Saturday, June 25, 2016

Kisah Ri, Anak Tukang Cuci

Karya : Aisyah Haura Dika Alsa

        
          Namanya, Ri. Anak laki-laki ibu paling tampan, paling rajin, paling baik, dan paling-paling lainnya. Begitu selalu kata ibunya. Ibunya tidak hanya membual, pada kenyataannya, Ri, memang seperti itu. Meski anak laki-laki, Ri tak mau manja pada pekerjaan-pekerjaan rumah. Abangnya, Rul pun sama. Sama-sama mengerti tanggung jawab. Padahal, ibunya, ijazah SMP saja tidak punya di laci meja rumahnya. Tapi, mendidik anak-anaknya, tidak bisa diragukan kepandaiannya. Pengalaman dan kisah-kisah dari orang lainlah tempat belajarnya. Ibu Ri tak sempat membaca, karena pekerjaan mencucinya dari pukul 7 sampai pukul 7 lagi. Belum lagi, harus mengawasi anak-anaknya di rumah saat malam, memastikan anak-anaknya belajar sungguh-sungguh dan bukan menonton tv dengan syahdu. Namun, Ibu Ri rajin hadir ke pengajian dekat rumah, senang menyimak kisah-kisah baik dan sukses orang lain. Dan yang menurutnya baik maka diterapkannya untuk mendidik anak-anaknya.
       
        Ri, saat ini, usianya lima belas tahun. Tingkat pertama di putih abu-abu. Ri memang hanya anak tukang cuci. Ayah dan ibunya bercerai saat Ri berusia dua tahun. Dari Ri berusia tiga tahun sampai kini, ayahnya tak pernah menampakkan wajah lagi. Kabar burung, ayahnya merantau sebagai kuli ke negara tetangga lalu menikah lagi masih dengan orang Indonesia. Setelah itu, kabar apapun tidak ada lagi hinggap di rumah sederhana Ri. Mengingat kisah ayahnya, Ri hanya bisa terdiam. Dia bahkan tidak tahu, nyawa ayahnya masih ada atau sudah melayang. Kata ibunya, ibunya sudah berusaha keras mencari siang malam.          
         Ri, memang hanya anak tukang cuci. Tapi, siapa yang boleh melarang jika anak tukang cuci maju pesat kepandaiannya di sekolahnya. Ri bolak-balik memenangkan lomba pidato bahasa Inggris, menjadi perwakilan sekolahnya untuk tingkat nasional lomba debat bahasa Inggris dan juga tak kalah kepandainnya mengaji serta suara merdunya semakin membuatnya memesona. Dalam hidupnya, Ri percaya, bahwa pendidikan, kerja keras, dan patuh pada perintah Tuhan adalah gudang kerja yang akan membawanya bahagia dunia pun akhirat. 
          Siapa bilang Ri tidak pernah iri dengan teman-temannya. Di saat teman-temannya, pulang sekolah bisa asyik nongkrong di kafe-kafe oke, atau hanya sekadar jalan-jalan dengan sepeda motor ataupun mobil mewah. Ri harus pulang mengerjakan pekerjaan rumah yang sudah dibagi ibunya untuknya dan untuk Rul, abangnya. Ri, memang anak laki-laki. Tapi, menyapu dan mengepel lantai, mencuci baju, menyetrika, mencuci piring sudah jadi makanan Ri sehari-hari. Bahkan Ri mencoba-coba membuatkan meja dan kursi ataupun lemari sederhana dengan kayu yang dipungutnya dari toko kayu sebelah rumahnya. 
          Tapi, Ri tidak pernah iri berlarut-larut. Ri memang selalu menceritakan apapun pada ibunya. Jadi, Ri selalu punya obat atas segala sedih yang dia dapat. Ibunya selalu membesarkan hatinya. Bahwa hidup, bahagia atau tidaknya, bukan orang lain yang menentukan. Tapi, diri sendiri. Ibunya bilang, “Adek harus belajar bahagia dengan bahagia yang sesungguhnya. Karena, di mata Allah, Adek insya Allah lebih mulia dibanding teman-teman Adek yang hanya duduk-duduk santai di kafe-kafe oke jika Adek ikhlas membantu Ibu. Adek boleh pilih, nampak mulia di hadapan manusia atau nampak mulia di hadapan Allah yang menciptakan manusia.”
          Kalian tahu? Ibu Ri punya cara sendiri membuat hiburan untuk Ri dan abangnya, Rul. Salah satunya dengan lelucon ibunya dan hal-hal yang lain adalah ibu mereka sering memberikan hadiah-hadiah kecil pada anak-anaknya, memberikan pujian, mengucapkan terima kasih setiap hari, mengecup kening mereka sambil mengungkap sayang dan kasih, bahkan di usia anak-anaknya yang semakin beranjak besar, Ibu Ri masih menghantar mereka tidur dengan kisah-kisah dan motivasi-motivasi orang-orang hebat, yang didengar ibunya dari kisah tetangga-tetangga yang sukses atau kisah-kisah saat di pengajian.  
***

          Sebelum ashar ini, Ri pergi ke masjid. Kalian tahu? Salah satu didikan ibu mereka adalah, sholat lima waktu di masjid. Ibu mereka selalu mengulang-ngulang, anak laki-laki wajib solat 5 waktunya di masjid. Sekalipun, dia harus merangkak pergi ke masjid. Jadi, melihat wajah Ri dan Rul, abangnya sudah hal yang rutin di sana. Dan kalian tahu? Ri sudah diangkat menjadi salah satu muazin tetap di masjid dekat rumahnya. Bayangkan saja, suara merdu Ri setiap subuh membangunkan tidur para manusia. Suara azan Ri, setiap magrib dan isya menyegarkan kembali pikiran-pikiran siapa saja yang siang tadi telah diperas mencari nafkah. 
          Sebenarnya, ada satu hal yang paling membikin hati Ri bisa sedih berkepanjangan. Yang bisa saja membuatnya nyaris putus asa. Yang membuatnya pernah dan masih bertanya-tanya, mengapa dia tak pernah merasa kasih sayang dari seorang ayah. Pasti rasanya indah jika ada ayah. Pasti rasanya menenangkan jika punya ayah. Seperti yang biasa Ri lihat di sekitarnya. Tapi, kenapa Tuhan tak pernah mengizinkan Ri untuk bisa merasakannya. Ah, Ri ingin sekali.. Ingin sekali.. Meski hanya satu kali.. Tapi, meski begitu, dalam hatinya. Ri tak pernah mau mengizinkan ibunya menikah lagi. Meski memang, ibunya tak pernah sama sekali membicangkan tentang ayah tiri. Dimana ayah, dimana.. Begitu tanya Ri saban hari. Apakah sedikit saja markah tidak ada? Sedikit saja, Tuhan.. Sedikit saja. Begitu ingin Ri setiap hari. 
          Saat di masjid tadi, melihat Ga, teman karibnya bersama ayahnya naik sepeda motor bersama ke masjid membuat hati Ri tiba-tiba sesak. Bahkan dalam solatnya, Ri menangis. Lalu, pelan-pelan agar tidak ketahuan karena malu, Ri mengusap air matanya. Tidak seperti biasanya, Ri izin pulang lebih awal. Begitu membuka pintu langsung masuk ke kamarnya. Hanya Ri sendiri di rumah. Abangnya, Rul belum pulang kerja. Ibunya sebentar lagi akan pulang. Ri menangis sendirian di kamarnya. Hal kecil barusan membuat lukanya kembali nganga. Padahal, setiap bulan Ramadan, Ga dan ayahnya memang selalu berboncengan ke masjid. Karena, rumah Ga lebih dekat ke masjid jika naik sepeda motor. 
          Saat ibunya pulang, Ri pura-pura tidur. Ibunya kemudian masuk ke kamar. “Lho, anak lanang kok tidur. Pantang tidur sore-sore! Bangun, Dek. Itu sarungnya juga belum diganti.” Ri memang bangun tapi wajahnya kusut. Ibunya mulai curiga, hanya saja, ibunya memilih mendiamkan dulu. Karena, ibunya harus bergegas menyiapkan buka puasa. “Yok, Dek. Bantu ibu dulu nyiapin buka puasa.” 
          Seperti biasa, Ri, ibunya, dan abangnya, Rul berbuka puasa bersama. Ri dan Rul memang tidak pernah mau buka puasa di luar atau di masjid. Karena, tidak ada yang menemani ibu mereka buka puasa di rumah. Lalu, setelah menenggak secangkir teh manis dan beberapa kue, Ri dan abangnya bergegas ke masjid. Tapi, kali ini tidak. Ri lebih memilih berdiam saat Rul mengajaknya bergegas ke masjid. “Ayo, Dek. Bergegas. Nanti ketinggalan. Nggak dapat saf depan. Rugi tho, Dek.” Perintah Rul, abangnya. Ri tidak mendengarkan. Ri lebih memilih masuk kamar. Meninggalkan abangnya begitu saja, membuat abangnya menggaruk kepala yang tidak gatal. “Yasudah, Mas saja yang pergi.” Ibunya menengahi. 
          Ibunya pergi mengambil wudhu. Bergegas sholat magrib. Biasanya, ibunya langsung makan nasi, tapi kali ini tidak. Anak bungsunya sedang merajuk di kamarnya. Ah, ibu yang tidak tamat SMP. Tapi, mengerti mana yang harus lebih dulu dikerjakan. 

       Di dalam kamar Ri –dan juga Rul–, ibunya sudah mendengar isak anak bungsunya. Dibanding Rul, Ri memang lebih sensitif. Apalagi mengenai ayah begini. “Nggak takut tho, Dek dimurka Allah nggak jamaah di masjid. Adekkan nggak ada halangan untuk ke masjid. Adek kenapa? Ayo cerita pada Ibu.” Ri hanya menjawab hanya dengan isakan. 
          Ibunya sudah tahu, hanya satu hal yang membuat anak laki-lakinya sampai menangis seperti ini. Masalah apapun, Ri tahan tak menangis. Tapi, kalau masalah yang satu ini. Ri tak kuasa menahan. Lalu, ibunya mengelus lembut kepala Ri “Dek, Adek memang nggak ada ayah. Tapi, coba lihat Mas Rul. Mas Rul bahkan lebih-lebih dari ayah. Siapa yang setiap hari mengantar Adek ke sekolah bahkan menjemput Adek meski hanya dengan sepeda. Siapa yang hampir setiap malam menemani belajar, menemani mengerjakan tugas, rela begadang untuk mendengarkan Adek latihan pidato. Siapa yang rela bekerja saat liburan sekolah untuk bisa membelikan Adek baju dan sepatu lebaran baru. Padahal, yang kerja, baju dan sepatunya itu-itu saja. Siapa yang selalu menyempatkan waktu untuk menemani Adek mendaftar lomba, menyempatkan hadir untuk melihat Adek saat lomba. Siapa yang...........” Ibu Ri tidak kuat melanjutkan perkataannya. Kalimat ibunya membuat Ri tersentak.
          “Adek nggak boleh hanya melihat satu sisi saja. Lihatlah, dari sisi yang lain. Adek pahamkan?” Kalimat tambahan ibunya semakin membuatnya terisak. Tapi, isak kali ini sebab Ri menyesal karena sudah merajuk dan membuat ibunya menangis. 
          “Sekarang, Adek bergegas sholat magrib. Keburu waktunya habis. Setelah itu sholat taubat. Mohon ampun sama Allah karena magrib ini nggak jamaah di masjid.” Ri menghapus air matanya. Lalu, berdiri menuju kamar mandi. Sholat magrib dengan isak kembali dan kemudian dua rokaat sunnah meminta ampunan Sang Maha Kasih. Ibunya benar. Ri tidak boleh melihat kehidupannya hanya dengan satu sisi. Lihatlah, dari dia bayi sampai kini, siapa yang berjuang untuk hidupnya dan sekolahnya serta prestasinya, jika bukan ibunya. 12 tahun bukan waktu yang sebentar untuk berkeliling dari satu rumah ke rumah yang lain untuk bekerja sebagai tukang cuci. Ibunya benar, Ri memang tak punya ayah. Tapi, Ri punya ibu dan abang yang berharga melebihi harta, yang tidak akan dapat ditukarkan dengan apapun di dunia ini.
***
(Penulis adalah mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
Harian Mimbar Umum, 25 Juni 2016



Monday, March 21, 2016

Catatan Ini tidak Memiliki Judul #2

Hei.

Lagi. Kau. Kusapa.

Aku ingin kau berhenti menjadi puisi. Maka, sekian saja. Jariku permisi.







Sebab kau, begitu berarti, harusnya di taruh dalam hati dan...... di sini. Di sisiku, saat aku bangun lalu menemukan wajahmu yang tertidur, nyenyak. Nanti.


#Sebuah rindu dalam tekad.
#Dini hari menjelang fajar kemudian pagi.

Untukmu yang nanti akan menemani : )

Wednesday, March 9, 2016

Perempuan dan Wajah Musim Penghujannya


Tubuhnya meringkuk dalam gigil, menahankan angin dari hujan lebat yang menembus kisi-kisi jendela besar dan angin mengepak-ngepak tak sabaran kain jendela yang tepat di atas pembaringannya. Ia mengutuk dalam hati kebodohannya sendiri. Harusnya dipan yang dua minggu belakangan ini telah menampung tubuhnya, tidak diletakkannya tepat di bawah jendela yang penutupnya hanya kain yang gampang digoyang angin. Ah, ini akibat darinya yang begitu mencintai jendela. Sebab, dari sana ia bisa memandang pesona apa saja. Apalagi, saat ini, ia sedang liburan (sendiri) panjang dari penatnya berbagai hiruk-pikuk hidup.
Bangun tidur, maka ia bisa sesukanya menghirup bebas udara segar dari sawah di sebelah rumah, tepat di depan jendelanya. Menyaksikan dengan mudah bintang-bintang masih gentayang di langit-langit gulita. Bahkan purnama masih setiai, layaknya pasutri yang romantisnya tiada tutup waktu. Duh, pasutri, akhir-akhir ini, ia tengah sibuk membayangkan siapa ayah dari anak-anaknya kelak. Pusing dengan masalah hatinya sendiri. Sampai-sampai, larilah ia melepas sayat-sayat yang menyiksa kepala dan dadanya di sebuah desa yang jauh dari bising kota, rumah nenek dari ayahnya.
Dan ketika baru tiba, sibuklah ia menyusun kasur agar diletakkan tepat di bawah jendela. Dari kota, ia telah mengayun harap, bahwa indahnya senja tak boleh susah dinantikannya. Ya, apalagi kalau bukan dipandang dari balik jendela. Soal makhluk halus, pengakuannya yang tak takut, tak main-main diucapkannya. Ia kuat nyali. Ia percaya mereka ada, tapi ia tak mengganggu, jadi mereka juga tak boleh berani mengganggunya.
Hujan tak selesai-selesai, selain angin membawa gigil, juga membawa percak-percak air. Selama dua minggu di sini, baru inilah hujan melebat, biasa hanya gerimis dan ia malah menikmati hujan ringan itu dari balik jendela kecintaannya. Sambil menyenandungkan duka yang digenggamnya. Dan pelan, jatuhlah bulir yang turun dari matanya, beranak sungai di pipinya. Dan seketika, gerimis pindah ke wajahnya.
***
            Sarapan hangat sudah tersedia lengkap di atas meja, nasi goreng dan teh manis, teh manis jambu lebih tepatnya. Ia memang tak pernah suka teh yang terlalu manis. Setidaknya bisa mencocokkan dengan begitu banyaknya hal yang tak terlalu manis di hidupnya, begitu pikirnya. Dan tuan rumah tahu betul tabiatnya soal minuman khas yang satu ini.
            Nenek dan pamannya telah lebih dulu menjinakkan perut di meja makan. Ia hadir, sebagai perempuan kota yang benar-benar tak mengerti, perempuan dan tugas rumahnya. Sebab itulah, ia yang selalu hadir belakangan. Dua minggu ini, membiarkan dirinya bak putri sultanah, yang kerjanya, makan, tidur, buang air, ibadah, main gadget, dan melamun, serta berkencan dengan pacar barunya; jendela kamar neneknya, yang di hari biasa kosong, namun selalu rapi bersih dibenahi setiap hari oleh nenek atau pamannya, yang telah duda ditinggal mati istrinya tanpa anak. Dan mulailah ia, memirip-miripkan kisahnya dengan cerita pamannya. Sama-sama ditinggal pergi, yang satu ditinggal mati dan yang satu ditinggal.. Ah, sudahlah. Perih selalu pedih di sanubarinya sendiri mengingat hal itu. Meski memang, hal itu masih membara, apinya belum abu. Rasanya masih sama dengan ketika dia pertama kali mendapatkan kesakitan itu.
            Dan di rumah sederhana inilah ia mengadu. Bercerita pada jerjak-jerjak besi jendela kamarnya meski bungkam pada tuan rumah. Neneknya selalu berusaha mengerti, pun pamannya. Dan mereka paham, kini ia tengah muda. Hal yang membuatnya kabur dari kota pastilah karena seorang pemuda. Mudah saja ditebak tanpa harus bertanya apapun padanya. Kadang, neneknya menemaninya duduk di depan jendela sambil mengelus rambut legam panjangnya dan memberi beberapa petuah yang pelan-pelan bisa melegakan dadanya. Juga sesekali pamannya yang izin masuk, ikut duduk menyetiainya melamun tanpa kata-kata. Sama-sama menangis dalam hati, mengenang pergi seorang yang dicintai.
***
Enam minggu yang lalu,
            “Dia menolak, Wa.”
            “Apa?” Ia kaget, bertanya lirih dan perih.
            “Dia menolak, Wa.” Rere mengulang pernyatannya dengan lebih tegas namun lembut, sebab ia tahu, ia akan turut iba, melihat sahabatnya yang sedang menantinya di taman belakang gedung fakultas mereka dengan wajah penuh harapan-harapan. Dan untuk membuat harapan-harapan itu tetap hidup, Rere tak mungkin harus berbohong atas kenyataan yang baru didapatnya.  
            Salwa terdiam. Bola matanya melemah seketika tapi tidak dengan debar jantungnya yang meronta, mencipta sesak yang berjumlah banyak.
            “Apa alasannya?” tanya Salwa lirih dan tetap merunduk, menatap sepatu barunya, yang dua hari lalu dibelikan ayah dari luar negeri, tepatnya di negara favoritnya.
            Rere membuang napas, ikut merasa sesak. Sebab, jawaban dari pemuda itu tak hanya membikin luka di dada sahabatnya, Salwa. Namun, juga berhasil menampar telak sesuatu di jantungnya. Dan sambil iba melihat sahabatnya yang telah gerimis sebelum diceritakan jawabannya, ia pun menjelaskan; juga sambil berusaha tak ikut menangis.
***
            Siang hari itu, mata kuliah terakhir selesai. Hanya dua mata kuliah hari itu dan pukul 11 siang, dosen telah permisi keluar, meski masih ada sejam lagi waktu seharusnya. Salwa dan Rere saling pandang. Tadi, Salwa telat dan duduk di bangku paling belakang. Berkedip pada Rere yang duduk di depan, setelah itu, melangkah keluar, menuju belakang gedung fakultas mereka.
            Di dalam kelas, Rere akan bergerak, melaksanakan rencana yang sudah dimatangkan bersama dengan Salwa. Menunggu laki-laki itu melangkah ke luar kelas.
Satu detik.. Dua detik.. Sepuluh detik...
            Yap!
            “Fatih, bisa ngobrol sebentar?”
            Ngobrol?” Laki-laki itu mengerutkan keningnya, membuat ujung sepasang alis hitam tebalnya bertemu.
            “Eh, maksudnya ada yang mau aku sampaikan. Penting.” Jawab Rere lebih sopan, mengingat karena ia pun jarang sekali ngobrol dengan teman sekelasnya ini.
            “Berdua?” Laki-laki itu kini bertanya dengan wajah yang lebih memperlihatkan banyak tanda tanya dari sebelumnya.
            “Iya, Eh, maksudnya, iya. Berdua. Rahasia soalnya. Bisa kan?”
            Nggak bisa kalau cuma berdua. Bisa mengundang pandangan negatif dari yang melihat. Kalau memang penting, ajak aja temen perempuan lain.”
            “Tapi, Salwa udah pulang duluan.”
            “Ya kan, nggak harus Salwa. Itu, teman-teman perempuan yang nongkrong di belakang masih banyak.” Laki-laki itu menunjuk bagian belakang kelas mereka.
            “Eh iya.. Ririn! Bentar temenin.” Rere memalingkan wajah ke belakang. Sambil berkode gugup ala cewek. Ririn pun menyahut.
            “Ngobrol di sini aja, ya.” Pinta laki-laki itu menunjuk kelas bagian depan yang sudah benar-benar sepi. Rere pun mengangguk, padahal rencana mereka bukan di kelas tentu saja. Bahkan, Ririn sama sekali bukan bagian dari rencana. Tapi, apalah daya, seorang Fatih memang tidak pernah ditemukan ngobrol asyik berduaan dengan perempuan manapun di kampus ini.
            Obrolan basa-basi pun telah dikeluarkan. Dua menit kemudian,
            “Aku nggak bisa, Re.” Jawabnya datar. Diusahakan datar lebih tepatnya.
            “Kenapa?” Tanya Rere dengan wajah penuh tanda tanya, menggantikan wajah penuh tanya laki-laki itu tadi dan Ririn pun sama rupanya.
            “Ya, nggak bisa aja.” Kali ini suaranya lebih tegas, meski volumenya tetap sama.
            “Maaf, Tih. Aku butuh penjelasan. Karena kan aku hanya sebagai penghubung. Jadi, aku takut Salwa kecewa berat kalau aku ngasih jawaban tanpa penjelasan.”
Laki-laki itu membuang napas. Menurutnya, jawabannya barusan sudah lebih dari cukup. Sejujurnya, dia hanya tak ingin membuat Rere, terlebih Salwa lebih kecewa atas penjelasannya. Tapi, melihat wajah memelas Rere dan berharap dapat menjadi cambukan halus untuk yang mendengar penjelasannya, termasuk Ririn-bagian yang tidak direncanakan, lebih tepatnya Rere dan Salwa lupa menyiapkan bagian yang ini-.
            “Menikah itu butuh persiapan.. Dan aku pikir, Salwa belum mempersiapkannya.” Jawab laki-laki itu pendek.
            “Persiapan dalam bentuk apa ini, Tih? Finansial atau apa?”
            “Bukan, bukan soal finansial. Aku sendiri memang belum banyak gajinya. Tapi, bukan soal itu. Itu soal dunianya. Yang aku maksud ini, soal akhiratnya, agamanya. Di pandang dari luar, Salwa belum siap. Meski aku tidak tahu bagaimana hati dan keimanannya. Tapi, pakaian itu identitas, jati diri kita.. Maaf, aku tidak bermaksud merendahkan ya, Re. Tapi, tadi Rere meminta penjelasan...”
            “....Maaf, kerudung beliau masih pendek dan transparan, baju juga kadang belum menutup aurat penuh, dan masih pakai celana, yang ketat pula...”
            “Sekali lagi, maaf, Re. Aku tak bermaksud menyinggung. Pendamping yang aku cari, hanya memiliki satu syarat. Taat saja pada aturan main Tuhannya dengan begitu insya Allah, ia akan lebih mudah untuk taat pada suaminya. Aku ingin memastikan anak-anakku nanti dididik oleh orang yang tepat ketika aku tinggal mencari nafkah. Ibunya harus dapat menjadi madrasah pertama dan terbaik untuk anak-anakku kelak. Karena, menjadi orang tua itu tidak mudah, Re. Padahal, orang tuanya telah dikubur dalam tanah, tapi ketika anaknya berzina, orang tua yang lebih dulu dikenai siksa...”
            Rere dan Ririn takzim mendengar penjelasan laki-laki itu dan tanpa mereka sadari, bulu kuduk mereka merinding mendengar penuturan laki-laki itu.
            “...Aku tak bermaksud sombong menolaknya, sedikit banyak aku tahu perilakunya. Kalau dipikirkan, mungkin aku bisa membimbingnya setelah menikah. Tapi, apa kuasaku? Aku hanya manusia biasa, Re. Masih penuh dosa. Boleh jadi, bukan aku yang berhasil menariknya seperti keinginanku namun aku yang terseret kelalaian dan semacamnya. Setelah menikah, auratnya nanti tidak lagi menjadi tanggungan dosa ayahnya, tapi tanggunganku, Re. Jadi, dengan ketidakkuasaanku, dengan masih banyaknya kelalaianku, aku takut, Re. Maka dari itu, aku mempertahankan kekuatanku yang seadanya ini, untuk memilih perempuan yang sudah bisa menjaga auratnya, merawat sholatnya, merutinkan Al-Qur’annya, dan tak main-main dengan aturan dari Tuhannya...”
            “...Sampai sini dulu ya, Re.. Setengah jam lagi aku masuk kerja. Sampaikan maafku sedalam-dalamnya untuk Salwa dan bilang padanya, doaku agar beliau bersuami lelaki yang lebih baik daripada aku. Assalamu’alaykum..”
            Laki-laki itu berlalu, tidak peduli bahkan Rere dan Ririn tidak mengangguki pamitnya. Menyisakan Rere dan Ririn yang masih sulit percaya. Mereka pikir selama ini, perempuan seperti Salwa, tidak akan ada lelaki yang berani dan ingin menolaknya. Bahkan, mereka sulit sekali mendefinisikan bagaimana sempurnanya wajah Salwa, kepandaiannya, prestasi-pretasinya, kebaikan dan keramahannya pada teman-teman, selalu baik, tidak pernah membeda-bedakan berteman dengan siapa. Kalau tidak ingat, dia tidak bisa jauh dari orang tua, ayahnya sudah menaruhnya di perguruan tinggi paling ternama di dunia.
            Dan laki-laki itu, laki-laki sederhana, yang wajahnya bersinar, padahal tidak ada cahaya apapun yang dilemparkan ke mukanya. Laki-laki yang bisa kuliah pun karena beasiswa. Laki-laki yang biasa menenteng buku kemana-mana, dan laki-laki yang baru saja menjelaskan,  “...aku mempertahankan kekuatanku yang seadanya ini..”. Jelas sekali, dia sedang mempertahankan kekuatannya, yang hanya karena kerendahan hatinya, tersebutlah olehnya, “..yang seadanya ini....
Padahal, tentulah butuh kekuatan hati dan iman yang hebat untuk menolak seorang seperti Salwa dengan segala kelebihannya dan tentu dia menguatkan hati untuk tidak takut menolak anak perempuan dari lelaki berusia senja yang ramah setiap pagi menegurnya saat pagi berjalan menuju kampus. Karena laki-laki itu, setelah naik angkot harus berjalan beberapa ratus meter ke kampusnya, tentu saja alasannya adalah menghemat kantung sakunya. Kalau saja, bukan karena rasa malu yang hebat terhadap lawan jenis, dia akan senang hati menyambut tawaran tumpangan yang nyaman. Tersebab Salwa ada di dalam mobillah, ia harus selalu menolak halus dan beralasan, “Olahraga pagi, Pak Rektor.
Epilog
            Yang membuat ia lari dari kota bukan karena lamarannya ditolak laki-laki itu, yang diam-diam, telah ia tautkan namanya di jantungnya selama hampir tiga tahun ini. Namun, sebulan setelah lamarannya disampaikan, tersebarlah kabar gembira dari laki-laki itu. Tapi, tidak gembira untuknya. Laki-laki itu menikah dengan perempuan yang dia kenal sekali. Perempuan yang siapapun damai melihat wajahnya, hanya saja tersebab sehelai kain yang menutup wajahnya, tentu wajanya tidak dapat dilihat sembarang orang. Perempuan yang baru dua bulan ini dikenalnya, yang baik hati menolongnya saat ia tergopoh-gopoh membawa banyak bungkusan sendirian, padahal mereka belum saling kenal. Dan dari pertemuan itu, mulailah mereka merajut persahabatan.
            Perempuan bercadar itu pun mengundang, tapi sungguh dia tidak sanggup. Sekali pun, ayahnya telah lelah membujuk, bahwa saat pernikahan nanti dia tidak akan menemui atau bertemu dengan laki-laki itu. Karena, tamu undangan laki-laki dan perempuan wadahnya dipisah. Tapi, apalah dayanya. Biarlah, dia melupakan sejenak rasa yang ramai di dadanya dan kini entah bagai apa selalu menggema hampa.
            Dan terakhir, kabar yang (mungkin) lebih parah, Rere telah salah memilih teman duduk saat berbicara dengan laki-laki itu mengenai lamaran Salwa. Habislah nama Salwa menjadi bulan-bulanan gosip paling meriah, terlebih dia menghilang saat menuju hari pernikahan Fatih dan Ratih. Ah, Ririn keterlaluan, terlalu serius mengurusi urusan yang jelas-jelas bukan urusannya.
***

Monday, January 25, 2016

Catatan Ini tidak Memiliki Judul #1

Hei.

Bagaimana kabar gemintang dan rembulan yang saling bercengkrama sedang kau menjadi penikmat paling kentara?

Bagaimana gemulai senja kautunggui saat kau hanya bersama langkah sepasang kaki?

Apa kabarmu?

Pun kabar daun-daun yang gugur lalu tiba-tiba ia sudah hinggap di kertas sajak-sajakmu?

Atau kabar pagi dan sepiring sarapan nasi serta teh yang digulai?

Sudahkah kita memanggul rindu saat waktu mengurung wajah yang malu-malu?

Kini, kita hanya perlu berbenah serta menyiapkan wadah untuk menampung tawa pun buncah yang kita sebut sebagai rumah.

Tuesday, January 19, 2016

Untuk Putri Indah Lestari L. Tobing


Pasir Pantai Dekat Rumahmu

Kepadamu; Perempuan Sorkam
Aku tulis sajak-sajak ini
Saat rinduku padamu begitu nganga
Saat sepasang tanganku begitu ingin
menyangkutkan lengannya di tubuhmu

Kapan kita akan telanjang kaki
Bermesra bersama pasir-pasir putih
Saat mentari akan terbit atau terbenam kembali
Biar nanti, aku ingin meledekmu
sambil menaburkan pasir pantai ke tubuhmu
membuatmu kesal dan memelukku
(Terbit di Harian Analisa, 8 Februari 2017) 

Puisi ini, terus bersemayam saat apapun tentangmu begitu rusuh menyerbu jantungku. Dan aku, tak perlu selalu bilang, bahwa rinduku padamu telah jauh beribu.

Setelah tulisan ini kau baca, semoga kau percaya tentang rinduku yang tak bersuara. Beginilah sahabatmu yang bercita menjadi penulis, jika kau tahu, kau akan lelah sendiri membaca dirimu ada di banyak sajak-sajaknya.

Terima kasih ya, Bu.. Sebab sudah begitu baik dan sering memelukku meski saat itu, kau tak peduli malu, tak peduli bagaimana ramai orang melihatmu rusuh rindu padaku :p

Aku sayang kamu.

Dari perempuan yang saat ini sedang begitu ingin memelukmu.