Langit abu-abu dan hatiku juga begitu. Aku ingin mencari pelita. Tapi sepasang mataku takut bertemu pendar.
Wajahku basah malam tadi, ada sungai kecil mengalir lewati pipi. Seperti hujan yang turun gerimis. Lalu, yang jatuh terus deras.
Bunga-bunga itu kutabur dalam genggam tangan. Wanginya masuki hidung dan tertambat di jantung. Kemudian, ia berdenyut seirama dengan detak nadi yang kupunyai.
Akankah dalam hari-hari depan, aku akan seperti lebat hujan lagi. Yang bahkan, aku harus melepas meski belum tatap bertukar.
Tidak, aku tidak ingin lagi. Bunga-bunga itu, harus layu bersama tuanya usiaku. Harus tumbuh kembali, saat nanti di sebuah tempat yang indahnya tak bisa dibayangi.
Ambil baiknya. Ketika buruknya kau temui. Ketuk wajahku. Ingatkan aku.
Monday, December 25, 2017
Wednesday, November 22, 2017
Mas(ku)
Karya
: Aisyah Haura Dika Alsa
Gigil. Kursi-kursi
kosong. Jendela. Pagi nan indah. Tapi, barangkali indahnya hanya cukup pada
pagi tanpa membikin larik-larik merdu di hatiku.
Ini masih pagi
sekali untuk datang ke perpustakaan kampus. Bahkan tadi ketika aku sampai tepat
di depan pintu masuk perpustakaan, abang cleaning service baru saja mematikan vacuum
cleanernya. “Belum boleh masuk, Dek. Cepat kali kau datang bah. Udah sarapannya
kau?” Pegawai perpus sedikit kaget melihatku. Aku hanya mengangguk. Tersenyum
sopan. Tidak masalah menunggu. Hanya sekian menit lagi.
Hanya mahasiswa
tingkat akhir biasanya yang pagi-pagi begini sudah duduk di kursi perpustakaan.
Tapi, pagi ini. Pagi ini saja. Aku ingin melupakan sejenak tugas-tugas itu. Aku
bahkan tidak membawa apapun ke dalam perpustakaan. Tas, laptop, botol air
minum, handphone, semua barang itu aku tinggalkan di loker perpus. Ah, andai
saja meninggalkan perasaan ini semudah meninggalkan barang-barang itu di loker
sana.
Aku masih
menatap jendela di sisi kiri. Menatap biru langit nan cerah di atas sana. Sambil
menahan gigil sebab hanya aku mahasiswa –yang terlihat rajin– yang telah duduk
di kursi perpus ini. Pendingin ruangan seperti semuanya menujukan dinginnya
pada tubuhku. Tapi, masih lebih dingin dan gigil lagi di dalam sini. Di hati
ini.
“Ra.”
Aku menoleh ke
depan. Fiya tersenyum menyapaku. Mendorong kursi ke belakang. Agar ia dapat
duduk di kursinya, tepat di depan dudukku.
“Dosen
pembimbingmu segalak apa sih, Ra. Mukamu itu menyedihkan sekali.” Fiya tertawa
dan mulai menyalakan laptopnya. Aku menoleh ke sisi kiriku lagi. Fiya tidak
akan sakit hati jika aku tidak menjawab olokannya.
“Oh iya, Ra. Mas
Fra udah balikkan? Kamu nggak pulang ke
rumah, Ra?”
Lamunanku
tersentak setelah 5 menit Fira mendiamkan suaranya. Aku membuang napasku yang
berat. Kenapa sepertinya semua orang
sudah tahu dia sudah pulang.
“Mas Fra bawain
oleh-oleh apa buat kamu, Ra?”
Kali ini, aku
bukan tersentak lagi. Aku bahkan hampir menjatuhkan sebutir air dari sudut
mataku yang kanan. Aku mengerjap-ngerjapkan sepasang mataku, menjaga
butir-butir air itu agar tak luruh. Namun sepertinya sulit bagi mereka untuk tidak
jatuh. Aku lalu memilih bangkit dari kursiku. Menuju loker, mengambil semua
barangku dan mengambil kartu mahasiswaku. Keluar dengan buru-buru dari
perpustakaan sambil membawa jantung yang sesak. Meninggalkan pegawai perpus dan
Fiya dengan tanda tanya di masing-masing kepala mereka.
***
Laptop itu dari
tadi menyala di meja belajar dan buku-buku di sampingnya sedari tadi juga
terbuka. Tapi, aku tidak berhasil mengetik satu kalimat pun di sana. Jadi,
kupindahkan tubuhku duduk di sudut kiri kasur. Mulai kembali mengasihani diriku
sendiri. Mulai merunduk kembali. Menatap sepasang kakiku yang dibalut sandal
berbulu tebal –yang berguna menghangatkanku saat menginjak lantai yang dingin–.
Lalu kembali mendongak, menatap langit-langit kamar yang sepertinya menyimpan
semua perasaanku di sana.
Harusnya aku
merasa riang dengan kepulangannya. Siapa pula yang tidak senang melihat Masnya
pulang dengan membawa kabar gembira dari lain benua. Membawa banyak buah tangan
dan cerita menyenangkan. Membawa rindu yang menggunung setelah dua tahun tak kunjung
pulang kampung.
Kenangan itu
kembali merusuhi kepalaku, bagaimana ia yang mengelap air mata dan ingusku saat
aku menangis dimarahi ibu. Bagaimana ia yang menjemputku dari sekolah tak
peduli siang menyengat atau hujan yang lebat. Bagaimana ia yang selalu
memberiku hadiah-hadiah kecil dari uang sakunya. Bagaimana ia yang rela
begadang semalaman membantu mengerjakan pr sekolah. Bagaimana ia yang....
Aku jatuh dari
kasur. Terduduk di lantai yang terasa lebih gigil. Dan kemudian hanya dapat
memeluk lututku sendiri bersama sesunggukan yang perih.
***
“Iya, Fra itu
anak angkatku, Rin... Dari bayi sudah aku yang asuh. Orang tuanya tetangga
samping rumah kami yang dulu. Mereka sakit-sakitan. Lalu amanat mereka saat Fra
lahir, mereka minta tolong untuk kami yang mengasuhnya. Tak lama Fra lahir,
kedua orang tuanya meninggal dunia. Dan waktu itu aku memang belum punya anak,
sudah 3 tahun menikah. Suamiku pun setuju untuk mengasuhnya. Tapi, alhamdulillah
dua tahun setelah mengasuh Fra. Lahir anak perempuan kami yang pertama. Lalu
satu tahun setelahnya, lahir anak perempuan kami yang bungsu. Ayahnya mulai
khawatir karena anak kami dua-duanya perempuan. Bagaimanapun putri kami dan Fra
adalah ‘orang lain’. Takut menimbulkan masalah di kemudian hari. Untuk itulah
kami memasukkan Fra ke pesantren sejak ia mulai baligh (dewasa) sampai ia
menyelesaikan sekolahnya. Lalu kami menguliahkannya di negeri tetangga. Hingga
akhirnya Fra mencari sendiri beasiswa untuk melanjutkan kuliahnya. Fra tidak
mau lagi kami biayai sekolahnya. Dia memang anak yang baik budi sekali, Rin..
Merasa takut sekali menyusahkan kami. Padahal aku dan suami tidak masalah, sudah
seperti anak kami sendiri, Rin..” Ibu mengusap air matanya yang luruh dengan
tisu di meja tamu. Sedang berkisah dengan tante Rina, karib lama ibu saat
sekolah dulu dan baru bertemu lagi saat ini, setelah puluhan tahun telah
terlampaui.
“Dan anak yang
cerdas dan mandiri juga aku pikir, Wa. Pasti kalian sangat baik sekali
mendidiknya.” Tante Rina tersenyum, lembut mengusap-usap bahu kiri ibu. “Jadi,
apakah Fra sudah tahu dia anak angkat?” Tanya tante Rina dalam kalimat
selanjutnya.
“Sudah, Rin.. Kami
memberitahunya sebelum ia dimasukkan ke pesantren. Kami menjelaskan padanya dan
pada kedua putri kami dengan sangat hati-hati.”
“Hm.. Aku ingin
tahu bagaimana reaksi Fra waktu itu.”
Ibu tertawa
pelan. Tapi sambil juga air matanya jatuh.
“Dia hanya diam,
Rin. Dia memang terlihat sangat terkejut. Tapi dia tidak mengeluarkan sepatah
katapun. Sekecil itu entah dari mana dapatnya pelajaran untuk tegar. Aku
rasanya ingin sekali memeluk dan menciumnya. Tapi, dia sudah baligh waktu itu. Jadi,
aku hanya bisa menangis.” Ibu mengenang kejadian itu dengan senyuman yang
semakin lebar tapi juga dengan air mata yang makin banyak tumpah.
Tante Rina
tersenyum lagi mendengar cerita ibu. “Lalu bagaimana dengan reaksi putri-putri
kalian, Wa?”
Ibu terhenyak
dengan pertanyaan karibnya kali ini. Terdiam sebentar. Seperti ada sesuatu yang
menyulitkan di bagian itu.
***
Aku ingat sekali
kejadian hari itu, aku benar-benar tidak pernah menyangka kalau dia bukan
Masku. Dan ketika dia pamit untuk sekolah di pesantren, aku meraung-raung menangis
tidak ingin berpisah dengannya. Dia tidak banyak bicara, hanya mengelus
kepalaku, mengelap air mata dan ingusku. Seperti yang biasa dia lakukan. Dan
memelukku begitu erat. Dan itulah pelukan terakhir darinya. Karena satu tahun
kemudian, saat dia pulang liburan, dia tidak lagi boleh menyentuhku. Karena aku
juga sudah baligh. Hingga tahun-tahun berikutnya, ia tidak lagi memperlakukanku
seperti adiknya. Saat itulah, aku merindukan saat-saat kami kecil. Dan saat
itulah, aku mulai merasa ada sesuatu yang lain di dalam degupku. Sesuatu yang seharusnya
tidak pernah tumbuh di dalam sini.
Dia berubah
menjadi benar-benar dingin ketika kami besar. Hanya sesekali mengobrol. Dia
lebih banyak bercengkrama bersama ayah dan ibu saat ia pulang liburan. Tidak
ada lagi dia mengajakku untuk diboncengnya naik sepeda, jajan bakso di depan
sekolah, lomba lari di gang rumah, atau mandi hujan saat hujan sedang turun
sederas-derasnya. Ah, bodohnya aku. Tentu saja, tidak akan mungkin lagi aku dan
dia bermain seperti kami kecil.
Seperti biasa,
dia tidak pernah sekalipun mengabarkan padaku, ia akan pulang. Kali ini, aku
memutuskan untuk tidak pulang ke rumah dan berkilah menyelesaikan skripsi meski
jarak kontrakanku hanya satu setengah jam dari rumah. Dan kepulangannya kali
ini, aku benar-benar tidak menyukainya. Meski aku tahu, di rumah ada yang gugup
sekaligus riang menanti kepulangannya.
Akulah dan
perasaankulah yang salah. Akulah yang seharusnya berusaha untuk tetap
menganggapnya sebagai Masku meski sebenarnya ia bukan. Ah, dia tentu
benar-benar akan menjadi Masku sebentar lagi. Mas iparku.
***
(Penulis adalah Alumni Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
Terbit di Analisa, 19 November 2017
Wednesday, November 15, 2017
Lamaran Lelaki Kutub Selatan
Karya : Aisyah Haura Dika Alsa
Dia. Anak
laki-laki itu, yang sedang duduk di kursinya barisan dua sisi kanan sedang asyik
ngobrol dengan teman laki-lakinya. Aku. Yang dari tadi menahan langkah terduduk
di kursiku, berusaha keras mendiamkan kesalku. Anak laki-laki itu memang tidak
berubah-ubah semenjak dulu. Seenak jidatnya selalu. Apa tadi dia bilang? Dia tidak
bisa ikut mengerjakan tugas kelompok karena sudah janji dengan teman-temannya
naik gunung. Dia membuatku geli sekali. Naik gunungnya jauh lebih penting
ketimbang kuliahnya. Ingin sekali kutinju mukanya itu!
Beruntung Nay
membawaku segera minggat dari kelas. Nay tahu sekali wajahku sudah seperti air
rebus. Jangan sampai dibiarkan matang. Nanti banyak asapnya. Sebaiknya langsung
dipadamkan apinya. Nay membawaku jajan tempura di depan kampus. “Vey, kita bisa
kok ngerjai tugasnya tanpa Bagas. Nanti laporannya Bagas aja yang ngerjai
semuanya. Dia juga yang ngeprint. Plus buat power pointnya. Aku yakin dia mau
aja kok.” Nay mencomot tempura pertamanya.
“Baguslah kalau
dia nggak ikut. Aku nggak lihat muka dia besok satu harian.” Nay tersedak.
Tersenyum setengah tertawa. “Nggak boleh benci-benci kali, Vey. Kebanyakan terlalu
benci bisa cinta. Gitu sih kebanyakan. Aku ngomong berdasarkan fakta di sekitar
ya, Vey. Jadi akurat.” “Aku lagi males bercanda, Nay.” Nay hanya balas
menyengir.
Aku dan anak
laki-laki itu entah kenapa selalu sekelas sejak SMP. Bahkan masih juga sekelas
saat kuliah. Ah, iya. Dia masih anak-anak di mataku. Entah karena membencinya. Jadi,
aku enggan menyebutnya sebagai lelaki. Kami tidak pernah bertengkar sebenarnya.
Tidak pernah adu mulut sekalipun. Karena selalu, jika aku kesal dan marah-marah
padanya. Dia hanya menanggapinya dengan sikap dingin. Terakhir kali, aku
merecoki telinganya dengan mulutku saat tahun pertama di SMA. Saat aku
marah-marah, tiba-tiba seisi kelas melihat ke arah kami. Kelas terasa benar-benar
tegang. Merasa diperhatikan seisi kelas, aku mendiamkan mulutku. Sedang anak
laki-laki itu berdiri dari bangkunya, pergi meninggalkan kelas dengan sikap
dinginnya. Sejujurnya, aku merasa bersalah telah memarahinya di depan
teman-teman kami. Dan sejak saat itu, aku tidak lagi berkeinginan untuk menceracau
mulutku padanya. Meski ia sering membikin darahku naik. Tapi aku selalu
berusaha menahannya.
Dari awal
mengenalnya, aku memang sudah tidak suka padanya. Dia anak yang pendiam. Tapi
teman-temanku selalu bilang senang mengobrol dengannya. Meski dia lebih banyak
mendengarkan. Tapi dia benar-benar peduli terhadap lawan bicaranya. Pendengar
yang baik. Meski ada saat-saat dia terbahak lama sekali. Tapi itu adegan yang
jarang terjadi. Berbeda denganku yang ceria. Meski dimarahi ibu di rumah. Aku
bisa tetap riang di sekolah. Rasa semakin tidak suka itu semakin besar saat
ternyata dia juara kelas. Sedang peringkatku satu tangga di bawahnya. Aku
merasa sudah benar-benar berada di atas langit waktu itu. Tapi mendengar pengumuman
juara kelas, langitku runtuh seketika. Sejak itu, aku benar-benar merasa dia
adalah saingan beratku bahkan sampai hari ini. Kami memang tidak pernah
bertengkar. Tapi juga tidak pernah berteman.
***
“Vey, kalau ada laki-laki yang baik yang ingin
menikah dengan Vey saat ini. Vey bersedia?” Tanya ibu dengan nada hati-hati
sambil mengelus rambutku. Aku sedikit kaget dan geli. “Ibu, Vey baru saja
semester dua di kuliah. Masih mau serius belajar.” Jawabku sambil lanjut
membaca. “Tapi menurut Ibu, Vey sudah bisa. Dan menikah bukan berarti nggak
bisa belajar serius. Asal paham tanggung jawab, insya Allah semua akan lancar.”
“Vey belum mau, Bu.” “Kalau Ibu jadi Vey, Ibu takut menyesal menolaknya. Dia anak
yang baik, cerdas, wajahnya tampan, dari keluarga yang baik-baik juga.” Aku
langsung bangkit dari tiduran di paha ibu. Merasa tertarik. “Memangnya siapa
yang melamar Vey, Bu?” “Tapi tadi katanya belum mau.” Ibu menggodaku. “Hehe.. Nanya
siapakan bukan berarti mau, Bu. Nanya doang hehehe..” Ibu tersenyum. “Bagas, Nak. Teman kamu.” Mataku
membelalak. Mulutku menganga lebar. Mengeluarkan bunyi dua huruf dengan rasa
terkejut paling tinggi. “HA???????!” Jantungku seperti diledakkan dan pecah
hingga tercecer kemana-mana.
Yang benar saja. Anak laki-laki itu sudah gila
kupikir. Berani-beraninya dia. Dia pikir dia siapa. Apa tadi ibu bilang, sudah
sejak kelulusan SMA dia datang dengan orang tuanya saat aku tidak di rumah. Tapi
saat itu ibu dan ayah menolaknya secara halus. Dan dua hari lalu, dia sendiri
datang saat aku tidak di rumah lagi. Kali ini ayah dan ibu mempertimbangkannya.
Karena melihat aku sudah berani diantar pulang teman laki-laki. Meski hanya
sekali. Dan berita-berita pacaran yang kelewat batas hingga ‘kecelakaan’ dan akhirnya
harus menikah dengan terpaksa. Itu yang membuat ibu dan ayah sangat
mempertimbangkannya. Mereka merasa benar-benar khawatir dengan pergaulan anak
muda masa kini. Merasa harus segera membuatku menikah. Apalagi ditambah dengan
adegan ayah dan ibu yang sudah ingin menimang cucu. Karena aku anak yang
sulung.
Ha, bagaimana
ini? Bagaimana nanti aku harus bertemu muka dengannya? Bagaimana kalau teman-teman
SMP, SMA, kuliah, semuanya tahu? Mereka semua tahu bahwa ada perang dingin
antar aku dan anak laki-laki itu. Karena memang aku sering menunjukkannya. Meski
tidak dengan merepet di depan mukanya. Tapi saat diskusi di kelas, kami sering saling
menjatuhkan. Aih, bahkan guru-guru dan dosen-dosen tahu, bagaimana dinginnya
kami saat saling beradu pendapat. Kalau sudah begitu, seisi kelas tidak ada
yang berani menganggu. Membiarkan kami berdua saling menjatuhkan. Guru atau
dosen di depan, biasa juga hanya ikut memperhatikan. Dan kebanyakan berakhir dengan
tertawa bersama kalimat, “Bagas, Vey, sudah cukup. Kalian tidak boleh
sering-sering begini. Jadilah yang ditengah-tengah. Terlalu cinta juga tidak
baik. Terlalu benci apalagi. Hati-hati, jangan-jangan nama kalian nanti satu
tempat di kartu undangan.” Seisi kelas
menertawakan kami.
***
“Aduh..
Bagaimana ini.. Kalau begini, bisa-bisa aku ingin pindah kelas. Ah, pindah
kampus sekalian. Awas saja, gara-gara dia aku seperti ini... Aduh...” Aku
bertahan di kamar mandi fakultas. Akhirnya dengan amat terpaksa, aku mengalah
dengan rasa maluku sendiri. Tidak mungkin aku tidak masuk kelaskan? Meski aku
tidak tahu harus menaruh wajahku di mana saat melihatnya. Rasanya jika sampai
di kelas, aku ingin menggerebek mejanya dan meninju mukanya. Aih, itu kriminal
namanya. Oh iya, dia m elamar, bukan
berarti tidak bisa aku tolakkan? Ya Tuhan, kenapa aku tidak berpikir dari
kemarin. Aih, betapa bodohnya pikiranku. Iya, aku harus menolaknya. Bagaimana
bisa aku menikah dengan laki-laki sedingin es di kutub Selatan. Aaahh, aku
tidak mau membayangkan menikah dengannya. Hoy, kabar ini seperti mimpi buruk
bagiku. Aku harus segera menelpon ibu. Aku harus segera bilang aku SAMA SEKALI
tidak bersedia menikah dengan anak laki-laki dari kutub Selatan itu. Entah dari
mana dia dapat ide melamarku.
“Taruh semua tas
kalian di depan kelas. Kita tes hari ini. Jelek nilai kalian, nggak usah lulus
di mata kuliahku. Jumpa lagi tahun depan. Tahunya aku, sayang kalian samaku.” Handphoneku
hampir loncat dari tanganku. Pak Saragih masuk dengan tiba-tiba. Tes berjalan
30 menit. Aku lancar saja mengerjakannya karena memang setiap malam aku belajar.
Aku meletakkan penaku. Bersiap bangkit dari kursi. Tapi, anak kutub Selatan itu
lebih dulu bangkit dan mengantarnya di meja dosen. Huh. Aku memonyongkan
bibirku melihatnya.
Kelas Pak
Saragih satu setengah jam kemudian selesai. Aku melihat ke arahnya. Dia selalu
duduk di baris kedua sisi kanan. Sedang aku duduk di barisan ketiga sisi kiri. Dia
duduk sambil membaca. Kami sedang menunggu mata kuliah selanjutnya. Di sela
itu, teman perempuanku Mila yang terkenal cantik dan baiknya menghampiri anak kutub
Selatan itu dan berdiri di depan duduknya. “Hm.. Bagas, Mila belum terlalu
paham tugas dari Pak Saragih tadi. Karena kita satu kelompok. Nanti sebelum
pulang tolong jelasi ke Mila dulu, ya.” “Iya, bisa, Mila. Tapi, nggak bisa lama
ya.” “Cieee.....................” Satu kelas kompak menyoraki mereka.
Dari awal masuk,
teman-teman memang suka menjodoh-jodohkan satu dengan yang lain. Dan di kelas
ini, anak kutub Selatan itu dijodoh-jodohkan dengan Mila hanya karena Mila
sering bertanya pada anak laki-laki itu soal tugas dan mata kuliah. Jodoh-jodohan
begitu aku tidak pernah peduli. Itu olokan paling kekanak-kanakan menurutku. Karena
itu hanya membuat malu, salah tingkah, dan serba salah kepada yang sedang
dijodoh-jodohkan. Apalagi jika yang dijodoh-jodohkan memang memiliki rasa suka
terpendam. Bisa makin banyak salah tingkahnya.
Tapi, saat ini. Saat
ini rasanya. Kenapa aku merasa peduli dengan olokan itu. Kenapa aku merasa
olokan itu benar-benar menjadi hidup untuk anak kutub Selatan itu dan Mila. Untuk
pertama kalinya, aku tidak suka anak laki-laki kutub Selatan itu
dijodoh-jodohkan dengan Mila atau barangkali juga dengan siapapun. Kenapa aku
malah tidak lagi berniat menelpon ibu. Kenapa sepertinya aku merasa cemburu.
(Penulis adalah Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
Terbit di Medan Bisnis, 12 November 2017
Terbit di Medan Bisnis, 12 November 2017
Friday, September 8, 2017
Lelaki di Rumah Depan
Karya : Aisyah
Haura Dika Alsa
Apakah di luar
sana langit-langit sedang ditumpahi bintang-bintang? Ataukah malah awan hitam
yang tengah membentang? Lalu, akan membuat kumpulan air yang akan menghujan? Aku
sungguh tidak tahu bagaimana keadaan malam di luar sana dan aku juga tidak
ingin mencari tahu.
Semenjak
beberapa bulan yang lalu, telah ada yang tinggal di rumah depan milik keluarga
kami. Sepasang bersaudara. Adiknya kuliah dan abangnya bekerja. Mereka berasal
dari sebuah kabupaten yang jika dari kota sini memakan waktu 12 jam perjalanan
daratan. Dan hal itu, membuatku menjadi semakin jarang keluar rumah. Meski
hanya untuk membeli panganan atau minuman ringan di kedai sebrang depan rumah
kami –lebih tepatnya, di sebrang depan rumah kontrakan yang saat ini ditinggali
sepasang bersaudara itu, sedang kami menempati rumah milik keluarga kami di
belakangnya–
Dan sejak mereka mengontrak di rumah
depan, aku benar-benar tidak pernah lagi menyengajakan diri untuk sekadar duduk-duduk
di kursi taman halaman depan rumah dengan lampu taman yang indah terang. Meski
di sana, ada banyak saudara laki-lakiku, ayah, atau ibu atau kakak perempuanku
yang senang menghabiskan sabtu malam sambil berkumpul menceritakan luka atau
gembira.
Akulah
sebenarnya yang paling suka duduk di sana memandangi langit-langit kesukaan;
langit malam yang gulita yang makin tampak indah dengan pendar bulan dan
bintang yang pelita. Semua keluargaku tahu itu. Dan semua juga bertanya-tanya,
mengapa sekarang aku selalu menolak untuk duduk di sana, saudara-saudara
kandungku sibuk dengan rasa penasarannya. Tapi, tetap saja tidak ada yang tahu.
Dan aku membiarkan mereka dengan rasa penasarannya. Tidak biasanya aku
merahasiakan sesuatu. Tapi, mau bagaimana lagi. Aku bahkan malu pada diriku
sendiri dengan alasannya. Apalagi jika menyampaikan jawabannya dengan yang
lain.
Padahal
seharusnya, aku tidak perlu malu. Harusnyakan aku bisa merasa atau bersikap
biasa saja. Tapi, kejadian itu. Kejadian pertama kali pertemuan kami. Kejadian
yang rasanya paling memalukan dalam hidupku. Benar-benar sangat memalukan.
Waktu itu, aku
benar-benar merasa lelah. Dari pagi hingga siang banyak sekali yang harus
kuselesaikan di kampus untuk sidang meja hijau dua hari ke depan. Ditambah
mentari siang yang begitu menyengat dan aku benar-benar kelupaan membawa
dompet, uang di tasku telah habis mengurus ini itu untuk sidang dan sisanya
hanya pas untuk ongkos sekali naik angkutan. Sisanya, aku harus berjalan kaki 10
menit untuk sampai ke rumah. Sampai di rumah, aku tergeletak di sofa ruang tengah.
Wajah putihku memerah karena kepanasan. Hanya aku sendirian yang di rumah. Itu
sebabnya aku tidak bisa meminta jemput siapapun.
Dan tiba-tiba
aku merasa benar-benar tidak suka dengan suara bel yang ditekan seseorang dari
luar. Haaaayyy, siapa pula siang-siang begini yang bertamu. Pikirku jengkel
waktu itu. Karena tidak ada orang di rumah maka akulah yang harus membuka pintu
depan. Dengan sisa tenaga yang juga belum sempat makan siang, aku berjalan
lemah membuka pintu. Aku bahkan lupa pesan ayah, “Anak-anakku, jika ada tamu di
luar, intip dulu dari jendela setelah dipastikan bahwa orang yang datang adalah
orang baik-baik maka buka pintunya. Kita bukan berpikiran buruk tapi berusaha
waspada.” Jadi, tentu saja, aku main buka pintu langsung.
Setelah pintu
kubuka, ada dua orang yang berdiri di sisi sebelah kiri. Hm, ternyata mereka
mengerti untuk tidak berdiri di depan pintu saat menunggu tuan rumah membukakan
pintu. Begitu pikirku waktu itu. Aku mengarahkan pandang ke sisi sebelah kiri. Ada
seorang pemuda dan seorang perempuan di sana, sepertinya sepasang suami istri.
Tapi... pemuda itu, ujung bawah kain celananya di atas mata kaki dan janggut
dibiarkan tumbuh di dagunya sedang kumisnya tipis dan seorang perempuan yang
kuduga istrinya, berpakaian dengan jilbab pendek tapi menutupi dada, kaus
panjang dan rok serta memakai kaus kaki. Dari gaya berpakainnya, aku tidak lagi
mengira mereka sepasang suami istri.
Tiba-tiba begitu
saja, aku merasa kikuk.
“Assalamu’alaykum..
Maaf menganggu waktu istrirahat siangnya, Mbak. Saya ingin bertemu dengan bapak
pemilik rumah ini. Saya yang ingin mengontrak rumah di depan, sudah janjian
sama Bapak. Kata Bapak pukul 3 sore.” Pemuda itu berkata sopan.
Tapi, aku
tersinggung dengan kalimatnya. Apakah wajahku tampak sebegitu lelahnya
sampai-sampai dia bilang menganggu istirahat siang. Eh, sebentar! Wajahku?! Ya
Allaah!
Aku lupa memakai
cadarku!
***
Jika sudah
melewati pintu rumah bagian depan, aku mewajibkan diriku untuk memakai cadar. Karena
pagar rumah kami bukan pagar yang menjulang tinggi dan menyembunyikan bagian
dalam rumah. Ayahku sama sekali tidak suka dengan pagar seperti itu. Ayah gemar
bertetangga, merasa sangat perlu untuk akrab dengan tetangga, untuk itulah ayah
membeli pagar yang tingginya sedang dan orang-orang di luar pagar rumah kami
bisa melihat permukaan rumah kami. Permukaan rumah yang sekarang dikontraki
lebih tepatnya dan halaman yang cukup luas yang ada di sampingnya. Dan rumah
kami ada di belakangnya tertutupi rumah kontrakan. Rumah kontrakan itu memang
terpisah dari rumah kami. Untuk itulah, meski sedang duduk-duduk di kursi taman
halaman depan rumah, aku tetap memakai cadar, biasanya menggunakan cadar tali. Tapi,
kejadian pertemuan pertama kali itu. Ah, aku benar-benar malu mengingatnya.
Aku memang
mengikuti ulama yang berpendapat cadar itu sunnah setelah aku mencari tahu
cukup detail dalil-dalil dan penjelasan dari ustad tentang cadar wajib atau
cadar sunnah. Akalku lebih dominan mengikuti yang sunnah. Jadi, kejadian
pertemuan pertama kali itu tidak kuanggap berdosa karena aku masih memakai pakaian
lengkap yang menutup aurat karena memang aku belum berganti baju sepulang dari
kampus. Karena, aku merasa sudah di dalam rumah jadi cadarku kulepas. Karena
sangkin lelahnya jadi aku tidak dapat berpikir normal. Aih, bahkan dia bilang
“Maaf mengganggu waktu istirahat siangnya, Mbak..” Mungkin, wajahku waktu itu memang
menunjukkan betapa lelahnya aku.
Aku merasa itu
kejadian yang sangat memalukan dan rasa maluku semakin bertambah karena dia
bukan pemuda biasa. Ayahku begitu menyukai pemuda itu. Hingga seringlah namanya
terdengar di telinga keluargaku –termasuk aku– karena ayah sering menceritakan
kesholihannya. Dan beberapa minggu kemudian, rasa maluku menambah lagi. Aku
tidak sengaja melihatnya memarkirkan sepeda motornya saat aku juga sedang
memarkirkan sepeda motor di tempat yang berbeda. Parkiran laki-laki dan
perempuan dipisah. Dugaanku benar, kami satu pengajian!
***
Meski, saat
keluargaku berkumpul di taman –yang berada tepat di samping rumah kontrakan– pemuda
itu hanya sekali pernah ikut duduk bersama di sana bersama adik perempuannya
–tentu saja, aku tidak ikut duduk di sana–. Kata ayah, “Mungkin dia merasa
tidak enak. Takut menganggu acara keluarga. Padahal yahh, Ayah senang-senang
saja kalau dia ikut kumpul bersama kita. Sepertinya, Ayah ingin menjadikannya
mantu. Sama anak perempuan Ayah yang mana yah? Anak perempuan Ayah sepertinya
tinggal satu yang belum menikah.” Goda ayah melirik-lirikku dengan senyum
menggodanya. Tidak seperti biasanya, candaan ayah yang ini tidak dapat kubalas
sama sekali. Aku benar-benar terdiam. Tidak tahu harus menjawab bagaimana atas
godaan ayah. Wajah putihku tiba-tiba memerah. Sebelum yang lain ikut
menggodaku, aku meninggalkan piring sarapanku segera, menyalam tangan ibu dan
ayah dan pamit menuju kampus dengan jantungku yang berdetak lebih cepat dari
biasanya.
(Penulis adalah alumni Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
Terbit di Medan Pos, 30 Juli 2017
Monday, September 4, 2017
Ka Lambang Hati Fa
Karya : Aisyah Haura Dika Alsa
Fa
Hari itu, aku baru saja pulang dari kampus.
Turun dari angkutan umum, bergegas lari mengejar rumahku yang tak bisa
melarikan diri. Sepanjang gang, perutku sudah tidak sabar membayangkan masakan
ibu hari ini. Tadi di kampus, aku tidak sempat jajan apapun. Jadwal kuliah dan
kegiatan di komunitas begitu padat, membuatku harus pulang pukul tiga sore.
Kupikir, daripada jajan atau makan di luarlebih baik langsung pulang saja. Aku
ingat tadi pagi ibu berpesan, ibu akan masak udang sambal kesukaanku.
Sepanjang perjalanan, aku hanya bisa menahan air liur.
Setiba di rumah, aku bergegas ke dapur. Membuka
lemari makan, mengambil piring dan mencium sedapnya aroma udang sambal,
ditambah lagi dengan sayur bening. Air liurku makin tak tertahankan. Tak lupa
air hangat kesukaanku seperti biasa. Ah, iya, aku akan merasa mual jika minum
air biasa. Entahlah, aku juga tidak tahu mengapa bisa begitu. Sebaiknya, aku
bergegas makan daripada memikirkan hal lain. Perutku sudah begitu baik sebab
sudah mau toleransi terhadap jadwalku yang penuh.
Hm... Ini enak sekali. Setelah kurasa perutku sudah
membaik, aku mencari ibu ke kamarnya. Untuk mengucapkan terima kasih karena
selalu bisa menghidang makanan lezat dan bergizi. Membuatku akan merasa sayang
jika makan di luar rumah. Ah, ibu. Kenapa tidak membuka rumah makan saja.
Masakan ibu benar-benar enak sekali.
“Ibu... Assalamu’alaykum.. Tok.. Tok.. Tok..” Aku
mengetuk pintu kamar ibu sambil juga mengeluarkan bunyi tok-tok dari mulutku
sendiri.
“Ibu...., Fa boleh masuk, nggak? Ibu
lagi bobo siang ya?”
“Ibu... Lagi ngapain sih? Fa kangen sama
Ibu nihhhh. Tahu nggak, entah kenapa tadi di kampus, Fa
memikirkan ibu terus. Fa berpikir, Ibu sedang apa ya di kantor. Ibu nggak
capek apa ya, habis pulang ngantor langsung masak. Huh.. Fa
saja rasanya lelah sekali.” Kataku mencoba menggoda ibu.
Kalau tidak ada sahutan begini, pasti ibu
mengerjaiku. Aku masuk saja dan ternyata pintunya tidak dikunci. Aku langsung
rebahan di kasur ibu. Bajuku bahkan belum diganti. Aku bangkit dari kasur,
ternyata ibu tidak ada di kamarnya. Mungkin ibu ada di ruang sholat. Biasanya,
kan ibu memang lebih sering di ruang sholat ketimbang di kamarnya sendiri.
Nah kan, benar! Ibu ada di ruang sholat. Eh, ibu
sedang tidur ya?
“Ya ampun Ibu. Baca Al-Quran sampai ketiduran begini.”Aku
duduk di samping ibu.
Beberapa detik terdiam.
“Ibu terima kasih ya.. Udang sambalnya. Selalu enak..”
Aku menoleh ke wajah ibu.
“...................”
“Bu, Fa rindu sekali pada Ka. Kita menyusul Ka ke sana
yuk. Sekalian umroh, Bu.
“....................”
“Bu.. begini ya rasanya jatuh cinta? Apa dulu Ibu
merasakan ini juga saat baru-baru menikah dengan ayah?”
“....................”
Aku membuang napas.. Wajah Ka dan wajah ayah yang sepuluh
tahun ini tak pernah kupandang lagi membuat gambar di otakku. Mungkin, ayah
sudah sangat bahagia di sana. Lebih dekat dengan Sang Pencinta. Rasanya, aku
bertambah sesak. Sebab, tidak hanya rindu pada Ka saja. Tiba-tiba, aku jadi sangat
merindukan ayah.
Aku tertidur di samping ibu dan bermimpi, ibu memeluk
ayah dan menyatakan rindu kepada ayah di depanku. Ssaat aku terbangun, ibu
sudah tidak bangun lagi. Selamanya.
* * *
Ka
Nomor Fa susah sekali dihubungi. Aku juga tidak tahu
mengapa menjadi khawatir sekali seperti ini pada Fa. Padahal sejam lalu, Fa
baru saja mengirim gambar udang sambal kesukaannya yang dimasak ibu. Sejujurnya,
aku juga menahan air liur melihat gambar yang dikirim Fa. Bagaimana tidak,
sudah sembilan bulan, aku tidak menikmati masakan rumah. Tugas akhir ini
membuatku tidak bisa sedikitpun berjalan-jalan ke rumah makan Indonesia.
Sekedar untuk menggugurkan rindu yang benar-benar deru.
Sembilan bulan ini juga, Fa yang meruntuhkan rindu
lidahku ini dengan mengirim masakan-masakan ibu ataupun masakannya.
Sebenarnya, Fa tidak benar-benar meruntuhkan rinduku. Fa hanya berpura-pura
ikut iba. Dengan tertawa kecil, Fa akan selalu bilang,“Akutidak sedang
menjailiKa. Aku tulus kasihan. Tenang saja, kalau pulang nanti, Aku akan
masakkan semua makanan kesukaan Ka.”Setelah mengucapkan kalimat itu, Fa akan
tertawa terkekeh-kekeh. Fa memang hobi sekali menjaili dan menggoda suaminya
yang tak berdaya ini.
Malamnya, tiba-tiba umi menelponku. Tidak biasanya.
Ini bukan jadwal umi menelpon. Apa umi tiba-tiba sangat merindukan anak
laki-laki satu-satunya ini?Ah, tapi umi bukan tipe yang romantis. Bisa
dibilang, umi adalah wanita yang kaku. Berbeda sekali dengan abi yang begitu
senang menggoda; menggoda umi tentu saja.
Selesai umi menelpon, rasa khawatirku semakin melambung
tinggi. Perasaan gelisah dari tadi ternyata tidak hanya perasaan. Kabar duka
itu membuatku terduduk di sisi kiri kasur. Wajah ibu dan Fa memenuhi kepalaku.
Beberapa saat, aku menghubungi Fa kembali. Fa sama sekali tidak mengangkat
telponku. Oh, Fa. Betapa inginnya aku mendengar suaramu. Betapa inginnya aku
di sisimu saat ini. Kalau saja aku bisa. Aku tidak akan menunggu detik untuk
pergi memelukmu.
* * *
Fa menolak bicara pada siapapun. Sepanjang waktu
setelah kepulangan ibu, Fa hanya terus terisak. Tidak mau makan ataupun minum.
Syukurnya, Fa masih mengerjakan kewajibannya yang lima waktu. Aku tahu, Fa
pasti begitu terpukul. Ini duka yang pasti begitu menyayat jantungnya. Fa
sering kali bilang,
“Di dunia ini, sebelum Ka ada. Ibulah satu-satunya
harta yang aku punya. Setelah Ka ada. Ibu tetap menjadi satu-satunya harta yang
aku punya.”
“Yah.... begitu ya?“ Kataku lemah.
“Karena.. Tentu saja, Ka bukan harta. Ka-kan
suamiku, gimana sih? Udah jangan cemberut gitu ah. Jelek tahu!”
Setiap kali mengingat percakapan itu, aku selalu
tertawa. Kali ini, perih yang merasuki.
Situasi ini, rasanya menyakitkan sekali. Aku tidak
dapat pulang ke kampung halaman, untuk duduk di samping istriku lalu
memeluknya. Membiarkan bahuku basah oleh isaknya. Aku benar-benar merasa
lemah. Sungguh, sehebat apapun manusia, dia tidak akan bisa melakukan
semuanya. Aku tidak bisa izin untuk tidak masuk kuliah. Meski tabunganku ada
untuk melakukan perjalanan. Jadwal pulang sudah ditentukan setiap tahunnya.
Sekitar tiga bulan lagi jadwal rutin mudikku.
Aku hanya bisa menunggu, dan tentu saja menunggu Fa
mau berbicara denganku. Aku takut sekali Fa marah karena dia pasti akan merasa
sendiri. Aku tahu, hubungan jarak jauh ini tidak pernah mudah. Rasanya, aku
ingin sekali membawanya kemanapun aku pergi. Iya, aku bisa membawanya pergi. Sebentar
lagi.. sebentar lagi kuliahku akan selesai. Aku bisa bebas menghabiskan waktuku
untuk terus bersamanya.
* * *
Fa masih tidak mau bicara denganku. Sudah hari ketiga.
Dulu Fa juga pernah begini, saat dia tiba-tiba merasa cemburu. Fa, harusnya
kamu tahu, sehari saja tanpa kamu, aku begitu sulit menjalani hari.
Sebelumnya, aku tidak pernah seperti ini. Jatuh
cinta. Sama sekali tidak pernah. Akhirnya umi menjodohkanku pada seorang
gadis anak teman umi -yang ingin sekali anak perempuannya segera menikah-.
Ya, tentu saja, aku tahu. Ternyata firasat ibu benar. Usia hidupnya di dunia
tidak lama lagi. Permintaan terakhirnya, hanya melihat anak satu-satunya
menikah. Oh, ibu, sembilan bulan ini, ibu sudah menjadi mertua terbaik sepanjang
masa. Ibu begitu menyayangiku. Ibu yang lebih sering menelponku ketimbang
umiku sendiri.
Istighfar harus lebih banyak kugalakkan. Agar rasa
gelisah ini pergi musnah.
Istriku itu sedang diuji kecintaannya oleh Allah.
Kabar duka ini akan membuatnya semakin mulia di mata Allah jika dia bisa ikhlas
melepas ibu tercinta. Ah, aku berusaha menghibur diriku sendiri. Agar tidak
terlalu resah menunggu Fa mau bicara denganku. Aku percaya, setiap kesedihan
menyimpan begitu banyak pelajaran.
* * *
Epilog
“Ka...”
“........”
“Ka...”
“.......”
“Ka?!”
“Eh, iya halo..”
“Hoh.. Ini, Fa..”
“Iya, Fa.. Kenapa?”
“Tidak apa-apa..”
“Eh, Fa?! Fa?! Ini, Fa?!”
“Iya...”
“Alhamdulillah... Apa kabar, Sayang? Aku rindu
sekali...”
Hubungan jarak jauh ini bukan hanya soal jarak 6.728
km. Juga soal waktu. Di sini, sedang waktunya orang tidur dan di tempat Fa
waktunya orang-orang akan memulai aktivitas pagi hari. Aku benar-benar merasa
lega dan bahagia mendengar suara Fa dan lebih bahagianya Fa yang menelponku.
Aku tidak lagi khawatir karena kudengar Fa sudah bisa
tertawa seperti biasanya. Ada satu hal yang semakin membuatku tertawa. Tadi,
sebelum Fa menelpon, aku sedang menyelesaikan tugas akhir di meja belajar,
tertidur di sana. Tidak sadar mengangkat telpon. Ternyata sebelum tidur, tanpa
kusadari, aku mengambil pena dan mencoret-coret kertas. Tulisan, “Ka lambang
hati Fa” sudah berserak satu halaman. Ah, jatuh cinta ternyata bisa membuatku
melakukan kebiasaan anak sekolah dasar. Tidak masalah. Aku jatuh cinta pada
yang halal. Selain cinta, pahala juga ikut merona.
(Terbit di Analisa, Minggu, 7 Agustus 2016)
Subscribe to:
Posts (Atom)