Sunday, July 31, 2016

Bu Li Tukang Cuci

Karya : Aisyah Haura Dika Alsa

             Mentari pukul sebelas siang ini menggelayut dengan pendar yang membuat keringat membuat perkumpulan di beberapa bagian wajah dan badanku. Permulaan siang yang cerah sekali. Kalau tahu akan panas begini, lebih baik aku di kampus saja tadi. Mendinginkan tubuh di perpustakaan misalnya sembari menunggu reda panas. Tapi, kutimbang-timbang lagi, bisa-bisa malah makin panas. Belum lagi sedang puasa. Panas ini bisa membuatku haus saat berpuasa begini.
            Kuhidupkan kipas angin dan bertengger di depannya. Bukannya meredakan dingin malah semakin panas. Hu.. hawa angin juga panas. Jadi, sama saja jika aku berkipas-kipas angin ria. Kapan coba aku bisa memiliki kamar kos dengan fasilitas AC? Hu. Kenapa jadi membuatku sangat tidak nyaman begini.
            Aku memutuskan keluar dari kamar, menuju dapur ibu kos. Di sana, ramai para penghuni kos dan ibu kos sendiri. Ketika aku turun, mereka sedang membantu ibu kos membuat kue hari raya. Nasib malangnya beberapa dari penghuni kos, kami belum bisa pulang ke kampung halaman. Beberapa karena pekerjaan dan beberapa karena mahasiswa tingkat akhir; aku misalnya. Padahal sudah sangat rindu masakan ibu dan pastinya juga rindu semua keluarga di rumah. Rindu juga bertemu teman-teman sekolah.
            Aku tidak tertarik untuk ikut membantu membuat kue. Aku jadinya hanya memperhatikan mereka saja. Saat asyik memperhatikan mereka membikin adonan, aku tiba-tiba mendengar bunyi “Krek.. krek..” dari kamar mandi. Aku tertarik untuk bangkit. Mungkin ada sesuatu yang lebih baik di sana. Yah, benar saja. Ada bu Li di sana. Bu Li sedang mencuci seperti biasanya.
            “Eh, ada Mbak Ki. Sudah pulang kuliah, Mbak?” Sapa bu Li padaku, yang sekarang sedang membilas pakaian. “Iya, Bu Li. Sudah.” Jawabku bersama senyuman. Aku selalu senang jika bu Li ke sini. Kerja kerasnya mengingatkanku pada ibu. Usianya sekitar 45 tahun. Orangnya ramah sekali. Selain itu, yang paling aku suka, bu Li senang bercerita. Kalian tahu? Ceritanya bukan tentang aib orang lain. Tapi, selalu tentang kebaikan orang lain. Yang lucunya, kami pernah berdebat tentang aib dan kebaikan tetangga sebelah.
            Jadi, waktu itu, aku dan para penghuni kos yang lain sedang ngobrol dan ngemil di meja makan ibu kos. Menghabiskan cemilan ibu kos lebih tepatnya. Dan pastinya, sudah diizinkan untuk menghabiskan cemilannya. Baiklah, balik ke topik utama. Kami bersemangat sekali menceritakan betapa soknya tetangga sebelah rumah ibu kos kami. Yang apa-apa senang memamerkan barang-barang mewahnya. Lalu, menceritakan anak-anaknya yang bisa kuliah di luar negeri. Dan masih banyak lagi segudang hal yang bisa dipamerkan oleh tetangga kami itu. Bahkan, hanya karena saudaranya bersaudara dengan pejabat top pemerintah, sudah sangat dibangga-banggakannya. Padahal, itukan masih saudara saudaranya. Bukan saudaranya sendiri. Dan ibu kos dengan baiknya mau saja  setia menyiapkan telinga untuk mendengarkan segala cerita tetangga tukang pamer itu. Sedang kami selalu pergi dan ber-eeewwwhh.
            Ternyata, dari kamar mandi, bu Li menyimak apa yang kami bicarakan. Saat bu Li sudah selesai mencuci. Bu Li menghampiri kami sambil menenteng ember jemuran dan langsung nyeletuk, “Tapi, Mbak. Bu Ris itu baik kali lho, Mbak. Saya pernah ngutang beberapa kali. Eh, sama bu Ris katanya nggak usah dikembaliin. Terus sering nganter makanan ke rumah saya, Mbak. Buat anak-anak. Baju-baju bekas anak-anaknya yang masih cantik-cantik pun dikasih sama anak-anak saya. Baik kali, Mbak.”
            Lalu, Kak Din membantah argumen yang diberikan bu Li. “Huh.. Apanya yang baik, Bu Li. Suka pamer gitu.”
            “Mungkin, itu untuk memotivasi saja, Mbak niatnya bu Ris. Saya aja kalau dengar bu Ris cerita jadi makin semangat kerja buat anak-anak. Saya jadi ingin anak saya dapat beasiswa juga. Apalagi kalau bisa ke luar negeri juga kayak anak-anak bu Ris. Wah, bisa jingkrang-jingkrang saya, Mbak.” Kata bu Li sambil tertawa.
            “Bu Li mah, nggak bisa diajak ngegosip.” Balas kak Din lagi.
            “Hehe.. Mending bantuin Bu Li ngejemur pakain nih, Mbak. Dapat pahala. Daripada ngegosip malah ngilangin pahala hehe..”
            Kami pun turun dari kursi; membantu bu Li. Mengangkat ember jemuran ke halaman belakang rumah lalu bersama-sama tertawa berbarengan mendenger lelucon bu Li. Bu Li memang hanya tukang cuci. Tapi, kami menghormati bu Li layaknya ibu sendiri.
***
            Aku melipat mukenah, baru saja selesai tarawih sendiri di kamar kosku. Aku sibuk memikirkan sesuatu. Mengenang-ngenang dengan anggukan percakapanku dengan bu Li siang tadi. Ah, aku malu sendiri rasanya mengingatnya. Jika dibandingkan, bu Li bahkan tidak tamat SMP. Sedang aku, mahasiswi yang terkenal dengan kepandaiannya di universitas paling top di kota ini pula. Namun, pemahaman hidupku masih jauh di bawah bu Li yang ijazah SMP saja tidak ada di laci meja rumahnya.
            Bu Li yang selalu riang, ramah, baik pada siapa saja, meski lelah atau sakit pun bukan alasan untuknya berhenti bekerja dan yang pasti bu Li tidak pernah kulihat mengeluh. Padahal hidupnya serba terbatas. Bu Li rela belasan tahun tak memiliki baju baru demi sekolah anak-anaknya. Bu Li rela makan hanya dengan garam demi tercukupi gizi anak-anaknya. Bu Li bahkan tidak pernah menceritakan kejelekan orang lain. Selalu saja mengingat kebaikannya. Selalu membantah dengan bijaksana jika kami asyik menggosipi siapa saja. Karena kata bu Li, “Maaf ya, Mbak-mbak yang cantik-cantik. Bu Li bukan sok pintar lho ya. Aduh kalau ditanya pintar, Bu Li nih jauh di bawah. Tapi, Bu Li pernah dengar ceramah pak ustad. Kata pak ustad, kalau ada gosipin orang, yang dengar juga dapat dosa. Walaupun nggak ikut ngegosipnya. Dan kata pak ustad lagi, kalau gosipin orang kayak.. kayak apa ya... aduh lali Bu Li-nya, Mbak-mbak.”
            “Kayak makan bangkai saudaranya sendiri, Bu Li.” Tiba-tiba ibu kos datang dan menyambungkan perkataan bu Li. “Ha, iya. Ibu benar.” Sambut bu Li semangat.
Semenjak itu, saat ada bu Li, para penghuni kos merasa segan untuk bergosip kembali. Dan jika sedang tidak ada bu Li, yang taubat akan memilih masuk ke kamar jika acara gosip di meja makan ibu kos dimulai; aku salah satunya.
            “Hidup ini sebenarnya indah, Mbak. Namun, hanya orang-orang yang bersyukur yang bisa merasakan indahnya. Kalau ngeluh terus, indahnya pergi, Mbak. Ganti nama dia, Mbak. Jadi “gak indah” hehe.. Kalau kita ngelihat ke atas terus, aduh, Mbak, nggak selesai-selesai. Yang sudah punya sepeda motor, mau punya mobil, yang sudah punya mobil mau tambah mobil. Yang sudah punya banyak mobil duh pusing Bu Li, Mbak melanjutkannya. Anak-anak bisa sekolah dengan baik saja, Mbak, Bu Li sudah senang kali, Mbak. Masih banyak lho, Mbak orang-orang lain bahkan makan sehari aja belum tentu.”
            “Tapi, Mbak. Kalau kata pak ustad, kalau soal dunia, lihat ke bawah. Tapi, kalau soal akhirat baru lihat ke atas. Nah, kita bisa lihat ibu kos, Mbak. Ibu kos itu salah satu wanita sholehah, Mbak. Mbak Ki juga wanita idaman. Berkerudung, pandai, berprestasi, wih.. cantik lagi. Mandiri pula. Pasti banyak yang mau jadi suaminya.”
            “Mbak Ki, jangan sedih lagi ya. Insya Allah dapat banyak pahala. Menuntut ilmu kan perintah Allah. Kalau Mbak Ki rindu sama keluarga, main aja ke rumahnya Bu Li. Anak-anak pada nanyain lho, Mbak. Katanya mau diajari bahasa Inggris lagi.”
            Ah, Bu Li. Bu Li benar. Nasihat-nasihat bu Li terasa sejuk di gersangnya rasa syukurku. Terasa menyegarkan di sedihnya sukmaku karena terhambat pulang ke kampung halaman. “Ibu kos, Bu Li dan Mbak-mbak di sinikan sudah menjadi keluarga besar yang baru untuk Mbak Ki.” Ya, bu Li benar sekali. Bu Li, aku ingin sekali memelukmu saat ini.
***
(Penulis adalah mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
Terbit di Harian Waspada, 31 Juli 2016 

No comments:

Post a Comment