Karya : Aisyah
Haura Dika Alsa
Ia menanti
seseorang yang berdiri di balik pintu yang dibuka setengah. Lama sekali orang
yang ditunggunya itu berbicara dengan rekan kerjanya dan ia juga sudah lama
sekali berdiri di sini. Tidak ada tempat yang dapat menjadi kursi. Ingin
memotong pembicaraan mereka tentu saja ia tidak tahu diri maksudnya tidak tahu
sopan santun. Untungnya ada Rumaysho, sahabatnya yang menemani. Jadi, baiklah,
ia akan menunggu beberapa menit lagi di sini. Kalau tidak ingat ini permintaan
ayahnya, ia tidak akan mau menunggu selama ini. Sebenarnya, sudah dua hari yang
lalu ayahnya menyuruhnya, hanya saja ia merasa ayahnya menyuruh sesuatu yang
tidak mudah baginya. Meski ayahnya juga terpaksa menyuruhnya karena kesibukan
pekerjaannya.
“Hafshah..” Kata
laki-laki itu sedikit kaget melihat Hafshah dengan teman perempuannya berdiri
di samping ruangannya.
Akhirnya orang
yang ditunggu keluar juga dari ruangannya dan hufffff Hafshah bersyukur sekali,
dia yang terlebih dahulu menyapa Hafshah. Hafshah meresponnya dengan sedikit
kaget juga.
Hafshah hanya
tersenyum, sedikit dipaksa, sebab ia tiba-tiba menjadi gugup. Tidak tahu harus
kalimat apa yang terlebih dahulu keluar dari mulutnya.
“Sedang apa di
sini? Ada yang ingin diurus?” Tanya orang yang ditunggu Hafshah.
“Ngg.. tidak..
Saya hanya ingin memberikan ini. Undangan dari ayah.” Hafshah memberikan sebuah
amplop –yang telah dipegangnya sejak tadi– kepada orang yang ditunggunya itu.
“Oh.. Undangan
dari masjid ya?”
“Iya.”
“Jadi, Hafshah
ke sini ingin bertemu dengan saya? Eh, Maksud saya ingin memberikan undangan
ini? Sudah lama menunggunya?”
“Nggak lama
kok.” Terpaksa Hafshah berbohong.
“Oh.. Baiklah,
terima kasih ya sudah repot-repot mengantarnya. Sampaikan salam dan mohon maaf
kepada ayah ya. Saya sangat sibuk akhir-akhir ini. Jadi, sulit menemui ayah.”
“Tidak masalah.
Saya permisi.”
“Iya, hati-hati,
Hafshah.”
Hafshah pamit sambil
ia merasa beberapa pasang mata perempuan muda di sana menatapnya tidak sedap. Ia
merasa banyak perempuan muda di ruangan ini yang menyukai lelaki itu.
***
Azan Ashar
lembut masuk ke telinga. Membangunkan tidur siang orang-orang yang sedang
istirahat. Menghentikan pekerjaan orang-orang yang masih mencari nafkah.
Membuat orang-orang memencet tombol off
di remote televisi. Dan tidak sedikit
yang malah tidak peduli sama sekali dengan azan yang tengah berkumandang.
Hafshah menutup
laptopnya dan bangkit menuju kamar mandi. Berwudhu. Sudah seminggu ini, ia
tidak lagi mendengar suara azan dari muazin yang memiliki suara merdu. Sebenarnya,
tidak masalah siapapun muazinnya. Asal dia paham tajwid dan bisa membaca lafaz
azan dengan benar. Namun, rasanya, ah Hafshah begitu malu mengakuinya.
Hafshah adalah
salah satu mahasiswi di perguruan tinggi swasta yang terkenal di kotanya. Ia
hampir menginjak semester akhir. Jadi ia lebih banyak menatap laptopnya
akhir-akhir ini karena selain menulis yang menjadi hobinya ia juga harus
menyelesaikan proposal penelitiannya.
Hafshah hanya
mahasiswi biasa, tidak pernah sekalipun aktif di komunitas atau organisasi
manapun. Kata ayahnya, ia harus lebih banyak di rumah. Keluar hanya untuk
keperluan yang penting dan mendesak. Ia sempat protes tapi mendengar jawaban
ayahnya, “Begitulah cara ayah memuliakan anak perempuan ayah yang sangat
berharga bagi ayah. Karena menjaga anak perempuan tidak seperti menjaga anak
laki-laki. Harus lebih ketat. Sama seperti menjaga tuan putri yang tidak
sembarang orang bisa bergaul dengannya. Paham, Nak?” Hafshah pun luluh hatinya.
Dan laki-laki
yang ditemuinya siang tadi adalah pegawai di kampusnya yang notebene tetangga rumahnya.
Karena satu tempat jadi ayahnya menyuruh Hafshah yang mengantar undangan
tersebut. Karena jika mengantar ke rumahnya pun sedang sulit ditemui dan
laki-laki itu tinggal sendiri di rumahnya.
***
Matahari turun
dari waktu cerah, jingga-jingga mulai berkuasa. Di simpang-simpang jalan yang
tak berlampu merah, kendaraan berantakan, masing-masing ingin bersegera sampai
rumah, tak peduli harus membuat orang lain marah, semua ingin lebih dulu jalan.
Syukurnya, beberapa menit setelah riuh klakson sahut-sahutan, beberapa pemuda di tempat rela menjadi tukang atur
arah agar kendaraan bisa tertib dan jalan.
Hafshah sesenja
ini baru pulang dari kampus, sebab mengurus proposalnya. Ia berjalan kaki dari
simpang untuk sampai ke rumah dan melirik sebentar ke arah beberapa pemuda yang
mengatur jalan, ternyata mereka teman sekolah dasarnya. Hafshah segan ingin
menegur, pun mereka juga merasa sama pada Hafshah. Hafshah selalu senang
melihat mereka yang suka rela mengatur jalan di simpang-simpang yang tidak ada
lampu merah baik itu pemuda setempatnya ataupun bapak-bapaknya.
Begitu Hafshah
sampai di rumah dan membuka pintu, azan magrib pun berkumandang. Tangannya
tiba-tiba bergetar di daun pintu, detak jantungnya bertambah laju. Lelaki itu.. Apakah sudah tidak sibuk lagi?
“Ya Allaah,
kenapa aku harus peduli dengan urusannya. Aku tidak ingin peduli siapapun yang
azan di masjid itu. Yang penting waktu sudah menunjukkan aku untuk shalat”
Hafshah dengan lucunya memarahi dirinya sendiri. Adiknya, Umar yang akan
siap-siap pergi ke masjid terheran-heran melihat kakaknya pulang-pulang malah
merepet halus.
“Kakak kok nggak
pakai salam masuk ke rumah?”
Ya Tuhan,
Hafshah pun baru menyadarinya. Konsentrasinya hilang beberapa saat karena kaget
mendengar suara azan yang ternyata adalah suara laki-laki itu.
“Assalamu’alaykum,
adikku yang paling tampan.” Hafshah berbalik ke arah Umar dan setelahnya
bergegas masuk ke kamar. Umar hanya bergumam si kakak sedang aneh.
Setengah jam setelah ayah dan Umar
selesai shalat Magrib di masjid, ayahnya menyuruh Hafshah keluar kamar. Bukan
hanya itu tapi juga disuruh duduk di ruang tamu. Hafshah menolak. Aih, dia
merasa malu sekali. Kenapa tiba-tiba ayahnya menyuruhnya ikut menjamu tamu,
bukankah ayahnya tidak pernah sekalipun menyuruh Hafshah keluar kamar jika ada
tamu laki-laki. Kecuali itu saudara mereka. Dan, tamu laki-laki malam ini
adalah laki-laki yang tadi suara azannya membuat Hafshah kaget. Ada apa dengan ayah? Aih, Hafshah tidak
mengerti.
Hafshah akhirnya duduk di ruang tamu
ditemani ibunya. Ayahnya masih asyik ngobrol dengan laki-laki itu. Ayahnya
memang selalu asyik kalau ngobrol dengannya, pernah sampai lupa waktu sangkin
asyiknya.
Lima menit.. sepuluh menit.. Hafshah
dibiarkan ayahnya duduk terdiam. Dia hanya merunduk. Melihat pernak-pernik kain
taplak meja yang dijahit ibunya sendiri. Hanya itu yang ia bisa lakukan sebab
laki-laki itu duduk tepat di sebrang depannya.
“Hafshah..” Ayahnya telah selesai
ngobrol sepertinya dengan laki-laki itu.
“Iya, Ayah..” Balas Hafshah menatap
ayahnya.
“Bagaimana proposalnya sudah selesai?
Kapan akan diseminarkan?”
“Minggu depan, Yah insya Allaah..”
“Sebentar lagi berarti ya. Ini Mas Aziz
sudah siap menikah katanya. Hafshah berkenan? Hafshahkan pernah bilang pada
ayah ingin dicarikan suami, Hafshah bilang kalau bisa sebelum wisuda sudah
menikah. Bagaimana, Nak?”
Hafshah terpana mendengar penuturan ayahnya.
Tidak menyangka ayahnya akan berbicara seperti itu. Ia terdiam masih dengan
sedikit kaget. Kepalanya merunduk lagi, kali ini bukan lagi menatap
pernak-pernik kain taplak meja yang dijahit ibunya sendiri. Ia menatap jari-jarinya
yang tiba-tiba terasa dingin sekali. Mulutnya tidak bisa mengeluarkan bunyi
satu huruf pun. Suaranya tiba-tiba lenyap entah kemana. Ia merasa ini kejadian
yang paling memalukan dalam hidupnya. Namun, berbeda dengan hatinya. Hatinya
bak musim dingin yang telah dijemput musim semi; tumbuh banyak bunga-bunga.
Lima menit lengang. Tidak ada suara
siapapun. Apalagi suara Hafshah yang seharusnya menjawab pertanyaan ayahnya.
“Kalau perempuan diam tandanya setuju,
Yah.” Akhirnya dengan senyuman, ibu Hafshah yang menerjemahkan diamnya Hafshah.
“Baik, ibu dan Hafshah boleh kembali ke belakang.
Nanti akan kita bicarakan lebih lanjut. Ayah dan Mas Aziz mau siap-siap ke
masjid.” Kata ayahnya, yang kali ini wajahnya bertambah riang.
***
Epilog
Kalian tahu, setiap
mereka yang berikhtiar dalam mencari jodoh bisa saja gagal. Bahkan sehari
sebelum pernikahan, sebelah pihak bisa saja membatalkan pernikahan. Sebab
jodoh, memang telah rapi tertulis sebagai takdir masing-masing manusia. Jika
gagal sebelum akad sakral tidak perlu berlama kecewa. Tuhan telah menyiapkan
sebuah nama atau mungkin beberapa nama yang layak menemani hidup kita. Dan untuk
tahu Hafshah dan laki-laki itu berjodoh atau tidak, lihat kembali judul di
atas.
(Penulis adalah alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia FKIP UMSU)
(Terbit di Medan Pos, 9 Juli 2017)
No comments:
Post a Comment