Karya : Aisyah Haura Dika Alsa
Ini sudah malam
takbiran tahun kedua ia tidak pulang. Ah, kenapa harus pulang ke kota ini.
Tentu saja, dia punya kotanya sendiri untuk dipulangi. Jadi, harusnya aku tak
perlu kembali gelisah lagi. Memangnya, dia siapa sampai harus kutunggu kunjungannya.
Tapi, mengapa menghitung ketiadaannya tak dapat kuhindari. Apa karena rindu
sudah menggumpal dalam hati? Harusnya...... Harusnya, aku tak pernah
mengenalnya.
***
2011. Ayah, ibu, La, dan aku pergi
sekeluarga ke baitullah untuk umroh. Setelah umroh, jadwal siang sehabis
sekolah berganti. Biasanya, aku dan La enam hari penuh mengikuti kursus bahasa
Inggris dan bimbingan belajar. Sekarang, diganti belajar agama dan mengaji. Kursus
bahasa Inggris dan bimbingan belajar dipindahkan ke malam setelah isya. Itu
berarti les dipindahkan ke rumah.
Awalnya aku dan
La keberatan. Kenapa ayah begitu tiba-tiba mengganti jadwal yang sudah biasa
kami lakoni. Jika sudah ayah yang memutuskan maka tidak ada yang berani
membantah. Bukan aku tidak ingin belajar agama dan mengaji, namun aku lebih
suka jika jadwal itu dilaksanakan setelah Isya. Ayah hanya bilang, “Belajar
agama dan mengaji, jauh lebih darurat.” Ya, perkataan ayah memang benar. Mengingat,
dari sekolah dasar sampai sekolah menengah pertama, aku hanya belajar agama dua
les, itupun di sekolah. Selebihnya, hanya sewaktu di TK. Bahkan sholatku begitu
jarang. Apalagi membaca Al-Quran, aku sudah lupa meski hanya mengeja
huruf-hurufnya. Dua belas tahun, aku sibuk mengejar ilmu dunia. Dan dua hari
setelah kembali dari tanah suci, itulah permulaanku bertemu dengan lelaki
berpeci putih.
***
Tidak,
aku tidak jatuh cinta pandangan pertama pada lelaki berpeci putih itu. Bagiku
yang baru beranjak lima belas tahun, kata cinta masih sangat kaku di telingaku.
Tentu saja, aku pernah suka pada seseorang. Zai, misalnya. Anak laki-laki
paling tampan dan paling cerdas di kelasku. Tapi, aku lebih suka memikirkan
prestasiku. Aku selalu ketagihan mengikuti lomba-lomba lalu pulang membawa
piala. Aku lebih senang sibuk bersaing dengan Zai memperebutkan juara satu
umum.
Kesimpulannya,
aku hanya sekadar kagum pada Zai. Zai lebih pantas menjadi sainganku daripada
menjadi seseorang yang spesial di hatiku. Dan, tiga tahun perjuanganku tidak
sia-sia. Untuk pertama kalinya, aku berhasil berada di atas Zai. Posisi juara
satu umum dan nilau UN tertinggi pindah ke tanganku.
Sedang, lelaki
peci putih itu tetangga rumahku. Lebih tepatnya, dia bermukim di masjid dekat
rumah kami. Lelaki peci putih itu sudah memasuki tahun kedua di universitasnya.
Universitas nomor satu di kota ini. Lelaki peci putih itu, matanya sipit,
kulitnya coklat, dan wajahnya, seperti ada seseorang yang sengaja meletakkan
cahaya di wajahnya. Jika tertawa, maka deretan gigi putihnya akan membuat
siapapun ingin lebih lama menatapnya.
***
Aku
dan La semangat menyalam tangan bang An; sebagai tanda berkenalan. Tapi, ternyata
bang An menarik tangannya lebih dulu. Meletakkannya di atas dadanya. “Begini saja
ya.” Kata bang An sambil tersenyum. “Biasanya, guru laki-laki La di sekolah mau
disalam. Kok Abang nggak mau?” La sepertinya tidak terima
tangan kanannya tak diacuhkan. “Nanti Bang An jelaskan, ya. Siapa tadi namanya?
La, ya?” Balas bang An ramah.
Semenjak
hari itu, bang An rutin enam hari penuh dalam seminggu mengajarkan kami ilmu
agama dan mengaji ayat-ayat suci. Mulai dari belajar wudhu, sholat, zikir,
membaca Al-Quran, menutup aurat, menjaga jarak dengan lawan jenis, termasuk
tidak menyentuh lawan jenis, dan lainnya.
Dalam waktu setahun,
aku dan La sudah bisa berwudhu, sholat, membaca Al-Quran dan ilmu yang lainnya
juga sudah diamalkan. Bahkan, dalam setahun, aku dan La sudah khatam membaca
Al-Quran 5 kali.
***
2012. Dari tadi malam, aku sudah semangat sekali
untuk siang hari ini. Pasalnya, tadi malam, aku sudah berhasil menghafal utuh
teks pidato bahasa arabku; yang dibuatkan bang An pastinya. Karena, tiga hari
lagi, aku akan mewakili sekolahku untuk mengikuti lomba pidato bahasa Arab. Dan, aku akan menunjukkan pada bang An
kemampuanku berpidato. Seperti sewaktu di sekolah menengah pertama dulu, aku
rajin menjuarai pidato lomba bahasa Inggris. Bang An pasti senang dengan
kemampuanku.
Siang hari ini
tiba, aku dan La sudah duduk di kursi tempat kami biasa belajar. Lima menit
kutunggu, namun bang An tidak juga tiba. Bukankah setahun ini, bang An tidak
pernah datang terlambat sekalipun? Bahkan, bang An biasanya yang menunggui aku
dan La. Kudengar salam bang An dari pintu depan. Nah!
Eh, siapa perempuan itu? Wajahnya.........................cantik
sekali.
Ayah dan ibu
menyambut kedatangan bang An dan perempuan
itu, yang entahlah siapa. Ibu mempersilakan keduanya duduk. Mereka duduk
berdekatan?! Bukankah bang An bilang, harus menjaga jarak dengan lawan jenis?
Lalu? Itu?! Huh! Entahlah. Aku tiba-tiba tidak suka dengan perempuan itu.
“Ya, La.. Ini
perkenalkan, namanya kak Ai. Kak Ai ini akan menggantikan bang An mengajari
kalian mengaji. Karena, Ayah akan sangat sibuk. Tidak dapat lagi menemani
kalian mengaji. Jadi, yang mengajar harus guru perempuan.”
“Bang An nggak ngajarin kita lagi? Terus, yang ngelatih
Ya latihan pidato bahasa Arabnya siapa? Ya kan masih butuh latihan!” Jawabku kaget dengan nada suara yang aku
sendiri tidak enak mendengarnya.
“Ya tenang aja. Kak Ai ini lebih pandai lagi bahasa
Arabnya. Kak Ai lulusan pesantren juga kok.
Bahkan, sering menang lomba pidato bahasa Arab. Ya kan, Kak Ai?” Bang An menyenggol lengan perempuan itu. Perempuan itu hanya balas tersenyum. Lalu menatap
wajahku. “Jadi, adik cantik ini yang namanya Ya? Kata Bang An, Ya pintar sekali
lho.” Kata perempuan itu masih dengan senyumnya, membuat kesalku runtuh dan
menjadi tersipu.
Aku tidak bisa
menjelaskan perasaanku seperti apa. Tapi, yang pasti kesalku berangsur hilang.
Ketika perempuan itu eh kak Ai
maksudku memperkenalkan dirinya. Ternyata, kak Ai, adik kandung dan saudara
satu-satunya bang An, yang baru kuliah di kota kami. Mungkin, karena sangkin
kagetnya bang An membawa seorang perempuan, aku tidak memperhatikan wajah
mereka yang mirip.
Selama setahun
ini memang, ayah telah mengorbankan waktunya untuk menemani kami mengaji dengan
bang An. Karena, itu syarat dari bang An sendiri. Harus ada mahrom kami yang menemani. Jadi ayahlah yang
menemani
Belajar dengan
kak Ai lebih menyenangkan, tidak sekaku dengan bang An. Tapi, setelah beberapa
minggu, aku tidak pernah lagi melihatnya, aku tiba-tiba merasa sangat
kehilangan. Padahal, aku ingin sekali bang An melihatku lomba pidato bahasa
Arab. Dan, entahlah, apakah kak Ai menceritakan pada bang An bahwa aku berhasil
menyabet juara pertama. Aku merasa......................sangat merindukannya.
Semenjak tidak
mengajar kami lagi, bang An sudah tidak lagi tinggal di masjid dekat rumah. Bang
An hanya pamit waktu itu ke rumah. Bang An bahkan tidak menyapaku. Sedang aku, entah
kenapa tiba-tiba juga tidak berani menatapnya, apalagi menyapanya. Hanya La
yang dengan riang menyapa bang An. Itupun bang An hanya membalas senyuman dan bertanya
kabar sekenanya. Tidak ada yang memberitahuku bang An pindah ke mana. Dan aku,
menjadi benci pada diriku sendiri. Kenapa aku tiba-tiba menjadi sangat malu
bertanya tentang bang An pada ibu, ayah, ataupun kak Ai.
***
Malam takbiran 2013. Tidak terasa,
hari raya tinggal menunggu esok hari. Malam takbiran, kami berkumpul di rumah. Dari
dulu, ayah memang tak pernah mengizinkan kami keluyuran kemanapun. Dan memang,
aku dan La lebih senang di rumah. Jadi, kami asyik mengobrol tentang apapun. Dan
kali ini, giliran La yang bercerita tentang keinginannya selepas menengah
pertama. “La ingin jadi hafizoh, biar
dapat mahkota nanti di akhirat. Boleh kan, Yah?” Aku tersentak, ucapan La
barusan membuatku menurunkan novel yang sedang kubaca dari wajahku “Cie.. Kalau
La jadi hafizoh, Kak Ya salah satu
kandidat yang diajak ke surga, kan?” “Ehm..........” La pula-pula berpikir,
tentu saja ingin membuatku kesal. “Boleh, nanti kita cari pesantren terbaik
buat La, ya?” Jawab ayah.
“Assalamu’alaykum......”
Sahut seseorang dari pintu depan.
“Biar
Ayah yang buka pintunya.” Lalu, ayah bangkit menuju ruang depan.
“Kak,
kok kayaknya suaranya nggak asing, ya?” tanya La padaku.
“Suara
siapa?” Balasku cuek.
“Ya
ampun, makanya Kak Ya jangan baca novel aja
dong ih! Bahaya kak Ya ini, Bu. Kalau lagi baca novel lupa segalanya.”
Ibu
hanya tertawa. “Ya, nggak asing dong,
La. Masak suara guru ngajinya lupa. Tuh kak Ai dan bang An datang.” Ibu
menunjuk kedua tamu itu dengan wajahnya.
Deg.
Bang An?!
Sudah
setahun aku tidak melihatnya. Baru kuketahui beberapa bulan yang lalu, lelaki
peci putih itu pindah ke luar kota. Bahkan, pindah ke luar pulau. Lelaki peci
putih itu mendaftar lagi di sekolah tinggi agama Islam yang selama ini diinginkannya.
Karena tahun lalu gagal, tak membuatnya patah semangat untuk mencoba kembali.
Dan ternyata diterima. Begitu cerita yang aku dapat dari kak Ai.
La
bangkit, dengan mudahnya memasang wajah riang karena ia pun merasa rindu pada
guru yang dianggapnya sangat berjasa itu. Guru yang kerap kali memotivasi kami
untuk menjadi hafizoh. Kudengar La
dengan bahagianya menyapa lelaki peci putih itu. “Assalamu’alaykum, Bang An! Bang
An,! Ayah udah ngizini lho La masuk
pesantren. Nanti La mau masuk sekolah tinggi agama Islam tempatnya Bang An juga
lho. Nanti kasih tahu La bocorannya
masuk ke sana, ya! Harus janji lho, Bang
An! Kan, La murid Bang An paling sholihah dan baik hati.” Celoteh La membuat siapa
saja yang mendengar akan tertawa. Rasanya, kalau tidak karena jantungku yang
tiba-tiba berdegup sangat kencang. Aku juga pasti sudah tertawa. Tapi, saat
ini, aku lebih sibuk memikirkan kegugupanku. Antara bangkit dan pergi ke ruang
depan atau tetap bertahan di ruangan ini.
“Kak
Ya..., kok masih di sini. Itu masak guru ngajinya datang nggak disapa.
Nggak boleh gitu ah. Nggak sopan, Sayang....”
“Hm..
Kak Ya masih asyik baca, Bu.” Akhirnya itulah jawabanku, yang dari tadi aku pun
bingung memikirkannya.
“Itu,
kak Ai dan bang An mau pamit pulang ke kampung halamannya. Ibu yang nyuruh singgah sebelum pulang. Ayo, ayo,
bangkit. Nanti kak Ai kecewa sama muridnya.” Ibu menarik tanganku. Dengan
terpaksa aku bangkit bersama gugup yang luar biasa. Meski sejujurnya, aku
senang dengan kunjungannya.
***
Malam takbiran 2014, aku baru saja
sampai rumah. Ramadan terakhir ini, aku menjenguk Na, sahabatku yang baru saja
kembali dari rumah sakit. Karena tanggung pulang sudah mendekati magrib,
akhirnya, aku berbuka puasa di rumah Na bersama sahabatku yang lainnya. Lalu,
setelah itu kami pulang ke rumah masing-masing. Jarak rumahku dan Na memang
cukup jauh, membuatku harus sampai rumah pukul setengah sembilan malam.
Aku
baru saja memasukkan sepeda motor ke garasi. Ada seseorang yang mengucap salam
dari depan pagar, ternyata, “Kak Ai!”
Malam
takbiran ini, ternyata lelaki peci putih itu berkunjung lagi. Aku hanya bisa
mematung melihatnya yang tiba-tiba muncul di belakang kak Ai. Aku pikir kak Ai
sendirian. Entahlah, dia bahkan tidak menyapaku. Aku beralasan pada kak Ai, bahwa
aku merasa lelah sekali. Jadi, tidak dapat menemani. kak Ai pun memaklumi. Aku
berpesan pada La untuk memanggilku jika kak Ai akan pamit pulang. Entahlah,
semakin lama perasaanku semakin sangat malu pada lelaki peci putih itu. Aku
tidak tahu, sebenarnya, perasaan apa yang tengah menggelayut di sukmaku.
***
Malam takbiran 2015. Tidak seperti
malam takbiran tahun lalu atau dua tahun lalu. Malam takbiran ini, aku menunggu
kehadirannya. Melihatnya sekejap, hanya untuk tahun depan baru (mungkin) dapat
melihatnya kembali. Namun, ternyata, malam takbiran tahun ini, kak Ai ataupun
lelaki peci putih itu tidak hadir berkunjung untuk pamit seperti malam takbiran
biasanya.
***
Malam takbiran tahun ini. Dua bulan
lalu, kak Ai tidak lagi mengajar aku dan La karena kak Ai sudah sangat sibuk di
kampusnya. Ayah lalu mencarikan lagi guru perempuan untuk kami. Guru perempuan baru
kami usianya lebih tua dari kak Ai. Sudah berkeluarga.
Aku
menunggu kunjungannya kembali. Apakah malam takbiran tahun ini, dia juga tidak
berkunjung lagi? Apalagi, kak Ai sudah tidak mengajar kami lagi.
Setelah,
bu Ran, guru baru kami, mengajarkan bab pernikahan yang sesuai syariat beberapa
hari lalu. Aku baru saja menyadari perasaan yang selama ini telah hadir. Bu Ran
menyebutkan kriteria suami idaman. Lalu, membuatku merasa lelaki peci putih itu
memenuhi kriteria yang disebut bu Ran. Dan tiba-tiba, perasaan itu menjadi
terang. Perasaan yang tidak pernah kurasakan sebelumnya pada lelaki selainnya. Tiba-tiba,
aku ingin, lelaki peci putih itu menjadi seseorang yang tidak hanya ada di
dalam hatiku tetapi juga di hidupku.
Dan malam takbiran tahun ini, ia juga tidak berkunjung. Mungkin,
kota ini, bukan tempatnya untuk pulang lagi. Mungkin, dia juga tidak pernah
merasakan apapun padaku. Aku harus ingat pada ucapan bu Ran bahwa cinta yang
diridoi oleh Allah hanya ada di dalam pernikahan.
(Terbit di Analisa, Minggu, 2 Juli 2017)
Lanjutan Kisah Ya dan An
Epilog
Aku
sampai di bandara Kualanamu. Mencari taksi untuk menuju kontrakan Ai. Selama empat
tahun ini, menjemput Ai adalah kegiatan rutin di akhir Ramadan. Karena, aku
tidak mungkin membiarkan adikku itu pulang sendirian ke kampung halaman. Meski
sebenarnya, aku tidak suka kembali ke kota ini. Karena, setiap kali ke sini, hanya
akan membuatku kembali mengingatnya.
Aku
benar-benar menyesal menerima tawaran pak Lim, tetanggaku dulu. Harusnya, aku
tidak pernah menerima pekerjaan itu. Tapi, melihat semangat pak Lim yang
bercerita bahwa hidayah tiba-tiba hinggap di dadanya membuatku merasa perlu
membantunya. Aku harusnya memang tidak pernah mengajari mengaji anak-anak pak
Lim. Harusnya, aku bisa mencarikan guru perempuan saja. Namun, karena aku pun
tidak banyak memiliki teman perempuan, aku takut akan membuat anak-anak pak Lim
menunggu lama. Meski, akhirnya pak Lim menyempatkan waktunya untuk menemani aku
dan anak-anaknya saat belajar. Sungguh, tidak akan kuulangi kembali. Aku tidak
boleh lagi berbuat baik namun ada hal yang tidak sesuai syariat di sana.
Aku
benar-benar menyesal karena ada sesuatu yang tiba-tiba tumbuh setelah enam bulan
mengajar anak-anak pak Lim. Padahal, aku sudah berusaha sebiasa mungkin waktu
itu. Dan enam bulan ke depannya malah menyiksa dadaku. Malah membuat aku
menjadi tidak enak sendiri pada pak Lim. Syukurnya, Ai, adikku datang ke Medan.
Melanjutkan kuliah di sini. Ai dapat menggantikanku. Dan, aku pun akan pergi
jauh dari kota ini. Menyulam harap kembali di sekolah tinggi agama Islam yang
kuimpikan.
Aku
pikir setelah aku pergi jauh, menyelami kesibukan yang lebih baik, perasaan itu
akan hilang dengan sendirinya. Namun, perasaan itu malah menjelma rindu yang
aku benci sekali merasakannya. Meski memang aku akan lupa ketika sudah sibuk kuliah.
Tapi, ketika sudah kembali ke kota ini, rindu itu tiba-tiba menyeruak kembali.
Aku
beristighfar berkali-kali. Tidak
boleh ini kubiarkan. Ini belum waktuku untuk merasakannya. Rasa ini hanya untuk
seseorang yang telah Allah halalkan untukku nanti.
Aku
tiba di depan kontrakan Ai. Ai sudah menungguku di depan pagar. Bergegas aku
turun. Lalu membantunya memasuki barang-barangnya ke bagasi taksi. Setelah itu,
kami duduk berdua di belakang supir. “Bang, barusan bu Ti telpon. Kita disuruh
singgah sebelum pulang.” “Ini sudah pukul 10, Ai. Sudah malam.” “Bu Ti juga
menelponnya pukul 10 kurang, Bang An. Kita kan
biasanya singgah. Ini kok tahun lalu nggak singgah. Gitu tadi kata bu Ti. Sebentar
saja. Kita hanya singgah kok, nggak namu.”
Aku hanya bisa membuang napasku yang rasanya berat. Tahun lalu, tentu saja aku
memaksa Ai untuk tidak singgah.
Kami
tiba di depan pagar bu Ti. Rumahnya terlihat ramai sekali. Mungkin, saudaranya
berdatangan. Dan.........lemas lututku tiba-tiba. Dari kaca taksi, aku dapat
melihatnya sedang asyik sendiri membaca sebuah buku di antara
saudara-saudaranya, yang rata-rata anak-anak sedang berlari-larian. Aku ingin
sekali menetap di taksi saja. Tapi, Ai memaksaku masuk ke dalam.
“Kak
Ai! Bang An!” Sapa riang La seperti biasanya.
“Assalamu’alaykum,
La.. Duh rindunya...” Ai berpelukan dengan La.
“La
juga sangat rindu pada Kak Ai. Kak Ya! Ih kok
bengong sih kak Ai dan bang An-nya
datang. Sebentar ya, Kak Ai, Bang An, La panggil ayah sama ibu dulu.”
Dia
terdiam melihatku dan Ai. Ah, aku memang tidak pernah berani menyapanya lebih
dulu. Lebih tepatnya, aku hanya tidak tahu bagaimana cara menyapanya. Untung
ada Ai yang selalu mewakilkan dan La yang selalu riang.
“Assalamu’alaykum,
Kak Ya.... Kak Ai dan Bang An-nya nggak diajak
masuk nih?”
Dia
tersadar. Berjalan ke arah Ai, menyalam tangan Ai dan seperti biasanya; tidak
pernah menyapaku, meski hanya menolehkan kepalanya ke arahku. Mengajak Ai
masuk. Dan setelah itu, seperti biasanya juga, dia tidak akan menampakkan wajah
kembali sebelum kami pamit pulang.