sudah aku katakan, aku tidak
akan dan ingin peduli pada omongan orang-orang. Karena dengan selembar kain
ini, akan lebih memuliakan perempuan muslimah siapapun, termasuk aku.
(Penulis adalah alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
(Terbit di Medan Pos, 16 Juli 2017)
Judul Asli : Manisya dan Selembar Kain di Wajahnya
No comments:
Post a Comment