Karya
: Aisyah Haura Dika Alsa
Gigil. Kursi-kursi
kosong. Jendela. Pagi nan indah. Tapi, barangkali indahnya hanya cukup pada
pagi tanpa membikin larik-larik merdu di hatiku.
Ini masih pagi
sekali untuk datang ke perpustakaan kampus. Bahkan tadi ketika aku sampai tepat
di depan pintu masuk perpustakaan, abang cleaning service baru saja mematikan vacuum
cleanernya. “Belum boleh masuk, Dek. Cepat kali kau datang bah. Udah sarapannya
kau?” Pegawai perpus sedikit kaget melihatku. Aku hanya mengangguk. Tersenyum
sopan. Tidak masalah menunggu. Hanya sekian menit lagi.
Hanya mahasiswa
tingkat akhir biasanya yang pagi-pagi begini sudah duduk di kursi perpustakaan.
Tapi, pagi ini. Pagi ini saja. Aku ingin melupakan sejenak tugas-tugas itu. Aku
bahkan tidak membawa apapun ke dalam perpustakaan. Tas, laptop, botol air
minum, handphone, semua barang itu aku tinggalkan di loker perpus. Ah, andai
saja meninggalkan perasaan ini semudah meninggalkan barang-barang itu di loker
sana.
Aku masih
menatap jendela di sisi kiri. Menatap biru langit nan cerah di atas sana. Sambil
menahan gigil sebab hanya aku mahasiswa –yang terlihat rajin– yang telah duduk
di kursi perpus ini. Pendingin ruangan seperti semuanya menujukan dinginnya
pada tubuhku. Tapi, masih lebih dingin dan gigil lagi di dalam sini. Di hati
ini.
“Ra.”
Aku menoleh ke
depan. Fiya tersenyum menyapaku. Mendorong kursi ke belakang. Agar ia dapat
duduk di kursinya, tepat di depan dudukku.
“Dosen
pembimbingmu segalak apa sih, Ra. Mukamu itu menyedihkan sekali.” Fiya tertawa
dan mulai menyalakan laptopnya. Aku menoleh ke sisi kiriku lagi. Fiya tidak
akan sakit hati jika aku tidak menjawab olokannya.
“Oh iya, Ra. Mas
Fra udah balikkan? Kamu nggak pulang ke
rumah, Ra?”
Lamunanku
tersentak setelah 5 menit Fira mendiamkan suaranya. Aku membuang napasku yang
berat. Kenapa sepertinya semua orang
sudah tahu dia sudah pulang.
“Mas Fra bawain
oleh-oleh apa buat kamu, Ra?”
Kali ini, aku
bukan tersentak lagi. Aku bahkan hampir menjatuhkan sebutir air dari sudut
mataku yang kanan. Aku mengerjap-ngerjapkan sepasang mataku, menjaga
butir-butir air itu agar tak luruh. Namun sepertinya sulit bagi mereka untuk tidak
jatuh. Aku lalu memilih bangkit dari kursiku. Menuju loker, mengambil semua
barangku dan mengambil kartu mahasiswaku. Keluar dengan buru-buru dari
perpustakaan sambil membawa jantung yang sesak. Meninggalkan pegawai perpus dan
Fiya dengan tanda tanya di masing-masing kepala mereka.
***
Laptop itu dari
tadi menyala di meja belajar dan buku-buku di sampingnya sedari tadi juga
terbuka. Tapi, aku tidak berhasil mengetik satu kalimat pun di sana. Jadi,
kupindahkan tubuhku duduk di sudut kiri kasur. Mulai kembali mengasihani diriku
sendiri. Mulai merunduk kembali. Menatap sepasang kakiku yang dibalut sandal
berbulu tebal –yang berguna menghangatkanku saat menginjak lantai yang dingin–.
Lalu kembali mendongak, menatap langit-langit kamar yang sepertinya menyimpan
semua perasaanku di sana.
Harusnya aku
merasa riang dengan kepulangannya. Siapa pula yang tidak senang melihat Masnya
pulang dengan membawa kabar gembira dari lain benua. Membawa banyak buah tangan
dan cerita menyenangkan. Membawa rindu yang menggunung setelah dua tahun tak kunjung
pulang kampung.
Kenangan itu
kembali merusuhi kepalaku, bagaimana ia yang mengelap air mata dan ingusku saat
aku menangis dimarahi ibu. Bagaimana ia yang menjemputku dari sekolah tak
peduli siang menyengat atau hujan yang lebat. Bagaimana ia yang selalu
memberiku hadiah-hadiah kecil dari uang sakunya. Bagaimana ia yang rela
begadang semalaman membantu mengerjakan pr sekolah. Bagaimana ia yang....
Aku jatuh dari
kasur. Terduduk di lantai yang terasa lebih gigil. Dan kemudian hanya dapat
memeluk lututku sendiri bersama sesunggukan yang perih.
***
“Iya, Fra itu
anak angkatku, Rin... Dari bayi sudah aku yang asuh. Orang tuanya tetangga
samping rumah kami yang dulu. Mereka sakit-sakitan. Lalu amanat mereka saat Fra
lahir, mereka minta tolong untuk kami yang mengasuhnya. Tak lama Fra lahir,
kedua orang tuanya meninggal dunia. Dan waktu itu aku memang belum punya anak,
sudah 3 tahun menikah. Suamiku pun setuju untuk mengasuhnya. Tapi, alhamdulillah
dua tahun setelah mengasuh Fra. Lahir anak perempuan kami yang pertama. Lalu
satu tahun setelahnya, lahir anak perempuan kami yang bungsu. Ayahnya mulai
khawatir karena anak kami dua-duanya perempuan. Bagaimanapun putri kami dan Fra
adalah ‘orang lain’. Takut menimbulkan masalah di kemudian hari. Untuk itulah
kami memasukkan Fra ke pesantren sejak ia mulai baligh (dewasa) sampai ia
menyelesaikan sekolahnya. Lalu kami menguliahkannya di negeri tetangga. Hingga
akhirnya Fra mencari sendiri beasiswa untuk melanjutkan kuliahnya. Fra tidak
mau lagi kami biayai sekolahnya. Dia memang anak yang baik budi sekali, Rin..
Merasa takut sekali menyusahkan kami. Padahal aku dan suami tidak masalah, sudah
seperti anak kami sendiri, Rin..” Ibu mengusap air matanya yang luruh dengan
tisu di meja tamu. Sedang berkisah dengan tante Rina, karib lama ibu saat
sekolah dulu dan baru bertemu lagi saat ini, setelah puluhan tahun telah
terlampaui.
“Dan anak yang
cerdas dan mandiri juga aku pikir, Wa. Pasti kalian sangat baik sekali
mendidiknya.” Tante Rina tersenyum, lembut mengusap-usap bahu kiri ibu. “Jadi,
apakah Fra sudah tahu dia anak angkat?” Tanya tante Rina dalam kalimat
selanjutnya.
“Sudah, Rin.. Kami
memberitahunya sebelum ia dimasukkan ke pesantren. Kami menjelaskan padanya dan
pada kedua putri kami dengan sangat hati-hati.”
“Hm.. Aku ingin
tahu bagaimana reaksi Fra waktu itu.”
Ibu tertawa
pelan. Tapi sambil juga air matanya jatuh.
“Dia hanya diam,
Rin. Dia memang terlihat sangat terkejut. Tapi dia tidak mengeluarkan sepatah
katapun. Sekecil itu entah dari mana dapatnya pelajaran untuk tegar. Aku
rasanya ingin sekali memeluk dan menciumnya. Tapi, dia sudah baligh waktu itu. Jadi,
aku hanya bisa menangis.” Ibu mengenang kejadian itu dengan senyuman yang
semakin lebar tapi juga dengan air mata yang makin banyak tumpah.
Tante Rina
tersenyum lagi mendengar cerita ibu. “Lalu bagaimana dengan reaksi putri-putri
kalian, Wa?”
Ibu terhenyak
dengan pertanyaan karibnya kali ini. Terdiam sebentar. Seperti ada sesuatu yang
menyulitkan di bagian itu.
***
Aku ingat sekali
kejadian hari itu, aku benar-benar tidak pernah menyangka kalau dia bukan
Masku. Dan ketika dia pamit untuk sekolah di pesantren, aku meraung-raung menangis
tidak ingin berpisah dengannya. Dia tidak banyak bicara, hanya mengelus
kepalaku, mengelap air mata dan ingusku. Seperti yang biasa dia lakukan. Dan
memelukku begitu erat. Dan itulah pelukan terakhir darinya. Karena satu tahun
kemudian, saat dia pulang liburan, dia tidak lagi boleh menyentuhku. Karena aku
juga sudah baligh. Hingga tahun-tahun berikutnya, ia tidak lagi memperlakukanku
seperti adiknya. Saat itulah, aku merindukan saat-saat kami kecil. Dan saat
itulah, aku mulai merasa ada sesuatu yang lain di dalam degupku. Sesuatu yang seharusnya
tidak pernah tumbuh di dalam sini.
Dia berubah
menjadi benar-benar dingin ketika kami besar. Hanya sesekali mengobrol. Dia
lebih banyak bercengkrama bersama ayah dan ibu saat ia pulang liburan. Tidak
ada lagi dia mengajakku untuk diboncengnya naik sepeda, jajan bakso di depan
sekolah, lomba lari di gang rumah, atau mandi hujan saat hujan sedang turun
sederas-derasnya. Ah, bodohnya aku. Tentu saja, tidak akan mungkin lagi aku dan
dia bermain seperti kami kecil.
Seperti biasa,
dia tidak pernah sekalipun mengabarkan padaku, ia akan pulang. Kali ini, aku
memutuskan untuk tidak pulang ke rumah dan berkilah menyelesaikan skripsi meski
jarak kontrakanku hanya satu setengah jam dari rumah. Dan kepulangannya kali
ini, aku benar-benar tidak menyukainya. Meski aku tahu, di rumah ada yang gugup
sekaligus riang menanti kepulangannya.
Akulah dan
perasaankulah yang salah. Akulah yang seharusnya berusaha untuk tetap
menganggapnya sebagai Masku meski sebenarnya ia bukan. Ah, dia tentu
benar-benar akan menjadi Masku sebentar lagi. Mas iparku.
***
(Penulis adalah Alumni Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
Terbit di Analisa, 19 November 2017