Friday, July 21, 2017

Manisnya Kain Penutup Wajahnya



Karya : Aisyah Haura Dika Alsa


Perkuliahan telah selesai. Namun hujan di luar belum juga usai. Aku harus menunda waktu untuk pulang. Aku kelupaan membawa jas hujan. Padahal yahhh, baru saja siang kemarin aku jemur. Namun malah lupa mengangkatnya. Kalau di daerah rumahku hujan juga. Pasti jas hujannya kembali basah.
“Hujannya lama bener ya, Sya berhentinya. Musim hujan gini payah juga mau bergerak.” Piya, teman satu kelasku ternyata juga sedang menunggu reda hujan di depan kelas. Ikut berdiri dan menempelkan tubuh di dinding koridor gedung lantai dua. Aku tidak sadar Piya berdiri di sana. Berarti aku terlalu asyik melamunkan si jas hujan.
“Hus, nggak boleh ngomong begitu, Pi. Hujan itu rahmat dari Allah, nggak boleh dicela. Bayangkan nanti sebelum keluar Dajjal, bumi ini mengalami kekeringan selama tiga tahun. Stok hujan menipis bahkan ditahun ketiganya nanti sama sekali nggak ada hujan. Subhanallah, bayanginnya aja aku udah ngeri, Pi.”Aku bergidik sendiri atas omonganku barusan.
“Eh, iya, Sya. Astaghfirullah. Maaf. Nggak lagi deh.” Raut wajah Piya ikut membayang ngeri.
“Hujan deras gini kan mantep kalau kita doa, Pi. Kamu kan udah pengen banget nikah tuh. Nah, ini ajang yang pas buat doa.” Aku menggoda Piya untuk meruntuhkan raut wajahnya yang merasa bersalah.
“Hehe.. Kamu, Sya. Godain mulu. Oh iya, Sya. Aku lupa nyampeinnya kemarin. Kamu dapat salam lagi tuh dari abang senior. Bang Haris. Tahukan?”
“Bang Haris?Yang ketua organisasi itu ya?”
“Hu’um..” Piya mengangguk mengiyakan.
Seketika tubuhku lemas. Dan Piya menyadari raut wajahku yang berubah murung.
“Aku salah lagi ya, Sya..?” Piya hati-hati bertanya, memandang wajahku, yang malah memandang hujan yang masih senang luruh ke tanah.
“Piya, jawab jujur ya. Harus jujur pokoknya!” Pintaku serius pada Piya.
“Eh, mau tanya apa emang, Sya? Serius bener.” Piya malah kaget dengan permintaanku.
“Jawab jujur aja pokoknya, Pi.. Menurut kamu, aku ini kecentilan ya?” Kali ini, aku tidak lagi memandangi hujan, sepasang mataku kuarahkan tepat ke arah sepasang mata Piya. Piya malah mengerutkan keningnya. Dua detik kemudian tawanya lepas tanpa rasa bersalah. Membuatku sekarang yang gantian mengerutkan kening. Piya masih dengan tertawanya.
“Terus aja ketawa.” Aku membuang wajah dari tubuh Piya yang berdiri di samping kananku. Piya memberhentikan tawanya. Menyisakan sedikit kegelian di wajahnya.
“Hehe..maaf.. maaff.. Lagian, kamu ini, pertanyaannya kok tiba-tiba begitu? Kecentilan dari mana coba? Lah, kamu aja dijuluki ratu cuek di kelas hahaha..” Piya mengembalikan tawanya yang sempat diredamnya.
“Jadi.. “ Aku menahan suaraku…
“Jadi apanya, Sya? Kamu ini kenapa sih?” Piya masih menatapku dengan tawanya. Hoo, kalau tidak ingat, dia ini anak yang baik sekali sebenarnya, sudah aku tinggal pergi dari tawa pertamanya tadi. Aku kan serius bertanya. Kenapa dia malah asyik dengan tawanya.
***

Bulan sempurna di atas sana dengan lingkar purnama. Gulitanya langit membuatnya semakin istimewa dipandang. Hujan siang tadi ternyata tidak membekas pada ini malam. Malam ini, bintang dan bulan bertengger merona, membuatnya betah menatapnya. Gorden jendela kamarku, kubiarkan terbuka setengah. Aku masih ingin menatap benderang purnama. Meski jam dinding, jarum pendeknya hampir sampai tengah malam. Sebenarnya, aku masih kepikiran dengan jawaban dari Piya atas pertanyaaku siang tadi.
“Kamu itu jauh dari kata centil, Sya. Teman laki-laki di kelas aja, itu kadang rasanya pengen nimpuk kepala kamu pakai buku sangkin gemesnya sama kecuekanmu. Karena rasa segan mereka yang besar padamu jadi mereka nggak berani deh hehe..Nah, kamu itu pintar, Sya, aktif di kelas. Banyak dosen sayang sama kamu meski ya ada beberapa yang kayaknya nggak suka sama kritisnya kamu. Itu hal yang wajarlah. Saat kita semester satu aja, kamu udah jadi bahan gossip eh hehe maksudnya bahan perbincangan dosen-dosen dan kakak-kakak jurusan karena berhasil juara pertama lomba debat antar mahasiswa se kota kita ini. Belum lagi setelahnya, kamu banyak menangin lomba. Dan yang paling sesuatu, your face, Sya.” Aku menghembuskan kembali napasku yang berat ketika mengingat Piya menyebutkan kalimat terakhirnya.
Piya sudah jujur menjawab pertanyaanku siang tadi. Pertanyaanku muncul begitu pada Piya karena sudah berulang kali Piya menyampaikan salam yang entah dari siapa saja. Aku akan senang jika mendapat salam dari teman perempuan. Tapi, semua yang disampaikan Piya adalah salam dari laki-laki, entah itu teman satu angkatan yang beda kelas atau kakak-kakak tingkat bahkan beda jurusan.
Selama ini, aku sudah sangat berusaha pikirku. Itulah kenapa aku memilih cuek pada teman laki-laki di kelasku. Meski terkadang, aku merasa tidak tega juga. Tapi mau bagaimana lagi. Aku sudah pernah merasakan tidak enaknya punya banyak fans di sekolahan dulu. Dan itu sama sekali membuatku risih. Menurutku, aku benci sekali ketika ada laki-laki yang menyanjung-nyanjung wajahku. Aku merasa, diriku menjadi rendah sekali. Apalagi jika ada laki-laki yang berusaha mendekatiku, aku makin merasa diriku seperti murah. Untuk itulah, seberusaha mungkin aku menjaga jarak, jarang keluar rumah jika tidak ada hal yang penting dan mendesak, dan tentu saja menghindarkan diri untuk masuk ke komunitas atau organisasi yang ada laki-lakinya.
Aku sudah lelah sebenarnya. Tapi, aku tidak bisa menyalahkan wajahku. Ini murni ciptaan Tuhanku. Jika aku marah, berarti aku mencela ciptaanNya, itu berarti aku tidak tahu bersyukur. Hingga aku melihat seorang temanku, Salma. Beberapa hari ini, ia telah menutup wajahnya. Hanya sepasang matanya yang kelihatan. Salma bahkan tidak gentar meski dosen menyindir-nyindirnya saat di kelas, belum lagi teman-teman yang meski bercanda, mengolok-ngolok kain di wajahnya.
“Salma, Masya Allah, aku senang dengan perubahan kamu ini. Apa yang membuat kamu ingin memakainya, Ma?” Tanyaku pada Salma saat pertama kali Salma mengenakan sebuah cadar di wajahnya.
“Alhamdulillah, semua atas hidayah dari Allah, Sya. Aku tahu wajahku biasa-biasa saja, tapi aku tidak ingin menjadi fitnah di mata lelaki yang bukan mahromku. Karena, ketika perempuan keluar dari rumahnya, setan akan menghiasinya sehingga tampak semakin indah di mata lelaki. Dan menurutku, menutup aurat yang wajib saja tidak cukup.” Aku mematung mendengar penuturan Salma.
“Manisya, wajah kamu itu jauhhh lebih cantik daripada wajahku. Boleh jadi, fitnahnya semakin besar dan kamu lebih dianjurkan memakainya. Semoga kamu juga bisa pakai suatu hari ya. Aku pamit ya, aku harus pulang segera nih. Assalamu’alaykum..” Kalimat Salma di atas lebih menohok jantungku. Aku terdiam lama saat itu. Benar-benar sangat lama. Dan sampai hari ini, kalimat itu masih menghiasi hari-hariku. Saat makan, saat mau tidur, atau saat aku tidak sedang sibuk beraktifitas, kalimat Salma mengiang-ngiang di kepalaku.
Malam ini juga, aku harus bilang pada ibu dan ayah. Aku harus mengatakan kerisihanku selama ini. Aku harus berani bicara terus terang pada ibu dan ayah. Semoga ayah dan ibu belum tidur. Aku mengetuk pintu kamar mereka. Ternyata, benar, mereka masih terjaga meski sudah tengah malam.
***
Pagi ini, aku tidak peduli dengan apapun yang akan dikatakan orang-orang. Aku tidak akan dan ingin peduli. Dengan bismillah dan ridho orang tua, aku berangkat dengan selembar kain tebal tetapi sejuk dan ringan di wajahku bagian depan dan selembar kain tipisnya yang lain berada di belakang tubuhku, lebih pendek dari khimar yang aku pakai.
Dan pagi ini, aku berangkat ke luar rumah menuju kampus dengan hanya memperlihatkan sepasang mataku. Sudah aku katakan, aku tidak akan dan ingin peduli pada omongan orang-orang. Karena dengan selembar kain ini, akan lebih memuliakan perempuan muslimah siapapun, termasuk aku.
(Penulis adalah alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
(Terbit di Medan Pos, 16 Juli 2017)
Judul Asli : Manisya dan Selembar Kain di Wajahnya 

Sunday, July 9, 2017

Muazin yang Menikah dengan Hafshah



Karya : Aisyah Haura Dika Alsa

Ia menanti seseorang yang berdiri di balik pintu yang dibuka setengah. Lama sekali orang yang ditunggunya itu berbicara dengan rekan kerjanya dan ia juga sudah lama sekali berdiri di sini. Tidak ada tempat yang dapat menjadi kursi. Ingin memotong pembicaraan mereka tentu saja ia tidak tahu diri maksudnya tidak tahu sopan santun. Untungnya ada Rumaysho, sahabatnya yang menemani. Jadi, baiklah, ia akan menunggu beberapa menit lagi di sini. Kalau tidak ingat ini permintaan ayahnya, ia tidak akan mau menunggu selama ini. Sebenarnya, sudah dua hari yang lalu ayahnya menyuruhnya, hanya saja ia merasa ayahnya menyuruh sesuatu yang tidak mudah baginya. Meski ayahnya juga terpaksa menyuruhnya karena kesibukan pekerjaannya.
“Hafshah..” Kata laki-laki itu sedikit kaget melihat Hafshah dengan teman perempuannya berdiri di samping ruangannya.
Akhirnya orang yang ditunggu keluar juga dari ruangannya dan hufffff Hafshah bersyukur sekali, dia yang terlebih dahulu menyapa Hafshah. Hafshah meresponnya dengan sedikit kaget juga.
Hafshah hanya tersenyum, sedikit dipaksa, sebab ia tiba-tiba menjadi gugup. Tidak tahu harus kalimat apa yang terlebih dahulu keluar dari mulutnya.
“Sedang apa di sini? Ada yang ingin diurus?” Tanya orang yang ditunggu Hafshah.
“Ngg.. tidak.. Saya hanya ingin memberikan ini. Undangan dari ayah.” Hafshah memberikan sebuah amplop –yang telah dipegangnya sejak tadi– kepada orang yang ditunggunya itu.
“Oh.. Undangan dari masjid ya?”
“Iya.”
“Jadi, Hafshah ke sini ingin bertemu dengan saya? Eh, Maksud saya ingin memberikan undangan ini? Sudah lama menunggunya?”
“Nggak lama kok.” Terpaksa Hafshah berbohong.
“Oh.. Baiklah, terima kasih ya sudah repot-repot mengantarnya. Sampaikan salam dan mohon maaf kepada ayah ya. Saya sangat sibuk akhir-akhir ini. Jadi, sulit menemui ayah.”
“Tidak masalah. Saya permisi.”
“Iya, hati-hati, Hafshah.”

Hafshah pamit sambil ia merasa beberapa pasang mata perempuan muda di sana menatapnya tidak sedap. Ia merasa banyak perempuan muda di ruangan ini yang menyukai lelaki itu.
***
Azan Ashar lembut masuk ke telinga. Membangunkan tidur siang orang-orang yang sedang istirahat. Menghentikan pekerjaan orang-orang yang masih mencari nafkah. Membuat orang-orang memencet tombol off di remote televisi. Dan tidak sedikit yang malah tidak peduli sama sekali dengan azan yang tengah berkumandang.
Hafshah menutup laptopnya dan bangkit menuju kamar mandi. Berwudhu. Sudah seminggu ini, ia tidak lagi mendengar suara azan dari muazin yang memiliki suara merdu. Sebenarnya, tidak masalah siapapun muazinnya. Asal dia paham tajwid dan bisa membaca lafaz azan dengan benar. Namun, rasanya, ah Hafshah begitu malu mengakuinya.
Hafshah adalah salah satu mahasiswi di perguruan tinggi swasta yang terkenal di kotanya. Ia hampir menginjak semester akhir. Jadi ia lebih banyak menatap laptopnya akhir-akhir ini karena selain menulis yang menjadi hobinya ia juga harus menyelesaikan proposal penelitiannya.
Hafshah hanya mahasiswi biasa, tidak pernah sekalipun aktif di komunitas atau organisasi manapun. Kata ayahnya, ia harus lebih banyak di rumah. Keluar hanya untuk keperluan yang penting dan mendesak. Ia sempat protes tapi mendengar jawaban ayahnya, “Begitulah cara ayah memuliakan anak perempuan ayah yang sangat berharga bagi ayah. Karena menjaga anak perempuan tidak seperti menjaga anak laki-laki. Harus lebih ketat. Sama seperti menjaga tuan putri yang tidak sembarang orang bisa bergaul dengannya. Paham, Nak?” Hafshah pun luluh hatinya.
Dan laki-laki yang ditemuinya siang tadi adalah pegawai di kampusnya yang notebene tetangga rumahnya. Karena satu tempat jadi ayahnya menyuruh Hafshah yang mengantar undangan tersebut. Karena jika mengantar ke rumahnya pun sedang sulit ditemui dan laki-laki itu tinggal sendiri di rumahnya.
***

Matahari turun dari waktu cerah, jingga-jingga mulai berkuasa. Di simpang-simpang jalan yang tak berlampu merah, kendaraan berantakan, masing-masing ingin bersegera sampai rumah, tak peduli harus membuat orang lain marah, semua ingin lebih dulu jalan. Syukurnya, beberapa menit setelah riuh klakson sahut-sahutan, beberapa  pemuda di tempat rela menjadi tukang atur arah agar kendaraan bisa tertib dan jalan.
Hafshah sesenja ini baru pulang dari kampus, sebab mengurus proposalnya. Ia berjalan kaki dari simpang untuk sampai ke rumah dan melirik sebentar ke arah beberapa pemuda yang mengatur jalan, ternyata mereka teman sekolah dasarnya. Hafshah segan ingin menegur, pun mereka juga merasa sama pada Hafshah. Hafshah selalu senang melihat mereka yang suka rela mengatur jalan di simpang-simpang yang tidak ada lampu merah baik itu pemuda setempatnya ataupun bapak-bapaknya.
Begitu Hafshah sampai di rumah dan membuka pintu, azan magrib pun berkumandang. Tangannya tiba-tiba bergetar di daun pintu, detak jantungnya bertambah laju. Lelaki itu.. Apakah sudah tidak sibuk lagi?
“Ya Allaah, kenapa aku harus peduli dengan urusannya. Aku tidak ingin peduli siapapun yang azan di masjid itu. Yang penting waktu sudah menunjukkan aku untuk shalat” Hafshah dengan lucunya memarahi dirinya sendiri. Adiknya, Umar yang akan siap-siap pergi ke masjid terheran-heran melihat kakaknya pulang-pulang malah merepet halus.
“Kakak kok nggak pakai salam masuk ke rumah?”
Ya Tuhan, Hafshah pun baru menyadarinya. Konsentrasinya hilang beberapa saat karena kaget mendengar suara azan yang ternyata adalah suara laki-laki itu.
“Assalamu’alaykum, adikku yang paling tampan.” Hafshah berbalik ke arah Umar dan setelahnya bergegas masuk ke kamar. Umar hanya bergumam si kakak sedang aneh.
Setengah jam setelah ayah dan Umar selesai shalat Magrib di masjid, ayahnya menyuruh Hafshah keluar kamar. Bukan hanya itu tapi juga disuruh duduk di ruang tamu. Hafshah menolak. Aih, dia merasa malu sekali. Kenapa tiba-tiba ayahnya menyuruhnya ikut menjamu tamu, bukankah ayahnya tidak pernah sekalipun menyuruh Hafshah keluar kamar jika ada tamu laki-laki. Kecuali itu saudara mereka. Dan, tamu laki-laki malam ini adalah laki-laki yang tadi suara azannya membuat Hafshah kaget. Ada apa dengan ayah? Aih, Hafshah tidak mengerti.
Hafshah akhirnya duduk di ruang tamu ditemani ibunya. Ayahnya masih asyik ngobrol dengan laki-laki itu. Ayahnya memang selalu asyik kalau ngobrol dengannya, pernah sampai lupa waktu sangkin asyiknya.
Lima menit.. sepuluh menit.. Hafshah dibiarkan ayahnya duduk terdiam. Dia hanya merunduk. Melihat pernak-pernik kain taplak meja yang dijahit ibunya sendiri. Hanya itu yang ia bisa lakukan sebab laki-laki itu duduk tepat di sebrang depannya.
“Hafshah..” Ayahnya telah selesai ngobrol sepertinya dengan laki-laki itu.
“Iya, Ayah..” Balas Hafshah menatap ayahnya.
“Bagaimana proposalnya sudah selesai? Kapan akan diseminarkan?”
“Minggu depan, Yah insya Allaah..”
“Sebentar lagi berarti ya. Ini Mas Aziz sudah siap menikah katanya. Hafshah berkenan? Hafshahkan pernah bilang pada ayah ingin dicarikan suami, Hafshah bilang kalau bisa sebelum wisuda sudah menikah. Bagaimana, Nak?”
Hafshah terpana mendengar penuturan ayahnya. Tidak menyangka ayahnya akan berbicara seperti itu. Ia terdiam masih dengan sedikit kaget. Kepalanya merunduk lagi, kali ini bukan lagi menatap pernak-pernik kain taplak meja yang dijahit ibunya sendiri. Ia menatap jari-jarinya yang tiba-tiba terasa dingin sekali. Mulutnya tidak bisa mengeluarkan bunyi satu huruf pun. Suaranya tiba-tiba lenyap entah kemana. Ia merasa ini kejadian yang paling memalukan dalam hidupnya. Namun, berbeda dengan hatinya. Hatinya bak musim dingin yang telah dijemput musim semi; tumbuh banyak bunga-bunga.
Lima menit lengang. Tidak ada suara siapapun. Apalagi suara Hafshah yang seharusnya menjawab pertanyaan ayahnya.
“Kalau perempuan diam tandanya setuju, Yah.” Akhirnya dengan senyuman, ibu Hafshah yang menerjemahkan diamnya Hafshah.
“Baik, ibu dan Hafshah boleh kembali ke belakang. Nanti akan kita bicarakan lebih lanjut. Ayah dan Mas Aziz mau siap-siap ke masjid.” Kata ayahnya, yang kali ini wajahnya bertambah riang.
***
Epilog

Kalian tahu, setiap mereka yang berikhtiar dalam mencari jodoh bisa saja gagal. Bahkan sehari sebelum pernikahan, sebelah pihak bisa saja membatalkan pernikahan. Sebab jodoh, memang telah rapi tertulis sebagai takdir masing-masing manusia. Jika gagal sebelum akad sakral tidak perlu berlama kecewa. Tuhan telah menyiapkan sebuah nama atau mungkin beberapa nama yang layak menemani hidup kita. Dan untuk tahu Hafshah dan laki-laki itu berjodoh atau tidak, lihat kembali judul di atas.
(Penulis adalah alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
 (Terbit di Medan Pos, 9 Juli 2017)

Sunday, July 2, 2017

Malam Takbiran Ya-An


Karya : Aisyah Haura Dika Alsa


Ini sudah malam takbiran tahun kedua ia tidak pulang. Ah, kenapa harus pulang ke kota ini. Tentu saja, dia punya kotanya sendiri untuk dipulangi. Jadi, harusnya aku tak perlu kembali gelisah lagi. Memangnya, dia siapa sampai harus kutunggu kunjungannya. Tapi, mengapa menghitung ketiadaannya tak dapat kuhindari. Apa karena rindu sudah menggumpal dalam hati? Harusnya...... Harusnya, aku tak pernah mengenalnya.
***

            2011. Ayah, ibu, La, dan aku pergi sekeluarga ke baitullah untuk umroh. Setelah umroh, jadwal siang sehabis sekolah berganti. Biasanya, aku dan La enam hari penuh mengikuti kursus bahasa Inggris dan bimbingan belajar. Sekarang, diganti belajar agama dan mengaji. Kursus bahasa Inggris dan bimbingan belajar dipindahkan ke malam setelah isya. Itu berarti les dipindahkan ke rumah.
Awalnya aku dan La keberatan. Kenapa ayah begitu tiba-tiba mengganti jadwal yang sudah biasa kami lakoni. Jika sudah ayah yang memutuskan maka tidak ada yang berani membantah. Bukan aku tidak ingin belajar agama dan mengaji, namun aku lebih suka jika jadwal itu dilaksanakan setelah Isya. Ayah hanya bilang, “Belajar agama dan mengaji, jauh lebih darurat.” Ya, perkataan ayah memang benar. Mengingat, dari sekolah dasar sampai sekolah menengah pertama, aku hanya belajar agama dua les, itupun di sekolah. Selebihnya, hanya sewaktu di TK. Bahkan sholatku begitu jarang. Apalagi membaca Al-Quran, aku sudah lupa meski hanya mengeja huruf-hurufnya. Dua belas tahun, aku sibuk mengejar ilmu dunia. Dan dua hari setelah kembali dari tanah suci, itulah permulaanku bertemu dengan lelaki berpeci putih.
***
            Tidak, aku tidak jatuh cinta pandangan pertama pada lelaki berpeci putih itu. Bagiku yang baru beranjak lima belas tahun, kata cinta masih sangat kaku di telingaku. Tentu saja, aku pernah suka pada seseorang. Zai, misalnya. Anak laki-laki paling tampan dan paling cerdas di kelasku. Tapi, aku lebih suka memikirkan prestasiku. Aku selalu ketagihan mengikuti lomba-lomba lalu pulang membawa piala. Aku lebih senang sibuk bersaing dengan Zai memperebutkan juara satu umum.
Kesimpulannya, aku hanya sekadar kagum pada Zai. Zai lebih pantas menjadi sainganku daripada menjadi seseorang yang spesial di hatiku. Dan, tiga tahun perjuanganku tidak sia-sia. Untuk pertama kalinya, aku berhasil berada di atas Zai. Posisi juara satu umum dan nilau UN tertinggi pindah ke tanganku.
Sedang, lelaki peci putih itu tetangga rumahku. Lebih tepatnya, dia bermukim di masjid dekat rumah kami. Lelaki peci putih itu sudah memasuki tahun kedua di universitasnya. Universitas nomor satu di kota ini. Lelaki peci putih itu, matanya sipit, kulitnya coklat, dan wajahnya, seperti ada seseorang yang sengaja meletakkan cahaya di wajahnya. Jika tertawa, maka deretan gigi putihnya akan membuat siapapun ingin lebih lama menatapnya.
***

            Aku dan La semangat menyalam tangan bang An; sebagai tanda berkenalan. Tapi, ternyata bang An menarik tangannya lebih dulu. Meletakkannya di atas dadanya. “Begini saja ya.” Kata bang An sambil tersenyum. “Biasanya, guru laki-laki La di sekolah mau disalam. Kok Abang nggak mau?” La sepertinya tidak terima tangan kanannya tak diacuhkan. “Nanti Bang An jelaskan, ya. Siapa tadi namanya? La, ya?” Balas bang An ramah.
            Semenjak hari itu, bang An rutin enam hari penuh dalam seminggu mengajarkan kami ilmu agama dan mengaji ayat-ayat suci. Mulai dari belajar wudhu, sholat, zikir, membaca Al-Quran, menutup aurat, menjaga jarak dengan lawan jenis, termasuk tidak menyentuh lawan jenis, dan lainnya.
Dalam waktu setahun, aku dan La sudah bisa berwudhu, sholat, membaca Al-Quran dan ilmu yang lainnya juga sudah diamalkan. Bahkan, dalam setahun, aku dan La sudah khatam membaca Al-Quran 5 kali.
***
2012. Dari tadi malam, aku sudah semangat sekali untuk siang hari ini. Pasalnya, tadi malam, aku sudah berhasil menghafal utuh teks pidato bahasa arabku; yang dibuatkan bang An pastinya. Karena, tiga hari lagi, aku akan mewakili sekolahku untuk mengikuti lomba pidato bahasa Arab.  Dan, aku akan menunjukkan pada bang An kemampuanku berpidato. Seperti sewaktu di sekolah menengah pertama dulu, aku rajin menjuarai pidato lomba bahasa Inggris. Bang An pasti senang dengan kemampuanku.
Siang hari ini tiba, aku dan La sudah duduk di kursi tempat kami biasa belajar. Lima menit kutunggu, namun bang An tidak juga tiba. Bukankah setahun ini, bang An tidak pernah datang terlambat sekalipun? Bahkan, bang An biasanya yang menunggui aku dan La. Kudengar salam bang An dari pintu depan. Nah!
Eh, siapa perempuan itu? Wajahnya.........................cantik sekali.
Ayah dan ibu menyambut kedatangan bang An dan perempuan itu, yang entahlah siapa. Ibu mempersilakan keduanya duduk. Mereka duduk berdekatan?! Bukankah bang An bilang, harus menjaga jarak dengan lawan jenis? Lalu? Itu?! Huh! Entahlah. Aku tiba-tiba tidak suka dengan perempuan itu.
“Ya, La.. Ini perkenalkan, namanya kak Ai. Kak Ai ini akan menggantikan bang An mengajari kalian mengaji. Karena, Ayah akan sangat sibuk. Tidak dapat lagi menemani kalian mengaji. Jadi, yang mengajar harus guru perempuan.”
“Bang An nggak ngajarin kita lagi? Terus, yang ngelatih Ya latihan pidato bahasa Arabnya siapa? Ya kan masih butuh latihan!” Jawabku kaget dengan nada suara yang aku sendiri tidak enak mendengarnya.
“Ya tenang aja. Kak Ai ini lebih pandai lagi bahasa Arabnya. Kak Ai lulusan pesantren juga kok. Bahkan, sering menang lomba pidato bahasa Arab. Ya kan, Kak Ai?” Bang An menyenggol lengan perempuan itu. Perempuan itu hanya balas tersenyum. Lalu menatap wajahku. “Jadi, adik cantik ini yang namanya Ya? Kata Bang An, Ya pintar sekali lho.” Kata perempuan itu masih dengan senyumnya, membuat kesalku runtuh dan menjadi tersipu.
Aku tidak bisa menjelaskan perasaanku seperti apa. Tapi, yang pasti kesalku berangsur hilang. Ketika perempuan itu eh kak Ai maksudku memperkenalkan dirinya. Ternyata, kak Ai, adik kandung dan saudara satu-satunya bang An, yang baru kuliah di kota kami. Mungkin, karena sangkin kagetnya bang An membawa seorang perempuan, aku tidak memperhatikan wajah mereka yang mirip.
Selama setahun ini memang, ayah telah mengorbankan waktunya untuk menemani kami mengaji dengan bang An. Karena, itu syarat dari bang An sendiri. Harus ada mahrom kami yang menemani. Jadi ayahlah yang menemani
Belajar dengan kak Ai lebih menyenangkan, tidak sekaku dengan bang An. Tapi, setelah beberapa minggu, aku tidak pernah lagi melihatnya, aku tiba-tiba merasa sangat kehilangan. Padahal, aku ingin sekali bang An melihatku lomba pidato bahasa Arab. Dan, entahlah, apakah kak Ai menceritakan pada bang An bahwa aku berhasil menyabet juara pertama. Aku merasa......................sangat merindukannya.
Semenjak tidak mengajar kami lagi, bang An sudah tidak lagi tinggal di masjid dekat rumah. Bang An hanya pamit waktu itu ke rumah. Bang An bahkan tidak menyapaku. Sedang aku, entah kenapa tiba-tiba juga tidak berani menatapnya, apalagi menyapanya. Hanya La yang dengan riang menyapa bang An. Itupun bang An hanya membalas senyuman dan bertanya kabar sekenanya. Tidak ada yang memberitahuku bang An pindah ke mana. Dan aku, menjadi benci pada diriku sendiri. Kenapa aku tiba-tiba menjadi sangat malu bertanya tentang bang An pada ibu, ayah, ataupun kak Ai.
***
Malam takbiran 2013. Tidak terasa, hari raya tinggal menunggu esok hari. Malam takbiran, kami berkumpul di rumah. Dari dulu, ayah memang tak pernah mengizinkan kami keluyuran kemanapun. Dan memang, aku dan La lebih senang di rumah. Jadi, kami asyik mengobrol tentang apapun. Dan kali ini, giliran La yang bercerita tentang keinginannya selepas menengah pertama. “La ingin jadi hafizoh, biar dapat mahkota nanti di akhirat. Boleh kan, Yah?” Aku tersentak, ucapan La barusan membuatku menurunkan novel yang sedang kubaca dari wajahku “Cie.. Kalau La jadi hafizoh, Kak Ya salah satu kandidat yang diajak ke surga, kan?” “Ehm..........” La pula-pula berpikir, tentu saja ingin membuatku kesal. “Boleh, nanti kita cari pesantren terbaik buat La, ya?” Jawab ayah.
            “Assalamu’alaykum......” Sahut seseorang dari pintu depan.
            “Biar Ayah yang buka pintunya.” Lalu, ayah bangkit menuju ruang depan.
            “Kak, kok kayaknya suaranya nggak asing, ya?” tanya La padaku.
            “Suara siapa?” Balasku cuek.
            “Ya ampun, makanya Kak Ya jangan baca novel aja dong ih! Bahaya kak Ya ini, Bu. Kalau lagi baca novel lupa segalanya.”
            Ibu hanya tertawa. “Ya, nggak asing dong, La. Masak suara guru ngajinya lupa. Tuh kak Ai dan bang An datang.” Ibu menunjuk kedua tamu itu dengan wajahnya.
            Deg. Bang An?!

            Sudah setahun aku tidak melihatnya. Baru kuketahui beberapa bulan yang lalu, lelaki peci putih itu pindah ke luar kota. Bahkan, pindah ke luar pulau. Lelaki peci putih itu mendaftar lagi di sekolah tinggi agama Islam yang selama ini diinginkannya. Karena tahun lalu gagal, tak membuatnya patah semangat untuk mencoba kembali. Dan ternyata diterima. Begitu cerita yang aku dapat dari kak Ai.
            La bangkit, dengan mudahnya memasang wajah riang karena ia pun merasa rindu pada guru yang dianggapnya sangat berjasa itu. Guru yang kerap kali memotivasi kami untuk menjadi hafizoh. Kudengar La dengan bahagianya menyapa lelaki peci putih itu. “Assalamu’alaykum, Bang An! Bang An,! Ayah udah ngizini lho La masuk pesantren. Nanti La mau masuk sekolah tinggi agama Islam tempatnya Bang An juga lho. Nanti kasih tahu La bocorannya masuk ke sana, ya! Harus janji lho, Bang An! Kan, La murid Bang An paling sholihah dan baik hati.” Celoteh La membuat siapa saja yang mendengar akan tertawa. Rasanya, kalau tidak karena jantungku yang tiba-tiba berdegup sangat kencang. Aku juga pasti sudah tertawa. Tapi, saat ini, aku lebih sibuk memikirkan kegugupanku. Antara bangkit dan pergi ke ruang depan atau tetap bertahan di ruangan ini.
            “Kak Ya..., kok masih di sini. Itu masak guru ngajinya datang nggak disapa. Nggak boleh gitu ah. Nggak sopan, Sayang....”
            “Hm.. Kak Ya masih asyik baca, Bu.” Akhirnya itulah jawabanku, yang dari tadi aku pun bingung memikirkannya.
            “Itu, kak Ai dan bang An mau pamit pulang ke kampung halamannya. Ibu yang nyuruh singgah sebelum pulang. Ayo, ayo, bangkit. Nanti kak Ai kecewa sama muridnya.” Ibu menarik tanganku. Dengan terpaksa aku bangkit bersama gugup yang luar biasa. Meski sejujurnya, aku senang dengan kunjungannya.
***

            Malam takbiran 2014, aku baru saja sampai rumah. Ramadan terakhir ini, aku menjenguk Na, sahabatku yang baru saja kembali dari rumah sakit. Karena tanggung pulang sudah mendekati magrib, akhirnya, aku berbuka puasa di rumah Na bersama sahabatku yang lainnya. Lalu, setelah itu kami pulang ke rumah masing-masing. Jarak rumahku dan Na memang cukup jauh, membuatku harus sampai rumah pukul setengah sembilan malam.
            Aku baru saja memasukkan sepeda motor ke garasi. Ada seseorang yang mengucap salam dari depan pagar, ternyata, “Kak Ai!”
            Malam takbiran ini, ternyata lelaki peci putih itu berkunjung lagi. Aku hanya bisa mematung melihatnya yang tiba-tiba muncul di belakang kak Ai. Aku pikir kak Ai sendirian. Entahlah, dia bahkan tidak menyapaku. Aku beralasan pada kak Ai, bahwa aku merasa lelah sekali. Jadi, tidak dapat menemani. kak Ai pun memaklumi. Aku berpesan pada La untuk memanggilku jika kak Ai akan pamit pulang. Entahlah, semakin lama perasaanku semakin sangat malu pada lelaki peci putih itu. Aku tidak tahu, sebenarnya, perasaan apa yang tengah menggelayut di sukmaku.
***
            Malam takbiran 2015. Tidak seperti malam takbiran tahun lalu atau dua tahun lalu. Malam takbiran ini, aku menunggu kehadirannya. Melihatnya sekejap, hanya untuk tahun depan baru (mungkin) dapat melihatnya kembali. Namun, ternyata, malam takbiran tahun ini, kak Ai ataupun lelaki peci putih itu tidak hadir berkunjung untuk pamit seperti malam takbiran biasanya.
***
            Malam takbiran tahun ini. Dua bulan lalu, kak Ai tidak lagi mengajar aku dan La karena kak Ai sudah sangat sibuk di kampusnya. Ayah lalu mencarikan lagi guru perempuan untuk kami. Guru perempuan baru kami usianya lebih tua dari kak Ai. Sudah berkeluarga. 
            Aku menunggu kunjungannya kembali. Apakah malam takbiran tahun ini, dia juga tidak berkunjung lagi? Apalagi, kak Ai sudah tidak mengajar kami lagi.
            Setelah, bu Ran, guru baru kami, mengajarkan bab pernikahan yang sesuai syariat beberapa hari lalu. Aku baru saja menyadari perasaan yang selama ini telah hadir. Bu Ran menyebutkan kriteria suami idaman. Lalu, membuatku merasa lelaki peci putih itu memenuhi kriteria yang disebut bu Ran. Dan tiba-tiba, perasaan itu menjadi terang. Perasaan yang tidak pernah kurasakan sebelumnya pada lelaki selainnya. Tiba-tiba, aku ingin, lelaki peci putih itu menjadi seseorang yang tidak hanya ada di dalam hatiku tetapi juga di hidupku.
            Dan malam takbiran tahun ini, ia juga tidak berkunjung. Mungkin, kota ini, bukan tempatnya untuk pulang lagi. Mungkin, dia juga tidak pernah merasakan apapun padaku. Aku harus ingat pada ucapan bu Ran bahwa cinta yang diridoi oleh Allah hanya ada di dalam pernikahan.

(Terbit di Analisa, Minggu, 2 Juli 2017)

Lanjutan Kisah Ya dan An

Epilog


            Aku sampai di bandara Kualanamu. Mencari taksi untuk menuju kontrakan Ai. Selama empat tahun ini, menjemput Ai adalah kegiatan rutin di akhir Ramadan. Karena, aku tidak mungkin membiarkan adikku itu pulang sendirian ke kampung halaman. Meski sebenarnya, aku tidak suka kembali ke kota ini. Karena, setiap kali ke sini, hanya akan membuatku kembali mengingatnya.
            Aku benar-benar menyesal menerima tawaran pak Lim, tetanggaku dulu. Harusnya, aku tidak pernah menerima pekerjaan itu. Tapi, melihat semangat pak Lim yang bercerita bahwa hidayah tiba-tiba hinggap di dadanya membuatku merasa perlu membantunya. Aku harusnya memang tidak pernah mengajari mengaji anak-anak pak Lim. Harusnya, aku bisa mencarikan guru perempuan saja. Namun, karena aku pun tidak banyak memiliki teman perempuan, aku takut akan membuat anak-anak pak Lim menunggu lama. Meski, akhirnya pak Lim menyempatkan waktunya untuk menemani aku dan anak-anaknya saat belajar. Sungguh, tidak akan kuulangi kembali. Aku tidak boleh lagi berbuat baik namun ada hal yang tidak sesuai syariat di sana.
            Aku benar-benar menyesal karena ada sesuatu yang tiba-tiba tumbuh setelah enam bulan mengajar anak-anak pak Lim. Padahal, aku sudah berusaha sebiasa mungkin waktu itu. Dan enam bulan ke depannya malah menyiksa dadaku. Malah membuat aku menjadi tidak enak sendiri pada pak Lim. Syukurnya, Ai, adikku datang ke Medan. Melanjutkan kuliah di sini. Ai dapat menggantikanku. Dan, aku pun akan pergi jauh dari kota ini. Menyulam harap kembali di sekolah tinggi agama Islam yang kuimpikan.
            Aku pikir setelah aku pergi jauh, menyelami kesibukan yang lebih baik, perasaan itu akan hilang dengan sendirinya. Namun, perasaan itu malah menjelma rindu yang aku benci sekali merasakannya. Meski memang aku akan lupa ketika sudah sibuk kuliah. Tapi, ketika sudah kembali ke kota ini, rindu itu tiba-tiba menyeruak kembali.
            Aku beristighfar berkali-kali. Tidak boleh ini kubiarkan. Ini belum waktuku untuk merasakannya. Rasa ini hanya untuk seseorang yang telah Allah halalkan untukku nanti.
            Aku tiba di depan kontrakan Ai. Ai sudah menungguku di depan pagar. Bergegas aku turun. Lalu membantunya memasuki barang-barangnya ke bagasi taksi. Setelah itu, kami duduk berdua di belakang supir. “Bang, barusan bu Ti telpon. Kita disuruh singgah sebelum pulang.” “Ini sudah pukul 10, Ai. Sudah malam.” “Bu Ti juga menelponnya pukul 10 kurang, Bang An. Kita kan biasanya singgah. Ini kok tahun lalu nggak singgah. Gitu tadi kata bu Ti. Sebentar saja. Kita hanya singgah kok, nggak namu.” Aku hanya bisa membuang napasku yang rasanya berat. Tahun lalu, tentu saja aku memaksa Ai untuk tidak singgah.
            Kami tiba di depan pagar bu Ti. Rumahnya terlihat ramai sekali. Mungkin, saudaranya berdatangan. Dan.........lemas lututku tiba-tiba. Dari kaca taksi, aku dapat melihatnya sedang asyik sendiri membaca sebuah buku di antara saudara-saudaranya, yang rata-rata anak-anak sedang berlari-larian. Aku ingin sekali menetap di taksi saja. Tapi, Ai memaksaku masuk ke dalam.
            “Kak Ai! Bang An!” Sapa riang La seperti biasanya.
            “Assalamu’alaykum, La.. Duh rindunya...” Ai berpelukan dengan La.
            “La juga sangat rindu pada Kak Ai. Kak Ya! Ih kok bengong sih kak Ai dan bang An-nya datang. Sebentar ya, Kak Ai, Bang An, La panggil ayah sama ibu dulu.”
            Dia terdiam melihatku dan Ai. Ah, aku memang tidak pernah berani menyapanya lebih dulu. Lebih tepatnya, aku hanya tidak tahu bagaimana cara menyapanya. Untung ada Ai yang selalu mewakilkan dan La yang selalu riang.
            “Assalamu’alaykum, Kak Ya.... Kak Ai dan Bang An-nya nggak diajak masuk nih?
            Dia tersadar. Berjalan ke arah Ai, menyalam tangan Ai dan seperti biasanya; tidak pernah menyapaku, meski hanya menolehkan kepalanya ke arahku. Mengajak Ai masuk. Dan setelah itu, seperti biasanya juga, dia tidak akan menampakkan wajah kembali sebelum kami pamit pulang.