Friday, September 8, 2017

Lelaki di Rumah Depan



Karya : Aisyah Haura Dika Alsa

Apakah di luar sana langit-langit sedang ditumpahi bintang-bintang? Ataukah malah awan hitam yang tengah membentang? Lalu, akan membuat kumpulan air yang akan menghujan? Aku sungguh tidak tahu bagaimana keadaan malam di luar sana dan aku juga tidak ingin mencari tahu.  
Semenjak beberapa bulan yang lalu, telah ada yang tinggal di rumah depan milik keluarga kami. Sepasang bersaudara. Adiknya kuliah dan abangnya bekerja. Mereka berasal dari sebuah kabupaten yang jika dari kota sini memakan waktu 12 jam perjalanan daratan. Dan hal itu, membuatku menjadi semakin jarang keluar rumah. Meski hanya untuk membeli panganan atau minuman ringan di kedai sebrang depan rumah kami –lebih tepatnya, di sebrang depan rumah kontrakan yang saat ini ditinggali sepasang bersaudara itu, sedang kami menempati rumah milik keluarga kami di belakangnya–
       Dan sejak mereka mengontrak di rumah depan, aku benar-benar tidak pernah lagi menyengajakan diri untuk sekadar duduk-duduk di kursi taman halaman depan rumah dengan lampu taman yang indah terang. Meski di sana, ada banyak saudara laki-lakiku, ayah, atau ibu atau kakak perempuanku yang senang menghabiskan sabtu malam  sambil berkumpul menceritakan luka atau gembira.  
Akulah sebenarnya yang paling suka duduk di sana memandangi langit-langit kesukaan; langit malam yang gulita yang makin tampak indah dengan pendar bulan dan bintang yang pelita. Semua keluargaku tahu itu. Dan semua juga bertanya-tanya, mengapa sekarang aku selalu menolak untuk duduk di sana, saudara-saudara kandungku sibuk dengan rasa penasarannya. Tapi, tetap saja tidak ada yang tahu. Dan aku membiarkan mereka dengan rasa penasarannya. Tidak biasanya aku merahasiakan sesuatu. Tapi, mau bagaimana lagi. Aku bahkan malu pada diriku sendiri dengan alasannya. Apalagi jika menyampaikan jawabannya dengan yang lain. 
Padahal seharusnya, aku tidak perlu malu. Harusnyakan aku bisa merasa atau bersikap biasa saja. Tapi, kejadian itu. Kejadian pertama kali pertemuan kami. Kejadian yang rasanya paling memalukan dalam hidupku. Benar-benar sangat memalukan.
Waktu itu, aku benar-benar merasa lelah. Dari pagi hingga siang banyak sekali yang harus kuselesaikan di kampus untuk sidang meja hijau dua hari ke depan. Ditambah mentari siang yang begitu menyengat dan aku benar-benar kelupaan membawa dompet, uang di tasku telah habis mengurus ini itu untuk sidang dan sisanya hanya pas untuk ongkos sekali naik angkutan. Sisanya, aku harus berjalan kaki 10 menit untuk sampai ke rumah. Sampai di rumah, aku tergeletak di sofa ruang tengah. Wajah putihku memerah karena kepanasan. Hanya aku sendirian yang di rumah. Itu sebabnya aku tidak bisa meminta jemput siapapun.
Dan tiba-tiba aku merasa benar-benar tidak suka dengan suara bel yang ditekan seseorang dari luar. Haaaayyy, siapa pula siang-siang begini yang bertamu. Pikirku jengkel waktu itu. Karena tidak ada orang di rumah maka akulah yang harus membuka pintu depan. Dengan sisa tenaga yang juga belum sempat makan siang, aku berjalan lemah membuka pintu. Aku bahkan lupa pesan ayah, “Anak-anakku, jika ada tamu di luar, intip dulu dari jendela setelah dipastikan bahwa orang yang datang adalah orang baik-baik maka buka pintunya. Kita bukan berpikiran buruk tapi berusaha waspada.” Jadi, tentu saja, aku main buka pintu langsung.
Setelah pintu kubuka, ada dua orang yang berdiri di sisi sebelah kiri. Hm, ternyata mereka mengerti untuk tidak berdiri di depan pintu saat menunggu tuan rumah membukakan pintu. Begitu pikirku waktu itu. Aku mengarahkan pandang ke sisi sebelah kiri. Ada seorang pemuda dan seorang perempuan di sana, sepertinya sepasang suami istri. Tapi... pemuda itu, ujung bawah kain celananya di atas mata kaki dan janggut dibiarkan tumbuh di dagunya sedang kumisnya tipis dan seorang perempuan yang kuduga istrinya, berpakaian dengan jilbab pendek tapi menutupi dada, kaus panjang dan rok serta memakai kaus kaki. Dari gaya berpakainnya, aku tidak lagi mengira mereka sepasang suami istri.
Tiba-tiba begitu saja, aku merasa kikuk.
“Assalamu’alaykum.. Maaf menganggu waktu istrirahat siangnya, Mbak. Saya ingin bertemu dengan bapak pemilik rumah ini. Saya yang ingin mengontrak rumah di depan, sudah janjian sama Bapak. Kata Bapak pukul 3 sore.” Pemuda itu berkata sopan.
Tapi, aku tersinggung dengan kalimatnya. Apakah wajahku tampak sebegitu lelahnya sampai-sampai dia bilang menganggu istirahat siang. Eh, sebentar! Wajahku?! Ya Allaah!
Aku lupa memakai cadarku!
***
Jika sudah melewati pintu rumah bagian depan, aku mewajibkan diriku untuk memakai cadar. Karena pagar rumah kami bukan pagar yang menjulang tinggi dan menyembunyikan bagian dalam rumah. Ayahku sama sekali tidak suka dengan pagar seperti itu. Ayah gemar bertetangga, merasa sangat perlu untuk akrab dengan tetangga, untuk itulah ayah membeli pagar yang tingginya sedang dan orang-orang di luar pagar rumah kami bisa melihat permukaan rumah kami. Permukaan rumah yang sekarang dikontraki lebih tepatnya dan halaman yang cukup luas yang ada di sampingnya. Dan rumah kami ada di belakangnya tertutupi rumah kontrakan. Rumah kontrakan itu memang terpisah dari rumah kami. Untuk itulah, meski sedang duduk-duduk di kursi taman halaman depan rumah, aku tetap memakai cadar, biasanya menggunakan cadar tali. Tapi, kejadian pertemuan pertama kali itu. Ah, aku benar-benar malu mengingatnya.
Aku memang mengikuti ulama yang berpendapat cadar itu sunnah setelah aku mencari tahu cukup detail dalil-dalil dan penjelasan dari ustad tentang cadar wajib atau cadar sunnah. Akalku lebih dominan mengikuti yang sunnah. Jadi, kejadian pertemuan pertama kali itu tidak kuanggap berdosa karena aku masih memakai pakaian lengkap yang menutup aurat karena memang aku belum berganti baju sepulang dari kampus. Karena, aku merasa sudah di dalam rumah jadi cadarku kulepas. Karena sangkin lelahnya jadi aku tidak dapat berpikir normal. Aih, bahkan dia bilang “Maaf mengganggu waktu istirahat siangnya, Mbak..” Mungkin, wajahku waktu itu memang menunjukkan betapa lelahnya aku.
Aku merasa itu kejadian yang sangat memalukan dan rasa maluku semakin bertambah karena dia bukan pemuda biasa. Ayahku begitu menyukai pemuda itu. Hingga seringlah namanya terdengar di telinga keluargaku –termasuk aku­– karena ayah sering menceritakan kesholihannya. Dan beberapa minggu kemudian, rasa maluku menambah lagi. Aku tidak sengaja melihatnya memarkirkan sepeda motornya saat aku juga sedang memarkirkan sepeda motor di tempat yang berbeda. Parkiran laki-laki dan perempuan dipisah. Dugaanku benar, kami satu pengajian!
***
Meski, saat keluargaku berkumpul di taman –yang berada tepat di samping rumah kontrakan– pemuda itu hanya sekali pernah ikut duduk bersama di sana bersama adik perempuannya –tentu saja, aku tidak ikut duduk di sana–. Kata ayah, “Mungkin dia merasa tidak enak. Takut menganggu acara keluarga. Padahal yahh, Ayah senang-senang saja kalau dia ikut kumpul bersama kita. Sepertinya, Ayah ingin menjadikannya mantu. Sama anak perempuan Ayah yang mana yah? Anak perempuan Ayah sepertinya tinggal satu yang belum menikah.” Goda ayah melirik-lirikku dengan senyum menggodanya. Tidak seperti biasanya, candaan ayah yang ini tidak dapat kubalas sama sekali. Aku benar-benar terdiam. Tidak tahu harus menjawab bagaimana atas godaan ayah. Wajah putihku tiba-tiba memerah. Sebelum yang lain ikut menggodaku, aku meninggalkan piring sarapanku segera, menyalam tangan ibu dan ayah dan pamit menuju kampus dengan jantungku yang berdetak lebih cepat dari biasanya.
(Penulis adalah alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
Terbit di Medan Pos, 30 Juli 2017

Monday, September 4, 2017

Ka Lambang Hati Fa



Karya : Aisyah Haura Dika Alsa
Fa

Hari itu, aku baru saja p­ulang dari kampus. Turun dari angkutan umum, bergegas lari mengejar rumahku yang tak bisa melarikan diri. Sepanjang gang, perutku sudah tidak sabar mem­bayangkan masakan ibu hari ini. Tadi di kampus, aku tidak sem­pat jajan apapun. Jadwal kuliah dan kegiatan di komunitas begitu padat, membuatku harus pulang pukul tiga sore. Kupikir, daripa­da jajan atau makan di luarlebih baik langsung pulang saja. Aku ingat tadi pagi ibu berpesan, ibu akan masak udang sambal kesu­kaanku. Sepanjang perjalanan, aku hanya bisa menahan air liur.

Setiba di rumah, aku berge­gas ke dapur. Membuka lemari makan, mengambil piring dan men­cium sedapnya aroma udang sambal, ditambah lagi dengan sayur bening. Air liurku ma­kin tak tertahankan. Tak lupa air hangat kesukaanku seperti bi­asa. Ah, iya, aku akan merasa mual jika minum air biasa. En­tahlah, aku juga tidak tahu meng­apa bisa begitu. Sebaiknya, aku bergegas makan daripada me­mi­kirkan hal lain. Perutku sudah begitu baik sebab sudah mau to­leransi terhadap jadwalku yang penuh.
Hm... Ini enak sekali. Setelah kurasa perutku sudah membaik, aku mencari ibu ke kamarnya. Untuk mengucapkan terima ka­sih karena selalu bisa menghi­dang makanan lezat dan bergizi. Membuatku akan merasa sa­yang jika makan di luar rumah. Ah, ibu. Kenapa tidak membuka rumah makan saja. Masakan ibu benar-benar enak sekali.

“Ibu... Assalamu’alaykum.. Tok.. Tok.. Tok..” Aku menge­tuk pintu kamar ibu sambil juga mengeluarkan bunyi tok-tok dari mulutku sendiri.

“Ibu...., Fa boleh masuk, nggak? Ibu lagi bobo siang ya?”

“Ibu... Lagi ngapain sih? Fa kangen sama Ibu nihhhh. Tahu nggak, entah kenapa tadi di kampus, Fa memikirkan ibu te­rus. Fa berpikir, Ibu sedang apa ya di kantor. Ibu nggak capek apa ya, habis pulang ngantor lang­sung masak. Huh.. Fa saja rasanya lelah sekali.” Kataku mencoba menggoda ibu.
Kalau tidak ada sahutan be­gini, pasti ibu mengerjaiku. Aku masuk saja dan ternyata pintu­nya tidak dikunci. Aku langsung rebahan di kasur ibu. Bajuku bahkan belum diganti. Aku bangkit dari kasur, ternyata ibu tidak ada di kamarnya. Mungkin ibu ada di ruang sholat. Biasa­nya, kan ibu memang lebih se­ring di ruang sholat ketimbang di kamarnya sendiri.

Nah kan, benar! Ibu ada di ru­ang sholat. Eh, ibu sedang tidur ya?

“Ya ampun Ibu. Baca Al-Quran sampai ketiduran begi­ni.”Aku duduk di samping ibu.
Beberapa detik terdiam.

“Ibu terima kasih ya.. Udang sambalnya. Selalu enak..” Aku menoleh ke wajah ibu.
“...................”
“Bu, Fa rindu sekali pada Ka. Kita menyusul Ka ke sana yuk. Sekalian umroh, Bu.
“....................”
“Bu.. begini ya rasanya jatuh cinta? Apa dulu Ibu merasakan ini juga saat baru-baru menikah dengan ayah?”
“....................”

Aku membuang napas.. Wa­jah Ka dan wajah ayah yang se­puluh tahun ini tak pernah kupan­dang lagi membuat gambar di otakku. Mungkin, ayah sudah sa­ngat bahagia di sana. Lebih de­kat dengan Sang Pencinta. Rasanya, aku bertambah sesak. Sebab, tidak hanya rindu pada Ka saja. Tiba-tiba, aku jadi sa­ngat merindukan ayah.

Aku tertidur di samping ibu dan bermimpi, ibu memeluk ayah dan menyatakan rindu ke­pada ayah di depanku. Ssaat aku terbangun, ibu sudah tidak ba­ngun lagi. Selamanya.
* * *
Ka

Nomor Fa susah sekali dihu­bungi. Aku juga tidak tahu me­ngapa menjadi khawatir sekali seperti ini pada Fa. Padahal se­jam lalu, Fa baru saja mengirim gambar udang sambal kesuka­an­nya yang dimasak ibu. Seju­jurnya, aku juga menahan air liur melihat gambar yang dikirim Fa. Bagaimana tidak, sudah sembi­lan bulan, aku tidak menikmati ma­sakan rumah. Tugas akhir ini membuatku tidak bisa sedikit­pun berjalan-jalan ke rumah ma­kan Indonesia. Sekedar untuk menggugurkan rindu yang be­nar-benar deru.

Sembilan bulan ini juga, Fa yang meruntuhkan rindu lidahku ini dengan mengirim masakan-ma­sakan ibu ataupun masakan­nya. Sebenarnya, Fa tidak be­nar-benar meruntuhkan rinduku. Fa hanya berpura-pura ikut iba. Dengan tertawa kecil, Fa akan se­lalu bilang,“Akutidak sedang menjailiKa. Aku tulus kasihan. Tenang saja, kalau pulang nanti, Aku akan masakkan semua ma­kanan kesukaan Ka.”Setelah mengucapkan kalimat itu, Fa akan tertawa terkekeh-kekeh. Fa memang hobi sekali menjaili dan menggoda suaminya yang tak berdaya ini.

Malamnya, tiba-tiba umi me­nelponku. Tidak biasanya. Ini bukan jadwal umi menelpon. Apa umi tiba-tiba sangat merin­dukan anak laki-laki satu-satu­nya ini?Ah, tapi umi bukan tipe yang romantis. Bisa dibilang, umi adalah wanita yang kaku. Ber­beda sekali dengan abi yang begitu senang menggoda; meng­goda umi tentu saja.

Selesai umi menelpon, rasa khawatirku semakin melam­bung tinggi. Perasaan gelisah da­ri tadi ternyata tidak hanya pe­rasaan. Kabar duka itu membu­atku terduduk di sisi kiri kasur. Wa­jah ibu dan Fa memenuhi kepalaku. Beberapa saat, aku meng­hubungi Fa kembali. Fa sama sekali tidak mengangkat telponku. Oh, Fa. Betapa ingin­nya aku mendengar suara­mu. Betapa inginnya aku di sisimu sa­at ini. Kalau saja aku bisa. Aku tidak akan menunggu detik untuk pergi memelukmu.
* * *
Fa menolak bicara pada sia­papun. Sepanjang waktu setelah kepulangan ibu, Fa hanya terus terisak. Tidak mau makan atau­pun minum. Syukurnya, Fa masih mengerjakan kewajiban­nya yang lima waktu. Aku tahu, Fa pasti begitu terpukul. Ini duka yang pasti begitu menyayat jan­tungnya. Fa sering kali bilang,

“Di dunia ini, sebelum Ka ada. Ibulah satu-satunya harta yang aku punya. Setelah Ka ada. Ibu tetap menjadi satu-satunya harta yang aku punya.”

“Yah.... begitu ya?“ Kataku lemah.

“Karena.. Tentu saja, Ka bukan harta. Ka-kan suamiku, gimana sih? Udah jangan cem­berut gitu ah. Jelek tahu!”

Setiap kali mengingat perca­kapan itu, aku selalu tertawa. Kali ini, perih yang merasuki.
Situasi ini, rasanya menya­kitkan sekali. Aku tidak dapat pu­lang ke kampung halaman, untuk duduk di samping istriku lalu memeluknya. Membiarkan ba­hu­ku basah oleh isaknya. Aku be­nar-benar merasa lemah. Sung­guh, sehebat apapun manu­sia, dia tidak akan bisa melaku­kan semuanya. Aku tidak bisa izin untuk tidak masuk kuliah. Meski tabunganku ada untuk me­lakukan perjalanan. Jadwal pu­lang sudah ditentukan setiap tahunnya. Sekitar tiga bulan lagi jadwal rutin mudikku.

Aku hanya bisa menunggu, dan tentu saja menunggu Fa mau berbicara denganku. Aku takut sekali Fa marah karena dia pasti akan merasa sendiri. Aku tahu, hubungan jarak jauh ini ti­dak pernah mudah. Rasanya, aku ingin sekali membawanya kemanapun aku pergi. Iya, aku bisa membawanya pergi. Se­ben­tar lagi.. sebentar lagi kuliah­ku akan selesai. Aku bisa bebas menghabiskan waktuku untuk terus bersamanya.
* * *
Fa masih tidak mau bicara denganku. Sudah hari ketiga. Dulu Fa juga pernah begini, saat dia tiba-tiba merasa cemburu. Fa, harusnya kamu tahu, sehari saja tanpa kamu, aku begitu sulit menjalani hari.
Sebelumnya, aku tidak per­nah seperti ini. Jatuh cinta. Sa­ma sekali tidak pernah. Akhir­nya umi menjodohkanku pada seorang gadis anak teman umi -yang ingin sekali anak perem­puannya segera menikah-. Ya, tentu saja, aku tahu. Ternyata fi­rasat ibu benar. Usia hidupnya di dunia tidak lama lagi. Permin­taan terakhirnya, hanya melihat anak satu-satunya menikah. Oh, ibu, sembilan bulan ini, ibu sudah menjadi mertua terbaik sepan­jang masa. Ibu begitu menya­yangiku. Ibu yang lebih sering menelponku ketimbang umiku sendiri.

Istighfar harus lebih banyak kugalakkan. Agar rasa gelisah ini pergi musnah.
Istriku itu sedang diuji kecin­taannya oleh Allah. Kabar duka ini akan membuatnya semakin mulia di mata Allah jika dia bisa ikhlas melepas ibu tercinta. Ah, aku berusaha menghibur diriku sendiri. Agar tidak terlalu resah menunggu Fa mau bicara de­ngan­ku. Aku percaya, setiap ke­sedihan menyimpan begitu ba­nyak pelajaran.
* * *
Epilog
“Ka...”
“........”
“Ka...”
“.......”
“Ka?!”
“Eh, iya halo..”
“Hoh.. Ini, Fa..”
“Iya, Fa.. Kenapa?”
“Tidak apa-apa..”
“Eh, Fa?! Fa?! Ini, Fa?!”
“Iya...”
“Alhamdulillah... Apa kabar, Sayang? Aku rindu sekali...”

Hubungan jarak jauh ini bu­kan hanya soal jarak 6.728 km. Juga soal waktu. Di sini, sedang waktunya orang tidur dan di tem­pat Fa waktunya orang-orang akan memulai aktivitas pagi hari. Aku benar-benar merasa lega dan bahagia mendengar suara Fa dan lebih bahagianya Fa yang menelponku.
Aku tidak lagi khawatir kare­na kudengar Fa sudah bisa ter­tawa seperti biasanya. Ada satu hal yang semakin membuatku tertawa. Tadi, sebelum Fa me­nelpon, aku sedang menyele­saikan tugas akhir di meja be­lajar, tertidur di sana. Tidak sadar mengangkat telpon. Ternyata se­belum tidur, tanpa kusadari, aku mengambil pena dan men­co­ret-coret kertas. Tulisan, “Ka lambang hati Fa” sudah berse­rak satu halaman. Ah, jatuh cinta ternyata bisa membuatku mela­kukan kebiasaan anak sekolah da­sar. Tidak masalah. Aku jatuh cinta pada yang halal. Selain cinta, pahala juga ikut merona.
(Terbit di Analisa, Minggu, 7 Agustus 2016)

Sunday, September 3, 2017

Skin Care



Karya : Aisyah Haura Dika Alsa

Aku memandangi kalkulator miniku yang berwarna biru. Aku suka dengan bentuknya yang mungil. Mirip telepon genggam pintar hanya saja bentuknya sedikit lebih lebar. Kalkulator ini sebenarnya terpaksa aku beli untuk mata kuliah Statistik. Lebih tepatnya untuk “ujian” mata kuliah Statistik. Jika perkuliahan biasa dibolehkan menggunakan handphone untuk menghitung, tentu saja saat ujian tidak diperkenankan. Dan dosen kami membolehkan jika dengan kalkulator. Dan kalian tahu? Hanya itu satu-satunya mata kuliah yang menghitung. Mata kuliah di jurusanku ialah merangkai kata dengan baik dan benar. Jadi, pasti kami kelimpungan jika tanpa alat bantu hitung.
Baiklah, pasti membingungkan membaca judul dan paragraf pertama tulisanku. Seperti tidak ada korelasinya? Maka dari itu, aku ingin melanjutkan tulisan ini. Agar ia berkorelasi.
Aku masih memandangi kalkulator mini biruku. Aku memang seperti orang yang tidak ada kerjaan. Aku tengah menunggu seorang pelanggan setiaku. Pelanggan? Setia lagi? Mengapa tulisanku kali ini malah banyak menimbulkan pertanyaan?
***

“Jadi, Hilya, kerjanya sekarang begini?” Kata temanku dengan jujurnya. Ekspresinya kutangkap seperti meremehkan pekerjaanku. Dan jujur saja, aku tersinggung. Tapi, adegan ketersinggungan itu tidak kuperlihatkan.
“Penghasilan perbulan alhamdulillah sama seperti penghasilan ngajar sebulan. Cuma bedanya, aku kerja dari rumah aja.” Jawabku sambil nyengir. Maksudku penghasilanku, dari hasil jualan dan menulis di media koran. Dia tentu saja meremehkan pekerjaan jualanku bukan menulisku. Karena, saat itu aku tengah mengantarkan barang jualanku kepada temanku satunya lagi. Tapi, sudahlah. Aku tidak ingin tersinggung lama. Mungkin, mengajar lebih bergengsi menurutnya ketimbang  jualan. Apalagi, memang, saat itu gayaku persis seperti kurir-kurir pengantar barang. Memakai helm merahku dan jaket abangku.
Aku memang memilih bekerja dari dalam rumah. Aku tidak menganggap mengajar itu bukan pekerjaan yang mulia atau tidak baik sehingga saat tamat kuliahku, aku malah memilih untuk tidak mengajar. Tawaran mengajar ada hinggap padaku tapi aku memang belum berkeinginan.
Setelah mengantar barang jualanku kepada teman-temanku dengan menggunakan sepeda motor yang kupinjam dari adik ibuku, aku membeli rujak di sebelah kampusku. Rujak langgananku saat kuliah dahulu. Rujak ini sangat laris manis. Harus tahan antri jika membelinya. Selain karena murah dan buahnya segar. Aku juga senang dengan penjualnya. Seorang ibu muda dengan dua anak yang berjilbab syar’i. Kalian tahu? Dari dialah, aku mencontoh kejujurannya saat berjualan. Dia akan mengatakan buahnya asam jika memang asam. Bahkan pembelinya boleh mencicipi terlebih dahulu. Dia memang ‘hanya’ penjual rujak. Tapi, di mataku. Dia adalah salah satu guruku tentang kejujuran. Aih, harusnya memang, kita tak meremehkan pekerjaan. Apapun itu.
“Apa kegiatannya sekarang, Dek?” tanyanya sambil memotong-motong buah yang kupesan. Tangannya ligat sekali membuatkan pesanan.
“Jualan online, Kak. Kerja di rumah aja.” Jawabku ramah. Aku salut padanya. Selain kejujurannya yang patut ditiru. Ternyata ingatannya juga kuat. Dia masih saja tanda padaku meski wajahku tidak lagi kelihatan.
“Oh iyalah, kerja di rumah. Is, Kakak irilah sebenarnya sama kelen ini. Kakak pun mau nutup wajah kakak. Kadang, ada pembeli (laki-laki) yang nengoki aja. Awak kan udah bersuami. Ga enak juga rasanya. Kalau pakai cadar kan bagus, ketutup muka awak. Nggak jadi fitnah.” Katanya cukup panjang mencurahkan keinginannya.
Sejujurnya, aku terhibur dengan kalimat kakak penjual rujak yang baik hati ini. Mengobati ketersinggungan atas keremehan pekerjaanku tadi. Ya, setiap orang memang memiliki pendapat. Tinggal kita yang ingin tetap memegang kokoh prinsip yang kita punya atau gugur karena hanya omongan orang lain. Itulah memang salah satu alasanku tidak bekerja di luar rumah. Kemungkinan membuka cadar saat bekerja di luar rumah itu lebih besar. Meski memang, aku tidak masalah jika suatu hari nanti aku terpaksa bekerja di luar rumah lalu membuka cadar sebab memang aku menghukuminya sunnah.
“Iya, Kak. Udahlah banyak dosa awak. Tambah lagi dosa karena muka awak. Karena pun perempuan, kalau nggak cantik pun, ketika dia keluar rumah bakal dihiasi sama setan kan, Kak? Pakai cadar ini, insya Allaah, ngurangi dosa awak sikitlah ya kan, Kak..”
“Iya-iya, Dek.. bener itu...” Katanya mengangguk dengan tanda penuh setuju.
Ketika aku masih bisa bekerja di dalam rumah dan dapat membiayai sendiri keperluanku tanpa memusingkan orang tua. Aku tidak boleh goyah saat ada yang meremehkan pekerjaanku. Meski memang, aku tidak pernah berpikir setelah tamat kuliah, aku akan bekerja sebagai pedagang. Karena, dahulu kala, dalam pikiranku, aku sama sekali tidak ada pandai-pandainya berjualan. Apalagi saat merayu orang lain untuk membeli daganganku. Rasanya waktu itu, entah kenapa aku merasa sangat tidak tega. Aih, lucu sekalikan?
Dan saat ini, alhamdulillah belum sebulan aku jualan, produk yang aku jual telah mencapai ratusan barang. Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah. Aku memang percaya dan aku berusaha menjadi hamba yang tawakkal. Sebab, memang rezeki telah diatur sedemikian rupa. Kalau dulu, aku berpikir, bisnis adalah persaingan. Tapi, saat setelah aku lebih mendalami agamaku, bisnis adalah rezeki yang tak akan tertukar. Dahulu saja, ulama bekerja hanya dua jam dalam sehari semalam. Selebihnya menuntut ilmu. Aih, aku jauh sekali dari ulama itu. Dan aku tak ingin risaukan rezekiku karena sebelum nyawaku tercabut, rezekiku telah dijamin –oleh Sang Maha Pemberi Rezeki– akan terus memenuhi hidupku. Yang perlu aku risaukan adalah, surga tak terjamin untukku. Tidak ada yang dapat menjaminkanku surga: tempat gembira yang selamanya.
Lagi-lagi, aku tak ingin merisaukan pekerjaanku. Sebab orang yang paling mulia diantara manusia manapun, yang pernah hidup di dunia ini, pekerjaannya adalah pedagang. Bahkan salah satu perempuan yang paling mulia yang pernah hidup di dunia ini –yang menjadi istrinya– juga pedagang. Kalian sudah pasti bisa menebaknya. Muhammad shalallaahu ‘alaihi wassalam dan Khadijah Radiallahu ‘anha.
Jadi, sekarang, Kalian sudah bisa pahamkan, korelasi dari judul cerita pendekku ini dengan isi ceritanya. Meski tidak menceritakan banyak tentang skin care. Tapi, itulah barang daganganku saat ini. Barang daganganku yang juga kupakai rutin. Sebab, tentu saja, aku ingin terlihat indah di mata lelakiku nanti.
(Penulis adalah Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
(Terbit di Medan Pos, 3 September 2017)