Wednesday, November 22, 2017

Mas(ku)

Karya : Aisyah Haura Dika Alsa

Gigil. Kursi-kursi kosong. Jendela. Pagi nan indah. Tapi, barangkali indahnya hanya cukup pada pagi tanpa membikin larik-larik merdu di hatiku.
Ini masih pagi sekali untuk datang ke perpustakaan kampus. Bahkan tadi ketika aku sampai tepat di depan pintu masuk perpustakaan, abang cleaning service baru saja mematikan vacuum cleanernya. “Belum boleh masuk, Dek. Cepat kali kau datang bah. Udah sarapannya kau?” Pegawai perpus sedikit kaget melihatku. Aku hanya mengangguk. Tersenyum sopan. Tidak masalah menunggu. Hanya sekian menit lagi.
Hanya mahasiswa tingkat akhir biasanya yang pagi-pagi begini sudah duduk di kursi perpustakaan. Tapi, pagi ini. Pagi ini saja. Aku ingin melupakan sejenak tugas-tugas itu. Aku bahkan tidak membawa apapun ke dalam perpustakaan. Tas, laptop, botol air minum, handphone, semua barang itu aku tinggalkan di loker perpus. Ah, andai saja meninggalkan perasaan ini semudah meninggalkan barang-barang itu di loker sana.
Aku masih menatap jendela di sisi kiri. Menatap biru langit nan cerah di atas sana. Sambil menahan gigil sebab hanya aku mahasiswa –yang terlihat rajin– yang telah duduk di kursi perpus ini. Pendingin ruangan seperti semuanya menujukan dinginnya pada tubuhku. Tapi, masih lebih dingin dan gigil lagi di dalam sini. Di hati ini.
“Ra.”
Aku menoleh ke depan. Fiya tersenyum menyapaku. Mendorong kursi ke belakang. Agar ia dapat duduk di kursinya, tepat di depan dudukku.
“Dosen pembimbingmu segalak apa sih, Ra. Mukamu itu menyedihkan sekali.” Fiya tertawa dan mulai menyalakan laptopnya. Aku menoleh ke sisi kiriku lagi. Fiya tidak akan sakit hati jika aku tidak menjawab olokannya.
“Oh iya, Ra. Mas Fra udah balikkan?  Kamu nggak pulang ke rumah, Ra?”
Lamunanku tersentak setelah 5 menit Fira mendiamkan suaranya. Aku membuang napasku yang berat. Kenapa sepertinya semua orang sudah tahu dia sudah pulang.
“Mas Fra bawain oleh-oleh apa buat kamu, Ra?”
Kali ini, aku bukan tersentak lagi. Aku bahkan hampir menjatuhkan sebutir air dari sudut mataku yang kanan. Aku mengerjap-ngerjapkan sepasang mataku, menjaga butir-butir air itu agar tak luruh. Namun sepertinya sulit bagi mereka untuk tidak jatuh. Aku lalu memilih bangkit dari kursiku. Menuju loker, mengambil semua barangku dan mengambil kartu mahasiswaku. Keluar dengan buru-buru dari perpustakaan sambil membawa jantung yang sesak. Meninggalkan pegawai perpus dan Fiya dengan tanda tanya di masing-masing kepala mereka.
***
Laptop itu dari tadi menyala di meja belajar dan buku-buku di sampingnya sedari tadi juga terbuka. Tapi, aku tidak berhasil mengetik satu kalimat pun di sana. Jadi, kupindahkan tubuhku duduk di sudut kiri kasur. Mulai kembali mengasihani diriku sendiri. Mulai merunduk kembali. Menatap sepasang kakiku yang dibalut sandal berbulu tebal –yang berguna menghangatkanku saat menginjak lantai yang dingin–. Lalu kembali mendongak, menatap langit-langit kamar yang sepertinya menyimpan semua perasaanku di sana.
Harusnya aku merasa riang dengan kepulangannya. Siapa pula yang tidak senang melihat Masnya pulang dengan membawa kabar gembira dari lain benua. Membawa banyak buah tangan dan cerita menyenangkan. Membawa rindu yang menggunung setelah dua tahun tak kunjung pulang kampung.
Kenangan itu kembali merusuhi kepalaku, bagaimana ia yang mengelap air mata dan ingusku saat aku menangis dimarahi ibu. Bagaimana ia yang menjemputku dari sekolah tak peduli siang menyengat atau hujan yang lebat. Bagaimana ia yang selalu memberiku hadiah-hadiah kecil dari uang sakunya. Bagaimana ia yang rela begadang semalaman membantu mengerjakan pr sekolah. Bagaimana ia yang....
Aku jatuh dari kasur. Terduduk di lantai yang terasa lebih gigil. Dan kemudian hanya dapat memeluk lututku sendiri bersama sesunggukan yang perih.
***
“Iya, Fra itu anak angkatku, Rin... Dari bayi sudah aku yang asuh. Orang tuanya tetangga samping rumah kami yang dulu. Mereka sakit-sakitan. Lalu amanat mereka saat Fra lahir, mereka minta tolong untuk kami yang mengasuhnya. Tak lama Fra lahir, kedua orang tuanya meninggal dunia. Dan waktu itu aku memang belum punya anak, sudah 3 tahun menikah. Suamiku pun setuju untuk mengasuhnya. Tapi, alhamdulillah dua tahun setelah mengasuh Fra. Lahir anak perempuan kami yang pertama. Lalu satu tahun setelahnya, lahir anak perempuan kami yang bungsu. Ayahnya mulai khawatir karena anak kami dua-duanya perempuan. Bagaimanapun putri kami dan Fra adalah ‘orang lain’. Takut menimbulkan masalah di kemudian hari. Untuk itulah kami memasukkan Fra ke pesantren sejak ia mulai baligh (dewasa) sampai ia menyelesaikan sekolahnya. Lalu kami menguliahkannya di negeri tetangga. Hingga akhirnya Fra mencari sendiri beasiswa untuk melanjutkan kuliahnya. Fra tidak mau lagi kami biayai sekolahnya. Dia memang anak yang baik budi sekali, Rin.. Merasa takut sekali menyusahkan kami. Padahal aku dan suami tidak masalah, sudah seperti anak kami sendiri, Rin..” Ibu mengusap air matanya yang luruh dengan tisu di meja tamu. Sedang berkisah dengan tante Rina, karib lama ibu saat sekolah dulu dan baru bertemu lagi saat ini, setelah puluhan tahun telah terlampaui.
“Dan anak yang cerdas dan mandiri juga aku pikir, Wa. Pasti kalian sangat baik sekali mendidiknya.” Tante Rina tersenyum, lembut mengusap-usap bahu kiri ibu. “Jadi, apakah Fra sudah tahu dia anak angkat?” Tanya tante Rina dalam kalimat selanjutnya.
“Sudah, Rin.. Kami memberitahunya sebelum ia dimasukkan ke pesantren. Kami menjelaskan padanya dan pada kedua putri kami dengan sangat hati-hati.”
“Hm.. Aku ingin tahu bagaimana reaksi Fra waktu itu.”
Ibu tertawa pelan. Tapi sambil juga air matanya jatuh.
“Dia hanya diam, Rin. Dia memang terlihat sangat terkejut. Tapi dia tidak mengeluarkan sepatah katapun. Sekecil itu entah dari mana dapatnya pelajaran untuk tegar. Aku rasanya ingin sekali memeluk dan menciumnya. Tapi, dia sudah baligh waktu itu. Jadi, aku hanya bisa menangis.” Ibu mengenang kejadian itu dengan senyuman yang semakin lebar tapi juga dengan air mata yang makin banyak tumpah.
Tante Rina tersenyum lagi mendengar cerita ibu. “Lalu bagaimana dengan reaksi putri-putri kalian, Wa?”
Ibu terhenyak dengan pertanyaan karibnya kali ini. Terdiam sebentar. Seperti ada sesuatu yang menyulitkan di bagian itu.
***
Aku ingat sekali kejadian hari itu, aku benar-benar tidak pernah menyangka kalau dia bukan Masku. Dan ketika dia pamit untuk sekolah di pesantren, aku meraung-raung menangis tidak ingin berpisah dengannya. Dia tidak banyak bicara, hanya mengelus kepalaku, mengelap air mata dan ingusku. Seperti yang biasa dia lakukan. Dan memelukku begitu erat. Dan itulah pelukan terakhir darinya. Karena satu tahun kemudian, saat dia pulang liburan, dia tidak lagi boleh menyentuhku. Karena aku juga sudah baligh. Hingga tahun-tahun berikutnya, ia tidak lagi memperlakukanku seperti adiknya. Saat itulah, aku merindukan saat-saat kami kecil. Dan saat itulah, aku mulai merasa ada sesuatu yang lain di dalam degupku. Sesuatu yang seharusnya tidak pernah tumbuh di dalam sini.
Dia berubah menjadi benar-benar dingin ketika kami besar. Hanya sesekali mengobrol. Dia lebih banyak bercengkrama bersama ayah dan ibu saat ia pulang liburan. Tidak ada lagi dia mengajakku untuk diboncengnya naik sepeda, jajan bakso di depan sekolah, lomba lari di gang rumah, atau mandi hujan saat hujan sedang turun sederas-derasnya. Ah, bodohnya aku. Tentu saja, tidak akan mungkin lagi aku dan dia bermain seperti kami kecil.
Seperti biasa, dia tidak pernah sekalipun mengabarkan padaku, ia akan pulang. Kali ini, aku memutuskan untuk tidak pulang ke rumah dan berkilah menyelesaikan skripsi meski jarak kontrakanku hanya satu setengah jam dari rumah. Dan kepulangannya kali ini, aku benar-benar tidak menyukainya. Meski aku tahu, di rumah ada yang gugup sekaligus riang menanti kepulangannya.
Akulah dan perasaankulah yang salah. Akulah yang seharusnya berusaha untuk tetap menganggapnya sebagai Masku meski sebenarnya ia bukan. Ah, dia tentu benar-benar akan menjadi Masku sebentar lagi. Mas iparku.
***
(Penulis adalah Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
Terbit di Analisa, 19 November 2017

Wednesday, November 15, 2017

Lamaran Lelaki Kutub Selatan

Karya : Aisyah Haura Dika Alsa

Dia. Anak laki-laki itu, yang sedang duduk di kursinya barisan dua sisi kanan sedang asyik ngobrol dengan teman laki-lakinya. Aku. Yang dari tadi menahan langkah terduduk di kursiku, berusaha keras mendiamkan kesalku. Anak laki-laki itu memang tidak berubah-ubah semenjak dulu. Seenak jidatnya selalu. Apa tadi dia bilang? Dia tidak bisa ikut mengerjakan tugas kelompok karena sudah janji dengan teman-temannya naik gunung. Dia membuatku geli sekali. Naik gunungnya jauh lebih penting ketimbang kuliahnya. Ingin sekali kutinju mukanya itu!
Beruntung Nay membawaku segera minggat dari kelas. Nay tahu sekali wajahku sudah seperti air rebus. Jangan sampai dibiarkan matang. Nanti banyak asapnya. Sebaiknya langsung dipadamkan apinya. Nay membawaku jajan tempura di depan kampus. “Vey, kita bisa kok ngerjai tugasnya tanpa Bagas. Nanti laporannya Bagas aja yang ngerjai semuanya. Dia juga yang ngeprint. Plus buat power pointnya. Aku yakin dia mau aja kok.” Nay mencomot tempura pertamanya.
“Baguslah kalau dia nggak ikut. Aku nggak lihat muka dia besok satu harian.” Nay tersedak. Tersenyum setengah tertawa. “Nggak boleh benci-benci kali, Vey. Kebanyakan terlalu benci bisa cinta. Gitu sih kebanyakan. Aku ngomong berdasarkan fakta di sekitar ya, Vey. Jadi akurat.” “Aku lagi males bercanda, Nay.” Nay hanya balas menyengir.
Aku dan anak laki-laki itu entah kenapa selalu sekelas sejak SMP. Bahkan masih juga sekelas saat kuliah. Ah, iya. Dia masih anak-anak di mataku. Entah karena membencinya. Jadi, aku enggan menyebutnya sebagai lelaki. Kami tidak pernah bertengkar sebenarnya. Tidak pernah adu mulut sekalipun. Karena selalu, jika aku kesal dan marah-marah padanya. Dia hanya menanggapinya dengan sikap dingin. Terakhir kali, aku merecoki telinganya dengan mulutku saat tahun pertama di SMA. Saat aku marah-marah, tiba-tiba seisi kelas melihat ke arah kami. Kelas terasa benar-benar tegang. Merasa diperhatikan seisi kelas, aku mendiamkan mulutku. Sedang anak laki-laki itu berdiri dari bangkunya, pergi meninggalkan kelas dengan sikap dinginnya. Sejujurnya, aku merasa bersalah telah memarahinya di depan teman-teman kami. Dan sejak saat itu, aku tidak lagi berkeinginan untuk menceracau mulutku padanya. Meski ia sering membikin darahku naik. Tapi aku selalu berusaha menahannya.
Dari awal mengenalnya, aku memang sudah tidak suka padanya. Dia anak yang pendiam. Tapi teman-temanku selalu bilang senang mengobrol dengannya. Meski dia lebih banyak mendengarkan. Tapi dia benar-benar peduli terhadap lawan bicaranya. Pendengar yang baik. Meski ada saat-saat dia terbahak lama sekali. Tapi itu adegan yang jarang terjadi. Berbeda denganku yang ceria. Meski dimarahi ibu di rumah. Aku bisa tetap riang di sekolah. Rasa semakin tidak suka itu semakin besar saat ternyata dia juara kelas. Sedang peringkatku satu tangga di bawahnya. Aku merasa sudah benar-benar berada di atas langit waktu itu. Tapi mendengar pengumuman juara kelas, langitku runtuh seketika. Sejak itu, aku benar-benar merasa dia adalah saingan beratku bahkan sampai hari ini. Kami memang tidak pernah bertengkar. Tapi juga tidak pernah berteman.
***

 “Vey, kalau ada laki-laki yang baik yang ingin menikah dengan Vey saat ini. Vey bersedia?” Tanya ibu dengan nada hati-hati sambil mengelus rambutku. Aku sedikit kaget dan geli. “Ibu, Vey baru saja semester dua di kuliah. Masih mau serius belajar.” Jawabku sambil lanjut membaca. “Tapi menurut Ibu, Vey sudah bisa. Dan menikah bukan berarti nggak bisa belajar serius. Asal paham tanggung jawab, insya Allah semua akan lancar.” “Vey belum mau, Bu.” “Kalau Ibu jadi Vey, Ibu takut menyesal menolaknya. Dia anak yang baik, cerdas, wajahnya tampan, dari keluarga yang baik-baik juga.” Aku langsung bangkit dari tiduran di paha ibu. Merasa tertarik. “Memangnya siapa yang melamar Vey, Bu?” “Tapi tadi katanya belum mau.” Ibu menggodaku. “Hehe.. Nanya siapakan bukan berarti mau, Bu. Nanya doang hehehe..”  Ibu tersenyum. “Bagas, Nak. Teman kamu.” Mataku membelalak. Mulutku menganga lebar. Mengeluarkan bunyi dua huruf dengan rasa terkejut paling tinggi. “HA???????!” Jantungku seperti diledakkan dan pecah hingga tercecer kemana-mana.
     Yang benar saja. Anak laki-laki itu sudah gila kupikir. Berani-beraninya dia. Dia pikir dia siapa. Apa tadi ibu bilang, sudah sejak kelulusan SMA dia datang dengan orang tuanya saat aku tidak di rumah. Tapi saat itu ibu dan ayah menolaknya secara halus. Dan dua hari lalu, dia sendiri datang saat aku tidak di rumah lagi. Kali ini ayah dan ibu mempertimbangkannya. Karena melihat aku sudah berani diantar pulang teman laki-laki. Meski hanya sekali. Dan berita-berita pacaran yang kelewat batas hingga ‘kecelakaan’ dan akhirnya harus menikah dengan terpaksa. Itu yang membuat ibu dan ayah sangat mempertimbangkannya. Mereka merasa benar-benar khawatir dengan pergaulan anak muda masa kini. Merasa harus segera membuatku menikah. Apalagi ditambah dengan adegan ayah dan ibu yang sudah ingin menimang cucu. Karena aku anak yang sulung.
Ha, bagaimana ini? Bagaimana nanti aku harus bertemu muka dengannya? Bagaimana kalau teman-teman SMP, SMA, kuliah, semuanya tahu? Mereka semua tahu bahwa ada perang dingin antar aku dan anak laki-laki itu. Karena memang aku sering menunjukkannya. Meski tidak dengan merepet di depan mukanya. Tapi saat diskusi di kelas, kami sering saling menjatuhkan. Aih, bahkan guru-guru dan dosen-dosen tahu, bagaimana dinginnya kami saat saling beradu pendapat. Kalau sudah begitu, seisi kelas tidak ada yang berani menganggu. Membiarkan kami berdua saling menjatuhkan. Guru atau dosen di depan, biasa juga hanya ikut memperhatikan. Dan kebanyakan berakhir dengan tertawa bersama kalimat, “Bagas, Vey, sudah cukup. Kalian tidak boleh sering-sering begini. Jadilah yang ditengah-tengah. Terlalu cinta juga tidak baik. Terlalu benci apalagi. Hati-hati, jangan-jangan nama kalian nanti satu tempat di kartu undangan.”  Seisi kelas menertawakan kami.
***
“Aduh.. Bagaimana ini.. Kalau begini, bisa-bisa aku ingin pindah kelas. Ah, pindah kampus sekalian. Awas saja, gara-gara dia aku seperti ini... Aduh...” Aku bertahan di kamar mandi fakultas. Akhirnya dengan amat terpaksa, aku mengalah dengan rasa maluku sendiri. Tidak mungkin aku tidak masuk kelaskan? Meski aku tidak tahu harus menaruh wajahku di mana saat melihatnya. Rasanya jika sampai di kelas, aku ingin menggerebek mejanya dan meninju mukanya. Aih, itu kriminal namanya. Oh iya, dia m elamar, bukan berarti tidak bisa aku tolakkan? Ya Tuhan, kenapa aku tidak berpikir dari kemarin. Aih, betapa bodohnya pikiranku. Iya, aku harus menolaknya. Bagaimana bisa aku menikah dengan laki-laki sedingin es di kutub Selatan. Aaahh, aku tidak mau membayangkan menikah dengannya. Hoy, kabar ini seperti mimpi buruk bagiku. Aku harus segera menelpon ibu. Aku harus segera bilang aku SAMA SEKALI tidak bersedia menikah dengan anak laki-laki dari kutub Selatan itu. Entah dari mana dia dapat ide melamarku.
“Taruh semua tas kalian di depan kelas. Kita tes hari ini. Jelek nilai kalian, nggak usah lulus di mata kuliahku. Jumpa lagi tahun depan. Tahunya aku, sayang kalian samaku.” Handphoneku hampir loncat dari tanganku. Pak Saragih masuk dengan tiba-tiba. Tes berjalan 30 menit. Aku lancar saja mengerjakannya karena memang setiap malam aku belajar. Aku meletakkan penaku. Bersiap bangkit dari kursi. Tapi, anak kutub Selatan itu lebih dulu bangkit dan mengantarnya di meja dosen. Huh. Aku memonyongkan bibirku melihatnya.
Kelas Pak Saragih satu setengah jam kemudian selesai. Aku melihat ke arahnya. Dia selalu duduk di baris kedua sisi kanan. Sedang aku duduk di barisan ketiga sisi kiri. Dia duduk sambil membaca. Kami sedang menunggu mata kuliah selanjutnya. Di sela itu, teman perempuanku Mila yang terkenal cantik dan baiknya menghampiri anak kutub Selatan itu dan berdiri di depan duduknya. “Hm.. Bagas, Mila belum terlalu paham tugas dari Pak Saragih tadi. Karena kita satu kelompok. Nanti sebelum pulang tolong jelasi ke Mila dulu, ya.” “Iya, bisa, Mila. Tapi, nggak bisa lama ya.” “Cieee.....................” Satu kelas kompak menyoraki mereka.
Dari awal masuk, teman-teman memang suka menjodoh-jodohkan satu dengan yang lain. Dan di kelas ini, anak kutub Selatan itu dijodoh-jodohkan dengan Mila hanya karena Mila sering bertanya pada anak laki-laki itu soal tugas dan mata kuliah. Jodoh-jodohan begitu aku tidak pernah peduli. Itu olokan paling kekanak-kanakan menurutku. Karena itu hanya membuat malu, salah tingkah, dan serba salah kepada yang sedang dijodoh-jodohkan. Apalagi jika yang dijodoh-jodohkan memang memiliki rasa suka terpendam. Bisa makin banyak salah tingkahnya.
Tapi, saat ini. Saat ini rasanya. Kenapa aku merasa peduli dengan olokan itu. Kenapa aku merasa olokan itu benar-benar menjadi hidup untuk anak kutub Selatan itu dan Mila. Untuk pertama kalinya, aku tidak suka anak laki-laki kutub Selatan itu dijodoh-jodohkan dengan Mila atau barangkali juga dengan siapapun. Kenapa aku malah tidak lagi berniat menelpon ibu. Kenapa sepertinya aku merasa cemburu.
(Penulis adalah Alumni Pendidikan  Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
Terbit di Medan Bisnis, 12 November 2017