“Ayah
pikir.. Selama ini, Ayah sudah menjadi Ayah yang baik, Ayah yang hebat untuk
kalian. Tapi ternyata tidak. Masih jauh sekali.. Jauh sekali…"
***
Haaa.. yang di atas itu, alinea terakhir dari "Hujan Sore" Part 2. Yuk Mareee di lanjuuut! ^^ Eitss.. Yang belum baca Part 1 and Part 2 nya harus sadar diri ya. Oke kalau nggak sadar diri, biar disadarkan. Baca dulu gih Part 1 n Part 2 nya. Biar nyambuuung :)))
Selamat membaca, Saudara! Tak ada yang diharap selain tulisan ini dapat bermanfaat :))
Oke.. Let's Goo....!!!
Oke.. Let's Goo....!!!
***
Malamnya, ayah
mengumpulkan kami sekeluarga duduk di ruang tengah, ruangan yang biasa kami
pakai untuk berkumpul berbagi canda tawa dan bermusyawarah. Setelah Ayah dan
Bang Ilham, abangku satu-satunya, tepatnya saudaraku satu-satunya pulang dari
berjamaah Isya di masjid. Ayah malah menunda waktu makan malam bersama.
“Maafkan Ayah menunda waktu malam kita. Ibu lapar?” tanya
ayah pada ibu yang masih bermukenah, yang duduk tepat di hadapan ayah.
“Enggak, Yah.” Jawab
ibu tersenyum lembut.
“Abang lapar?” Tanya ayah pada Bang Ilham yang duduk di
sebelah kanan ayah dan di sebelah kiri ibu dan tepat di hadapanku.
“Enggak, Yah.”
Jawab Bang Ilham dengan jawaban yang sama dengan ibu dan cara yang serupa pula;
tersenyum lembut.
“Kalau Eros pasti nggak
lapar, Yah. Cadangan di perutnya pasti masih banyak kali tuh, Yah..” Canda Bang Ilham. Mendahului Ayah untuk bergiliran
bertanya padaku.
“Abang…!” Ayah yang membalas dengan suara tegas atas
ledekan Bang Ilham padaku.
“Bang Ilham bener
kok, Yah! Eros nggak laper. Tadi
sore jam 6 makan nasi diam-diam di kamar. Tapi jangan beri tahu Ibu ya, Yah..”
Aku berbisik pada Ayah yang di sebelah kananku, merasa pura-pura ibu yang di
samping kiri tak mendengarnya.
Mendengar itu, ibu mencubit pahaku dan mendelikkan mata
bulat lebarnya padaku. Ayah tertawa dan aku meringis sakit. Bang Ilham malah
lebih keras tertawanya dari Ayah. Dan gantian Ayah yang giliran mencubit paha
Bang Ilham. Aku menjulurkan lidahku ke arahnya, ke arah saudara satu-satunya
yang kupunya.
“Ibu
meneng wae, Eros nggak akan gendutan, kok!” Memang ibu yang paling parno soal berat badanku. Tapi
setidaknya, banyak makanku masih selalu gagal untuk gendut. Hanya pipi ini yang
entah mengapa berkembang jauh lebih pesat.
“Sudah..
sudah.. Berat badan itu bukan tema yang ingin kita musyawarahkan saat
ini.” Ayah mengembalikan kami agar
serius.
“Ibu..
Abang.. Eros.. Maafkan Ayah.. Dengan Setulus hati tolong maafkan Ayah..”
Lagi-lagi, ayah meminta maaf dengan suara yang sangat memohon dan lembut.
“Menjadi
kepala rumah tangga, bukanlah sesuatu yang gampangan. Dulu, ayah pikir setelah
kita terlihat bahagia secara ekonomi, maka itu dapat membuat kita benar-benar
merasakan kebahagiaan. Tapi, ternyata tidak. Tidak sama sekali..” Suara ayah
mulai parau.
“Ibu,
maafkan Ayah.. Maafkan Ayah, ya? Yang sebelumnya sering membuat ibu cemburu
dengan pekerjaan Ayah. Ayah lebih sering keluar kota daripada di rumah.
Mengejar bisnis-bisnis yang menggiurkan rupiahnya. Yang ayah pikir dapat
membuat keluarga ayah bahagia. Nyatanya tidak..”
“..Tanpa
sepengetahuan kalian.. Dulu ibu lebih banyak mendiamkan ayah. Bersikap
sewajarnya ketika di depan kalian. Tapi ketika berdua. Ibu seperti gulungan
salju di kutub utara; dingin, beku…”
“Sekarang
alhamdulillah udah nggak kok, Yah! Ayah
sudah banyak di rumah. Sudah lebih menenangkan..” Ibu memotong cepat kalimat
ayah. Seperti lebih ingin menyembunyikan masalah “cukup orang tua yang tahu”
dari aku dan Bang Ilham.
Aku
dan Bang Ilham hanya diam. Sebenarnya, sebelum ayah menyuruhku menutup aurat
penuh, ayah sudah berubah jauh, berubah banyak. Hanya saja baru kusadari
setelah membaca buku kedua yang diberi ayah.
Dimulai
dari ayah yang lebih banyak di rumah. Yang biasanya dulu hanya dua bulan sekali terlihat "tenang" di rumah. Itupun hanya seminggu, dan lebih banyak tak utuh
seminggu. Itu kenapa, ayah tidak masalah membelikan kami gadget-gadget mahal agar lebih mudah dan asyik berkomunikasi meski
jauh. Ayah setiap hari memantau kami dari dua smartphonenya. Jika tidak memberi semua alamat akun media sosial
dan passwordnya, ayah mengancam akan
menarik kembali semua gadget yang
diberi pada kami.
Lalu,
makanan juga mulai sederhana. Tidak terlalu banyak seperti dulu. Yang akhirnya
lebih sering mubazir. Sekarang, ayah makan secukupnya. Dan berniat untuk
menurunkan berat badan. Di meja makan juga ayah mengajarkan pada kami untuk
tidak makan sampai kenyang. Dan akulah yang akan paling tersindir atas ucapan
ayah. Lalu, Bang Ilham merasa menang tanpa harus mengibarkan bendera perang.
Meledekku
memang hal yang paling membahagiakannya, meski sekarang nasihat ayah yang akan
membalasnya. Bahwa meledek tanpa ada bukti benarnya dilarang oleh Rasulullah.
Bercanda juga tak boleh berbohong. Tapi, meski dia sangat menyebalkan. Dialah
laki-laki setelah ayah yang paling bisa membahagiakan.
Kusadari
juga ayah lebih sering shalat berjamaah di masjid. Sebelum zuhur selalu sudah
pulang, dan bersiap-siap berwangi-wangi menuju rumah Allah. Begitu juga
asharnya, magribnya dan isyanya, serta esok pagi, shubuhnya. Jika magrib dan
isya, Bang Ilham akan ikut. Sebab, Bang Ilham selalu pulang pukul lima. Batas
yang ada di peraturan buku hitam ayah.
Ibu
juga lebih dulu berubah. Nasehat ayah lebih dulu singgah pada ibu. Meski
sebenarnya, ibulah yang lebih banyak memikirkan dan mendidik kami menuju
akhirat. Tapi sama sepertiku juga, aurat ibu dulu belum tertutup penuh. Hanya
sepasang kaki ibu saja yang belum dibalut kaus kaki. Busana lainnya,
Alhamdulillah sudah syar’i.
“Maafkan,
Ayah.. Saat ini, ayah tak lagi ingin kalian sukses dan bangga dengan pekerjaan
kalian nanti. Yang hanya ayah inginkan dan pinta dari kalian adalah menjadi
anak yang sholeh dan sholehah. Itu saja…”
“…Maafkan
Ayah, uang jajan kalian 50 % akan ayah
potong..”
Aku
dan Bang Ilham saling pandang.
“…Tapi,
tenang saja, yang 50 % itu anggarannya masuk ke dalam jajan buku. Setiap hari
harus ada satu buku yang kalian baca. Dan harus diinfokan pada ayah dan ibu
manfaat apa saja yang telah didapat dari buku itu setelah kita makan malam
bersama..”
“Alhamdulillah,
kalau dipindahkan Ilham setuju-setuju aja,
Yah.” Tentu saja aku dan Bang Ilham akan setuju. Dari kecil aku dan dia memang
senang membaca buku. Terserah itu fiksi atau non-fiksi.
“Tapi,
bukunya ada syaratnya. Harus buku yang berwangi agama. Kalau novel-novel, harus
novel yang isinya banyak motivasi, hikmah, nasihat dan dakwah. Ayah tidak mengizinkan kalian
membaca novel karya anak negri tapi bergenre barat. Tentang kisah-kisah cinta yang
melewati batas..”
Maksud
bergenre barat itu, gaya cinta-cintaan ala barat. Yang benar-benar jauh dari
Islam. Semisal pacaran, mengejar cinta atau menanti cinta yang tak pasti. Atau
membaca cerita cinta antara dua sahabat.
GLEK!
Tiba-tiba,
aku menelan ludah. Cerita cinta antara dua sahabat? Tiba-tiba, aku merasa
sangat…sangat… sangat malu. Benar-benar malu sekali. Tadi siang saat aku curhat
dengan ayah. Aku mengaku dengan blak-blakan tentang perasaanku yang tiba-tiba
hadir untuk Najuh. Dan perasaan yang baru benar-benar terasa rasa setelah aku
dan Najuh menjauh. Aku seperti kehilangan saat-saat bahagia ketika dulu
bersamanya. Astaghfirullah.
“Dan
untuk Eros terlebih dahulu, Ayah tak ingin lagi membaca prosa-prosa atau
puisi-puisi Eros tentang kisah cinta yang melewati batas. Bisakan? Menjadi
penulis dan sastrawan yang islami, Sayang..? Yang menulis untuk dakwah?” Tanya
ayah tegas penuh harap.
“Insya
Allah diusahakan, Yah..”! Jawabku tersenyum.
“Eros
masih sedihkah?” Tanya ayah lagi, tapi kali ini lebih lembut.
Aku
menggeleng. “Eros sedih kenapa?” Ibu dan Bang Ilham serentak bertanya. Sangat
ingin tahu.
“Ayah
tahu, kamu masih sedih..” Ayah menatapku lagi, merasa belum perlu menjawab
pertanyaan ibu dan Bang Ilham yang sangat ingin tahu.
“Ya
sudah, ayah tanya lagi ya, untuk kedua kalinya. Apa Eros sudah siap menikah?”
Yang kaget malah ibu dan Bang Ilham. Sama kagetnya seperti aku tadi siang.
Pertanyaan kedua ini hanya membikin sedikit perih, tidak lagi kaget saat
pertama kali sewaktu ayah bertanya.
Aku
menggeleng. Ayah menatapku lebih lekat.
“Eros,
Ayah minta jawabannya dengan suara, Sayang.. Bukan dengan gelengan kepala.”
Aku
diam beberapa saat. Ayah menunggu jawabanku. Jawaban atas pertanyaan pertama
tadi siang, hanya gelengan kepala. Dan ayah tidak lagi ingin dengan jawaban
yang sama.
“Maafkan
Eros, Yah. Eros belum siap menikah. Ilmu menikah yang sesuai syari’at masih
belum terjamah Eros. Eros bahkan belum pandai memasak. Menyapu dan mengepel
rumah saja Eros lakukan setahun sekali. Saat bantu-bantu membersihkan rumah
jika lebaran akan datang. Karena si Mbak
pulang kampung. Apalagi mengurus suami dan anak-anak. Maafkan Eros yang lalai
sebagai anak, Yah.. Maafkan Eros, Bu.. Maafkan Eros, Bang..” Lagi-lagi aku
gagal menahan air mataku. Secepat mungkin ibu memelukku.
“Nggak
apa-apa, Eros.. Nggak salah Eros. Tapi salah Ibu yang nggak pernah tegas sama Eros buat mandiri di rumah. Nanti
pelan-pelan akan ibu ajarkan. Eros pasti bisa belajar cepat. Eros kan anak Ayah
dan Ibu yang cerdas..” Ibu halus membelai kepalaku. Menenangkan tangisku.
“Iya,
Dek. Nanti Bang Ilham bantu ngajari juga
cara cuci piring yang bener!” Bang
Ilham tersenyum “sok tulus”. Dan cepat dibalas ayah dengan nasihat.
“Dan
selanjutnya untuk Bang Ilham..” Seketika Bang Ilham terdiam. Takzim menunduk
saat ayah menatapnya. Seperti sudah tahu, apa yang akan ayah nasehati untuknya.
“Pertanyaan
yang sama dengan Eros untuk Bang Ilham..”
“…..............”
Bang Ilham diam. Tak bereaksi apapun. Masih setia menekuri lantai.
“Bang
Ilham, sudah siapkah menikah?”
Aku
dan ibu sedikit kaget atas pertanyaan ayah. Tapi..
"…................”
Lagi-lagi Bang Ilham masih diam, masih setia memendam suara. Sebenarnya, jika
saja ini bukan sedang membicarakan masalah yang benar-benar serius, raut muka
diamnya Bang Ilham itu terlihat sangat.. sangat ingin membuat tertawa. Tapi,
mengingat sedihku yang masih bersisa banyak dan rasa maluku yang begitu besar;
sebab ternyata belum pantas menjadi anak kebanggan, apalagi hamba
kebanggaan-Nya, niat tersenyum sedikit saja melihat raut wajah Bang Ilham sama
sekali bukan selera saat ini.
“Kenapa
Bang Ilham hanya diam?” Tanya ayah dengan sangat lembut.
“Maafkan
Ilham, Yah. Ilham sudah tahu kesalahan Ilham. Ilham selama ini menganggap apa
yang Ilham lakukan sudah benar. Ternyata sangat jauh dari syari’at. Meski hal
yang paling jauh yang pernah Ilham lakukan pada Nina adalah menyentuh tangannya
saat bersalaman dan hampir setiap hari memboncengnya, itu tetap salah. Bahkan
ketika hanya sekadar ngobrol lewat chat, membicarakan hal-hal yang sia-sia, itu
tetap salah. Maafkan Ilham, Yah..” kudengar suara Bang Ilham parau.
Ayah
memang tidak memberikan buku hanya padaku. Sebab, anak ayah tentu bukan hanya
aku. Sedekat-dekatnya aku dengan ayah, masih jauh lebih lekat hubungan ayah
dengan Bang Ilham. Bang Ilham begitu menyanyangi ayah. Itulah sebab alasan Bang
Ilham selalu pulang pukul lima. Waktu kuliahnya padahal hanya sampai pukul satu.
Bang Ilham masuk ke organisasi. Setidaknya bisa sekejap membunuh rasa rindu
pada ayah. Dan memang, semenjak Bang Ilham masuk kuliahlah, ayah mulai sering
keluar kota.
Pernah
waktu itu, ketika Bang Ilham kelas tiga Tsanawiyah. Bang Ilham berhasil meraih
olimpiade matematika se-provinsi. Ayah berjanji akan datang. Karena memang
sudah tahu Bang Ilham yang memenangkannya, maka Bang Ilham ingin bersama
ayahlah mengambil piala ke atas panggung sebagai juara.
Tapi,
ternyata ayah mendadak keluar kota. Memang pada saat kami Tsanawiyah, disitulah
mulai bisnis ayah meraih banyak rupiah. Dan waktu ayah mulai berpindah untuk
bisnisnya, meski hanya raga yang tak ada. Perhatiannya masih tetap tercurah.
Tapi itu tetap saja membuat Bang Ilham cemburu. Merajuk tak mau naik ke atas
panggung. Menahan tangis selama perjalanan. Meski, akhirnya pecah di kamarnya. Dan
itu juga yang membuat sikap dan sifat Bang Ilham begitu mirip ayah.
“Sudah
ayah katakan berulang, itu bukan salah Ilham. Salah Ayah yang salah mendidik. Ayah
pikir, ayah sudah hebat sekali, Ya Allah, ampunilah. Ayah sudah sangat sombong.
Ayah pikir dengan ekomoni yang melimpah, anak-anak yang meraih prestasi besar,
ayah sudah pantas membusungkan dada. Tapi ternyata tidak. Jauh. Ayah hanya
mendidik kalian untuk berhasil dan hidup enak di dunia.. Padahal.. Padahal..
dengan semua itu tak ada menjamin kita bahagia di kehidupan yang sebenarnya..”
“…Maafkan
Ayah yang pernah membuat anak Ayah berani membawa-bawa nama Allah untuk
berpacaran, tak malu membawa nama Allah untuk mencintai yang tak halal, merasa
hal yang baik ketika itu disebarkan di media sosial. Padahal bukan begitu
didikan agama kita…”
“…Maafkan
Ayah yang pernah membiarkan foto anak gadis Ayah tersebar bebas di internet,
bahkan foto istri Ayah sekalipun. Bebas diakses siapa saja. Padahal.. Padahal..
Allah menyediakan hijab untuk muslimah, agar muslimah dapat serapat mungkin
menyembunyikan kecantikannya. Bukan malah dipertontonkan dengan gampangnya..”
“Tidak
ada cinta yang diridhoi Allah kecuali dibalut dalam pernikahan. Dalam wadah
yang halal. Mencintai orang yang telah menjadi suami atau istri kita jauh lebih
mulia ketimbang menikahi orang yang kita cintai…”
Kalimat
ayah barusan benar-benar menusuk jantung. Aku dan Bang Ilham semakin menekur.
Juga ibu, kudengar tangisnya sedikit-sedikit mulai bersuara.
“Baiklah,
Ayah ulangi pertanyaan Ayah. Siapkah Ilham menikah? Jika Ilham siap, Ayah akan
lebih siap.”
Bang
Ilham lagi-lagi diam. Kupandangi lekat wajah saudaraku satu-satunya itu. Saudara
yang lebih tua dua tahun dariku. Seorang abang yang benar-benar tahu bagaimana
cara membahagian adik satu-satunya. Dulu, waktu masih Ibtidaiyah, waktu
kehidupan masih dikurung kisah ekonomi yang susah. Abanglah yang sering
mengalah atas setiap jatah makanan. Lambungku memang lebih besar dari
lambungnya. Sehingga, aku selalu kurang jika hanya makan pas-pasan. Bang
Ilhamlah yang selalu mengalah.
Waktu
itu, nenek memasakkan masakan kesukaan Bang Ilham. Tapi, saat itu harga udang masih sulit digapai nenek. Hingga
akhirnya, nenek hanya memberi sebisanya saja. Hanya ada 10 udang besar yang
digoreng tepung. Biar adil, ibu membaginya menjadi lima-lima.
Rasanya,
aku masih sangat lapar. Sebab nasi yang dimasak ibu juga jauh dari cukup. Apalagi
tidak ada sarapan pagi itu untuk kami. Ayah dan ibu berpuasa. Membiarkan kami
saja yang berusaha kenyang, meski jauh dari perkiraan.
Bang
Ilham luar biasa senang diberi makanan kesukaannya oleh nenek yang rumahnya
sangat jauh dan sengaja singgah untuk menginap satu malam. Aku tanpa merasa
berdosa merengek pada ibu bahwa masih sangat lapar. Dan menangis setelah kelima
udang goreng tepung dari nenek itu habis.
Sedang
punya Bang Ilham, masih dimakan satu. Mungkin, karena sangkin senangnya karena
bertemu nenek, apalagi dibawakan udang goreng tepung kesukaanya, dia lebih suka
memandangi udang goreng tepung itu terus dan berlama-lama memakannya.
Ibu
mendiamkanku. Mengelus kepalaku lembut. Ayah sibuk di luar mencari pinjaman
kesana kemari. Untuk mengisi lambung meski hanya beberapa suapan nasi (saja)
untuk kami.
Bang
Ilham menatapku. Menatap kasihan. Kemudian balik menatap udang goreng tepung kesukaanya.
Begitu berkali-kali. Bolak balik menatap aku dan si udang goreng tepung itu.
“Buat
Adek aja. Ilham masih kenyang, Bu.” Bang Ilham menyodorkan empat-empat udang
goreng tepung yang sangat disukainya itu dengan alasan masih kenyang? Siapa
pula yang pernah mengajarkan Bang Ilham berbohong?
Malam
sebelumnya, kami hanya makan nasi kurang dari cukup tanpa lauk apapun, bahkan
meski hanya garam sebagai rasa asin pun tidak ada. Meski hanya minyak jelanta
sisa pun tidak ada. Dan sarapan sama sekali tak menyinggahi perut kami. Dan
saat makan siang itu, makan siang pukul tiga, Bang Ilham –demi melihat adiknya
agar tak lagi menangis- menyodorkan semua udang goreng tepung kesukaannya
untukku.
Aku
diam seketika. Ibu dan nenek bahkan jauh lebih terdiam. Merasa tidak bisa
berkata apa-apa atas tindakan yang sangat mengagumkan dari seorang anak
laki-laki yang masih kelas empat ibtidaiyah. Entah siapa yang pernah
mengajarkan tindakannya itu. Entah dari mana dia mencontoh perbuatan itu.
“Bu,
ini buat Adek aja. Ilham sedih kalau lihat Adek sedih.” Katanya memecah kekagetan
aku, ibu dan nenek.
“Eh,
nggak usah, Bang. Abang aja yang makan. Sebentar lagi ayah
pulang, bawa makanan buat adek. Tuh
adek nggak nangis lagi kok. Bang Ilhamkan belum makan seharian.”
“Ilham
nggak mau lagi, Bu. Adek kan masih
mau. Ilham udah makan kok udangnya satu. Yang belum makan
seharian dan dari semalam itu ibu sama ayah. Ibu sama ayah aja nggak mau makan.
Ilham juga nggak mau.”
Jika
mengingat kisah ini -dan sebenarnya masih banyak kisah-kisah yang lain lagi
tentang “mengalah”nya Bang Ilham untukku- dan menceritakan kembali –dan yang
pasti ketika tidak ada Bang Ilham- sebab, Bang Ilham paling merasa tidak suka
diceritakan tentang hal itu. Ibu selalu bilang, “Ternyata dari situlah Allah
memberikan nikmat yang berbeda untuk Ibu. Melihat Bang Ilham yang begitu saja
mengalah, seketika lelah, gundah, bahkan lapar yang sangat menggigit sekalipun
dibayar lunas oleh bersihnya hati Bang Ilham..”
Dan
dari kisah yang diulang-ulang itulah aku tahu darimana Bang Ilham mencontoh
tindakan itu. Tentu saja dari ayah dan ibu. Yang lebih banyak menerima kesakitan
dengan menenggelamkan keluhan sedalam mungkin.
***
-BERSAMBUNG-
Insya Allah akan dilanjut lagi. Selamat menikmati weekend terakhir September ini.
Ah, September~
Insya Allah akan dilanjut lagi. Selamat menikmati weekend terakhir September ini.
Ah, September~