Monday, February 6, 2017

Kemana Dinda?

Harusnya ketika kau pergi, maka permisi. Harusnya ketika aku menanti, maka kau harus kembali……..
Gerak tangan kananku terhenti. Bukan karena penaku macetnya kambuh lagi. Bukan pula karena aku kehabisan kertas di sini. Aku hanya bingung. Kemana balasan surat ini akan mengepakkan sayap, jika alamat tak pernah kau tinggalkan untukku. Kemana surat balasanku akan berlabuh, untuk menanggalkan rindu-rindu setelah aku, kau tinggal pergi.
Aku mulai menulis lagi…
2 menit… 3 menit… 4 menit…
Aku berhenti menulis lagi. Kali ini, bukan karena kebingungan yang mengganggu tadi. Namun, dadaku perih. Sepasang mataku ternyata telah hujan. Pipi-pipiku diwarna banyak basah. Harusnya, kau tak boleh begini. Bagaimana mungkin kau pergi tiba-tiba lantas tak menorehkan jejak untuk sisa? Harusnya, kau biarkan aku tahu kotamu kini.
Harusnya, kau…
***
Namaku, Salsa, mahasiswi semester empat di salah satu universitas swasta kotaku. Aku mencintai buku-buku, layaknya mencintai bunyi hujan, bau hujan, ah maksudku, hujan dan sekawanannya. Selain itu, aku menyenangi senyap meskipun aku lebih sering berada di kalangan ramai orang. Setelah itu, hal yang tidak aku suka, tentu ketika aku kehilangan gairah. Ketika bodohnya aku menjauh dari Tuhanku. Jika bukan untuk beribadah pada-Nya, lalu untuk apalagi hidupku?
Tiba-tiba, ada berpotong-potong kenang yang ingin berlarian masuk ke kepalaku, ke jiwaku. Kenang tentang seorang teman berkulit putih yang sungguh putih, marganya Lubis, wajahnya penuh merah jambu jerawat manis, hidungnya mancung, bola matanya indah coklat, tubuhnya mungil, gayanya selalu kocak, singkatnya, dia cantik dan humoris.
Potongan-potongan kenang tadi menjalar dan menebar dengan cepat ke seluruh tubuhku. Seperti bulir-bulir awan begitu cepatnya memeluk tanah. Dia sama seperti hujan, indah. Sama seperti terang purnama atau seperti jingga-jingga yang disenangi siapa saja.
Entah mengapa, aku merasa selalu dispesialkannya. Padahal, kami tak pernah pulang bersama, tak pernah berpergian berdua, tak pernah melakukan hal-hal yang menyenangkan bersama-sama. Hanya terkadang, mengenyangkan perut bersama di masjid ketika siang, shalat zuhur bersama atau terkadang mengerjakan tugas kuliah bersama teman-teman yang lainnya. Selalu melakukan hal-hal yang biasa.
Tetapi, dia selalu baik. Ketika pulang dari jalan-jalan ke Thailand, aku kebagian oleh-oleh darinya. Ketika orang tuanya pergi naik haji, aku lagi-lagi kebagian oleh-oleh. Dan pernah hari itu, bersama surat dan sebuah kotak bulat yang mungil, dia berikan padaku. Isi kotak bulat itu, tasbih dan hiasan jilbab indah berwarna merah. Sungguh, dia memang baik hati.
Sampai akhirnya, aku membalasnya dengan memberikan sebuah pena yang mirip dengan penaku. Hanya berbeda warna, penaku hitam, penanya biru. Tentu kami saling memberi dengan cara sembunyi-sembunyi. Takut teman lain banyak yang cemburu. Ah, iya, bukankah saling berbagi antarteman itu hal yang biasa? Tapi, ketika dia yang memberi, aku selalu merasa dispesialkan. Ah, dia memang teman yang baik. Teman-teman yang lain pun mengakui.
Ketika aku sibuk dengan padat aktivitas organisasiku, ada dia yang baik memberi kabar tentang tugas ataupun keadaan di kuliah. Beberapa bulan lalu, aku diutus dengan beberapa teman organisasi internalku menghadiri musyawarah wilayah di Palembang. Maka, dia sering menanyakan bagaimana kabarku, mewartakan apa-apa saja hal-hal baru selama aku alpa dalam kuliah. Tanpa pernah kutanya dan kuminta.
Saat ini, namanya sering disebut-sebut. Lalu, aku akan selalu diam dan entah mengapa dadaku akan tiba-tiba nyeri. Maka teman lain akan menjawab. “Dinda sudah pindah…..”
Aku masih ingat malam itu. Malam pedih perih. Wajahku hujan, aku menangis diam-diam, saat ada acara pengkaderan di organisasiku. Beberapa hari dia tak masuk kuliah. Padahal, dalam satu mata kuliah, kami mendapat kelompok yang sama. Itulah awal dia menghilang. Dan kami anggap hal yang biasa, mungkin dia sedang ada acara atau liburan lagi ke negera tetangga. Hari berikutnya, dia alpa lagi. Aku mulai bertanya-tanya dalam hati, sebab tak ada kabar yang pasti. Bahkan dari Sri, salah satu teman terdekatnya. Dan mirisnya, aku terlalu sibuk dengan organisasiku, sampai rasanya selalu lupa ingin menanyakan kabarnya secara langsung.
Dan malam itu, saat jadwal istirahat, aku bertanya pada Sri. Dan Sri dengan nyeri menjawab pesan singkatku. Bahwa, Dinda telah pindah. Aku masih menerima ketika Dinda Pindah kampus dan kota. Namun, yang sulit kuterima adalah jejak-jejaknya sedikitpun tak dibiarkannya bersisa. Ponselnya tidak aktif, media sosialnya juga tidak aktif. Kata Sri, Dinda menelponnya dengan nomor wartel yang ada di Aceh. Dan hanya memberi kabar tentang itu saja.
Sampai hari ini, aku masih sulit menerima. Sampai hari ini, aku masih ingin dia meminta maaf, bahwa diam-diam hujan air mata telah banyak kuluruh untuknya. Dia harus memelukku, bahwa dia telah meninggalkan rindu yang menderu-deru. Dia harus pulang kembali, sebab dadaku selalu perih ketika mengingat atau mendengar namanya. Aku merasa sangat kehilangannya.
Ya, itu jika aku ingin egois. Maka, hal yang paling baik dan bisa kulakukan adalah mendoakannya. Berharap dan memohon pada Tuhan, dia selalu dilindungi dan baik-baik saja. Berharap suatu hari, dia akan hadir kembali sebagai teman yang tetap baik hati.
Kini, tiada lagi yang berani menjawab pertanyaan dosen dengan humor. Kini, berkurang satu, teman yang sering menawariku bekalnya. Kini, berkurang satu, teman yang sering bertanya-tanya tentang kuliah. Kini, berkurang satu, teman yang sering mengelus lembut lengan tanganku. Kini, berkurang satu, teman yang senang memberiku oleh-oleh. Kini, berkurang satu, teman yang sering meminjam buku-bukuku. Kini, berkurang satu, teman yang sering menyemangatiku melalui pesan-pesan singkatnya. Kini…ah.
Aku kehilangan teman, yang baru kusadari, bahwa ternayata, aku begitu menyayanginya, setelah kepergiannya.
***
-Epilog-
Beberapa bulan yang lalu..
Namaku, Dinda, mahasiswi semester empat di salah satu universitas swasta kotaku. Jarak rumah dan kampus memang jauh, tiap pagi harus kutempuh dengan laju. Tak boleh sedikitpun pergi ke kampus bergeser dari jadwal yang biasa. Sebab, jika begitu, maka aku harus sanggup menikmati macet di tengah kota, harus sungguh berlari-lari mengejar pintu kelas yang tak lagi terbuka; sebab dosen sudah masuk dan mengajar.
“Assalamualaikum, boleh saya masuk, Pak?”
“Waalaikumsalam. Masuk lah cepat.”
Hei, itu bukan aku yang telat. Namun, itu….Salsa…
“Wan, makasiah novelnya. Pinjam novel yang lain lagi boleh?”aku mengembalikan novel yang dipinjamkan Salsa padaku seminggu lalu setelah mata kuliah berakhir. Aku memang memanggil Salsa dengan sebutan “Wan”; panggilan akrab antara kami. Wan, sebutan “Kawan” jika dipendekkan.
“Boleh-boleh, besok ya insya Allah awak bawa. Ingatkan ntar malam, Wan.”balasnya dengan senyuman semringah, memperlihatkan dua lesung pipi kanan kirinya yang aduhai.
(Pengarang adalah mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)

Aisyah Haura Dika Alsa adalah mahasiswi semester VII jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU. Karya-karyanya sudah tersebar di beberapa media lokal.
(Terbit di Harian Medan Bisnis, 5 Februari 2017)
http://www.medanbisnisdaily.com/e-paper/2017-02-05/#10

No comments:

Post a Comment