Sunday, July 2, 2017

Malam Takbiran Ya-An


Karya : Aisyah Haura Dika Alsa


Ini sudah malam takbiran tahun kedua ia tidak pulang. Ah, kenapa harus pulang ke kota ini. Tentu saja, dia punya kotanya sendiri untuk dipulangi. Jadi, harusnya aku tak perlu kembali gelisah lagi. Memangnya, dia siapa sampai harus kutunggu kunjungannya. Tapi, mengapa menghitung ketiadaannya tak dapat kuhindari. Apa karena rindu sudah menggumpal dalam hati? Harusnya...... Harusnya, aku tak pernah mengenalnya.
***

            2011. Ayah, ibu, La, dan aku pergi sekeluarga ke baitullah untuk umroh. Setelah umroh, jadwal siang sehabis sekolah berganti. Biasanya, aku dan La enam hari penuh mengikuti kursus bahasa Inggris dan bimbingan belajar. Sekarang, diganti belajar agama dan mengaji. Kursus bahasa Inggris dan bimbingan belajar dipindahkan ke malam setelah isya. Itu berarti les dipindahkan ke rumah.
Awalnya aku dan La keberatan. Kenapa ayah begitu tiba-tiba mengganti jadwal yang sudah biasa kami lakoni. Jika sudah ayah yang memutuskan maka tidak ada yang berani membantah. Bukan aku tidak ingin belajar agama dan mengaji, namun aku lebih suka jika jadwal itu dilaksanakan setelah Isya. Ayah hanya bilang, “Belajar agama dan mengaji, jauh lebih darurat.” Ya, perkataan ayah memang benar. Mengingat, dari sekolah dasar sampai sekolah menengah pertama, aku hanya belajar agama dua les, itupun di sekolah. Selebihnya, hanya sewaktu di TK. Bahkan sholatku begitu jarang. Apalagi membaca Al-Quran, aku sudah lupa meski hanya mengeja huruf-hurufnya. Dua belas tahun, aku sibuk mengejar ilmu dunia. Dan dua hari setelah kembali dari tanah suci, itulah permulaanku bertemu dengan lelaki berpeci putih.
***
            Tidak, aku tidak jatuh cinta pandangan pertama pada lelaki berpeci putih itu. Bagiku yang baru beranjak lima belas tahun, kata cinta masih sangat kaku di telingaku. Tentu saja, aku pernah suka pada seseorang. Zai, misalnya. Anak laki-laki paling tampan dan paling cerdas di kelasku. Tapi, aku lebih suka memikirkan prestasiku. Aku selalu ketagihan mengikuti lomba-lomba lalu pulang membawa piala. Aku lebih senang sibuk bersaing dengan Zai memperebutkan juara satu umum.
Kesimpulannya, aku hanya sekadar kagum pada Zai. Zai lebih pantas menjadi sainganku daripada menjadi seseorang yang spesial di hatiku. Dan, tiga tahun perjuanganku tidak sia-sia. Untuk pertama kalinya, aku berhasil berada di atas Zai. Posisi juara satu umum dan nilau UN tertinggi pindah ke tanganku.
Sedang, lelaki peci putih itu tetangga rumahku. Lebih tepatnya, dia bermukim di masjid dekat rumah kami. Lelaki peci putih itu sudah memasuki tahun kedua di universitasnya. Universitas nomor satu di kota ini. Lelaki peci putih itu, matanya sipit, kulitnya coklat, dan wajahnya, seperti ada seseorang yang sengaja meletakkan cahaya di wajahnya. Jika tertawa, maka deretan gigi putihnya akan membuat siapapun ingin lebih lama menatapnya.
***

            Aku dan La semangat menyalam tangan bang An; sebagai tanda berkenalan. Tapi, ternyata bang An menarik tangannya lebih dulu. Meletakkannya di atas dadanya. “Begini saja ya.” Kata bang An sambil tersenyum. “Biasanya, guru laki-laki La di sekolah mau disalam. Kok Abang nggak mau?” La sepertinya tidak terima tangan kanannya tak diacuhkan. “Nanti Bang An jelaskan, ya. Siapa tadi namanya? La, ya?” Balas bang An ramah.
            Semenjak hari itu, bang An rutin enam hari penuh dalam seminggu mengajarkan kami ilmu agama dan mengaji ayat-ayat suci. Mulai dari belajar wudhu, sholat, zikir, membaca Al-Quran, menutup aurat, menjaga jarak dengan lawan jenis, termasuk tidak menyentuh lawan jenis, dan lainnya.
Dalam waktu setahun, aku dan La sudah bisa berwudhu, sholat, membaca Al-Quran dan ilmu yang lainnya juga sudah diamalkan. Bahkan, dalam setahun, aku dan La sudah khatam membaca Al-Quran 5 kali.
***
2012. Dari tadi malam, aku sudah semangat sekali untuk siang hari ini. Pasalnya, tadi malam, aku sudah berhasil menghafal utuh teks pidato bahasa arabku; yang dibuatkan bang An pastinya. Karena, tiga hari lagi, aku akan mewakili sekolahku untuk mengikuti lomba pidato bahasa Arab.  Dan, aku akan menunjukkan pada bang An kemampuanku berpidato. Seperti sewaktu di sekolah menengah pertama dulu, aku rajin menjuarai pidato lomba bahasa Inggris. Bang An pasti senang dengan kemampuanku.
Siang hari ini tiba, aku dan La sudah duduk di kursi tempat kami biasa belajar. Lima menit kutunggu, namun bang An tidak juga tiba. Bukankah setahun ini, bang An tidak pernah datang terlambat sekalipun? Bahkan, bang An biasanya yang menunggui aku dan La. Kudengar salam bang An dari pintu depan. Nah!
Eh, siapa perempuan itu? Wajahnya.........................cantik sekali.
Ayah dan ibu menyambut kedatangan bang An dan perempuan itu, yang entahlah siapa. Ibu mempersilakan keduanya duduk. Mereka duduk berdekatan?! Bukankah bang An bilang, harus menjaga jarak dengan lawan jenis? Lalu? Itu?! Huh! Entahlah. Aku tiba-tiba tidak suka dengan perempuan itu.
“Ya, La.. Ini perkenalkan, namanya kak Ai. Kak Ai ini akan menggantikan bang An mengajari kalian mengaji. Karena, Ayah akan sangat sibuk. Tidak dapat lagi menemani kalian mengaji. Jadi, yang mengajar harus guru perempuan.”
“Bang An nggak ngajarin kita lagi? Terus, yang ngelatih Ya latihan pidato bahasa Arabnya siapa? Ya kan masih butuh latihan!” Jawabku kaget dengan nada suara yang aku sendiri tidak enak mendengarnya.
“Ya tenang aja. Kak Ai ini lebih pandai lagi bahasa Arabnya. Kak Ai lulusan pesantren juga kok. Bahkan, sering menang lomba pidato bahasa Arab. Ya kan, Kak Ai?” Bang An menyenggol lengan perempuan itu. Perempuan itu hanya balas tersenyum. Lalu menatap wajahku. “Jadi, adik cantik ini yang namanya Ya? Kata Bang An, Ya pintar sekali lho.” Kata perempuan itu masih dengan senyumnya, membuat kesalku runtuh dan menjadi tersipu.
Aku tidak bisa menjelaskan perasaanku seperti apa. Tapi, yang pasti kesalku berangsur hilang. Ketika perempuan itu eh kak Ai maksudku memperkenalkan dirinya. Ternyata, kak Ai, adik kandung dan saudara satu-satunya bang An, yang baru kuliah di kota kami. Mungkin, karena sangkin kagetnya bang An membawa seorang perempuan, aku tidak memperhatikan wajah mereka yang mirip.
Selama setahun ini memang, ayah telah mengorbankan waktunya untuk menemani kami mengaji dengan bang An. Karena, itu syarat dari bang An sendiri. Harus ada mahrom kami yang menemani. Jadi ayahlah yang menemani
Belajar dengan kak Ai lebih menyenangkan, tidak sekaku dengan bang An. Tapi, setelah beberapa minggu, aku tidak pernah lagi melihatnya, aku tiba-tiba merasa sangat kehilangan. Padahal, aku ingin sekali bang An melihatku lomba pidato bahasa Arab. Dan, entahlah, apakah kak Ai menceritakan pada bang An bahwa aku berhasil menyabet juara pertama. Aku merasa......................sangat merindukannya.
Semenjak tidak mengajar kami lagi, bang An sudah tidak lagi tinggal di masjid dekat rumah. Bang An hanya pamit waktu itu ke rumah. Bang An bahkan tidak menyapaku. Sedang aku, entah kenapa tiba-tiba juga tidak berani menatapnya, apalagi menyapanya. Hanya La yang dengan riang menyapa bang An. Itupun bang An hanya membalas senyuman dan bertanya kabar sekenanya. Tidak ada yang memberitahuku bang An pindah ke mana. Dan aku, menjadi benci pada diriku sendiri. Kenapa aku tiba-tiba menjadi sangat malu bertanya tentang bang An pada ibu, ayah, ataupun kak Ai.
***
Malam takbiran 2013. Tidak terasa, hari raya tinggal menunggu esok hari. Malam takbiran, kami berkumpul di rumah. Dari dulu, ayah memang tak pernah mengizinkan kami keluyuran kemanapun. Dan memang, aku dan La lebih senang di rumah. Jadi, kami asyik mengobrol tentang apapun. Dan kali ini, giliran La yang bercerita tentang keinginannya selepas menengah pertama. “La ingin jadi hafizoh, biar dapat mahkota nanti di akhirat. Boleh kan, Yah?” Aku tersentak, ucapan La barusan membuatku menurunkan novel yang sedang kubaca dari wajahku “Cie.. Kalau La jadi hafizoh, Kak Ya salah satu kandidat yang diajak ke surga, kan?” “Ehm..........” La pula-pula berpikir, tentu saja ingin membuatku kesal. “Boleh, nanti kita cari pesantren terbaik buat La, ya?” Jawab ayah.
            “Assalamu’alaykum......” Sahut seseorang dari pintu depan.
            “Biar Ayah yang buka pintunya.” Lalu, ayah bangkit menuju ruang depan.
            “Kak, kok kayaknya suaranya nggak asing, ya?” tanya La padaku.
            “Suara siapa?” Balasku cuek.
            “Ya ampun, makanya Kak Ya jangan baca novel aja dong ih! Bahaya kak Ya ini, Bu. Kalau lagi baca novel lupa segalanya.”
            Ibu hanya tertawa. “Ya, nggak asing dong, La. Masak suara guru ngajinya lupa. Tuh kak Ai dan bang An datang.” Ibu menunjuk kedua tamu itu dengan wajahnya.
            Deg. Bang An?!

            Sudah setahun aku tidak melihatnya. Baru kuketahui beberapa bulan yang lalu, lelaki peci putih itu pindah ke luar kota. Bahkan, pindah ke luar pulau. Lelaki peci putih itu mendaftar lagi di sekolah tinggi agama Islam yang selama ini diinginkannya. Karena tahun lalu gagal, tak membuatnya patah semangat untuk mencoba kembali. Dan ternyata diterima. Begitu cerita yang aku dapat dari kak Ai.
            La bangkit, dengan mudahnya memasang wajah riang karena ia pun merasa rindu pada guru yang dianggapnya sangat berjasa itu. Guru yang kerap kali memotivasi kami untuk menjadi hafizoh. Kudengar La dengan bahagianya menyapa lelaki peci putih itu. “Assalamu’alaykum, Bang An! Bang An,! Ayah udah ngizini lho La masuk pesantren. Nanti La mau masuk sekolah tinggi agama Islam tempatnya Bang An juga lho. Nanti kasih tahu La bocorannya masuk ke sana, ya! Harus janji lho, Bang An! Kan, La murid Bang An paling sholihah dan baik hati.” Celoteh La membuat siapa saja yang mendengar akan tertawa. Rasanya, kalau tidak karena jantungku yang tiba-tiba berdegup sangat kencang. Aku juga pasti sudah tertawa. Tapi, saat ini, aku lebih sibuk memikirkan kegugupanku. Antara bangkit dan pergi ke ruang depan atau tetap bertahan di ruangan ini.
            “Kak Ya..., kok masih di sini. Itu masak guru ngajinya datang nggak disapa. Nggak boleh gitu ah. Nggak sopan, Sayang....”
            “Hm.. Kak Ya masih asyik baca, Bu.” Akhirnya itulah jawabanku, yang dari tadi aku pun bingung memikirkannya.
            “Itu, kak Ai dan bang An mau pamit pulang ke kampung halamannya. Ibu yang nyuruh singgah sebelum pulang. Ayo, ayo, bangkit. Nanti kak Ai kecewa sama muridnya.” Ibu menarik tanganku. Dengan terpaksa aku bangkit bersama gugup yang luar biasa. Meski sejujurnya, aku senang dengan kunjungannya.
***

            Malam takbiran 2014, aku baru saja sampai rumah. Ramadan terakhir ini, aku menjenguk Na, sahabatku yang baru saja kembali dari rumah sakit. Karena tanggung pulang sudah mendekati magrib, akhirnya, aku berbuka puasa di rumah Na bersama sahabatku yang lainnya. Lalu, setelah itu kami pulang ke rumah masing-masing. Jarak rumahku dan Na memang cukup jauh, membuatku harus sampai rumah pukul setengah sembilan malam.
            Aku baru saja memasukkan sepeda motor ke garasi. Ada seseorang yang mengucap salam dari depan pagar, ternyata, “Kak Ai!”
            Malam takbiran ini, ternyata lelaki peci putih itu berkunjung lagi. Aku hanya bisa mematung melihatnya yang tiba-tiba muncul di belakang kak Ai. Aku pikir kak Ai sendirian. Entahlah, dia bahkan tidak menyapaku. Aku beralasan pada kak Ai, bahwa aku merasa lelah sekali. Jadi, tidak dapat menemani. kak Ai pun memaklumi. Aku berpesan pada La untuk memanggilku jika kak Ai akan pamit pulang. Entahlah, semakin lama perasaanku semakin sangat malu pada lelaki peci putih itu. Aku tidak tahu, sebenarnya, perasaan apa yang tengah menggelayut di sukmaku.
***
            Malam takbiran 2015. Tidak seperti malam takbiran tahun lalu atau dua tahun lalu. Malam takbiran ini, aku menunggu kehadirannya. Melihatnya sekejap, hanya untuk tahun depan baru (mungkin) dapat melihatnya kembali. Namun, ternyata, malam takbiran tahun ini, kak Ai ataupun lelaki peci putih itu tidak hadir berkunjung untuk pamit seperti malam takbiran biasanya.
***
            Malam takbiran tahun ini. Dua bulan lalu, kak Ai tidak lagi mengajar aku dan La karena kak Ai sudah sangat sibuk di kampusnya. Ayah lalu mencarikan lagi guru perempuan untuk kami. Guru perempuan baru kami usianya lebih tua dari kak Ai. Sudah berkeluarga. 
            Aku menunggu kunjungannya kembali. Apakah malam takbiran tahun ini, dia juga tidak berkunjung lagi? Apalagi, kak Ai sudah tidak mengajar kami lagi.
            Setelah, bu Ran, guru baru kami, mengajarkan bab pernikahan yang sesuai syariat beberapa hari lalu. Aku baru saja menyadari perasaan yang selama ini telah hadir. Bu Ran menyebutkan kriteria suami idaman. Lalu, membuatku merasa lelaki peci putih itu memenuhi kriteria yang disebut bu Ran. Dan tiba-tiba, perasaan itu menjadi terang. Perasaan yang tidak pernah kurasakan sebelumnya pada lelaki selainnya. Tiba-tiba, aku ingin, lelaki peci putih itu menjadi seseorang yang tidak hanya ada di dalam hatiku tetapi juga di hidupku.
            Dan malam takbiran tahun ini, ia juga tidak berkunjung. Mungkin, kota ini, bukan tempatnya untuk pulang lagi. Mungkin, dia juga tidak pernah merasakan apapun padaku. Aku harus ingat pada ucapan bu Ran bahwa cinta yang diridoi oleh Allah hanya ada di dalam pernikahan.

(Terbit di Analisa, Minggu, 2 Juli 2017)

Lanjutan Kisah Ya dan An

Epilog


            Aku sampai di bandara Kualanamu. Mencari taksi untuk menuju kontrakan Ai. Selama empat tahun ini, menjemput Ai adalah kegiatan rutin di akhir Ramadan. Karena, aku tidak mungkin membiarkan adikku itu pulang sendirian ke kampung halaman. Meski sebenarnya, aku tidak suka kembali ke kota ini. Karena, setiap kali ke sini, hanya akan membuatku kembali mengingatnya.
            Aku benar-benar menyesal menerima tawaran pak Lim, tetanggaku dulu. Harusnya, aku tidak pernah menerima pekerjaan itu. Tapi, melihat semangat pak Lim yang bercerita bahwa hidayah tiba-tiba hinggap di dadanya membuatku merasa perlu membantunya. Aku harusnya memang tidak pernah mengajari mengaji anak-anak pak Lim. Harusnya, aku bisa mencarikan guru perempuan saja. Namun, karena aku pun tidak banyak memiliki teman perempuan, aku takut akan membuat anak-anak pak Lim menunggu lama. Meski, akhirnya pak Lim menyempatkan waktunya untuk menemani aku dan anak-anaknya saat belajar. Sungguh, tidak akan kuulangi kembali. Aku tidak boleh lagi berbuat baik namun ada hal yang tidak sesuai syariat di sana.
            Aku benar-benar menyesal karena ada sesuatu yang tiba-tiba tumbuh setelah enam bulan mengajar anak-anak pak Lim. Padahal, aku sudah berusaha sebiasa mungkin waktu itu. Dan enam bulan ke depannya malah menyiksa dadaku. Malah membuat aku menjadi tidak enak sendiri pada pak Lim. Syukurnya, Ai, adikku datang ke Medan. Melanjutkan kuliah di sini. Ai dapat menggantikanku. Dan, aku pun akan pergi jauh dari kota ini. Menyulam harap kembali di sekolah tinggi agama Islam yang kuimpikan.
            Aku pikir setelah aku pergi jauh, menyelami kesibukan yang lebih baik, perasaan itu akan hilang dengan sendirinya. Namun, perasaan itu malah menjelma rindu yang aku benci sekali merasakannya. Meski memang aku akan lupa ketika sudah sibuk kuliah. Tapi, ketika sudah kembali ke kota ini, rindu itu tiba-tiba menyeruak kembali.
            Aku beristighfar berkali-kali. Tidak boleh ini kubiarkan. Ini belum waktuku untuk merasakannya. Rasa ini hanya untuk seseorang yang telah Allah halalkan untukku nanti.
            Aku tiba di depan kontrakan Ai. Ai sudah menungguku di depan pagar. Bergegas aku turun. Lalu membantunya memasuki barang-barangnya ke bagasi taksi. Setelah itu, kami duduk berdua di belakang supir. “Bang, barusan bu Ti telpon. Kita disuruh singgah sebelum pulang.” “Ini sudah pukul 10, Ai. Sudah malam.” “Bu Ti juga menelponnya pukul 10 kurang, Bang An. Kita kan biasanya singgah. Ini kok tahun lalu nggak singgah. Gitu tadi kata bu Ti. Sebentar saja. Kita hanya singgah kok, nggak namu.” Aku hanya bisa membuang napasku yang rasanya berat. Tahun lalu, tentu saja aku memaksa Ai untuk tidak singgah.
            Kami tiba di depan pagar bu Ti. Rumahnya terlihat ramai sekali. Mungkin, saudaranya berdatangan. Dan.........lemas lututku tiba-tiba. Dari kaca taksi, aku dapat melihatnya sedang asyik sendiri membaca sebuah buku di antara saudara-saudaranya, yang rata-rata anak-anak sedang berlari-larian. Aku ingin sekali menetap di taksi saja. Tapi, Ai memaksaku masuk ke dalam.
            “Kak Ai! Bang An!” Sapa riang La seperti biasanya.
            “Assalamu’alaykum, La.. Duh rindunya...” Ai berpelukan dengan La.
            “La juga sangat rindu pada Kak Ai. Kak Ya! Ih kok bengong sih kak Ai dan bang An-nya datang. Sebentar ya, Kak Ai, Bang An, La panggil ayah sama ibu dulu.”
            Dia terdiam melihatku dan Ai. Ah, aku memang tidak pernah berani menyapanya lebih dulu. Lebih tepatnya, aku hanya tidak tahu bagaimana cara menyapanya. Untung ada Ai yang selalu mewakilkan dan La yang selalu riang.
            “Assalamu’alaykum, Kak Ya.... Kak Ai dan Bang An-nya nggak diajak masuk nih?
            Dia tersadar. Berjalan ke arah Ai, menyalam tangan Ai dan seperti biasanya; tidak pernah menyapaku, meski hanya menolehkan kepalanya ke arahku. Mengajak Ai masuk. Dan setelah itu, seperti biasanya juga, dia tidak akan menampakkan wajah kembali sebelum kami pamit pulang.
 

No comments:

Post a Comment