Sunday, July 9, 2017

Muazin yang Menikah dengan Hafshah



Karya : Aisyah Haura Dika Alsa

Ia menanti seseorang yang berdiri di balik pintu yang dibuka setengah. Lama sekali orang yang ditunggunya itu berbicara dengan rekan kerjanya dan ia juga sudah lama sekali berdiri di sini. Tidak ada tempat yang dapat menjadi kursi. Ingin memotong pembicaraan mereka tentu saja ia tidak tahu diri maksudnya tidak tahu sopan santun. Untungnya ada Rumaysho, sahabatnya yang menemani. Jadi, baiklah, ia akan menunggu beberapa menit lagi di sini. Kalau tidak ingat ini permintaan ayahnya, ia tidak akan mau menunggu selama ini. Sebenarnya, sudah dua hari yang lalu ayahnya menyuruhnya, hanya saja ia merasa ayahnya menyuruh sesuatu yang tidak mudah baginya. Meski ayahnya juga terpaksa menyuruhnya karena kesibukan pekerjaannya.
“Hafshah..” Kata laki-laki itu sedikit kaget melihat Hafshah dengan teman perempuannya berdiri di samping ruangannya.
Akhirnya orang yang ditunggu keluar juga dari ruangannya dan hufffff Hafshah bersyukur sekali, dia yang terlebih dahulu menyapa Hafshah. Hafshah meresponnya dengan sedikit kaget juga.
Hafshah hanya tersenyum, sedikit dipaksa, sebab ia tiba-tiba menjadi gugup. Tidak tahu harus kalimat apa yang terlebih dahulu keluar dari mulutnya.
“Sedang apa di sini? Ada yang ingin diurus?” Tanya orang yang ditunggu Hafshah.
“Ngg.. tidak.. Saya hanya ingin memberikan ini. Undangan dari ayah.” Hafshah memberikan sebuah amplop –yang telah dipegangnya sejak tadi– kepada orang yang ditunggunya itu.
“Oh.. Undangan dari masjid ya?”
“Iya.”
“Jadi, Hafshah ke sini ingin bertemu dengan saya? Eh, Maksud saya ingin memberikan undangan ini? Sudah lama menunggunya?”
“Nggak lama kok.” Terpaksa Hafshah berbohong.
“Oh.. Baiklah, terima kasih ya sudah repot-repot mengantarnya. Sampaikan salam dan mohon maaf kepada ayah ya. Saya sangat sibuk akhir-akhir ini. Jadi, sulit menemui ayah.”
“Tidak masalah. Saya permisi.”
“Iya, hati-hati, Hafshah.”

Hafshah pamit sambil ia merasa beberapa pasang mata perempuan muda di sana menatapnya tidak sedap. Ia merasa banyak perempuan muda di ruangan ini yang menyukai lelaki itu.
***
Azan Ashar lembut masuk ke telinga. Membangunkan tidur siang orang-orang yang sedang istirahat. Menghentikan pekerjaan orang-orang yang masih mencari nafkah. Membuat orang-orang memencet tombol off di remote televisi. Dan tidak sedikit yang malah tidak peduli sama sekali dengan azan yang tengah berkumandang.
Hafshah menutup laptopnya dan bangkit menuju kamar mandi. Berwudhu. Sudah seminggu ini, ia tidak lagi mendengar suara azan dari muazin yang memiliki suara merdu. Sebenarnya, tidak masalah siapapun muazinnya. Asal dia paham tajwid dan bisa membaca lafaz azan dengan benar. Namun, rasanya, ah Hafshah begitu malu mengakuinya.
Hafshah adalah salah satu mahasiswi di perguruan tinggi swasta yang terkenal di kotanya. Ia hampir menginjak semester akhir. Jadi ia lebih banyak menatap laptopnya akhir-akhir ini karena selain menulis yang menjadi hobinya ia juga harus menyelesaikan proposal penelitiannya.
Hafshah hanya mahasiswi biasa, tidak pernah sekalipun aktif di komunitas atau organisasi manapun. Kata ayahnya, ia harus lebih banyak di rumah. Keluar hanya untuk keperluan yang penting dan mendesak. Ia sempat protes tapi mendengar jawaban ayahnya, “Begitulah cara ayah memuliakan anak perempuan ayah yang sangat berharga bagi ayah. Karena menjaga anak perempuan tidak seperti menjaga anak laki-laki. Harus lebih ketat. Sama seperti menjaga tuan putri yang tidak sembarang orang bisa bergaul dengannya. Paham, Nak?” Hafshah pun luluh hatinya.
Dan laki-laki yang ditemuinya siang tadi adalah pegawai di kampusnya yang notebene tetangga rumahnya. Karena satu tempat jadi ayahnya menyuruh Hafshah yang mengantar undangan tersebut. Karena jika mengantar ke rumahnya pun sedang sulit ditemui dan laki-laki itu tinggal sendiri di rumahnya.
***

Matahari turun dari waktu cerah, jingga-jingga mulai berkuasa. Di simpang-simpang jalan yang tak berlampu merah, kendaraan berantakan, masing-masing ingin bersegera sampai rumah, tak peduli harus membuat orang lain marah, semua ingin lebih dulu jalan. Syukurnya, beberapa menit setelah riuh klakson sahut-sahutan, beberapa  pemuda di tempat rela menjadi tukang atur arah agar kendaraan bisa tertib dan jalan.
Hafshah sesenja ini baru pulang dari kampus, sebab mengurus proposalnya. Ia berjalan kaki dari simpang untuk sampai ke rumah dan melirik sebentar ke arah beberapa pemuda yang mengatur jalan, ternyata mereka teman sekolah dasarnya. Hafshah segan ingin menegur, pun mereka juga merasa sama pada Hafshah. Hafshah selalu senang melihat mereka yang suka rela mengatur jalan di simpang-simpang yang tidak ada lampu merah baik itu pemuda setempatnya ataupun bapak-bapaknya.
Begitu Hafshah sampai di rumah dan membuka pintu, azan magrib pun berkumandang. Tangannya tiba-tiba bergetar di daun pintu, detak jantungnya bertambah laju. Lelaki itu.. Apakah sudah tidak sibuk lagi?
“Ya Allaah, kenapa aku harus peduli dengan urusannya. Aku tidak ingin peduli siapapun yang azan di masjid itu. Yang penting waktu sudah menunjukkan aku untuk shalat” Hafshah dengan lucunya memarahi dirinya sendiri. Adiknya, Umar yang akan siap-siap pergi ke masjid terheran-heran melihat kakaknya pulang-pulang malah merepet halus.
“Kakak kok nggak pakai salam masuk ke rumah?”
Ya Tuhan, Hafshah pun baru menyadarinya. Konsentrasinya hilang beberapa saat karena kaget mendengar suara azan yang ternyata adalah suara laki-laki itu.
“Assalamu’alaykum, adikku yang paling tampan.” Hafshah berbalik ke arah Umar dan setelahnya bergegas masuk ke kamar. Umar hanya bergumam si kakak sedang aneh.
Setengah jam setelah ayah dan Umar selesai shalat Magrib di masjid, ayahnya menyuruh Hafshah keluar kamar. Bukan hanya itu tapi juga disuruh duduk di ruang tamu. Hafshah menolak. Aih, dia merasa malu sekali. Kenapa tiba-tiba ayahnya menyuruhnya ikut menjamu tamu, bukankah ayahnya tidak pernah sekalipun menyuruh Hafshah keluar kamar jika ada tamu laki-laki. Kecuali itu saudara mereka. Dan, tamu laki-laki malam ini adalah laki-laki yang tadi suara azannya membuat Hafshah kaget. Ada apa dengan ayah? Aih, Hafshah tidak mengerti.
Hafshah akhirnya duduk di ruang tamu ditemani ibunya. Ayahnya masih asyik ngobrol dengan laki-laki itu. Ayahnya memang selalu asyik kalau ngobrol dengannya, pernah sampai lupa waktu sangkin asyiknya.
Lima menit.. sepuluh menit.. Hafshah dibiarkan ayahnya duduk terdiam. Dia hanya merunduk. Melihat pernak-pernik kain taplak meja yang dijahit ibunya sendiri. Hanya itu yang ia bisa lakukan sebab laki-laki itu duduk tepat di sebrang depannya.
“Hafshah..” Ayahnya telah selesai ngobrol sepertinya dengan laki-laki itu.
“Iya, Ayah..” Balas Hafshah menatap ayahnya.
“Bagaimana proposalnya sudah selesai? Kapan akan diseminarkan?”
“Minggu depan, Yah insya Allaah..”
“Sebentar lagi berarti ya. Ini Mas Aziz sudah siap menikah katanya. Hafshah berkenan? Hafshahkan pernah bilang pada ayah ingin dicarikan suami, Hafshah bilang kalau bisa sebelum wisuda sudah menikah. Bagaimana, Nak?”
Hafshah terpana mendengar penuturan ayahnya. Tidak menyangka ayahnya akan berbicara seperti itu. Ia terdiam masih dengan sedikit kaget. Kepalanya merunduk lagi, kali ini bukan lagi menatap pernak-pernik kain taplak meja yang dijahit ibunya sendiri. Ia menatap jari-jarinya yang tiba-tiba terasa dingin sekali. Mulutnya tidak bisa mengeluarkan bunyi satu huruf pun. Suaranya tiba-tiba lenyap entah kemana. Ia merasa ini kejadian yang paling memalukan dalam hidupnya. Namun, berbeda dengan hatinya. Hatinya bak musim dingin yang telah dijemput musim semi; tumbuh banyak bunga-bunga.
Lima menit lengang. Tidak ada suara siapapun. Apalagi suara Hafshah yang seharusnya menjawab pertanyaan ayahnya.
“Kalau perempuan diam tandanya setuju, Yah.” Akhirnya dengan senyuman, ibu Hafshah yang menerjemahkan diamnya Hafshah.
“Baik, ibu dan Hafshah boleh kembali ke belakang. Nanti akan kita bicarakan lebih lanjut. Ayah dan Mas Aziz mau siap-siap ke masjid.” Kata ayahnya, yang kali ini wajahnya bertambah riang.
***
Epilog

Kalian tahu, setiap mereka yang berikhtiar dalam mencari jodoh bisa saja gagal. Bahkan sehari sebelum pernikahan, sebelah pihak bisa saja membatalkan pernikahan. Sebab jodoh, memang telah rapi tertulis sebagai takdir masing-masing manusia. Jika gagal sebelum akad sakral tidak perlu berlama kecewa. Tuhan telah menyiapkan sebuah nama atau mungkin beberapa nama yang layak menemani hidup kita. Dan untuk tahu Hafshah dan laki-laki itu berjodoh atau tidak, lihat kembali judul di atas.
(Penulis adalah alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
 (Terbit di Medan Pos, 9 Juli 2017)

No comments:

Post a Comment