Sunday, July 31, 2016

Ayah dan Lelaki Penjual Mie Tiaw



Karya : Aisyah Haura Dika Alsa
 
Sudah dua hari ini, Fa ingin sekali makan mie tiaw. Kalau istilah biasanya, Fa ngidam. Duh, Fa tiba-tiba menjadi aneh sendiri membayangkan jika dia benar-benar mengandung seorang anak dan kemudian mengalami ngidam. Pasalnya, akhir-akhir ini di rumahnya, ayahnya sudah sibuk menjodoh-jodohkan Fa dengan lelaki-lelaki yang menurut ayahnya baik. Namun, Fa masih saja belum mengangguk atas pilihan ayahnya dan itu tentu saja membuat ayahnya uring-uringan. Ayahnya merasa perlu terus mencari lelaki terbaik untuk mengganti tanggungjawabnya kelak terhadap Fa. Ayahnya ingin, tamat kuliah S1 tamat pula lajang anak perempuan satu-satunya. Sebab, ia sudah tak sabar mengayun cucu maka setiap hari dia harus berusaha membujuk Fa untuk terbuka keinginannya menikah muda.
            Anaknya sendiri; Fa, masih acuh tak acuh terhadap keinginan ayahnya. Sampai-sampai, ia tak berani mengadukan keinginan ngidam mie tiawnya itu pada ayahnya. Apalagi kalau bukan takut digoda. Fa bukan tak bisa masak. Kesibukannya membuatnya kalah lebih dulu terhadap lelah. Ibunya sudah lama tiada, telah diganti dengan ibu tiri yang baik hati. Namun, Fa sungkan jika meminta dimasakin mie tiaw ngidamnya itu. Kalau beli, dia bosan dengan rasa yang sama saja. Maunya, ada rasa yang sedikit berbeda. Ah, Fa, ada-ada saja keinginan ngidam tak sungguhannya. Bagaimana jika nanti saat ngidam sungguhannya, apakah jauh pelik daripada ini?
***
“Duar.....!!!!” Ayahnya seperti biasa, bertingkah konyol, membuka pintu kamar Fa dengan iseng membuat kaget.
“Ih, Ayah nih! Rusuh ih! Tapi,nggak kaget kok, wek!” Balas Fa. Terang saja, dia menyembunyikan kagetnya, agar ayahnya tak merasa menang.
“Moso ndak kaget? Kaget dong!”
“Mulai deh. Lain kali, Fa kunci tuhpintu. Biar nggak ada makhluk yang sembarang masuk. Pake ngangetin pula.” Rengut Fa.
“Hehehehe... Anak Ayah makin merengut makin cantik...” Goda ayahnya lagi tanpa wajah berdosa.
“Ayah masuk kamar Fa ada perlu apa? Kalau cuma mau godain Fa, so sorry deh. Fa sibuk.” Fa pura-pura cuek, kembali menatap layar laptopnya. Padahal sedari tadi, dia menunggu ayahnya pulang dan bisa mengecek beberapa rupiah untuk mendiamkan perutnya yang lapar dan dengan gengsi yang tinggi dia pura-pura tidak mencium bau sedap makanan yang muncul dari bingkis plastik yang dibawa ayahnya dan sesekali mencuri-curi pandang ke bingkis palstik yang masih dibawa ayahnya itu.
“Oh. Begitu. Padahal Ayah berniat baik. Tapi, yasudahlah. Lagi sibuk katanya. Oke kalau begitu. Ayah makan sama ibu aja.”
“Hahahaha... Ayah!!! Gitu aja ngambek sih. Fa laper. Ayah beli apa tuh?” Runtuhlah gengsi Fa kini.
“Loh, katanya sibuk? Sudah, tidak apa-apa. Ayah nggak mau ganggu Fa.” Jawab ayahnya sok serius.
Fa tidak peduli, dengan rusuh dia berusaha menyerobot bingkis plastik yang ada di tangan ayahnya.
“Loh.. Loh.. Apa-apaan ini?”
“Ih.. Ayah, siniin, Fa laper. Itu mie tiaw, kan? Ha. Dapet!”
Beberapa menit kemudian, Fa melahap mie tiaw jatahnya dengan gesit dan ayahnya ikut makan di kamarnya.
“Fa tahu nggak, Ayah beli mie tiawnya di mana? Enakkan? Fa pasti kaget kalau tahu”
“Emang Ayah beli di mana?”
“Di warung anaknya pak Rahman.”
Mendengar nama Pak Rahman, tiba-tiba Fa keselek,gayanya mirip di sinetron-sinetron itu.
***
Malam ini, malam minggu. Jalanan ramai sekali. Fa diajak keluar oleh ayahnya ke pusat kuliner di kota ini dan tempatnya tidak jauh dari rumah, namun tempat ini jarang sekali mereka kunjungi dan entah angin apa yang membuat ayahnya tumben-tumbennya mengajak Fa dan ibu tirinya makan di luar. Karena biasanya, ayahnya lebih senang membeli makanan lalu makan bersama-sama di rumah.
            Selesai memakirkan mobil, Fa, ayahnya, dan ibu tirinya masuk ke dalam sebuah warung yang ramai sekali pengunjungnya, sampai-sampai susah sekali mencari meja kosong. Namun, tak lama, ada seorang lelaki berusia senja, sepantaran ayah Famenghampiri mereka, menyambut mereka ramah dan memersilakan duduk di meja yang sepertinya sudah disiapkan. Tiba-tiba, Fa ingat siapa lelaki itu.Itu pak Rahman, nama yang membuatnya keselek sewaktu makan mie tiaw dua hari yang lalu. Entahlah, Fa tiba-tiba merasa.....ada sesuatu.
***
Perjumpaan di malam minggu lalu, membuat Fa datang kembali, namun ‘datang’ yang ini berbeda.Jika malam minggu lalu, membuatnya telak digoda ayahnya dan dia sama sekali tak memiliki kuasa untuk menyerang kembali celotehan ayahnya seperti biasa, hanya diam sambil lebih banyak menunduk dan beruntungnya selembar kain yang menutupi wajahnya dapat menyembunyikan mukanya yang telah merona merah. Dan ‘datang’ kali ini, jelas berbeda. Fa berkeinginanmelihat bagaimana kesehariannya. Jadi, diputuskannya selama tiga hari berturut-turut ini, setiap setelah ashar, dia akan menyempatkan ‘datang’ dengan menyuruh Lina, karibnya untuk membeli makanan yang dijual oleh lelaki itu.
            Tiga hari berturut-turut, jawaban Lina tetap sama, “Yang ladeni aku masih adiknya, Fa. Waktu dia lengang pun, dia tetap memilih duduk jika pembelinya perempuan.” Lina tahu itu adik perempuan lelaki itu karena memang Fa yang memberi tahu. 
***
            Malam minggu selanjutnya, ayah Fa mengajaknya lagi ke warung itu. Namun kali ini, makan di rumah, tidak lagi makan di warung seperti minggu lalu. “Ayo, Fa. Temani Ayah turun.”
“Ayah aja deh, Fa lagi asyik chatingan sama Lina.”
“Yakin?” Tanya ayahnya memastikan, yang lebih tepatnya menggoda Fa.
“Hu’um.”
            Fa tidak berbohong, Fa memang sedang ngobrol dengan Lina di BBM. Namun, ketika ayahnya keluar, dia mencuri-curi pandang ke arah warung itu. Terus mencari-cari letak tubuh seorang yang dulu pernah sangat dibencinya. Namun, malam itu, Fa tidak menemukan sepotong wajah ataupun punggung dari lelaki itu.
***
Sebulan kemudian, saat Fa melipat mukenahnya, ayahnya mengetuk pintu kamarnya dan izin untuk masuk menemuinya.
“Bagaimana?” Tanya ayahnya, kali ini tidak dengan wajah menggoda Fa lagi.
“Insya Allah. Fa mantep, Yah. Doakan ya, Yah. Semoga Fa dijauhkan dari rasa nafsu. Semoga rasa mantap ini datang benar-benar dari Allah..”
“Alhamdulillah, aamiin ya Allah.. Akhirnya.” Ayahnya mengecup kening Fa.
“Ayah tahu kamu pasti mau mengistikhorohkan yang ini..” Lanjut ayahnya.
“Hu, mulai deh Ayah.!”
“Ya iya, dari beberapa lelaki yang ayah tawarkan, hanya dengan yang ini Fabener-bener malu-malu. Yang lainnya biasa aja. Ya kalau pun malu, ya malu biasaaja, malunya perempuan sholehah dengan lelaki yang bukan mahromnya.”
“Emang iya ya, Yah?”
“Nah, Fa sendiri nggak sadar ya?Ayah tahu, pipi Fa sudah merona merah meski ditutup niqob. Ayah tahu, Fa malu bertemu dan beralasan ingin di mobil saja, padahal, kalau pergi kemana-mana, mana mau Fasendirian di mobil. Pasti ikut turun sama Ayah. Eh, ini kok tumben-tumbennya. Hmm....”
“Ih, Ayah!” Fa kesal menatap ayahnya. Namun, sedetik kemudian, tumpahlah tangis Fa dipelukan ayahnya. Tiba-tiba, Fa merasa takut sekali jauh dari ayahnya. Hal yang tak pernahFa rasakan sebelumnya. Sebab, ayahnya selalu ada saat Fa selalu ingin dan butuh, bahkan ketika Fatak pernah meminta sekalipun. Ayahnya telah baik menjadi damainya hari-hari Fasedari dulu hingga kini.
***
Seminggu kemudian, ayah memeluk Fa begitu erat dan dipunggung Fa, air matanya berlinang. Ayahnya jarang sekali menangis, dan di momen ini, tangisnya adalah kesedihan yang dicampur kebahagiaan beratus kali lipat serta harapan-harapan sudah ditimbun beberapa bulan sebelumnya. Sedih karena Fa bukan tanggungjawabnya lagi. Bahagia karena dia merasa Fa ditanggungjawabi oleh lelaki yang ia percaya dapat membawa Fa bahagia sampai jannah. Pelukannya semakin erat, semua mata tertuju haru melihat ayahnya yang supel dan ceria, ternyata tak disangka-sangka memiliki air mata yang deras juga.
Dan Fa benar-benar tak menyangka, bahwa lelaki yang tadi berjabat tangan dengan ayahnya; sebagai wali nikahnya adalah lelaki penjual mie tiaw yang meneruskan bisnis ayahnya, yang dulu begitu dibencinya karena ketika di sekolah dasar dulu, lelaki itu rajin sekali menjaili Fa sampai-sampai Fa pernah sekali menangis. Namun, lelaki itulah yang dulu baik hati menemani Fa setiap harikarena ayahnya selalu telat menjemput Fa ke sekolah. Lelaki yang dengan polosnya meminta maaf dan berjanji tidak mengganggu Fa lagi. “Maaf ya, Fa. Maaf ya, Om. Aku janji nggak akan ganggu Fa lagi. Aku hanya ingin berteman dengan Fa. Karena Fa anak yang paling cantik dan pintar di kelas. Tapi, Fa cuek sekali.”
***
(Penulis adalah mahasiswi semester VI Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
Terbit di Tribun Bone, Jumat, 22 Juli 2016

Bu Li Tukang Cuci

Karya : Aisyah Haura Dika Alsa

             Mentari pukul sebelas siang ini menggelayut dengan pendar yang membuat keringat membuat perkumpulan di beberapa bagian wajah dan badanku. Permulaan siang yang cerah sekali. Kalau tahu akan panas begini, lebih baik aku di kampus saja tadi. Mendinginkan tubuh di perpustakaan misalnya sembari menunggu reda panas. Tapi, kutimbang-timbang lagi, bisa-bisa malah makin panas. Belum lagi sedang puasa. Panas ini bisa membuatku haus saat berpuasa begini.
            Kuhidupkan kipas angin dan bertengger di depannya. Bukannya meredakan dingin malah semakin panas. Hu.. hawa angin juga panas. Jadi, sama saja jika aku berkipas-kipas angin ria. Kapan coba aku bisa memiliki kamar kos dengan fasilitas AC? Hu. Kenapa jadi membuatku sangat tidak nyaman begini.
            Aku memutuskan keluar dari kamar, menuju dapur ibu kos. Di sana, ramai para penghuni kos dan ibu kos sendiri. Ketika aku turun, mereka sedang membantu ibu kos membuat kue hari raya. Nasib malangnya beberapa dari penghuni kos, kami belum bisa pulang ke kampung halaman. Beberapa karena pekerjaan dan beberapa karena mahasiswa tingkat akhir; aku misalnya. Padahal sudah sangat rindu masakan ibu dan pastinya juga rindu semua keluarga di rumah. Rindu juga bertemu teman-teman sekolah.
            Aku tidak tertarik untuk ikut membantu membuat kue. Aku jadinya hanya memperhatikan mereka saja. Saat asyik memperhatikan mereka membikin adonan, aku tiba-tiba mendengar bunyi “Krek.. krek..” dari kamar mandi. Aku tertarik untuk bangkit. Mungkin ada sesuatu yang lebih baik di sana. Yah, benar saja. Ada bu Li di sana. Bu Li sedang mencuci seperti biasanya.
            “Eh, ada Mbak Ki. Sudah pulang kuliah, Mbak?” Sapa bu Li padaku, yang sekarang sedang membilas pakaian. “Iya, Bu Li. Sudah.” Jawabku bersama senyuman. Aku selalu senang jika bu Li ke sini. Kerja kerasnya mengingatkanku pada ibu. Usianya sekitar 45 tahun. Orangnya ramah sekali. Selain itu, yang paling aku suka, bu Li senang bercerita. Kalian tahu? Ceritanya bukan tentang aib orang lain. Tapi, selalu tentang kebaikan orang lain. Yang lucunya, kami pernah berdebat tentang aib dan kebaikan tetangga sebelah.
            Jadi, waktu itu, aku dan para penghuni kos yang lain sedang ngobrol dan ngemil di meja makan ibu kos. Menghabiskan cemilan ibu kos lebih tepatnya. Dan pastinya, sudah diizinkan untuk menghabiskan cemilannya. Baiklah, balik ke topik utama. Kami bersemangat sekali menceritakan betapa soknya tetangga sebelah rumah ibu kos kami. Yang apa-apa senang memamerkan barang-barang mewahnya. Lalu, menceritakan anak-anaknya yang bisa kuliah di luar negeri. Dan masih banyak lagi segudang hal yang bisa dipamerkan oleh tetangga kami itu. Bahkan, hanya karena saudaranya bersaudara dengan pejabat top pemerintah, sudah sangat dibangga-banggakannya. Padahal, itukan masih saudara saudaranya. Bukan saudaranya sendiri. Dan ibu kos dengan baiknya mau saja  setia menyiapkan telinga untuk mendengarkan segala cerita tetangga tukang pamer itu. Sedang kami selalu pergi dan ber-eeewwwhh.
            Ternyata, dari kamar mandi, bu Li menyimak apa yang kami bicarakan. Saat bu Li sudah selesai mencuci. Bu Li menghampiri kami sambil menenteng ember jemuran dan langsung nyeletuk, “Tapi, Mbak. Bu Ris itu baik kali lho, Mbak. Saya pernah ngutang beberapa kali. Eh, sama bu Ris katanya nggak usah dikembaliin. Terus sering nganter makanan ke rumah saya, Mbak. Buat anak-anak. Baju-baju bekas anak-anaknya yang masih cantik-cantik pun dikasih sama anak-anak saya. Baik kali, Mbak.”
            Lalu, Kak Din membantah argumen yang diberikan bu Li. “Huh.. Apanya yang baik, Bu Li. Suka pamer gitu.”
            “Mungkin, itu untuk memotivasi saja, Mbak niatnya bu Ris. Saya aja kalau dengar bu Ris cerita jadi makin semangat kerja buat anak-anak. Saya jadi ingin anak saya dapat beasiswa juga. Apalagi kalau bisa ke luar negeri juga kayak anak-anak bu Ris. Wah, bisa jingkrang-jingkrang saya, Mbak.” Kata bu Li sambil tertawa.
            “Bu Li mah, nggak bisa diajak ngegosip.” Balas kak Din lagi.
            “Hehe.. Mending bantuin Bu Li ngejemur pakain nih, Mbak. Dapat pahala. Daripada ngegosip malah ngilangin pahala hehe..”
            Kami pun turun dari kursi; membantu bu Li. Mengangkat ember jemuran ke halaman belakang rumah lalu bersama-sama tertawa berbarengan mendenger lelucon bu Li. Bu Li memang hanya tukang cuci. Tapi, kami menghormati bu Li layaknya ibu sendiri.
***
            Aku melipat mukenah, baru saja selesai tarawih sendiri di kamar kosku. Aku sibuk memikirkan sesuatu. Mengenang-ngenang dengan anggukan percakapanku dengan bu Li siang tadi. Ah, aku malu sendiri rasanya mengingatnya. Jika dibandingkan, bu Li bahkan tidak tamat SMP. Sedang aku, mahasiswi yang terkenal dengan kepandaiannya di universitas paling top di kota ini pula. Namun, pemahaman hidupku masih jauh di bawah bu Li yang ijazah SMP saja tidak ada di laci meja rumahnya.
            Bu Li yang selalu riang, ramah, baik pada siapa saja, meski lelah atau sakit pun bukan alasan untuknya berhenti bekerja dan yang pasti bu Li tidak pernah kulihat mengeluh. Padahal hidupnya serba terbatas. Bu Li rela belasan tahun tak memiliki baju baru demi sekolah anak-anaknya. Bu Li rela makan hanya dengan garam demi tercukupi gizi anak-anaknya. Bu Li bahkan tidak pernah menceritakan kejelekan orang lain. Selalu saja mengingat kebaikannya. Selalu membantah dengan bijaksana jika kami asyik menggosipi siapa saja. Karena kata bu Li, “Maaf ya, Mbak-mbak yang cantik-cantik. Bu Li bukan sok pintar lho ya. Aduh kalau ditanya pintar, Bu Li nih jauh di bawah. Tapi, Bu Li pernah dengar ceramah pak ustad. Kata pak ustad, kalau ada gosipin orang, yang dengar juga dapat dosa. Walaupun nggak ikut ngegosipnya. Dan kata pak ustad lagi, kalau gosipin orang kayak.. kayak apa ya... aduh lali Bu Li-nya, Mbak-mbak.”
            “Kayak makan bangkai saudaranya sendiri, Bu Li.” Tiba-tiba ibu kos datang dan menyambungkan perkataan bu Li. “Ha, iya. Ibu benar.” Sambut bu Li semangat.
Semenjak itu, saat ada bu Li, para penghuni kos merasa segan untuk bergosip kembali. Dan jika sedang tidak ada bu Li, yang taubat akan memilih masuk ke kamar jika acara gosip di meja makan ibu kos dimulai; aku salah satunya.
            “Hidup ini sebenarnya indah, Mbak. Namun, hanya orang-orang yang bersyukur yang bisa merasakan indahnya. Kalau ngeluh terus, indahnya pergi, Mbak. Ganti nama dia, Mbak. Jadi “gak indah” hehe.. Kalau kita ngelihat ke atas terus, aduh, Mbak, nggak selesai-selesai. Yang sudah punya sepeda motor, mau punya mobil, yang sudah punya mobil mau tambah mobil. Yang sudah punya banyak mobil duh pusing Bu Li, Mbak melanjutkannya. Anak-anak bisa sekolah dengan baik saja, Mbak, Bu Li sudah senang kali, Mbak. Masih banyak lho, Mbak orang-orang lain bahkan makan sehari aja belum tentu.”
            “Tapi, Mbak. Kalau kata pak ustad, kalau soal dunia, lihat ke bawah. Tapi, kalau soal akhirat baru lihat ke atas. Nah, kita bisa lihat ibu kos, Mbak. Ibu kos itu salah satu wanita sholehah, Mbak. Mbak Ki juga wanita idaman. Berkerudung, pandai, berprestasi, wih.. cantik lagi. Mandiri pula. Pasti banyak yang mau jadi suaminya.”
            “Mbak Ki, jangan sedih lagi ya. Insya Allah dapat banyak pahala. Menuntut ilmu kan perintah Allah. Kalau Mbak Ki rindu sama keluarga, main aja ke rumahnya Bu Li. Anak-anak pada nanyain lho, Mbak. Katanya mau diajari bahasa Inggris lagi.”
            Ah, Bu Li. Bu Li benar. Nasihat-nasihat bu Li terasa sejuk di gersangnya rasa syukurku. Terasa menyegarkan di sedihnya sukmaku karena terhambat pulang ke kampung halaman. “Ibu kos, Bu Li dan Mbak-mbak di sinikan sudah menjadi keluarga besar yang baru untuk Mbak Ki.” Ya, bu Li benar sekali. Bu Li, aku ingin sekali memelukmu saat ini.
***
(Penulis adalah mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
Terbit di Harian Waspada, 31 Juli 2016 

Saturday, June 25, 2016

Kisah Ri, Anak Tukang Cuci

Karya : Aisyah Haura Dika Alsa

        
          Namanya, Ri. Anak laki-laki ibu paling tampan, paling rajin, paling baik, dan paling-paling lainnya. Begitu selalu kata ibunya. Ibunya tidak hanya membual, pada kenyataannya, Ri, memang seperti itu. Meski anak laki-laki, Ri tak mau manja pada pekerjaan-pekerjaan rumah. Abangnya, Rul pun sama. Sama-sama mengerti tanggung jawab. Padahal, ibunya, ijazah SMP saja tidak punya di laci meja rumahnya. Tapi, mendidik anak-anaknya, tidak bisa diragukan kepandaiannya. Pengalaman dan kisah-kisah dari orang lainlah tempat belajarnya. Ibu Ri tak sempat membaca, karena pekerjaan mencucinya dari pukul 7 sampai pukul 7 lagi. Belum lagi, harus mengawasi anak-anaknya di rumah saat malam, memastikan anak-anaknya belajar sungguh-sungguh dan bukan menonton tv dengan syahdu. Namun, Ibu Ri rajin hadir ke pengajian dekat rumah, senang menyimak kisah-kisah baik dan sukses orang lain. Dan yang menurutnya baik maka diterapkannya untuk mendidik anak-anaknya.
       
        Ri, saat ini, usianya lima belas tahun. Tingkat pertama di putih abu-abu. Ri memang hanya anak tukang cuci. Ayah dan ibunya bercerai saat Ri berusia dua tahun. Dari Ri berusia tiga tahun sampai kini, ayahnya tak pernah menampakkan wajah lagi. Kabar burung, ayahnya merantau sebagai kuli ke negara tetangga lalu menikah lagi masih dengan orang Indonesia. Setelah itu, kabar apapun tidak ada lagi hinggap di rumah sederhana Ri. Mengingat kisah ayahnya, Ri hanya bisa terdiam. Dia bahkan tidak tahu, nyawa ayahnya masih ada atau sudah melayang. Kata ibunya, ibunya sudah berusaha keras mencari siang malam.          
         Ri, memang hanya anak tukang cuci. Tapi, siapa yang boleh melarang jika anak tukang cuci maju pesat kepandaiannya di sekolahnya. Ri bolak-balik memenangkan lomba pidato bahasa Inggris, menjadi perwakilan sekolahnya untuk tingkat nasional lomba debat bahasa Inggris dan juga tak kalah kepandainnya mengaji serta suara merdunya semakin membuatnya memesona. Dalam hidupnya, Ri percaya, bahwa pendidikan, kerja keras, dan patuh pada perintah Tuhan adalah gudang kerja yang akan membawanya bahagia dunia pun akhirat. 
          Siapa bilang Ri tidak pernah iri dengan teman-temannya. Di saat teman-temannya, pulang sekolah bisa asyik nongkrong di kafe-kafe oke, atau hanya sekadar jalan-jalan dengan sepeda motor ataupun mobil mewah. Ri harus pulang mengerjakan pekerjaan rumah yang sudah dibagi ibunya untuknya dan untuk Rul, abangnya. Ri, memang anak laki-laki. Tapi, menyapu dan mengepel lantai, mencuci baju, menyetrika, mencuci piring sudah jadi makanan Ri sehari-hari. Bahkan Ri mencoba-coba membuatkan meja dan kursi ataupun lemari sederhana dengan kayu yang dipungutnya dari toko kayu sebelah rumahnya. 
          Tapi, Ri tidak pernah iri berlarut-larut. Ri memang selalu menceritakan apapun pada ibunya. Jadi, Ri selalu punya obat atas segala sedih yang dia dapat. Ibunya selalu membesarkan hatinya. Bahwa hidup, bahagia atau tidaknya, bukan orang lain yang menentukan. Tapi, diri sendiri. Ibunya bilang, “Adek harus belajar bahagia dengan bahagia yang sesungguhnya. Karena, di mata Allah, Adek insya Allah lebih mulia dibanding teman-teman Adek yang hanya duduk-duduk santai di kafe-kafe oke jika Adek ikhlas membantu Ibu. Adek boleh pilih, nampak mulia di hadapan manusia atau nampak mulia di hadapan Allah yang menciptakan manusia.”
          Kalian tahu? Ibu Ri punya cara sendiri membuat hiburan untuk Ri dan abangnya, Rul. Salah satunya dengan lelucon ibunya dan hal-hal yang lain adalah ibu mereka sering memberikan hadiah-hadiah kecil pada anak-anaknya, memberikan pujian, mengucapkan terima kasih setiap hari, mengecup kening mereka sambil mengungkap sayang dan kasih, bahkan di usia anak-anaknya yang semakin beranjak besar, Ibu Ri masih menghantar mereka tidur dengan kisah-kisah dan motivasi-motivasi orang-orang hebat, yang didengar ibunya dari kisah tetangga-tetangga yang sukses atau kisah-kisah saat di pengajian.  
***

          Sebelum ashar ini, Ri pergi ke masjid. Kalian tahu? Salah satu didikan ibu mereka adalah, sholat lima waktu di masjid. Ibu mereka selalu mengulang-ngulang, anak laki-laki wajib solat 5 waktunya di masjid. Sekalipun, dia harus merangkak pergi ke masjid. Jadi, melihat wajah Ri dan Rul, abangnya sudah hal yang rutin di sana. Dan kalian tahu? Ri sudah diangkat menjadi salah satu muazin tetap di masjid dekat rumahnya. Bayangkan saja, suara merdu Ri setiap subuh membangunkan tidur para manusia. Suara azan Ri, setiap magrib dan isya menyegarkan kembali pikiran-pikiran siapa saja yang siang tadi telah diperas mencari nafkah. 
          Sebenarnya, ada satu hal yang paling membikin hati Ri bisa sedih berkepanjangan. Yang bisa saja membuatnya nyaris putus asa. Yang membuatnya pernah dan masih bertanya-tanya, mengapa dia tak pernah merasa kasih sayang dari seorang ayah. Pasti rasanya indah jika ada ayah. Pasti rasanya menenangkan jika punya ayah. Seperti yang biasa Ri lihat di sekitarnya. Tapi, kenapa Tuhan tak pernah mengizinkan Ri untuk bisa merasakannya. Ah, Ri ingin sekali.. Ingin sekali.. Meski hanya satu kali.. Tapi, meski begitu, dalam hatinya. Ri tak pernah mau mengizinkan ibunya menikah lagi. Meski memang, ibunya tak pernah sama sekali membicangkan tentang ayah tiri. Dimana ayah, dimana.. Begitu tanya Ri saban hari. Apakah sedikit saja markah tidak ada? Sedikit saja, Tuhan.. Sedikit saja. Begitu ingin Ri setiap hari. 
          Saat di masjid tadi, melihat Ga, teman karibnya bersama ayahnya naik sepeda motor bersama ke masjid membuat hati Ri tiba-tiba sesak. Bahkan dalam solatnya, Ri menangis. Lalu, pelan-pelan agar tidak ketahuan karena malu, Ri mengusap air matanya. Tidak seperti biasanya, Ri izin pulang lebih awal. Begitu membuka pintu langsung masuk ke kamarnya. Hanya Ri sendiri di rumah. Abangnya, Rul belum pulang kerja. Ibunya sebentar lagi akan pulang. Ri menangis sendirian di kamarnya. Hal kecil barusan membuat lukanya kembali nganga. Padahal, setiap bulan Ramadan, Ga dan ayahnya memang selalu berboncengan ke masjid. Karena, rumah Ga lebih dekat ke masjid jika naik sepeda motor. 
          Saat ibunya pulang, Ri pura-pura tidur. Ibunya kemudian masuk ke kamar. “Lho, anak lanang kok tidur. Pantang tidur sore-sore! Bangun, Dek. Itu sarungnya juga belum diganti.” Ri memang bangun tapi wajahnya kusut. Ibunya mulai curiga, hanya saja, ibunya memilih mendiamkan dulu. Karena, ibunya harus bergegas menyiapkan buka puasa. “Yok, Dek. Bantu ibu dulu nyiapin buka puasa.” 
          Seperti biasa, Ri, ibunya, dan abangnya, Rul berbuka puasa bersama. Ri dan Rul memang tidak pernah mau buka puasa di luar atau di masjid. Karena, tidak ada yang menemani ibu mereka buka puasa di rumah. Lalu, setelah menenggak secangkir teh manis dan beberapa kue, Ri dan abangnya bergegas ke masjid. Tapi, kali ini tidak. Ri lebih memilih berdiam saat Rul mengajaknya bergegas ke masjid. “Ayo, Dek. Bergegas. Nanti ketinggalan. Nggak dapat saf depan. Rugi tho, Dek.” Perintah Rul, abangnya. Ri tidak mendengarkan. Ri lebih memilih masuk kamar. Meninggalkan abangnya begitu saja, membuat abangnya menggaruk kepala yang tidak gatal. “Yasudah, Mas saja yang pergi.” Ibunya menengahi. 
          Ibunya pergi mengambil wudhu. Bergegas sholat magrib. Biasanya, ibunya langsung makan nasi, tapi kali ini tidak. Anak bungsunya sedang merajuk di kamarnya. Ah, ibu yang tidak tamat SMP. Tapi, mengerti mana yang harus lebih dulu dikerjakan. 

       Di dalam kamar Ri –dan juga Rul–, ibunya sudah mendengar isak anak bungsunya. Dibanding Rul, Ri memang lebih sensitif. Apalagi mengenai ayah begini. “Nggak takut tho, Dek dimurka Allah nggak jamaah di masjid. Adekkan nggak ada halangan untuk ke masjid. Adek kenapa? Ayo cerita pada Ibu.” Ri hanya menjawab hanya dengan isakan. 
          Ibunya sudah tahu, hanya satu hal yang membuat anak laki-lakinya sampai menangis seperti ini. Masalah apapun, Ri tahan tak menangis. Tapi, kalau masalah yang satu ini. Ri tak kuasa menahan. Lalu, ibunya mengelus lembut kepala Ri “Dek, Adek memang nggak ada ayah. Tapi, coba lihat Mas Rul. Mas Rul bahkan lebih-lebih dari ayah. Siapa yang setiap hari mengantar Adek ke sekolah bahkan menjemput Adek meski hanya dengan sepeda. Siapa yang hampir setiap malam menemani belajar, menemani mengerjakan tugas, rela begadang untuk mendengarkan Adek latihan pidato. Siapa yang rela bekerja saat liburan sekolah untuk bisa membelikan Adek baju dan sepatu lebaran baru. Padahal, yang kerja, baju dan sepatunya itu-itu saja. Siapa yang selalu menyempatkan waktu untuk menemani Adek mendaftar lomba, menyempatkan hadir untuk melihat Adek saat lomba. Siapa yang...........” Ibu Ri tidak kuat melanjutkan perkataannya. Kalimat ibunya membuat Ri tersentak.
          “Adek nggak boleh hanya melihat satu sisi saja. Lihatlah, dari sisi yang lain. Adek pahamkan?” Kalimat tambahan ibunya semakin membuatnya terisak. Tapi, isak kali ini sebab Ri menyesal karena sudah merajuk dan membuat ibunya menangis. 
          “Sekarang, Adek bergegas sholat magrib. Keburu waktunya habis. Setelah itu sholat taubat. Mohon ampun sama Allah karena magrib ini nggak jamaah di masjid.” Ri menghapus air matanya. Lalu, berdiri menuju kamar mandi. Sholat magrib dengan isak kembali dan kemudian dua rokaat sunnah meminta ampunan Sang Maha Kasih. Ibunya benar. Ri tidak boleh melihat kehidupannya hanya dengan satu sisi. Lihatlah, dari dia bayi sampai kini, siapa yang berjuang untuk hidupnya dan sekolahnya serta prestasinya, jika bukan ibunya. 12 tahun bukan waktu yang sebentar untuk berkeliling dari satu rumah ke rumah yang lain untuk bekerja sebagai tukang cuci. Ibunya benar, Ri memang tak punya ayah. Tapi, Ri punya ibu dan abang yang berharga melebihi harta, yang tidak akan dapat ditukarkan dengan apapun di dunia ini.
***
(Penulis adalah mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
Harian Mimbar Umum, 25 Juni 2016