Sunday, September 27, 2015

Hujan Sore - Part 3 (Sebab Cinta tak Hanya Sekadar Rasa, Tapi Ibadah)





 “Ayah pikir.. Selama ini, Ayah sudah menjadi Ayah yang baik, Ayah yang hebat untuk kalian. Tapi ternyata tidak. Masih jauh sekali.. Jauh sekali…"
*** 
Haaa.. yang di atas itu, alinea terakhir dari "Hujan Sore" Part 2. Yuk Mareee di lanjuuut! ^^ Eitss.. Yang belum baca Part 1 and Part 2 nya harus sadar diri ya. Oke kalau nggak sadar diri, biar disadarkan. Baca dulu gih Part 1 n Part 2 nya. Biar nyambuuung :))) 


Selamat membaca, Saudara! Tak ada yang diharap selain tulisan ini dapat bermanfaat :))
Oke.. Let's Goo....!!!
                                                                                 ***
  
Malamnya, ayah mengumpulkan kami sekeluarga duduk di ruang tengah, ruangan yang biasa kami pakai untuk berkumpul berbagi canda tawa dan bermusyawarah. Setelah Ayah dan Bang Ilham, abangku satu-satunya, tepatnya saudaraku satu-satunya pulang dari berjamaah Isya di masjid. Ayah malah menunda waktu makan malam bersama.


             
“Maafkan Ayah menunda waktu malam kita. Ibu lapar?” tanya ayah pada ibu yang masih bermukenah, yang duduk tepat di hadapan ayah.
            
 Enggak, Yah.” Jawab ibu tersenyum lembut.
            
 “Abang lapar?” Tanya ayah pada Bang Ilham yang duduk di sebelah kanan ayah dan di sebelah kiri ibu dan tepat di hadapanku.
            
 Enggak, Yah.” Jawab Bang Ilham dengan jawaban yang sama dengan ibu dan cara yang serupa pula; tersenyum lembut.
            
 “Kalau Eros pasti nggak lapar, Yah. Cadangan di perutnya pasti masih banyak kali tuh, Yah..” Canda Bang Ilham. Mendahului Ayah untuk bergiliran bertanya padaku.
            
 “Abang…!” Ayah yang membalas dengan suara tegas atas ledekan Bang Ilham padaku.
            
 “Bang Ilham bener kok, Yah! Eros nggak laper. Tadi sore jam 6 makan nasi diam-diam di kamar. Tapi jangan beri tahu Ibu ya, Yah..” Aku berbisik pada Ayah yang di sebelah kananku, merasa pura-pura ibu yang di samping kiri tak mendengarnya.
            
Mendengar itu, ibu mencubit pahaku dan mendelikkan mata bulat lebarnya padaku. Ayah tertawa dan aku meringis sakit. Bang Ilham malah lebih keras tertawanya dari Ayah. Dan gantian Ayah yang giliran mencubit paha Bang Ilham. Aku menjulurkan lidahku ke arahnya, ke arah saudara satu-satunya yang kupunya.

“Ibu meneng wae, Eros nggak akan gendutan, kok!” Memang ibu yang paling parno soal berat badanku. Tapi setidaknya, banyak makanku masih selalu gagal untuk gendut. Hanya pipi ini yang entah mengapa berkembang jauh lebih pesat.

“Sudah.. sudah.. Berat badan itu bukan tema yang ingin kita musyawarahkan saat ini.”  Ayah mengembalikan kami agar serius.

“Ibu.. Abang.. Eros.. Maafkan Ayah.. Dengan Setulus hati tolong maafkan Ayah..” Lagi-lagi, ayah meminta maaf dengan suara yang sangat memohon dan lembut.

“Menjadi kepala rumah tangga, bukanlah sesuatu yang gampangan. Dulu, ayah pikir setelah kita terlihat bahagia secara ekonomi, maka itu dapat membuat kita benar-benar merasakan kebahagiaan. Tapi, ternyata tidak. Tidak sama sekali..” Suara ayah mulai parau.

“Ibu, maafkan Ayah.. Maafkan Ayah, ya? Yang sebelumnya sering membuat ibu cemburu dengan pekerjaan Ayah. Ayah lebih sering keluar kota daripada di rumah. Mengejar bisnis-bisnis yang menggiurkan rupiahnya. Yang ayah pikir dapat membuat keluarga ayah bahagia. Nyatanya tidak..”

“..Tanpa sepengetahuan kalian.. Dulu ibu lebih banyak mendiamkan ayah. Bersikap sewajarnya ketika di depan kalian. Tapi ketika berdua. Ibu seperti gulungan salju di kutub utara; dingin, beku…”

“Sekarang alhamdulillah udah nggak kok, Yah! Ayah sudah banyak di rumah. Sudah lebih menenangkan..” Ibu memotong cepat kalimat ayah. Seperti lebih ingin menyembunyikan masalah “cukup orang tua yang tahu” dari aku dan Bang Ilham.

Aku dan Bang Ilham hanya diam. Sebenarnya, sebelum ayah menyuruhku menutup aurat penuh, ayah sudah berubah jauh, berubah banyak. Hanya saja baru kusadari setelah membaca buku kedua yang diberi ayah.

Dimulai dari ayah yang lebih banyak di rumah. Yang biasanya dulu hanya dua bulan sekali terlihat "tenang" di rumah. Itupun hanya seminggu, dan lebih banyak tak utuh seminggu. Itu kenapa, ayah tidak masalah membelikan kami gadget-gadget mahal agar lebih mudah dan asyik berkomunikasi meski jauh. Ayah setiap hari memantau kami dari dua smartphonenya. Jika tidak memberi semua alamat akun media sosial dan passwordnya, ayah mengancam akan menarik kembali semua gadget yang diberi pada kami.

Lalu, makanan juga mulai sederhana. Tidak terlalu banyak seperti dulu. Yang akhirnya lebih sering mubazir. Sekarang, ayah makan secukupnya. Dan berniat untuk menurunkan berat badan. Di meja makan juga ayah mengajarkan pada kami untuk tidak makan sampai kenyang. Dan akulah yang akan paling tersindir atas ucapan ayah. Lalu, Bang Ilham merasa menang tanpa harus mengibarkan bendera perang.

Meledekku memang hal yang paling membahagiakannya, meski sekarang nasihat ayah yang akan membalasnya. Bahwa meledek tanpa ada bukti benarnya dilarang oleh Rasulullah. Bercanda juga tak boleh berbohong. Tapi, meski dia sangat menyebalkan. Dialah laki-laki setelah ayah yang paling bisa membahagiakan.  

Kusadari juga ayah lebih sering shalat berjamaah di masjid. Sebelum zuhur selalu sudah pulang, dan bersiap-siap berwangi-wangi menuju rumah Allah. Begitu juga asharnya, magribnya dan isyanya, serta esok pagi, shubuhnya. Jika magrib dan isya, Bang Ilham akan ikut. Sebab, Bang Ilham selalu pulang pukul lima. Batas yang ada di peraturan buku hitam ayah.

Ibu juga lebih dulu berubah. Nasehat ayah lebih dulu singgah pada ibu. Meski sebenarnya, ibulah yang lebih banyak memikirkan dan mendidik kami menuju akhirat. Tapi sama sepertiku juga, aurat ibu dulu belum tertutup penuh. Hanya sepasang kaki ibu saja yang belum dibalut kaus kaki. Busana lainnya, Alhamdulillah sudah syar’i.

“Maafkan, Ayah.. Saat ini, ayah tak lagi ingin kalian sukses dan bangga dengan pekerjaan kalian nanti. Yang hanya ayah inginkan dan pinta dari kalian adalah menjadi anak yang sholeh dan sholehah. Itu saja…”

“…Maafkan Ayah, uang jajan kalian 50 %  akan ayah potong..”

Aku dan Bang Ilham saling pandang.

“…Tapi, tenang saja, yang 50 % itu anggarannya masuk ke dalam jajan buku. Setiap hari harus ada satu buku yang kalian baca. Dan harus diinfokan pada ayah dan ibu manfaat apa saja yang telah didapat dari buku itu setelah kita makan malam bersama..”

“Alhamdulillah, kalau dipindahkan Ilham setuju-setuju aja, Yah.” Tentu saja aku dan Bang Ilham akan setuju. Dari kecil aku dan dia memang senang membaca buku. Terserah itu fiksi atau non-fiksi.

“Tapi, bukunya ada syaratnya. Harus buku yang berwangi agama. Kalau novel-novel, harus novel yang isinya banyak motivasi, hikmah, nasihat dan dakwah. Ayah tidak mengizinkan kalian membaca novel karya anak negri tapi bergenre barat. Tentang kisah-kisah cinta yang melewati batas..”

Maksud bergenre barat itu, gaya cinta-cintaan ala barat. Yang benar-benar jauh dari Islam. Semisal pacaran, mengejar cinta atau menanti cinta yang tak pasti. Atau membaca cerita cinta antara dua sahabat.

GLEK!

Tiba-tiba, aku menelan ludah. Cerita cinta antara dua sahabat? Tiba-tiba, aku merasa sangat…sangat… sangat malu. Benar-benar malu sekali. Tadi siang saat aku curhat dengan ayah. Aku mengaku dengan blak-blakan tentang perasaanku yang tiba-tiba hadir untuk Najuh. Dan perasaan yang baru benar-benar terasa rasa setelah aku dan Najuh menjauh. Aku seperti kehilangan saat-saat bahagia ketika dulu bersamanya. Astaghfirullah.

“Dan untuk Eros terlebih dahulu, Ayah tak ingin lagi membaca prosa-prosa atau puisi-puisi Eros tentang kisah cinta yang melewati batas. Bisakan? Menjadi penulis dan sastrawan yang islami, Sayang..? Yang menulis untuk dakwah?” Tanya ayah tegas penuh harap.

“Insya Allah diusahakan, Yah..”! Jawabku tersenyum.

“Eros masih sedihkah?” Tanya ayah lagi, tapi kali ini lebih lembut.

Aku menggeleng. “Eros sedih kenapa?” Ibu dan Bang Ilham serentak bertanya. Sangat ingin tahu.

“Ayah tahu, kamu masih sedih..” Ayah menatapku lagi, merasa belum perlu menjawab pertanyaan ibu dan Bang Ilham yang sangat ingin tahu.

“Ya sudah, ayah tanya lagi ya, untuk kedua kalinya. Apa Eros sudah siap menikah?” Yang kaget malah ibu dan Bang Ilham. Sama kagetnya seperti aku tadi siang. Pertanyaan kedua ini hanya membikin sedikit perih, tidak lagi kaget saat pertama kali sewaktu ayah bertanya.  

Aku menggeleng. Ayah menatapku lebih lekat.

“Eros, Ayah minta jawabannya dengan suara, Sayang.. Bukan dengan gelengan kepala.”

Aku diam beberapa saat. Ayah menunggu jawabanku. Jawaban atas pertanyaan pertama tadi siang, hanya gelengan kepala. Dan ayah tidak lagi ingin dengan jawaban yang sama.

“Maafkan Eros, Yah. Eros belum siap menikah. Ilmu menikah yang sesuai syari’at masih belum terjamah Eros. Eros bahkan belum pandai memasak. Menyapu dan mengepel rumah saja Eros lakukan setahun sekali. Saat bantu-bantu membersihkan rumah jika lebaran akan datang. Karena si Mbak pulang kampung. Apalagi mengurus suami dan anak-anak. Maafkan Eros yang lalai sebagai anak, Yah.. Maafkan Eros, Bu.. Maafkan Eros, Bang..” Lagi-lagi aku gagal menahan air mataku. Secepat mungkin ibu memelukku.

“Nggak apa-apa, Eros.. Nggak salah Eros. Tapi salah Ibu yang nggak pernah tegas sama Eros buat mandiri di rumah. Nanti pelan-pelan akan ibu ajarkan. Eros pasti bisa belajar cepat. Eros kan anak Ayah dan Ibu yang cerdas..” Ibu halus membelai kepalaku. Menenangkan tangisku.

“Iya, Dek. Nanti Bang Ilham bantu ngajari juga cara cuci piring yang bener!” Bang Ilham tersenyum “sok tulus”. Dan cepat dibalas ayah dengan nasihat.

“Dan selanjutnya untuk Bang Ilham..” Seketika Bang Ilham terdiam. Takzim menunduk saat ayah menatapnya. Seperti sudah tahu, apa yang akan ayah nasehati untuknya.

“Pertanyaan yang sama dengan Eros untuk Bang Ilham..”

“…..............” Bang Ilham diam. Tak bereaksi apapun. Masih setia menekuri lantai.

“Bang Ilham, sudah siapkah menikah?”

Aku dan ibu sedikit kaget atas pertanyaan ayah. Tapi..

"…................” Lagi-lagi Bang Ilham masih diam, masih setia memendam suara. Sebenarnya, jika saja ini bukan sedang membicarakan masalah yang benar-benar serius, raut muka diamnya Bang Ilham itu terlihat sangat.. sangat ingin membuat tertawa. Tapi, mengingat sedihku yang masih bersisa banyak dan rasa maluku yang begitu besar; sebab ternyata belum pantas menjadi anak kebanggan, apalagi hamba kebanggaan-Nya, niat tersenyum sedikit saja melihat raut wajah Bang Ilham sama sekali bukan selera saat ini.

“Kenapa Bang Ilham hanya diam?” Tanya ayah dengan sangat lembut.

“Maafkan Ilham, Yah. Ilham sudah tahu kesalahan Ilham. Ilham selama ini menganggap apa yang Ilham lakukan sudah benar. Ternyata sangat jauh dari syari’at. Meski hal yang paling jauh yang pernah Ilham lakukan pada Nina adalah menyentuh tangannya saat bersalaman dan hampir setiap hari memboncengnya, itu tetap salah. Bahkan ketika hanya sekadar ngobrol lewat chat, membicarakan hal-hal yang sia-sia, itu tetap salah. Maafkan Ilham, Yah..” kudengar suara Bang Ilham parau.

Ayah memang tidak memberikan buku hanya padaku. Sebab, anak ayah tentu bukan hanya aku. Sedekat-dekatnya aku dengan ayah, masih jauh lebih lekat hubungan ayah dengan Bang Ilham. Bang Ilham begitu menyanyangi ayah. Itulah sebab alasan Bang Ilham selalu pulang pukul lima. Waktu kuliahnya padahal hanya sampai pukul satu. Bang Ilham masuk ke organisasi. Setidaknya bisa sekejap membunuh rasa rindu pada ayah. Dan memang, semenjak Bang Ilham masuk kuliahlah, ayah mulai sering keluar kota.  

Pernah waktu itu, ketika Bang Ilham kelas tiga Tsanawiyah. Bang Ilham berhasil meraih olimpiade matematika se-provinsi. Ayah berjanji akan datang. Karena memang sudah tahu Bang Ilham yang memenangkannya, maka Bang Ilham ingin bersama ayahlah mengambil piala ke atas panggung sebagai juara.

Tapi, ternyata ayah mendadak keluar kota. Memang pada saat kami Tsanawiyah, disitulah mulai bisnis ayah meraih banyak rupiah. Dan waktu ayah mulai berpindah untuk bisnisnya, meski hanya raga yang tak ada. Perhatiannya masih tetap tercurah. Tapi itu tetap saja membuat Bang Ilham cemburu. Merajuk tak mau naik ke atas panggung. Menahan tangis selama perjalanan. Meski, akhirnya pecah di kamarnya. Dan itu juga yang membuat sikap dan sifat Bang Ilham begitu mirip ayah.

“Sudah ayah katakan berulang, itu bukan salah Ilham. Salah Ayah yang salah mendidik. Ayah pikir, ayah sudah hebat sekali, Ya Allah, ampunilah. Ayah sudah sangat sombong. Ayah pikir dengan ekomoni yang melimpah, anak-anak yang meraih prestasi besar, ayah sudah pantas membusungkan dada. Tapi ternyata tidak. Jauh. Ayah hanya mendidik kalian untuk berhasil dan hidup enak di dunia.. Padahal.. Padahal.. dengan semua itu tak ada menjamin kita bahagia di kehidupan yang sebenarnya..”

“…Maafkan Ayah yang pernah membuat anak Ayah berani membawa-bawa nama Allah untuk berpacaran, tak malu membawa nama Allah untuk mencintai yang tak halal, merasa hal yang baik ketika itu disebarkan di media sosial. Padahal bukan begitu didikan agama kita…”

“…Maafkan Ayah yang pernah membiarkan foto anak gadis Ayah tersebar bebas di internet, bahkan foto istri Ayah sekalipun. Bebas diakses siapa saja. Padahal.. Padahal.. Allah menyediakan hijab untuk muslimah, agar muslimah dapat serapat mungkin menyembunyikan kecantikannya. Bukan malah dipertontonkan dengan gampangnya..”

“Tidak ada cinta yang diridhoi Allah kecuali dibalut dalam pernikahan. Dalam wadah yang halal. Mencintai orang yang telah menjadi suami atau istri kita jauh lebih mulia ketimbang menikahi orang yang kita cintai…”

Kalimat ayah barusan benar-benar menusuk jantung. Aku dan Bang Ilham semakin menekur. Juga ibu, kudengar tangisnya sedikit-sedikit mulai bersuara.

“Baiklah, Ayah ulangi pertanyaan Ayah. Siapkah Ilham menikah? Jika Ilham siap, Ayah akan lebih siap.”

Bang Ilham lagi-lagi diam. Kupandangi lekat wajah saudaraku satu-satunya itu. Saudara yang lebih tua dua tahun dariku. Seorang abang yang benar-benar tahu bagaimana cara membahagian adik satu-satunya. Dulu, waktu masih Ibtidaiyah, waktu kehidupan masih dikurung kisah ekonomi yang susah. Abanglah yang sering mengalah atas setiap jatah makanan. Lambungku memang lebih besar dari lambungnya. Sehingga, aku selalu kurang jika hanya makan pas-pasan. Bang Ilhamlah yang selalu mengalah.

Waktu itu, nenek memasakkan masakan kesukaan Bang Ilham. Tapi, saat itu harga udang masih sulit digapai nenek. Hingga akhirnya, nenek hanya memberi sebisanya saja. Hanya ada 10 udang besar yang digoreng tepung. Biar adil, ibu membaginya menjadi lima-lima.

Rasanya, aku masih sangat lapar. Sebab nasi yang dimasak ibu juga jauh dari cukup. Apalagi tidak ada sarapan pagi itu untuk kami. Ayah dan ibu berpuasa. Membiarkan kami saja yang berusaha kenyang, meski jauh dari perkiraan.

Bang Ilham luar biasa senang diberi makanan kesukaannya oleh nenek yang rumahnya sangat jauh dan sengaja singgah untuk menginap satu malam. Aku tanpa merasa berdosa merengek pada ibu bahwa masih sangat lapar. Dan menangis setelah kelima udang goreng tepung dari nenek itu habis.

Sedang punya Bang Ilham, masih dimakan satu. Mungkin, karena sangkin senangnya karena bertemu nenek, apalagi dibawakan udang goreng tepung kesukaanya, dia lebih suka memandangi udang goreng tepung itu terus dan berlama-lama memakannya.

Ibu mendiamkanku. Mengelus kepalaku lembut. Ayah sibuk di luar mencari pinjaman kesana kemari. Untuk mengisi lambung meski hanya beberapa suapan nasi (saja) untuk kami.

Bang Ilham menatapku. Menatap kasihan. Kemudian balik menatap udang goreng tepung kesukaanya. Begitu berkali-kali. Bolak balik menatap aku dan si udang goreng tepung itu.

“Buat Adek aja. Ilham masih kenyang, Bu.” Bang Ilham menyodorkan empat-empat udang goreng tepung yang sangat disukainya itu dengan alasan masih kenyang? Siapa pula yang pernah mengajarkan Bang Ilham berbohong?

Malam sebelumnya, kami hanya makan nasi kurang dari cukup tanpa lauk apapun, bahkan meski hanya garam sebagai rasa asin pun tidak ada. Meski hanya minyak jelanta sisa pun tidak ada. Dan sarapan sama sekali tak menyinggahi perut kami. Dan saat makan siang itu, makan siang pukul tiga, Bang Ilham –demi melihat adiknya agar tak lagi menangis- menyodorkan semua udang goreng tepung kesukaannya untukku.

Aku diam seketika. Ibu dan nenek bahkan jauh lebih terdiam. Merasa tidak bisa berkata apa-apa atas tindakan yang sangat mengagumkan dari seorang anak laki-laki yang masih kelas empat ibtidaiyah. Entah siapa yang pernah mengajarkan tindakannya itu. Entah dari mana dia mencontoh perbuatan itu.  

“Bu, ini buat Adek aja. Ilham sedih kalau lihat Adek sedih.” Katanya memecah kekagetan aku, ibu dan nenek.

“Eh, nggak usah, Bang. Abang aja yang makan. Sebentar lagi ayah pulang, bawa makanan buat adek. Tuh adek nggak nangis lagi kok. Bang Ilhamkan belum makan seharian.”

“Ilham nggak mau lagi, Bu. Adek kan masih mau. Ilham udah makan kok udangnya satu. Yang belum makan seharian dan dari semalam itu ibu sama ayah. Ibu sama ayah aja nggak mau makan. Ilham juga nggak mau.”

Jika mengingat kisah ini -dan sebenarnya masih banyak kisah-kisah yang lain lagi tentang “mengalah”nya Bang Ilham untukku- dan menceritakan kembali –dan yang pasti ketika tidak ada Bang Ilham- sebab, Bang Ilham paling merasa tidak suka diceritakan tentang hal itu. Ibu selalu bilang, “Ternyata dari situlah Allah memberikan nikmat yang berbeda untuk Ibu. Melihat Bang Ilham yang begitu saja mengalah, seketika lelah, gundah, bahkan lapar yang sangat menggigit sekalipun dibayar lunas oleh bersihnya hati Bang Ilham..”

Dan dari kisah yang diulang-ulang itulah aku tahu darimana Bang Ilham mencontoh tindakan itu. Tentu saja dari ayah dan ibu. Yang lebih banyak menerima kesakitan dengan menenggelamkan keluhan sedalam mungkin.    
***

-BERSAMBUNG-

Insya Allah akan dilanjut lagi. Selamat menikmati weekend terakhir September ini.
Ah, September~

Sunday, September 6, 2015

Hujan Sore - Part 2 (Sebab Cinta tak Hanya Sekadar Rasa, Tapi Ibadah)



Dan setelah sebulan ini, untuk pertama kalinya Sara mematikan sepeda motornya. Mengangguk tersenyum tanda setuju. Memarkirkan sepeda motor di garasi rumah dan masuk bersama menyantap makan siang. Nge-lunch. Tiba-tiba ada perasaan rindu mendengar kata yang diucapkan laki-laki “sok keren” itu.

Nahhhh, itu yang di atas paragraf terakhir Hujan Sore - Part 1nya. Sekarang yuk lanjut ke part-2nya. (Eh, yang belum baca part-1nya, dilarang lanjut! Gih pegi baca dulu part-1 nyaakkk :D! Biar nyambung) 

Drum drummmmm.. *eh apa ini?!*  #oke #abaikan.
Check it out! Happy reading!  ^.^
                                                                            ***

             Sebulan yang lalu, tepat setelah Najuh mengantarku pulang dan kemudian menolak halus untuk singgah makan siang di rumah, sebab akan bermain futsal reuni bersama teman SMAnya. Ketika aku telah di kamar dan selesai berganti pakaian. Ayah mengetuk pintuku yang dikunci.
          
          “Boleh Ayah masuk?”

Aku menyahut mengiyakan serta membukakan pintu. Lalu ayah masuk. Duduk dengan tenang di kursi kayu depan kasurku. Ternyata wajah ayah tak setenang tingkahnya. Rautnya tampak lelah. Tapi, aku bisa melihat perubahan wajah Ayah. Jauh lebih damai daripada sebelum-sebelumnya.

“Eros.., Lapar ya? Sebentar ya. Ayah mau ngomong. Penting. Sangat penting. Bolehkan?” Tanya ayah halus.

“Tentu boleh, Yah.” Aku mendekat. Duduk di kasur dan berhadapan dengan tubuh ayah.

“Selama ini, Alhamdulillah kehidupan kita jauh lebih baik ketimbang Eros SD dulu. Ayah bisa membelikan apa yang Eros mau. Dan Eros dengan baik budi membalas itu semua dengan patuh pada ayah dan ibu dan banyak prestasi-prestasi yang Eros raih. Shalat Eros semenjak SMP juga sudah penuh lima waktu. Dan semenjak itu pula, sudah pakai jilbab jika keluar rumah…”

“Eros, anak Ayah, yang sangat Ayah sayang. Sayangkan sama Ayah?” Tanya ayah penuh harap. Matanya kutatap penuh asa.

“Ya, sayang dong, Yah!. Saaaaangat sayaaang! Sebesar apapun benda di dunia ini, tak akan ada yang menyamainya.” Kataku sungguh-sungguh meski terdengar seperti merayu.

Ayah tertawa pelan, “Makasih ya, sayang. Kalau begitu… Ini, pakailah!” Ayah menyodorkan sesuatu padaku. Yang dari tadi entah karena apa sama sekali tidak kusadari, ada yang ayah bawa di tangannya.

Aku menerima kantung plastik yang diberi ayah. Kubuka dan entah apa rasanya ketika aku tahu isi di dalamnya.

“Ayah membelinya barusan. Masih hanya sepasang. Takut nggak pas sama Eros. Jadi setelah ini, setelah kamu makan siang. Kita beli secukupnya untuk dipakai sehari-hari, ke kampus ataupun jika keluar rumah ya.” Ayah tersenyum. Kutatap kembali matanya semakin penuh asa.

Selembar gamis berwarna hijau muda dan jilbab panjang berwarna hijau tua serta sepasang kaus kaki berwarna hijau yang lebih muda dibanding warna gamisnya; warna kesukaanku. Dan dua buah buku tentang tuntunan menjadi wanita shaleha.

“Eros nggak akan maukan Ayah masuk neraka?” Tanya ayah dengan suara gemetar.

Aku yang masih merasa surprise terdiam. Lalu cepat menggeleng.

Nggak ada gunanya hidup Ayah, Nak. Kalau bisa membelikan Eros gadget terbaru, menguliahkan Eros, meleskan Eros ini itu. Tapi tak pernah membelikan baju yang sesuai syari’at agama kita untuk putri satu-satunya…”

“Nak, maafkan Ayah.. Tolong tulus maafkan Ayah… Baru ini Ayah membelikan Eros baju yang dapat menutup seluruh aurat Eros. Ajal pasti menanti. Entah ayah entah Eros yang duluan pergi. Tanggungan Ayahlah atas aurat Eros, Sayang..” Kulihat raut ayah penuh sesal, penuh asa.

“Eros.. sayangkan sama Ayah? Eros sudah penuh shalat, sudah lancar mengaji, dari kecil sudah diajarkan ilmu agama sampai sekarang. Tapi.. Ayah masih lalai tentang aurat Eros, tentang pergaulan Eros.. Jadi, ikhlas ya, Sayang.. Bantu Ayah untuk tak susah melihat wajah Allah kita.. untuk tak sia-sia hidup di dunia yang sementara…” Raut ayah mulai berubah. Lebih sesal, dan matanya mulai penuh sesuatu; air mata.

“Tinggalkan gaya tomboy Eros mulai saat ini ya.., tinggalkan celana jeans Eros, meski kini sudah lebih baik karena kuliah selalu pakai rok. Tinggalkan jilbab pendek dan transparan Eros, tinggalkan berhubungan dengan teman laki-laki jika tak ada kepentingan. Mulai pakai kaus kaki. Dibaca buku yang Ayah beri, harus tahu siapa saja yang pantas melihat aurat Eros…”

“…Ayah tak rela, tak rela, Nak.. Aurat anak Ayah bisa dinikmati siapa saja.. Maafkan Ayah, Nak.. Maafkan Ayah..” Kini, tumpahlah air mata ayah. Basah di wajahnya. Aku tak pernah melihat ayah menangis. Sama sekali tidak pernah. Ayah hanya selalu terharu tanpa air mata saja, jika aku pulang membawa piala. Hatiku tiba-tiba rusuh. Benar-benar kisruh.
***

Saat ayah menangis tadi. Aku tidak menjawab apa-apa. Aku hanya memeluk ayah. Memeluk ayah dengan sangat erat. Mengucapkan terima kasih pada ayah. Mengucapkan rasa syukur pada Allah. Sebab, diberi ayah yang luar biasa.

Aku hanya menurut, ketika selesai makan siang pergi belanja keperluan yang syari’at. Meski malamnya, aku harus kalut luar biasa. Ayah berulang-ulang bilang sebelum pergi berbelanja dan saat makan siang. “Baju barunya dipakai ya, Eros sayang..” Dan tambah berulang-ulang setelah pulang berbelanja serta diselipi nasehat lagi.

“Jangan pernah takut nggak dapat kerja dan nggak dapat jodoh dengan baju syari’at Eros ya. Yang beri jodoh dan kerja bukan manusia. Kalaupun nggak ada jodoh dan kerja. Itu pasti jodoh dan kerja yang biasa. Sebab untuk wanita sholeha yang mendahulukan perintah Tuhannya, jodoh dan kerjanya pasti luar biasa..” Kata ayah dengan senyum yang sangat indah, senyum yang sangat mendamaikan dada.  
   
Aku mengangguk mengiyakan. Meski belum bisa membayangkan bagaimana aku besok. Tapi aku percaya, ayah pasti memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Semalam suntuk aku mencoba berkawan dengan pikiran-pikiran buruk tentang apa kata teman-temanku besok. Mencoba berdamai dengan perasaan sendiri, sebab tak ingin membuat ayah kecewa.

Aku membuka lembar-lembar buku yang diberi ayah. Selembar demi selembar. Dan entah apa yang menarikku. Dalam satu malam, satu buku telah kulahap dengan halaman yang dua ratus lebih. Kalau saja bukan karena kantuk dan letih, aku ingin habiskan bukunya yang satu lagi.

Tapi satu buku saja telah memberiku pengetahuan baru. Pemahaman yang baru. Selama ini, islamku ternyata masih kacang-kacangan. Masih tingkat teri. Boncengan dengan lawan jenis saja ternyata tidak boleh. Kecuali ada urusan yang darurat. Salaman saja dilarang, apalagi pacaran, yang tempat setan dapat kenyang.

Selama ini, maksiatku ternyata begitu penuh. Dari kecil belajar agama. Tapi sampai menjadi mahasiswa, menutup aurat saja belum khatam. Kakiku tiba-tiba terasa nyeri. Dadaku sesak. Utuh malam itu, untuk pertama kali, aku benar-benar takut mati. Takut Allah tak lagi memberi kesempatan untuk esok, aku bisa mengubah pribadi.

Aku mengucap syukur berulang-ulang. Dari ayah hidayah itu singgah. Dan apalagi setelah ingin hijrah selain istiqomah? Aku ingat tadi pesan ayah sebelum aku tidur, ayah singgah ke kamarku. “Najuh itu teman yang sangat baik. Meski tanpa Eros ceritakan pun, Ayah percaya dia anak yang baik…”

“…Tapi, dia belum menjadi lelaki muslim yang baik, jika masih berani membonceng perempuan yang tak halal untuknya. Niatnya memang baik. Tapi, niat yang baik harus dibarengi cara yang baik pula, agar Allah ridho. Itu syarat Allah ridho, Sayang.. Pahamkan?...”

Aku mengangguk. Tanda seutuhnya setuju.

“Carilah sahabat perempuan. Sahabat yang bukan hanya untuk dunia, tapi surga. Akhirat, sayang..” Begitu mendengar kalimat ayah, melayanglah pikiranku kepada sosok Sara, teman sekelasku yang sangat disegani di kelas yang tak pernah kulihat atau kutahu bergaul terlalu akrab dengan laki-laki.

Malam itu, banyak hal yang telah kurancang. Banyak hal yang telah kurencanakan. Satu diantaranya adalah mendekati Sara. Sara pasti sangat senang dan dengan baik hatinya, pasti akan membantu dan mau dekat denganku. Sebab, sebelum-sebelumnya Sara memang sudah sering mengajakku ikut pengajian. Mengajakku untuk memakai busana yang sesuai syariat. Tapi memang aku lebih banyak tidak sempatnya ketimbang sempat. Lebih banyak berpikir nanti-nanti. Dua tahun atau beberapa tahun lagi saja, akan pakai busana syar’i.

Ternyata Allah punya rencana lain. Belum sampai dua tahun, aku harus mantap untuk memakainya. Mungkin, rasa ingin dari sebelumnya lebih memudahkanku untuk siap menerima ajakan ayah, ajakan Sara. Ya, rasa ingin. Niat.
***
         
           Hari pertama aku memakai busana syari’at. Yang sialnya, aku malah telat. Habislah dilihat teman-teman sekelas dan dosen yang mengajar. Penampilan yang benar-benar berbeda. Tapi, mengingat senyum ayah yang mengantarku ke kampus barusan, hilanglah rasa kikukku.
Setelah dosen selesai mengajar,
            
 “Eros.. cie.. Udah kayak Sara ah. Kok bisa sih Eros?” Ledek Widi yang padahal dia ingin sebenarnya begini. Hanya masih belum bisa. Begitu alasannya waktu itu.
            
 “Masya Allah, Eros cantik bener. “
             
“Eros, seneng lihat Eros yang baru. Kayak perempuan.”(aku memang perempuan -_-)
            
 Udah nggak tomboy lagi ceritanya?”
            
 “Baju dimasukinnya dikemanain, Ros?”
            
 “Eros udah nggak mau gaul lagi nih? Alhamdulillah..”
            
      Dan bla..bla..bla.. masih banyak lagi komentar-komentar yang lain. Alhamdulillah, belum ada komentar yang buruk. Teman-teman sepertinya ikut senang dan mendukung.
            
          “Eros, istiqomah ya.” Hanya kalimat Sara yang seperti ini. Katanya dengan sangat ramah dan tulus.
            
 “Insya Allah. Makasih ya, Ra.”
            
 “Sama-sama, Ros. Berarti minggu ini ikut kajian lagi, kan?” Sara semringah
            
 “Insya Allah, ntar pergi bareng ya..”

 “Sip. Insya Allah. Kalau gitu, Sara duluan ya. Ada syuro sekarang. 

"Assalamualaikum..” Sara berlalu dengan senyum terkembang.
             
“Waalaikumsalam..” Hamdalah, rasanya begini, jauh lebih nyaman.

Daritadi sebenarnya yang paling kutunggu adalah reaksi dari Najuh. Tapi sampai mata kuliah semuanya selesai pun, Najuh tak menunjukkan apa-apa. Kulihat dia masih asyik ngobrol dengan Reza dan Amar. Asyik sekali. Seperti tidak sadar, aku berada di barisan kursi seberangnya.
             
         Tadi aku telat, Najuh ternyata jauh lebih telat. Tidak seperti biasanya. Alasannya pada dosen, ban sepeda motornya bocor. Dan aku utuh percaya. Yang kutahu, Najuh tak pernah berbohong, meski sedikitpun. Pak Dosen yang mengenal Najuh pun percaya. Kebetulan Pak dosen yang satu ini, andalannya jatuh pada Najuh. Relator kelas hanya tinggal jabatan di pangkuan Reza dengan Pak Dosen ini.

Padahal, jika mahasiswa lain. Pasti sudah dikeluarkan. Bayangkan saja, Najuh telat satu jam. Batasnya itu lima belas menit. Dan aku tadi telat 5 menit. “Alasannya masuk akal.” Begitu saja Pak Dosen beralasan tanpa ada pertanyaan dari kami. Seperti sudah tahu, bahwa dalam hati kami, kami butuh alasan untuk membolehkan Najuh untuk masuk. Sebab selama ini, peraturan beliau sangat ketat.
            
          Aku sengaja menunggu Najuh untuk menemuiku. Tapi, kutunggu-tunggu ternyata Najuh tak juga duduk di sebelahku seperti biasanya. Dan semenjak sepakat bersahabat, baru kali ini, salah satu diantara kami yang lebih dulu hadir, tidak menyediakan kursi untuk yang telat datang.
            
         Aku. Akulah yang lebih dulu hadir. Dan aku yang memang sengaja tidak menyediakan kursi untuknya di sebelahku. Padahal, ini kali pertama Najuh telat setelah tiga semester lebih. Dan ketelatanku malah tidak terhitung. Meski tidak duduk di sebelahnya, Najuh akan memesankan kursi untukku pada teman yang lain, agar aku duduk di sebelah teman yang dipesankannya. Agar aku tidak lelah mencari kursi ke kelas lain. Atau jika pun sesekali kursi kurang. Najuh yang mencari kursi ke kelas lain untukku. Pokoknya, sebelum aku hadir, kursi selalu sudah ada untukku.

Meski sebenarnya, tingkahnya tidak hanya untukku. Waktu itu Sara pernah telat dan tidak ada kursi. Najuh rela berdiri, menyuruh Sara duduk di tempatnya dan dia permisi keluar. Bahkan Reza sekalipun sering telat, dan Najulah yang satu-satunya berdiri. Merelakan kursinya untuk Reza yang ngos-ngosan habis berlari takut telat. Dan Najuh pergi keluar mencari kursi. Widi juga pernah telat, lagi-lagi Najuh yang merelakan kursinya.

Hingga akhirnya, setiap pagi diam-diam, Najuh sering menghitung kursi di dalam kelas. Aku tahu. Tapi, Najuh tak pernah ingin memberi tahu apa yang sedang dikerjakannya. Sebenarnya, bukan kampus kami yang minim kursi . Jumlah mahasiswa setelah kelas kami lebih banyak ketimbang jumlah kami. Jadi, Najuhlah yang setiap hari menghitung kursi agar sesuai dengan banyaknya kami.

Entah kenapa, tiba-tiba ada perasaan aneh setelah aku menyadari itu semua. Menyadari kursi-kursi itu. Menyadarinya setelah Najuh yang hari ini tidak juga menegurku, yang padahal dudukku, hanya sekitar dua meter darinya. Perasaanku entah kenapa tiba-tiba semakin gundah.

Aku mengalah dengan perasaanku sendiri. Aku berdiri. Mengajak Lina yang dari tadi baik hati menemaniku duduk di kelas. Sebab tak ingin perempuan sendiri. Maka kuajak Lina. Mungkin nanti-nanti bisa kujelaskan pada Najuh. Atau ya nanti saja, kalau Najuh bertanya.
***
            
        Ternyata aku salah, tepat sebulan aku istiqomah dengan busana syari’at. Najuh juga tidak menegurku, apalagi menanyaiku kenapa aku bisa berubah. Hanya tersenyum atau menegur biasa saja ketika tak sengaja bertemu muka atau berpapasan di luar kelas.
            
          Setelah aku pikir-pikir, cocok saja kalau begitu. Aku memang ingin menjaga jarak dengan Najuh. Jadi, dia yang sudah sebulan ini tidak ada menegurku, maka sebenarnya sudah ikut mendukung rencanaku. Menjaga interaksi dengan laki-laki. Seperti nasehat ayah selalu semenjak aku berubah. “Tidak perlu berhubungan dengan teman laki-laki jika tidak ada kepentingan ya, Sayang..”
             
      Tapi, sungguh. Sungguh sebulan ini. aku merasa rasa yang benar-benar…entahlah. Tiba-tiba aku malu mengakuinya. Malu pada busanaku yang sudah begini. Malu pada ayah, jika ayah tahu. Padahal sebelum-sebelumnya, aku tak pernah merahasiakan apapun pada ayah. Terlebih-lebih malu pada Allah, yang telah Maha Baik memberi hidayah. Meski maksiatku lebih banyak ketimbang berat timbangan kanan.
             
          Awalnya aku berpikir, mungkin ini perlu pembiasaan saja. Yang sebelumnya Najuh benar-benar mengisi. Kini Najuh benar-benar pergi. Menjauh. Seperti sudah tahu apa yang kuinginkan. Padahal, aku belum menjelaskan apapun. Dan harusnya aku tidak perlu gundah ketika Najuh menjauhiku. Tapi, aku merasa bersalah dan ada sesuatu yang mengangguku.
***
           
Dua bulan kemudian, tepat setelah Najuh (terakhir kalinya) mengantarku pulang dan kemudian menolak halus untuk singgah makan siang di rumah, sebab akan bermain futsal reuni bersama teman SMAnya.

Aku sudah pulang dari kampus, turun dari angkutan, berlari-lari dari ujung gang menuju rumahku. Akhir-akhir ini, hidupku tiba-tiba penuh entah. Tiba-tiba penuh tanya “mengapa?”. Tiba-tiba semua serasa beda, terasa benar-benar rasa.
            
          Sangkin sedihnya, aku tidak lagi mengucap salam. Membuka pintu depan dan langsung menghambur ke kamar. Seisi rumah habis keheranan. Mana pernah anak gadis ayah, tiba-tiba pulang seperti orang yang tak pernah diajarkan sopan santun.
            
      Dan ternyata hanya ada ayah. Hanya ada ayah sendirian di rumah yang menyaksikan tingkah kurang ajarku. Waktu aku masuk tiba-tiba ke rumah, ayah sedang mengaji di ruang tengah. Kamarku yang dekat dengan ruang tengah bisa mendengar sekilas suara ayah.
            
         Ayah kaget. Terdiam sejenak melihat tingkahku. Lalu, selang 5 menit, mengetuk pintu yang kubiarkan terbuka.

  “Boleh Ayah masuk?” (ini kalimat tanya meminta izin rutin ayah, jika akan masuk ke kamar anak-anaknya. Ah, ayah. Begitu rendah hatinya)
            
             Aku mengangguk. Sambil terus (masih) terisak. Rasanya sakit sekali. Perih. Sampai harus tersedu-sedu begini.
            
         Ayah duduk di samping kiriku; yang aku duduk di ujung kiri kasur. “Menangislah, Sayang.. Apapun yang membuat Eros menangis hari ini, menangislah.. Nanti jika sudah selesai, baru bagikan pada Ayah, apa atau siapa yang membuat anak gadis Ayah menangis..” (lagi-lagi, ini kalimat rutin ayah, jika ketahuan aku menangis) dan kali ini, aku memang sengaja tak menyimpannya lebih dulu. Aku ingin ayah cepat tahu.
            
          Ayah menaruh kepalaku di atas dadanya. Tangan kanannya memeluk bahu kananku. Sambil mengusap-ngusap kepalaku yang masih berbalut jilbab hitam panjang.

2 menit.. 3 menit.. 5 menit…
            
 Tenagaku mulai lelah.
            
 “Najuh, Yah. Hiks.. Hiks.. Najuh… Najuh… Hiks.. Najuh tega, Yah..”
            
 Ayah terdiam sejenak. Membuat aku ikut diam.
            
 Lalu, ayah mulai bersuara, mulai bertanya. “Najuh tega kenapa, Sayang..?”
            
 “Tadi.. Hiks… Eros di perpus dan Najuh juga di situ. Kita.. Hiks.. Kita saling kaget karena ketemu di perpus…..”
            
 Aku terdiam. Mencoba mengembalikan suaraku yang sumbang.
            
             “Eros.. Eros coba… Eros mencoba…mencoba untuk menegur Najuh. Tapi.. Tapi.. Najuh hanya diam, Yah.. Eros tahu, dia tahu Eros negur dia.. Karena kita saling lihat.. Tapi Najuh hanya diam, Yah.. Terus tiba-tiba pergi.. Teman-teman sekelas yang lagi sama Najuh…. Sampai heran dengan tingkah Najuh…”
            
            “…Dan nggak hanya itu, Yah… Dua kali kita satu kelompok.. Dua kali juga Najuh undur diri dari kelompok yang ada Eros… Najuh memilih kelompok yang lain, Yah..” Aku berusaha terus menahan tangis. Agar tak ada sisa dari kisah pedih ini yang terlewat saat kuceritakan pada Ayah.
             
            “…Dan.. Dan.. seminggu ini.. Najuh sedikitpun nggak pernah… Nggak pernah tegur Eros lagi… Walau hanya sekadar senyum sedikit.. Nggak pernah lagi, Yah.. Apa salah Eros, Yah..? Apa Eros salah dengan busana yang seperti ini? Eros.. Eros.. Eros rasanya sedih sekali, Yah..” Air mata dan sesakku tumpah dan pecah lagi. Sama sekali tak dapat kutahan. Entah kenapa, perubahan sikap Najuh membikin aku sedih sedemikian ini. Padahal aku yang berubah, kenapa pula berdampak besar terhadap perubahan tingkah Najuh juga.
            
           “Sstt… Busana Eros sama sekali nggak pantas disalahkan, Sayang.. Insya Allah, busana muslimah Eros ini sudah benar, sudah sesuai dengan syari’at, sesuai dengan perintah Allah kita.. “
            
            “Sayang… dengar Ayah.. Allah tidak akan membiarkan Eros hidupnya mulus, pasti ada kelokannya, ada ujiannya. Apalagi setelah Eros ingin berubah, hijrah menuju arah yang lebih baik..  Allah mau lihat, apa Eros sungguh-sungguh hijrahnya? Sungguh-sungguh berubahnya?.. Sungguh-sungguh niat karena Allah…? ”

 “..Tau nggak sayang, kita itu sering dapat ujian, dari orang-orang terdekat kita.. Nah, mungkin yang lain, ujiannya dari keluarganya. Merasa anak atau saudaranya menjadi teroris jika berpakaian yang syar’i. Sedangkan Eros, keluarga mendukung, teman-teman juga nggak ada yang meledek. Tapi, ujian Eros malah hadir melalui sahabat terdekat dulu.  Eros waktu itu berapa tahun bersahabat dengan Najuh?” Ayah menatapku. Bertanya dengan sangat halus.

“Tiga semester, Yah..” Jawabku pendek.

“Sekarang baru beberapa bulan semester empat, kan? Berarti, sekitar satu setengah tahun ya udah bersahabat dengan Najuh? Dan itu bukan waktu yang sebentar untuk kalian yang hampir setiap hari bertemu.. Hampir setiap hari kemana-mana bersama.. Itu hal yang wajar, Sayang.. Kalau kalian tiba-tiba merasa lain, ketika dua bulan ini kalian tidak berhubungan..” Sebelumnya, aku memang sudah menceritakan pada Ayah, bahwa aku tidak lagi akrab dengan Najuh.

Ayah menatapku. Lekat. Sepasang bola mata ayah seperti ingin menempel dengan sepasang bola mataku. “Coba Eros hitung, Sayang.. Berapa tahun sudah baligh?”

Aku masih menatap ayah. Aku terdiam. “Eros, coba hitung, Sayang..” Pinta ayah lagi sebab aku tak bereaksi. Aku mengingat pertama kali mendapatkan tanda kedewasaan untuk seorang perempuan itu. Waktu itu usiaku 13 tahun, kelas 2 Tsanawiyah, bahkan aku masih ingat tanggalnya, 13 Oktober 2008. Untuk pertama kalinya kudapati itu di sekolah saat buang air kecil. Lalu kebingungan. Dan memanggil Sasa temanku yang lebih dulu berpengalaman. Dan Sasalah orang yang berjasa membantuku.

Aku menghitung..  “Sekitar 5 tahun setengah, Yah..”

“Berarti hampir enam tahun, kan. Baik kita genapkan saja menjadi enam tahun. Masa hijrah Eros baru dua bulan.. sedang selama 6 tahun Ayah harus menanggung dosa sebab Ayah membiarkan Eros tak menutup aurat dengan penuh dan Ayah biarkan akrab dengan teman laki-laki, meski hanya bersahabat, tak pernah ayah tahu Eros berani berpacaran. Tapi tetap sama saja dengan bersahabat itu sebenarnya keharamannya, kan?...”

“…Enam tahun, Sayang.. Dan kita membayarnya baru dengan dua bulan. Ketika kita bisa bertahan dalam maksiat, kenapa kita tidak bisa meredam nafsu untuk taat?”

“Selama satu setengah tahun ayah menanggung dosa, membiarkan Eros akrab dengan orang yang tidak halal. Dan baru dua bulan, keakraban itu dengan izin Allah benar-benar musnah. Baru dua bulan kita membayarnya, Sayang.. Dua bulan dibanding enam tahun.. atau satu setengah tahun itu.. Jauh sekali.. Jauh sekali…” Kini, kulihat giliran mata ayah yang penuh air.

“Maafkan Ayah, Nak.. Ayah belum menjadi Ayah yang baik. Hati Ayah pedih melihat Eros tadi menangis, terbata-bata menyampaikan kesedihan Eros.. Dan itu karena kesalahan Ayah, karena.. Lalainya Ayah…”

“…Maafkan Ayah, Nak.. Maafkan…” Ayah kembali menangis lagi. Menutup matanya dengan tangan kanannya. Suaranya kudengar sangat sesal, mengeluarkan sesak-sesak yang gempal.

“Bukan, salah Ayah.. Ini salah Eros…” Tangan kiriku mengusap bahu Ayah. Melihat giliran ayah yang menangis, rasanya sangat menyesal.

“Ayah pikir.. Selama ini, Ayah sudah menjadi Ayah yang baik, Ayah yang hebat untuk kalian. Tapi ternyata tidak. Masih jauh sekali.. Jauh sekali…”

                                                              *** 

-BERSAMBUNG-




Nanti lanjut lagiiiii! ^^

Eh, Selamat pagiiii! Jangan lupa sarapan nasi…!! Nasi woy nasiii!!! *maksa*