Karya
: Aisyah Haura Dika Alsa
Sudah
dua hari ini, Fa ingin sekali makan mie tiaw. Kalau istilah biasanya, Fa ngidam. Duh, Fa tiba-tiba menjadi aneh
sendiri membayangkan jika dia benar-benar mengandung seorang anak dan kemudian mengalami
ngidam. Pasalnya, akhir-akhir ini di
rumahnya, ayahnya sudah sibuk menjodoh-jodohkan Fa dengan lelaki-lelaki yang
menurut ayahnya baik. Namun, Fa masih saja belum mengangguk atas pilihan
ayahnya dan itu tentu saja membuat ayahnya uring-uringan. Ayahnya merasa perlu
terus mencari lelaki terbaik untuk mengganti tanggungjawabnya kelak terhadap
Fa. Ayahnya ingin, tamat kuliah S1 tamat pula lajang anak perempuan
satu-satunya. Sebab, ia sudah tak sabar mengayun cucu maka setiap hari dia
harus berusaha membujuk Fa untuk terbuka keinginannya menikah muda.
Anaknya sendiri; Fa, masih acuh tak acuh terhadap
keinginan ayahnya. Sampai-sampai, ia tak berani mengadukan keinginan ngidam mie tiawnya itu pada ayahnya.
Apalagi kalau bukan takut digoda. Fa bukan tak bisa masak. Kesibukannya
membuatnya kalah lebih dulu terhadap lelah. Ibunya sudah lama tiada, telah
diganti dengan ibu tiri yang baik hati. Namun, Fa sungkan jika meminta
dimasakin mie tiaw ngidamnya itu. Kalau
beli, dia bosan dengan rasa yang sama saja. Maunya, ada rasa yang sedikit
berbeda. Ah, Fa, ada-ada saja keinginan ngidam
tak sungguhannya. Bagaimana jika nanti saat ngidam
sungguhannya, apakah jauh pelik daripada ini?
***
“Duar.....!!!!” Ayahnya
seperti biasa, bertingkah konyol, membuka pintu kamar Fa dengan iseng membuat
kaget.
“Ih, Ayah nih! Rusuh
ih! Tapi,nggak kaget kok, wek!” Balas
Fa. Terang saja, dia menyembunyikan kagetnya, agar ayahnya tak merasa menang.
“Moso ndak kaget? Kaget dong!”
“Mulai deh. Lain kali, Fa kunci tuhpintu. Biar nggak ada makhluk yang sembarang masuk. Pake ngangetin pula.” Rengut Fa.
“Hehehehe... Anak Ayah
makin merengut makin cantik...” Goda ayahnya lagi tanpa wajah berdosa.
“Ayah masuk kamar Fa ada
perlu apa? Kalau cuma mau godain Fa, so
sorry deh. Fa sibuk.” Fa pura-pura cuek, kembali menatap layar laptopnya.
Padahal sedari tadi, dia menunggu ayahnya pulang dan bisa mengecek beberapa rupiah untuk mendiamkan perutnya yang lapar dan
dengan gengsi yang tinggi dia pura-pura tidak mencium bau sedap makanan yang
muncul dari bingkis plastik yang dibawa ayahnya dan sesekali mencuri-curi
pandang ke bingkis palstik yang masih dibawa ayahnya itu.
“Oh. Begitu. Padahal
Ayah berniat baik. Tapi, yasudahlah. Lagi sibuk katanya. Oke kalau begitu. Ayah
makan sama ibu aja.”
“Hahahaha... Ayah!!! Gitu aja ngambek sih. Fa laper. Ayah beli apa tuh?” Runtuhlah gengsi Fa kini.
“Loh, katanya sibuk? Sudah,
tidak apa-apa. Ayah nggak mau ganggu Fa.”
Jawab ayahnya sok serius.
Fa tidak peduli, dengan
rusuh dia berusaha menyerobot bingkis plastik yang ada di tangan ayahnya.
“Loh.. Loh.. Apa-apaan
ini?”
“Ih.. Ayah, siniin, Fa
laper. Itu mie tiaw, kan? Ha. Dapet!”
Beberapa menit
kemudian, Fa melahap mie tiaw jatahnya dengan gesit dan ayahnya ikut makan di
kamarnya.
“Fa tahu nggak, Ayah beli mie tiawnya di mana?
Enakkan? Fa pasti kaget kalau tahu”
“Emang Ayah beli di
mana?”
“Di warung anaknya pak Rahman.”
Mendengar nama Pak
Rahman, tiba-tiba Fa keselek,gayanya mirip di sinetron-sinetron itu.
***
Malam
ini, malam minggu. Jalanan ramai sekali. Fa diajak keluar oleh ayahnya ke pusat
kuliner di kota ini dan tempatnya tidak jauh dari rumah, namun tempat ini
jarang sekali mereka kunjungi dan entah angin apa yang membuat ayahnya
tumben-tumbennya mengajak Fa dan ibu tirinya makan di luar. Karena biasanya,
ayahnya lebih senang membeli makanan lalu makan bersama-sama di rumah.
Selesai memakirkan mobil, Fa, ayahnya, dan ibu tirinya
masuk ke dalam sebuah warung yang ramai sekali pengunjungnya, sampai-sampai
susah sekali mencari meja kosong. Namun, tak lama, ada seorang lelaki berusia
senja, sepantaran ayah Famenghampiri mereka, menyambut mereka ramah dan
memersilakan duduk di meja yang sepertinya sudah disiapkan. Tiba-tiba, Fa ingat
siapa lelaki itu.Itu pak Rahman, nama yang membuatnya keselek sewaktu makan mie
tiaw dua hari yang lalu. Entahlah, Fa tiba-tiba merasa.....ada sesuatu.
***
Perjumpaan
di malam minggu lalu, membuat Fa datang kembali, namun ‘datang’ yang ini
berbeda.Jika malam minggu lalu, membuatnya telak digoda ayahnya dan dia sama
sekali tak memiliki kuasa untuk menyerang kembali celotehan ayahnya seperti
biasa, hanya diam sambil lebih banyak menunduk dan beruntungnya selembar kain
yang menutupi wajahnya dapat menyembunyikan mukanya yang telah merona merah. Dan
‘datang’ kali ini, jelas berbeda. Fa berkeinginanmelihat bagaimana
kesehariannya. Jadi, diputuskannya selama tiga hari berturut-turut ini, setiap
setelah ashar, dia akan menyempatkan ‘datang’ dengan menyuruh Lina, karibnya
untuk membeli makanan yang dijual oleh lelaki itu.
Tiga hari berturut-turut, jawaban Lina tetap sama, “Yang ladeni aku masih adiknya, Fa. Waktu dia
lengang pun, dia tetap memilih duduk jika pembelinya perempuan.” Lina tahu itu
adik perempuan lelaki itu karena memang Fa yang memberi tahu.
***
Malam minggu selanjutnya, ayah Fa mengajaknya lagi ke
warung itu. Namun kali ini, makan di rumah, tidak lagi makan di warung seperti
minggu lalu. “Ayo, Fa. Temani Ayah turun.”
“Ayah aja deh, Fa lagi asyik chatingan sama Lina.”
“Yakin?” Tanya ayahnya
memastikan, yang lebih tepatnya menggoda Fa.
“Hu’um.”
Fa tidak berbohong, Fa memang sedang ngobrol dengan Lina
di BBM. Namun, ketika ayahnya keluar, dia mencuri-curi pandang ke arah warung
itu. Terus mencari-cari letak tubuh seorang yang dulu pernah sangat dibencinya.
Namun, malam itu, Fa tidak menemukan sepotong wajah ataupun punggung dari
lelaki itu.
***
Sebulan kemudian,
saat Fa melipat mukenahnya, ayahnya mengetuk pintu kamarnya dan izin untuk
masuk menemuinya.
“Bagaimana?” Tanya
ayahnya, kali ini tidak dengan wajah menggoda Fa lagi.
“Insya Allah. Fa
mantep, Yah. Doakan ya, Yah. Semoga Fa dijauhkan dari rasa nafsu. Semoga rasa
mantap ini datang benar-benar dari Allah..”
“Alhamdulillah, aamiin
ya Allah.. Akhirnya.” Ayahnya mengecup kening Fa.
“Ayah tahu kamu pasti
mau mengistikhorohkan yang ini..” Lanjut ayahnya.
“Hu, mulai deh Ayah.!”
“Ya iya, dari beberapa
lelaki yang ayah tawarkan, hanya dengan yang ini Fabener-bener malu-malu. Yang lainnya biasa aja. Ya kalau pun malu, ya malu biasaaja, malunya perempuan sholehah dengan lelaki yang bukan
mahromnya.”
“Emang iya ya, Yah?”
“Nah, Fa sendiri nggak sadar ya?Ayah tahu, pipi Fa sudah
merona merah meski ditutup niqob.
Ayah tahu, Fa malu bertemu dan beralasan ingin di mobil saja, padahal, kalau
pergi kemana-mana, mana mau Fasendirian di mobil. Pasti ikut turun sama Ayah.
Eh, ini kok tumben-tumbennya. Hmm....”
“Ih, Ayah!” Fa kesal
menatap ayahnya. Namun, sedetik kemudian, tumpahlah tangis Fa dipelukan ayahnya.
Tiba-tiba, Fa merasa takut sekali jauh dari ayahnya. Hal yang tak pernahFa
rasakan sebelumnya. Sebab, ayahnya selalu ada saat Fa selalu ingin dan butuh,
bahkan ketika Fatak pernah meminta sekalipun. Ayahnya telah baik menjadi
damainya hari-hari Fasedari dulu hingga kini.
***
Seminggu kemudian,
ayah memeluk Fa begitu erat dan dipunggung Fa, air matanya berlinang. Ayahnya
jarang sekali menangis, dan di momen ini, tangisnya adalah kesedihan yang
dicampur kebahagiaan beratus kali lipat serta harapan-harapan sudah ditimbun
beberapa bulan sebelumnya. Sedih karena Fa bukan tanggungjawabnya lagi. Bahagia
karena dia merasa Fa ditanggungjawabi oleh lelaki yang ia percaya dapat membawa
Fa bahagia sampai jannah. Pelukannya semakin erat, semua mata tertuju haru
melihat ayahnya yang supel dan ceria, ternyata tak disangka-sangka memiliki air
mata yang deras juga.
Dan
Fa benar-benar tak menyangka, bahwa lelaki yang tadi berjabat tangan dengan ayahnya;
sebagai wali nikahnya adalah lelaki penjual mie tiaw yang meneruskan bisnis
ayahnya, yang dulu begitu dibencinya karena ketika di sekolah dasar dulu,
lelaki itu rajin sekali menjaili Fa sampai-sampai Fa pernah sekali menangis. Namun,
lelaki itulah yang dulu baik hati menemani Fa setiap harikarena ayahnya selalu
telat menjemput Fa ke sekolah. Lelaki yang dengan polosnya meminta maaf dan
berjanji tidak mengganggu Fa lagi. “Maaf ya, Fa. Maaf ya, Om. Aku janji nggak akan ganggu Fa lagi. Aku hanya
ingin berteman dengan Fa. Karena Fa anak yang paling cantik dan pintar di
kelas. Tapi, Fa cuek sekali.”
***
(Penulis adalah
mahasiswi semester VI Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
Terbit di Tribun Bone, Jumat, 22 Juli 2016
Terbit di Tribun Bone, Jumat, 22 Juli 2016