Monday, February 6, 2017

Kemana Dinda?

Harusnya ketika kau pergi, maka permisi. Harusnya ketika aku menanti, maka kau harus kembali……..
Gerak tangan kananku terhenti. Bukan karena penaku macetnya kambuh lagi. Bukan pula karena aku kehabisan kertas di sini. Aku hanya bingung. Kemana balasan surat ini akan mengepakkan sayap, jika alamat tak pernah kau tinggalkan untukku. Kemana surat balasanku akan berlabuh, untuk menanggalkan rindu-rindu setelah aku, kau tinggal pergi.
Aku mulai menulis lagi…
2 menit… 3 menit… 4 menit…
Aku berhenti menulis lagi. Kali ini, bukan karena kebingungan yang mengganggu tadi. Namun, dadaku perih. Sepasang mataku ternyata telah hujan. Pipi-pipiku diwarna banyak basah. Harusnya, kau tak boleh begini. Bagaimana mungkin kau pergi tiba-tiba lantas tak menorehkan jejak untuk sisa? Harusnya, kau biarkan aku tahu kotamu kini.
Harusnya, kau…
***
Namaku, Salsa, mahasiswi semester empat di salah satu universitas swasta kotaku. Aku mencintai buku-buku, layaknya mencintai bunyi hujan, bau hujan, ah maksudku, hujan dan sekawanannya. Selain itu, aku menyenangi senyap meskipun aku lebih sering berada di kalangan ramai orang. Setelah itu, hal yang tidak aku suka, tentu ketika aku kehilangan gairah. Ketika bodohnya aku menjauh dari Tuhanku. Jika bukan untuk beribadah pada-Nya, lalu untuk apalagi hidupku?
Tiba-tiba, ada berpotong-potong kenang yang ingin berlarian masuk ke kepalaku, ke jiwaku. Kenang tentang seorang teman berkulit putih yang sungguh putih, marganya Lubis, wajahnya penuh merah jambu jerawat manis, hidungnya mancung, bola matanya indah coklat, tubuhnya mungil, gayanya selalu kocak, singkatnya, dia cantik dan humoris.
Potongan-potongan kenang tadi menjalar dan menebar dengan cepat ke seluruh tubuhku. Seperti bulir-bulir awan begitu cepatnya memeluk tanah. Dia sama seperti hujan, indah. Sama seperti terang purnama atau seperti jingga-jingga yang disenangi siapa saja.
Entah mengapa, aku merasa selalu dispesialkannya. Padahal, kami tak pernah pulang bersama, tak pernah berpergian berdua, tak pernah melakukan hal-hal yang menyenangkan bersama-sama. Hanya terkadang, mengenyangkan perut bersama di masjid ketika siang, shalat zuhur bersama atau terkadang mengerjakan tugas kuliah bersama teman-teman yang lainnya. Selalu melakukan hal-hal yang biasa.
Tetapi, dia selalu baik. Ketika pulang dari jalan-jalan ke Thailand, aku kebagian oleh-oleh darinya. Ketika orang tuanya pergi naik haji, aku lagi-lagi kebagian oleh-oleh. Dan pernah hari itu, bersama surat dan sebuah kotak bulat yang mungil, dia berikan padaku. Isi kotak bulat itu, tasbih dan hiasan jilbab indah berwarna merah. Sungguh, dia memang baik hati.
Sampai akhirnya, aku membalasnya dengan memberikan sebuah pena yang mirip dengan penaku. Hanya berbeda warna, penaku hitam, penanya biru. Tentu kami saling memberi dengan cara sembunyi-sembunyi. Takut teman lain banyak yang cemburu. Ah, iya, bukankah saling berbagi antarteman itu hal yang biasa? Tapi, ketika dia yang memberi, aku selalu merasa dispesialkan. Ah, dia memang teman yang baik. Teman-teman yang lain pun mengakui.
Ketika aku sibuk dengan padat aktivitas organisasiku, ada dia yang baik memberi kabar tentang tugas ataupun keadaan di kuliah. Beberapa bulan lalu, aku diutus dengan beberapa teman organisasi internalku menghadiri musyawarah wilayah di Palembang. Maka, dia sering menanyakan bagaimana kabarku, mewartakan apa-apa saja hal-hal baru selama aku alpa dalam kuliah. Tanpa pernah kutanya dan kuminta.
Saat ini, namanya sering disebut-sebut. Lalu, aku akan selalu diam dan entah mengapa dadaku akan tiba-tiba nyeri. Maka teman lain akan menjawab. “Dinda sudah pindah…..”
Aku masih ingat malam itu. Malam pedih perih. Wajahku hujan, aku menangis diam-diam, saat ada acara pengkaderan di organisasiku. Beberapa hari dia tak masuk kuliah. Padahal, dalam satu mata kuliah, kami mendapat kelompok yang sama. Itulah awal dia menghilang. Dan kami anggap hal yang biasa, mungkin dia sedang ada acara atau liburan lagi ke negera tetangga. Hari berikutnya, dia alpa lagi. Aku mulai bertanya-tanya dalam hati, sebab tak ada kabar yang pasti. Bahkan dari Sri, salah satu teman terdekatnya. Dan mirisnya, aku terlalu sibuk dengan organisasiku, sampai rasanya selalu lupa ingin menanyakan kabarnya secara langsung.
Dan malam itu, saat jadwal istirahat, aku bertanya pada Sri. Dan Sri dengan nyeri menjawab pesan singkatku. Bahwa, Dinda telah pindah. Aku masih menerima ketika Dinda Pindah kampus dan kota. Namun, yang sulit kuterima adalah jejak-jejaknya sedikitpun tak dibiarkannya bersisa. Ponselnya tidak aktif, media sosialnya juga tidak aktif. Kata Sri, Dinda menelponnya dengan nomor wartel yang ada di Aceh. Dan hanya memberi kabar tentang itu saja.
Sampai hari ini, aku masih sulit menerima. Sampai hari ini, aku masih ingin dia meminta maaf, bahwa diam-diam hujan air mata telah banyak kuluruh untuknya. Dia harus memelukku, bahwa dia telah meninggalkan rindu yang menderu-deru. Dia harus pulang kembali, sebab dadaku selalu perih ketika mengingat atau mendengar namanya. Aku merasa sangat kehilangannya.
Ya, itu jika aku ingin egois. Maka, hal yang paling baik dan bisa kulakukan adalah mendoakannya. Berharap dan memohon pada Tuhan, dia selalu dilindungi dan baik-baik saja. Berharap suatu hari, dia akan hadir kembali sebagai teman yang tetap baik hati.
Kini, tiada lagi yang berani menjawab pertanyaan dosen dengan humor. Kini, berkurang satu, teman yang sering menawariku bekalnya. Kini, berkurang satu, teman yang sering bertanya-tanya tentang kuliah. Kini, berkurang satu, teman yang sering mengelus lembut lengan tanganku. Kini, berkurang satu, teman yang senang memberiku oleh-oleh. Kini, berkurang satu, teman yang sering meminjam buku-bukuku. Kini, berkurang satu, teman yang sering menyemangatiku melalui pesan-pesan singkatnya. Kini…ah.
Aku kehilangan teman, yang baru kusadari, bahwa ternayata, aku begitu menyayanginya, setelah kepergiannya.
***
-Epilog-
Beberapa bulan yang lalu..
Namaku, Dinda, mahasiswi semester empat di salah satu universitas swasta kotaku. Jarak rumah dan kampus memang jauh, tiap pagi harus kutempuh dengan laju. Tak boleh sedikitpun pergi ke kampus bergeser dari jadwal yang biasa. Sebab, jika begitu, maka aku harus sanggup menikmati macet di tengah kota, harus sungguh berlari-lari mengejar pintu kelas yang tak lagi terbuka; sebab dosen sudah masuk dan mengajar.
“Assalamualaikum, boleh saya masuk, Pak?”
“Waalaikumsalam. Masuk lah cepat.”
Hei, itu bukan aku yang telat. Namun, itu….Salsa…
“Wan, makasiah novelnya. Pinjam novel yang lain lagi boleh?”aku mengembalikan novel yang dipinjamkan Salsa padaku seminggu lalu setelah mata kuliah berakhir. Aku memang memanggil Salsa dengan sebutan “Wan”; panggilan akrab antara kami. Wan, sebutan “Kawan” jika dipendekkan.
“Boleh-boleh, besok ya insya Allah awak bawa. Ingatkan ntar malam, Wan.”balasnya dengan senyuman semringah, memperlihatkan dua lesung pipi kanan kirinya yang aduhai.
(Pengarang adalah mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)

Aisyah Haura Dika Alsa adalah mahasiswi semester VII jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU. Karya-karyanya sudah tersebar di beberapa media lokal.
(Terbit di Harian Medan Bisnis, 5 Februari 2017)
http://www.medanbisnisdaily.com/e-paper/2017-02-05/#10

Sunday, July 31, 2016

Ayah dan Lelaki Penjual Mie Tiaw



Karya : Aisyah Haura Dika Alsa
 
Sudah dua hari ini, Fa ingin sekali makan mie tiaw. Kalau istilah biasanya, Fa ngidam. Duh, Fa tiba-tiba menjadi aneh sendiri membayangkan jika dia benar-benar mengandung seorang anak dan kemudian mengalami ngidam. Pasalnya, akhir-akhir ini di rumahnya, ayahnya sudah sibuk menjodoh-jodohkan Fa dengan lelaki-lelaki yang menurut ayahnya baik. Namun, Fa masih saja belum mengangguk atas pilihan ayahnya dan itu tentu saja membuat ayahnya uring-uringan. Ayahnya merasa perlu terus mencari lelaki terbaik untuk mengganti tanggungjawabnya kelak terhadap Fa. Ayahnya ingin, tamat kuliah S1 tamat pula lajang anak perempuan satu-satunya. Sebab, ia sudah tak sabar mengayun cucu maka setiap hari dia harus berusaha membujuk Fa untuk terbuka keinginannya menikah muda.
            Anaknya sendiri; Fa, masih acuh tak acuh terhadap keinginan ayahnya. Sampai-sampai, ia tak berani mengadukan keinginan ngidam mie tiawnya itu pada ayahnya. Apalagi kalau bukan takut digoda. Fa bukan tak bisa masak. Kesibukannya membuatnya kalah lebih dulu terhadap lelah. Ibunya sudah lama tiada, telah diganti dengan ibu tiri yang baik hati. Namun, Fa sungkan jika meminta dimasakin mie tiaw ngidamnya itu. Kalau beli, dia bosan dengan rasa yang sama saja. Maunya, ada rasa yang sedikit berbeda. Ah, Fa, ada-ada saja keinginan ngidam tak sungguhannya. Bagaimana jika nanti saat ngidam sungguhannya, apakah jauh pelik daripada ini?
***
“Duar.....!!!!” Ayahnya seperti biasa, bertingkah konyol, membuka pintu kamar Fa dengan iseng membuat kaget.
“Ih, Ayah nih! Rusuh ih! Tapi,nggak kaget kok, wek!” Balas Fa. Terang saja, dia menyembunyikan kagetnya, agar ayahnya tak merasa menang.
“Moso ndak kaget? Kaget dong!”
“Mulai deh. Lain kali, Fa kunci tuhpintu. Biar nggak ada makhluk yang sembarang masuk. Pake ngangetin pula.” Rengut Fa.
“Hehehehe... Anak Ayah makin merengut makin cantik...” Goda ayahnya lagi tanpa wajah berdosa.
“Ayah masuk kamar Fa ada perlu apa? Kalau cuma mau godain Fa, so sorry deh. Fa sibuk.” Fa pura-pura cuek, kembali menatap layar laptopnya. Padahal sedari tadi, dia menunggu ayahnya pulang dan bisa mengecek beberapa rupiah untuk mendiamkan perutnya yang lapar dan dengan gengsi yang tinggi dia pura-pura tidak mencium bau sedap makanan yang muncul dari bingkis plastik yang dibawa ayahnya dan sesekali mencuri-curi pandang ke bingkis palstik yang masih dibawa ayahnya itu.
“Oh. Begitu. Padahal Ayah berniat baik. Tapi, yasudahlah. Lagi sibuk katanya. Oke kalau begitu. Ayah makan sama ibu aja.”
“Hahahaha... Ayah!!! Gitu aja ngambek sih. Fa laper. Ayah beli apa tuh?” Runtuhlah gengsi Fa kini.
“Loh, katanya sibuk? Sudah, tidak apa-apa. Ayah nggak mau ganggu Fa.” Jawab ayahnya sok serius.
Fa tidak peduli, dengan rusuh dia berusaha menyerobot bingkis plastik yang ada di tangan ayahnya.
“Loh.. Loh.. Apa-apaan ini?”
“Ih.. Ayah, siniin, Fa laper. Itu mie tiaw, kan? Ha. Dapet!”
Beberapa menit kemudian, Fa melahap mie tiaw jatahnya dengan gesit dan ayahnya ikut makan di kamarnya.
“Fa tahu nggak, Ayah beli mie tiawnya di mana? Enakkan? Fa pasti kaget kalau tahu”
“Emang Ayah beli di mana?”
“Di warung anaknya pak Rahman.”
Mendengar nama Pak Rahman, tiba-tiba Fa keselek,gayanya mirip di sinetron-sinetron itu.
***
Malam ini, malam minggu. Jalanan ramai sekali. Fa diajak keluar oleh ayahnya ke pusat kuliner di kota ini dan tempatnya tidak jauh dari rumah, namun tempat ini jarang sekali mereka kunjungi dan entah angin apa yang membuat ayahnya tumben-tumbennya mengajak Fa dan ibu tirinya makan di luar. Karena biasanya, ayahnya lebih senang membeli makanan lalu makan bersama-sama di rumah.
            Selesai memakirkan mobil, Fa, ayahnya, dan ibu tirinya masuk ke dalam sebuah warung yang ramai sekali pengunjungnya, sampai-sampai susah sekali mencari meja kosong. Namun, tak lama, ada seorang lelaki berusia senja, sepantaran ayah Famenghampiri mereka, menyambut mereka ramah dan memersilakan duduk di meja yang sepertinya sudah disiapkan. Tiba-tiba, Fa ingat siapa lelaki itu.Itu pak Rahman, nama yang membuatnya keselek sewaktu makan mie tiaw dua hari yang lalu. Entahlah, Fa tiba-tiba merasa.....ada sesuatu.
***
Perjumpaan di malam minggu lalu, membuat Fa datang kembali, namun ‘datang’ yang ini berbeda.Jika malam minggu lalu, membuatnya telak digoda ayahnya dan dia sama sekali tak memiliki kuasa untuk menyerang kembali celotehan ayahnya seperti biasa, hanya diam sambil lebih banyak menunduk dan beruntungnya selembar kain yang menutupi wajahnya dapat menyembunyikan mukanya yang telah merona merah. Dan ‘datang’ kali ini, jelas berbeda. Fa berkeinginanmelihat bagaimana kesehariannya. Jadi, diputuskannya selama tiga hari berturut-turut ini, setiap setelah ashar, dia akan menyempatkan ‘datang’ dengan menyuruh Lina, karibnya untuk membeli makanan yang dijual oleh lelaki itu.
            Tiga hari berturut-turut, jawaban Lina tetap sama, “Yang ladeni aku masih adiknya, Fa. Waktu dia lengang pun, dia tetap memilih duduk jika pembelinya perempuan.” Lina tahu itu adik perempuan lelaki itu karena memang Fa yang memberi tahu. 
***
            Malam minggu selanjutnya, ayah Fa mengajaknya lagi ke warung itu. Namun kali ini, makan di rumah, tidak lagi makan di warung seperti minggu lalu. “Ayo, Fa. Temani Ayah turun.”
“Ayah aja deh, Fa lagi asyik chatingan sama Lina.”
“Yakin?” Tanya ayahnya memastikan, yang lebih tepatnya menggoda Fa.
“Hu’um.”
            Fa tidak berbohong, Fa memang sedang ngobrol dengan Lina di BBM. Namun, ketika ayahnya keluar, dia mencuri-curi pandang ke arah warung itu. Terus mencari-cari letak tubuh seorang yang dulu pernah sangat dibencinya. Namun, malam itu, Fa tidak menemukan sepotong wajah ataupun punggung dari lelaki itu.
***
Sebulan kemudian, saat Fa melipat mukenahnya, ayahnya mengetuk pintu kamarnya dan izin untuk masuk menemuinya.
“Bagaimana?” Tanya ayahnya, kali ini tidak dengan wajah menggoda Fa lagi.
“Insya Allah. Fa mantep, Yah. Doakan ya, Yah. Semoga Fa dijauhkan dari rasa nafsu. Semoga rasa mantap ini datang benar-benar dari Allah..”
“Alhamdulillah, aamiin ya Allah.. Akhirnya.” Ayahnya mengecup kening Fa.
“Ayah tahu kamu pasti mau mengistikhorohkan yang ini..” Lanjut ayahnya.
“Hu, mulai deh Ayah.!”
“Ya iya, dari beberapa lelaki yang ayah tawarkan, hanya dengan yang ini Fabener-bener malu-malu. Yang lainnya biasa aja. Ya kalau pun malu, ya malu biasaaja, malunya perempuan sholehah dengan lelaki yang bukan mahromnya.”
“Emang iya ya, Yah?”
“Nah, Fa sendiri nggak sadar ya?Ayah tahu, pipi Fa sudah merona merah meski ditutup niqob. Ayah tahu, Fa malu bertemu dan beralasan ingin di mobil saja, padahal, kalau pergi kemana-mana, mana mau Fasendirian di mobil. Pasti ikut turun sama Ayah. Eh, ini kok tumben-tumbennya. Hmm....”
“Ih, Ayah!” Fa kesal menatap ayahnya. Namun, sedetik kemudian, tumpahlah tangis Fa dipelukan ayahnya. Tiba-tiba, Fa merasa takut sekali jauh dari ayahnya. Hal yang tak pernahFa rasakan sebelumnya. Sebab, ayahnya selalu ada saat Fa selalu ingin dan butuh, bahkan ketika Fatak pernah meminta sekalipun. Ayahnya telah baik menjadi damainya hari-hari Fasedari dulu hingga kini.
***
Seminggu kemudian, ayah memeluk Fa begitu erat dan dipunggung Fa, air matanya berlinang. Ayahnya jarang sekali menangis, dan di momen ini, tangisnya adalah kesedihan yang dicampur kebahagiaan beratus kali lipat serta harapan-harapan sudah ditimbun beberapa bulan sebelumnya. Sedih karena Fa bukan tanggungjawabnya lagi. Bahagia karena dia merasa Fa ditanggungjawabi oleh lelaki yang ia percaya dapat membawa Fa bahagia sampai jannah. Pelukannya semakin erat, semua mata tertuju haru melihat ayahnya yang supel dan ceria, ternyata tak disangka-sangka memiliki air mata yang deras juga.
Dan Fa benar-benar tak menyangka, bahwa lelaki yang tadi berjabat tangan dengan ayahnya; sebagai wali nikahnya adalah lelaki penjual mie tiaw yang meneruskan bisnis ayahnya, yang dulu begitu dibencinya karena ketika di sekolah dasar dulu, lelaki itu rajin sekali menjaili Fa sampai-sampai Fa pernah sekali menangis. Namun, lelaki itulah yang dulu baik hati menemani Fa setiap harikarena ayahnya selalu telat menjemput Fa ke sekolah. Lelaki yang dengan polosnya meminta maaf dan berjanji tidak mengganggu Fa lagi. “Maaf ya, Fa. Maaf ya, Om. Aku janji nggak akan ganggu Fa lagi. Aku hanya ingin berteman dengan Fa. Karena Fa anak yang paling cantik dan pintar di kelas. Tapi, Fa cuek sekali.”
***
(Penulis adalah mahasiswi semester VI Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
Terbit di Tribun Bone, Jumat, 22 Juli 2016

Bu Li Tukang Cuci

Karya : Aisyah Haura Dika Alsa

             Mentari pukul sebelas siang ini menggelayut dengan pendar yang membuat keringat membuat perkumpulan di beberapa bagian wajah dan badanku. Permulaan siang yang cerah sekali. Kalau tahu akan panas begini, lebih baik aku di kampus saja tadi. Mendinginkan tubuh di perpustakaan misalnya sembari menunggu reda panas. Tapi, kutimbang-timbang lagi, bisa-bisa malah makin panas. Belum lagi sedang puasa. Panas ini bisa membuatku haus saat berpuasa begini.
            Kuhidupkan kipas angin dan bertengger di depannya. Bukannya meredakan dingin malah semakin panas. Hu.. hawa angin juga panas. Jadi, sama saja jika aku berkipas-kipas angin ria. Kapan coba aku bisa memiliki kamar kos dengan fasilitas AC? Hu. Kenapa jadi membuatku sangat tidak nyaman begini.
            Aku memutuskan keluar dari kamar, menuju dapur ibu kos. Di sana, ramai para penghuni kos dan ibu kos sendiri. Ketika aku turun, mereka sedang membantu ibu kos membuat kue hari raya. Nasib malangnya beberapa dari penghuni kos, kami belum bisa pulang ke kampung halaman. Beberapa karena pekerjaan dan beberapa karena mahasiswa tingkat akhir; aku misalnya. Padahal sudah sangat rindu masakan ibu dan pastinya juga rindu semua keluarga di rumah. Rindu juga bertemu teman-teman sekolah.
            Aku tidak tertarik untuk ikut membantu membuat kue. Aku jadinya hanya memperhatikan mereka saja. Saat asyik memperhatikan mereka membikin adonan, aku tiba-tiba mendengar bunyi “Krek.. krek..” dari kamar mandi. Aku tertarik untuk bangkit. Mungkin ada sesuatu yang lebih baik di sana. Yah, benar saja. Ada bu Li di sana. Bu Li sedang mencuci seperti biasanya.
            “Eh, ada Mbak Ki. Sudah pulang kuliah, Mbak?” Sapa bu Li padaku, yang sekarang sedang membilas pakaian. “Iya, Bu Li. Sudah.” Jawabku bersama senyuman. Aku selalu senang jika bu Li ke sini. Kerja kerasnya mengingatkanku pada ibu. Usianya sekitar 45 tahun. Orangnya ramah sekali. Selain itu, yang paling aku suka, bu Li senang bercerita. Kalian tahu? Ceritanya bukan tentang aib orang lain. Tapi, selalu tentang kebaikan orang lain. Yang lucunya, kami pernah berdebat tentang aib dan kebaikan tetangga sebelah.
            Jadi, waktu itu, aku dan para penghuni kos yang lain sedang ngobrol dan ngemil di meja makan ibu kos. Menghabiskan cemilan ibu kos lebih tepatnya. Dan pastinya, sudah diizinkan untuk menghabiskan cemilannya. Baiklah, balik ke topik utama. Kami bersemangat sekali menceritakan betapa soknya tetangga sebelah rumah ibu kos kami. Yang apa-apa senang memamerkan barang-barang mewahnya. Lalu, menceritakan anak-anaknya yang bisa kuliah di luar negeri. Dan masih banyak lagi segudang hal yang bisa dipamerkan oleh tetangga kami itu. Bahkan, hanya karena saudaranya bersaudara dengan pejabat top pemerintah, sudah sangat dibangga-banggakannya. Padahal, itukan masih saudara saudaranya. Bukan saudaranya sendiri. Dan ibu kos dengan baiknya mau saja  setia menyiapkan telinga untuk mendengarkan segala cerita tetangga tukang pamer itu. Sedang kami selalu pergi dan ber-eeewwwhh.
            Ternyata, dari kamar mandi, bu Li menyimak apa yang kami bicarakan. Saat bu Li sudah selesai mencuci. Bu Li menghampiri kami sambil menenteng ember jemuran dan langsung nyeletuk, “Tapi, Mbak. Bu Ris itu baik kali lho, Mbak. Saya pernah ngutang beberapa kali. Eh, sama bu Ris katanya nggak usah dikembaliin. Terus sering nganter makanan ke rumah saya, Mbak. Buat anak-anak. Baju-baju bekas anak-anaknya yang masih cantik-cantik pun dikasih sama anak-anak saya. Baik kali, Mbak.”
            Lalu, Kak Din membantah argumen yang diberikan bu Li. “Huh.. Apanya yang baik, Bu Li. Suka pamer gitu.”
            “Mungkin, itu untuk memotivasi saja, Mbak niatnya bu Ris. Saya aja kalau dengar bu Ris cerita jadi makin semangat kerja buat anak-anak. Saya jadi ingin anak saya dapat beasiswa juga. Apalagi kalau bisa ke luar negeri juga kayak anak-anak bu Ris. Wah, bisa jingkrang-jingkrang saya, Mbak.” Kata bu Li sambil tertawa.
            “Bu Li mah, nggak bisa diajak ngegosip.” Balas kak Din lagi.
            “Hehe.. Mending bantuin Bu Li ngejemur pakain nih, Mbak. Dapat pahala. Daripada ngegosip malah ngilangin pahala hehe..”
            Kami pun turun dari kursi; membantu bu Li. Mengangkat ember jemuran ke halaman belakang rumah lalu bersama-sama tertawa berbarengan mendenger lelucon bu Li. Bu Li memang hanya tukang cuci. Tapi, kami menghormati bu Li layaknya ibu sendiri.
***
            Aku melipat mukenah, baru saja selesai tarawih sendiri di kamar kosku. Aku sibuk memikirkan sesuatu. Mengenang-ngenang dengan anggukan percakapanku dengan bu Li siang tadi. Ah, aku malu sendiri rasanya mengingatnya. Jika dibandingkan, bu Li bahkan tidak tamat SMP. Sedang aku, mahasiswi yang terkenal dengan kepandaiannya di universitas paling top di kota ini pula. Namun, pemahaman hidupku masih jauh di bawah bu Li yang ijazah SMP saja tidak ada di laci meja rumahnya.
            Bu Li yang selalu riang, ramah, baik pada siapa saja, meski lelah atau sakit pun bukan alasan untuknya berhenti bekerja dan yang pasti bu Li tidak pernah kulihat mengeluh. Padahal hidupnya serba terbatas. Bu Li rela belasan tahun tak memiliki baju baru demi sekolah anak-anaknya. Bu Li rela makan hanya dengan garam demi tercukupi gizi anak-anaknya. Bu Li bahkan tidak pernah menceritakan kejelekan orang lain. Selalu saja mengingat kebaikannya. Selalu membantah dengan bijaksana jika kami asyik menggosipi siapa saja. Karena kata bu Li, “Maaf ya, Mbak-mbak yang cantik-cantik. Bu Li bukan sok pintar lho ya. Aduh kalau ditanya pintar, Bu Li nih jauh di bawah. Tapi, Bu Li pernah dengar ceramah pak ustad. Kata pak ustad, kalau ada gosipin orang, yang dengar juga dapat dosa. Walaupun nggak ikut ngegosipnya. Dan kata pak ustad lagi, kalau gosipin orang kayak.. kayak apa ya... aduh lali Bu Li-nya, Mbak-mbak.”
            “Kayak makan bangkai saudaranya sendiri, Bu Li.” Tiba-tiba ibu kos datang dan menyambungkan perkataan bu Li. “Ha, iya. Ibu benar.” Sambut bu Li semangat.
Semenjak itu, saat ada bu Li, para penghuni kos merasa segan untuk bergosip kembali. Dan jika sedang tidak ada bu Li, yang taubat akan memilih masuk ke kamar jika acara gosip di meja makan ibu kos dimulai; aku salah satunya.
            “Hidup ini sebenarnya indah, Mbak. Namun, hanya orang-orang yang bersyukur yang bisa merasakan indahnya. Kalau ngeluh terus, indahnya pergi, Mbak. Ganti nama dia, Mbak. Jadi “gak indah” hehe.. Kalau kita ngelihat ke atas terus, aduh, Mbak, nggak selesai-selesai. Yang sudah punya sepeda motor, mau punya mobil, yang sudah punya mobil mau tambah mobil. Yang sudah punya banyak mobil duh pusing Bu Li, Mbak melanjutkannya. Anak-anak bisa sekolah dengan baik saja, Mbak, Bu Li sudah senang kali, Mbak. Masih banyak lho, Mbak orang-orang lain bahkan makan sehari aja belum tentu.”
            “Tapi, Mbak. Kalau kata pak ustad, kalau soal dunia, lihat ke bawah. Tapi, kalau soal akhirat baru lihat ke atas. Nah, kita bisa lihat ibu kos, Mbak. Ibu kos itu salah satu wanita sholehah, Mbak. Mbak Ki juga wanita idaman. Berkerudung, pandai, berprestasi, wih.. cantik lagi. Mandiri pula. Pasti banyak yang mau jadi suaminya.”
            “Mbak Ki, jangan sedih lagi ya. Insya Allah dapat banyak pahala. Menuntut ilmu kan perintah Allah. Kalau Mbak Ki rindu sama keluarga, main aja ke rumahnya Bu Li. Anak-anak pada nanyain lho, Mbak. Katanya mau diajari bahasa Inggris lagi.”
            Ah, Bu Li. Bu Li benar. Nasihat-nasihat bu Li terasa sejuk di gersangnya rasa syukurku. Terasa menyegarkan di sedihnya sukmaku karena terhambat pulang ke kampung halaman. “Ibu kos, Bu Li dan Mbak-mbak di sinikan sudah menjadi keluarga besar yang baru untuk Mbak Ki.” Ya, bu Li benar sekali. Bu Li, aku ingin sekali memelukmu saat ini.
***
(Penulis adalah mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
Terbit di Harian Waspada, 31 Juli 2016