Mentari pukul sebelas siang ini menggelayut dengan pendar yang membuat keringat membuat perkumpulan di beberapa bagian wajah dan badanku. Permulaan siang yang cerah sekali. Kalau tahu akan panas begini, lebih baik aku di kampus saja tadi. Mendinginkan tubuh di perpustakaan misalnya sembari menunggu reda panas. Tapi, kutimbang-timbang lagi, bisa-bisa malah makin panas. Belum lagi sedang puasa. Panas ini bisa membuatku haus saat berpuasa begini.
Kuhidupkan
kipas angin dan bertengger di depannya. Bukannya meredakan dingin malah semakin
panas. Hu.. hawa angin juga panas. Jadi, sama saja jika aku berkipas-kipas
angin ria. Kapan coba aku bisa memiliki kamar kos dengan fasilitas AC? Hu.
Kenapa jadi membuatku sangat tidak nyaman begini.
Aku
memutuskan keluar dari kamar, menuju dapur ibu kos. Di sana, ramai para
penghuni kos dan ibu kos sendiri. Ketika aku turun, mereka sedang membantu ibu
kos membuat kue hari raya. Nasib malangnya beberapa dari penghuni kos, kami belum
bisa pulang ke kampung halaman. Beberapa karena pekerjaan dan beberapa karena mahasiswa
tingkat akhir; aku misalnya. Padahal sudah sangat rindu masakan ibu dan
pastinya juga rindu semua keluarga di rumah. Rindu juga bertemu teman-teman
sekolah.
Aku
tidak tertarik untuk ikut membantu membuat kue. Aku jadinya hanya memperhatikan
mereka saja. Saat asyik memperhatikan mereka membikin adonan, aku tiba-tiba
mendengar bunyi “Krek.. krek..” dari kamar mandi. Aku tertarik untuk bangkit. Mungkin
ada sesuatu yang lebih baik di sana. Yah, benar saja. Ada bu Li di sana. Bu Li
sedang mencuci seperti biasanya.
“Eh,
ada Mbak Ki. Sudah pulang kuliah, Mbak?” Sapa bu Li padaku, yang sekarang
sedang membilas pakaian. “Iya, Bu Li. Sudah.” Jawabku bersama senyuman. Aku
selalu senang jika bu Li ke sini. Kerja kerasnya mengingatkanku pada ibu. Usianya
sekitar 45 tahun. Orangnya ramah sekali. Selain itu, yang paling aku suka, bu
Li senang bercerita. Kalian tahu? Ceritanya bukan tentang aib orang lain. Tapi,
selalu tentang kebaikan orang lain. Yang lucunya, kami pernah berdebat tentang
aib dan kebaikan tetangga sebelah.
Jadi,
waktu itu, aku dan para penghuni kos yang lain sedang ngobrol dan ngemil di meja makan ibu kos. Menghabiskan cemilan ibu
kos lebih tepatnya. Dan pastinya, sudah diizinkan untuk menghabiskan
cemilannya. Baiklah, balik ke topik utama. Kami bersemangat sekali menceritakan
betapa soknya tetangga sebelah rumah ibu kos kami. Yang apa-apa senang
memamerkan barang-barang mewahnya. Lalu, menceritakan anak-anaknya yang bisa
kuliah di luar negeri. Dan masih banyak lagi segudang hal yang bisa dipamerkan
oleh tetangga kami itu. Bahkan, hanya karena saudaranya bersaudara dengan
pejabat top pemerintah, sudah sangat dibangga-banggakannya. Padahal, itukan
masih saudara saudaranya. Bukan saudaranya sendiri. Dan ibu kos dengan baiknya
mau saja setia menyiapkan telinga untuk
mendengarkan segala cerita tetangga tukang pamer itu. Sedang kami selalu pergi
dan ber-eeewwwhh.
Ternyata,
dari kamar mandi, bu Li menyimak apa yang kami bicarakan. Saat bu Li sudah
selesai mencuci. Bu Li menghampiri kami sambil menenteng ember jemuran dan
langsung nyeletuk, “Tapi, Mbak. Bu Ris
itu baik kali lho, Mbak. Saya pernah ngutang beberapa kali. Eh, sama bu Ris
katanya nggak usah dikembaliin. Terus
sering nganter makanan ke rumah saya,
Mbak. Buat anak-anak. Baju-baju bekas anak-anaknya yang masih cantik-cantik pun
dikasih sama anak-anak saya. Baik kali,
Mbak.”
Lalu,
Kak Din membantah argumen yang diberikan bu Li. “Huh.. Apanya yang baik, Bu Li.
Suka pamer gitu.”
“Mungkin,
itu untuk memotivasi saja, Mbak niatnya bu Ris. Saya aja kalau dengar bu Ris cerita jadi makin semangat kerja buat
anak-anak. Saya jadi ingin anak saya dapat beasiswa juga. Apalagi kalau bisa ke
luar negeri juga kayak anak-anak bu Ris. Wah, bisa jingkrang-jingkrang saya,
Mbak.” Kata bu Li sambil tertawa.
“Bu
Li mah, nggak bisa diajak ngegosip.”
Balas kak Din lagi.
“Hehe..
Mending bantuin Bu Li ngejemur pakain
nih, Mbak. Dapat pahala. Daripada ngegosip malah ngilangin pahala hehe..”
Kami
pun turun dari kursi; membantu bu Li. Mengangkat ember jemuran ke halaman
belakang rumah lalu bersama-sama tertawa berbarengan mendenger lelucon bu Li. Bu
Li memang hanya tukang cuci. Tapi, kami menghormati bu Li layaknya ibu sendiri.
***
Aku
melipat mukenah, baru saja selesai tarawih sendiri di kamar kosku. Aku sibuk
memikirkan sesuatu. Mengenang-ngenang dengan anggukan percakapanku dengan bu Li
siang tadi. Ah, aku malu sendiri rasanya mengingatnya. Jika dibandingkan, bu Li
bahkan tidak tamat SMP. Sedang aku, mahasiswi yang terkenal dengan
kepandaiannya di universitas paling top di kota ini pula. Namun, pemahaman
hidupku masih jauh di bawah bu Li yang ijazah SMP saja tidak ada di laci meja
rumahnya.
Bu
Li yang selalu riang, ramah, baik pada siapa saja, meski lelah atau sakit pun bukan
alasan untuknya berhenti bekerja dan yang pasti bu Li tidak pernah kulihat
mengeluh. Padahal hidupnya serba terbatas. Bu Li rela belasan tahun tak
memiliki baju baru demi sekolah anak-anaknya. Bu Li rela makan hanya dengan
garam demi tercukupi gizi anak-anaknya. Bu Li bahkan tidak pernah menceritakan
kejelekan orang lain. Selalu saja mengingat kebaikannya. Selalu membantah
dengan bijaksana jika kami asyik menggosipi siapa saja. Karena kata bu Li, “Maaf
ya, Mbak-mbak yang cantik-cantik. Bu Li bukan sok pintar lho ya. Aduh
kalau ditanya pintar, Bu Li nih jauh
di bawah. Tapi, Bu Li pernah dengar ceramah pak ustad. Kata pak ustad, kalau
ada gosipin orang, yang dengar juga
dapat dosa. Walaupun nggak ikut ngegosipnya. Dan kata pak ustad lagi,
kalau gosipin orang kayak.. kayak apa ya... aduh lali Bu Li-nya, Mbak-mbak.”
“Kayak
makan bangkai saudaranya sendiri, Bu Li.” Tiba-tiba ibu kos datang dan
menyambungkan perkataan bu Li. “Ha, iya. Ibu benar.” Sambut bu Li semangat.
Semenjak itu, saat
ada bu Li, para penghuni kos merasa segan untuk bergosip kembali. Dan jika
sedang tidak ada bu Li, yang taubat akan
memilih masuk ke kamar jika acara gosip
di meja makan ibu kos dimulai; aku salah satunya.
“Hidup
ini sebenarnya indah, Mbak. Namun, hanya orang-orang yang bersyukur yang bisa
merasakan indahnya. Kalau ngeluh terus,
indahnya pergi, Mbak. Ganti nama dia, Mbak. Jadi “gak indah” hehe.. Kalau kita ngelihat ke atas terus, aduh, Mbak, nggak selesai-selesai. Yang sudah punya
sepeda motor, mau punya mobil, yang sudah punya mobil mau tambah mobil. Yang
sudah punya banyak mobil duh pusing Bu Li, Mbak melanjutkannya. Anak-anak bisa
sekolah dengan baik saja, Mbak, Bu Li sudah senang kali, Mbak. Masih banyak lho,
Mbak orang-orang lain bahkan makan sehari aja
belum tentu.”
“Tapi,
Mbak. Kalau kata pak ustad, kalau soal dunia, lihat ke bawah. Tapi, kalau soal
akhirat baru lihat ke atas. Nah, kita bisa lihat ibu kos, Mbak. Ibu kos itu
salah satu wanita sholehah, Mbak. Mbak Ki juga wanita idaman. Berkerudung, pandai,
berprestasi, wih.. cantik lagi. Mandiri pula. Pasti banyak yang mau jadi
suaminya.”
“Mbak
Ki, jangan sedih lagi ya. Insya Allah dapat banyak pahala. Menuntut ilmu kan perintah
Allah. Kalau Mbak Ki rindu sama keluarga, main aja ke rumahnya Bu Li. Anak-anak pada nanyain lho, Mbak.
Katanya mau diajari bahasa Inggris lagi.”
Ah,
Bu Li. Bu Li benar. Nasihat-nasihat bu Li terasa sejuk di gersangnya rasa
syukurku. Terasa menyegarkan di sedihnya sukmaku karena terhambat pulang ke
kampung halaman. “Ibu kos, Bu Li dan Mbak-mbak di sinikan sudah menjadi
keluarga besar yang baru untuk Mbak Ki.” Ya, bu Li benar sekali. Bu Li, aku
ingin sekali memelukmu saat ini.
***
(Penulis adalah mahasiswi Bahasa dan
Sastra Indonesia FKIP UMSU)
Terbit di Harian Waspada, 31 Juli 2016
No comments:
Post a Comment