Sunday, July 31, 2016

Ayah dan Lelaki Penjual Mie Tiaw



Karya : Aisyah Haura Dika Alsa
 
Sudah dua hari ini, Fa ingin sekali makan mie tiaw. Kalau istilah biasanya, Fa ngidam. Duh, Fa tiba-tiba menjadi aneh sendiri membayangkan jika dia benar-benar mengandung seorang anak dan kemudian mengalami ngidam. Pasalnya, akhir-akhir ini di rumahnya, ayahnya sudah sibuk menjodoh-jodohkan Fa dengan lelaki-lelaki yang menurut ayahnya baik. Namun, Fa masih saja belum mengangguk atas pilihan ayahnya dan itu tentu saja membuat ayahnya uring-uringan. Ayahnya merasa perlu terus mencari lelaki terbaik untuk mengganti tanggungjawabnya kelak terhadap Fa. Ayahnya ingin, tamat kuliah S1 tamat pula lajang anak perempuan satu-satunya. Sebab, ia sudah tak sabar mengayun cucu maka setiap hari dia harus berusaha membujuk Fa untuk terbuka keinginannya menikah muda.
            Anaknya sendiri; Fa, masih acuh tak acuh terhadap keinginan ayahnya. Sampai-sampai, ia tak berani mengadukan keinginan ngidam mie tiawnya itu pada ayahnya. Apalagi kalau bukan takut digoda. Fa bukan tak bisa masak. Kesibukannya membuatnya kalah lebih dulu terhadap lelah. Ibunya sudah lama tiada, telah diganti dengan ibu tiri yang baik hati. Namun, Fa sungkan jika meminta dimasakin mie tiaw ngidamnya itu. Kalau beli, dia bosan dengan rasa yang sama saja. Maunya, ada rasa yang sedikit berbeda. Ah, Fa, ada-ada saja keinginan ngidam tak sungguhannya. Bagaimana jika nanti saat ngidam sungguhannya, apakah jauh pelik daripada ini?
***
“Duar.....!!!!” Ayahnya seperti biasa, bertingkah konyol, membuka pintu kamar Fa dengan iseng membuat kaget.
“Ih, Ayah nih! Rusuh ih! Tapi,nggak kaget kok, wek!” Balas Fa. Terang saja, dia menyembunyikan kagetnya, agar ayahnya tak merasa menang.
“Moso ndak kaget? Kaget dong!”
“Mulai deh. Lain kali, Fa kunci tuhpintu. Biar nggak ada makhluk yang sembarang masuk. Pake ngangetin pula.” Rengut Fa.
“Hehehehe... Anak Ayah makin merengut makin cantik...” Goda ayahnya lagi tanpa wajah berdosa.
“Ayah masuk kamar Fa ada perlu apa? Kalau cuma mau godain Fa, so sorry deh. Fa sibuk.” Fa pura-pura cuek, kembali menatap layar laptopnya. Padahal sedari tadi, dia menunggu ayahnya pulang dan bisa mengecek beberapa rupiah untuk mendiamkan perutnya yang lapar dan dengan gengsi yang tinggi dia pura-pura tidak mencium bau sedap makanan yang muncul dari bingkis plastik yang dibawa ayahnya dan sesekali mencuri-curi pandang ke bingkis palstik yang masih dibawa ayahnya itu.
“Oh. Begitu. Padahal Ayah berniat baik. Tapi, yasudahlah. Lagi sibuk katanya. Oke kalau begitu. Ayah makan sama ibu aja.”
“Hahahaha... Ayah!!! Gitu aja ngambek sih. Fa laper. Ayah beli apa tuh?” Runtuhlah gengsi Fa kini.
“Loh, katanya sibuk? Sudah, tidak apa-apa. Ayah nggak mau ganggu Fa.” Jawab ayahnya sok serius.
Fa tidak peduli, dengan rusuh dia berusaha menyerobot bingkis plastik yang ada di tangan ayahnya.
“Loh.. Loh.. Apa-apaan ini?”
“Ih.. Ayah, siniin, Fa laper. Itu mie tiaw, kan? Ha. Dapet!”
Beberapa menit kemudian, Fa melahap mie tiaw jatahnya dengan gesit dan ayahnya ikut makan di kamarnya.
“Fa tahu nggak, Ayah beli mie tiawnya di mana? Enakkan? Fa pasti kaget kalau tahu”
“Emang Ayah beli di mana?”
“Di warung anaknya pak Rahman.”
Mendengar nama Pak Rahman, tiba-tiba Fa keselek,gayanya mirip di sinetron-sinetron itu.
***
Malam ini, malam minggu. Jalanan ramai sekali. Fa diajak keluar oleh ayahnya ke pusat kuliner di kota ini dan tempatnya tidak jauh dari rumah, namun tempat ini jarang sekali mereka kunjungi dan entah angin apa yang membuat ayahnya tumben-tumbennya mengajak Fa dan ibu tirinya makan di luar. Karena biasanya, ayahnya lebih senang membeli makanan lalu makan bersama-sama di rumah.
            Selesai memakirkan mobil, Fa, ayahnya, dan ibu tirinya masuk ke dalam sebuah warung yang ramai sekali pengunjungnya, sampai-sampai susah sekali mencari meja kosong. Namun, tak lama, ada seorang lelaki berusia senja, sepantaran ayah Famenghampiri mereka, menyambut mereka ramah dan memersilakan duduk di meja yang sepertinya sudah disiapkan. Tiba-tiba, Fa ingat siapa lelaki itu.Itu pak Rahman, nama yang membuatnya keselek sewaktu makan mie tiaw dua hari yang lalu. Entahlah, Fa tiba-tiba merasa.....ada sesuatu.
***
Perjumpaan di malam minggu lalu, membuat Fa datang kembali, namun ‘datang’ yang ini berbeda.Jika malam minggu lalu, membuatnya telak digoda ayahnya dan dia sama sekali tak memiliki kuasa untuk menyerang kembali celotehan ayahnya seperti biasa, hanya diam sambil lebih banyak menunduk dan beruntungnya selembar kain yang menutupi wajahnya dapat menyembunyikan mukanya yang telah merona merah. Dan ‘datang’ kali ini, jelas berbeda. Fa berkeinginanmelihat bagaimana kesehariannya. Jadi, diputuskannya selama tiga hari berturut-turut ini, setiap setelah ashar, dia akan menyempatkan ‘datang’ dengan menyuruh Lina, karibnya untuk membeli makanan yang dijual oleh lelaki itu.
            Tiga hari berturut-turut, jawaban Lina tetap sama, “Yang ladeni aku masih adiknya, Fa. Waktu dia lengang pun, dia tetap memilih duduk jika pembelinya perempuan.” Lina tahu itu adik perempuan lelaki itu karena memang Fa yang memberi tahu. 
***
            Malam minggu selanjutnya, ayah Fa mengajaknya lagi ke warung itu. Namun kali ini, makan di rumah, tidak lagi makan di warung seperti minggu lalu. “Ayo, Fa. Temani Ayah turun.”
“Ayah aja deh, Fa lagi asyik chatingan sama Lina.”
“Yakin?” Tanya ayahnya memastikan, yang lebih tepatnya menggoda Fa.
“Hu’um.”
            Fa tidak berbohong, Fa memang sedang ngobrol dengan Lina di BBM. Namun, ketika ayahnya keluar, dia mencuri-curi pandang ke arah warung itu. Terus mencari-cari letak tubuh seorang yang dulu pernah sangat dibencinya. Namun, malam itu, Fa tidak menemukan sepotong wajah ataupun punggung dari lelaki itu.
***
Sebulan kemudian, saat Fa melipat mukenahnya, ayahnya mengetuk pintu kamarnya dan izin untuk masuk menemuinya.
“Bagaimana?” Tanya ayahnya, kali ini tidak dengan wajah menggoda Fa lagi.
“Insya Allah. Fa mantep, Yah. Doakan ya, Yah. Semoga Fa dijauhkan dari rasa nafsu. Semoga rasa mantap ini datang benar-benar dari Allah..”
“Alhamdulillah, aamiin ya Allah.. Akhirnya.” Ayahnya mengecup kening Fa.
“Ayah tahu kamu pasti mau mengistikhorohkan yang ini..” Lanjut ayahnya.
“Hu, mulai deh Ayah.!”
“Ya iya, dari beberapa lelaki yang ayah tawarkan, hanya dengan yang ini Fabener-bener malu-malu. Yang lainnya biasa aja. Ya kalau pun malu, ya malu biasaaja, malunya perempuan sholehah dengan lelaki yang bukan mahromnya.”
“Emang iya ya, Yah?”
“Nah, Fa sendiri nggak sadar ya?Ayah tahu, pipi Fa sudah merona merah meski ditutup niqob. Ayah tahu, Fa malu bertemu dan beralasan ingin di mobil saja, padahal, kalau pergi kemana-mana, mana mau Fasendirian di mobil. Pasti ikut turun sama Ayah. Eh, ini kok tumben-tumbennya. Hmm....”
“Ih, Ayah!” Fa kesal menatap ayahnya. Namun, sedetik kemudian, tumpahlah tangis Fa dipelukan ayahnya. Tiba-tiba, Fa merasa takut sekali jauh dari ayahnya. Hal yang tak pernahFa rasakan sebelumnya. Sebab, ayahnya selalu ada saat Fa selalu ingin dan butuh, bahkan ketika Fatak pernah meminta sekalipun. Ayahnya telah baik menjadi damainya hari-hari Fasedari dulu hingga kini.
***
Seminggu kemudian, ayah memeluk Fa begitu erat dan dipunggung Fa, air matanya berlinang. Ayahnya jarang sekali menangis, dan di momen ini, tangisnya adalah kesedihan yang dicampur kebahagiaan beratus kali lipat serta harapan-harapan sudah ditimbun beberapa bulan sebelumnya. Sedih karena Fa bukan tanggungjawabnya lagi. Bahagia karena dia merasa Fa ditanggungjawabi oleh lelaki yang ia percaya dapat membawa Fa bahagia sampai jannah. Pelukannya semakin erat, semua mata tertuju haru melihat ayahnya yang supel dan ceria, ternyata tak disangka-sangka memiliki air mata yang deras juga.
Dan Fa benar-benar tak menyangka, bahwa lelaki yang tadi berjabat tangan dengan ayahnya; sebagai wali nikahnya adalah lelaki penjual mie tiaw yang meneruskan bisnis ayahnya, yang dulu begitu dibencinya karena ketika di sekolah dasar dulu, lelaki itu rajin sekali menjaili Fa sampai-sampai Fa pernah sekali menangis. Namun, lelaki itulah yang dulu baik hati menemani Fa setiap harikarena ayahnya selalu telat menjemput Fa ke sekolah. Lelaki yang dengan polosnya meminta maaf dan berjanji tidak mengganggu Fa lagi. “Maaf ya, Fa. Maaf ya, Om. Aku janji nggak akan ganggu Fa lagi. Aku hanya ingin berteman dengan Fa. Karena Fa anak yang paling cantik dan pintar di kelas. Tapi, Fa cuek sekali.”
***
(Penulis adalah mahasiswi semester VI Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
Terbit di Tribun Bone, Jumat, 22 Juli 2016

No comments:

Post a Comment