Gerak tangan kananku terhenti. Bukan karena penaku
macetnya kambuh lagi. Bukan pula karena aku kehabisan kertas di sini. Aku hanya
bingung. Kemana balasan surat ini akan mengepakkan sayap, jika alamat tak
pernah kau tinggalkan untukku. Kemana surat balasanku akan berlabuh, untuk
menanggalkan rindu-rindu setelah aku, kau tinggal pergi.
Aku
mulai menulis lagi…
2
menit… 3 menit… 4 menit…
Aku berhenti menulis lagi. Kali ini, bukan karena
kebingungan yang mengganggu tadi. Namun, dadaku perih. Sepasang mataku ternyata
telah hujan. Pipi-pipiku diwarna banyak basah. Harusnya, kau tak boleh begini.
Bagaimana mungkin kau pergi tiba-tiba lantas tak menorehkan jejak untuk sisa? Harusnya,
kau biarkan aku tahu kotamu kini.
Harusnya, kau…
***
Namaku, Salsa, mahasiswi semester empat di salah
satu universitas swasta kotaku. Aku mencintai buku-buku, layaknya mencintai
bunyi hujan, bau hujan, ah maksudku, hujan dan sekawanannya. Selain itu, aku
menyenangi senyap meskipun aku lebih sering berada di kalangan ramai orang.
Setelah itu, hal yang tidak aku suka, tentu ketika aku kehilangan gairah. Ketika
bodohnya aku menjauh dari Tuhanku. Jika bukan untuk beribadah pada-Nya, lalu
untuk apalagi hidupku?
Tiba-tiba, ada berpotong-potong kenang yang ingin
berlarian masuk ke kepalaku, ke jiwaku. Kenang tentang seorang teman berkulit
putih yang sungguh putih, marganya Lubis, wajahnya penuh merah jambu jerawat
manis, hidungnya mancung, bola matanya indah coklat, tubuhnya mungil, gayanya
selalu kocak, singkatnya, dia cantik dan humoris.
Potongan-potongan kenang tadi menjalar dan menebar
dengan cepat ke seluruh tubuhku. Seperti bulir-bulir awan begitu cepatnya
memeluk tanah. Dia sama seperti hujan, indah. Sama seperti terang purnama atau
seperti jingga-jingga yang disenangi siapa saja.
Entah mengapa, aku merasa selalu dispesialkannya.
Padahal, kami tak pernah pulang bersama, tak pernah berpergian berdua, tak
pernah melakukan hal-hal yang menyenangkan bersama-sama. Hanya terkadang,
mengenyangkan perut bersama di masjid ketika siang, shalat zuhur bersama atau
terkadang mengerjakan tugas kuliah bersama teman-teman yang lainnya. Selalu
melakukan hal-hal yang biasa.
Tetapi, dia selalu baik. Ketika pulang dari
jalan-jalan ke Thailand, aku kebagian oleh-oleh darinya. Ketika orang tuanya
pergi naik haji, aku lagi-lagi kebagian oleh-oleh. Dan pernah hari itu, bersama
surat dan sebuah kotak bulat yang mungil, dia berikan padaku. Isi kotak bulat
itu, tasbih dan hiasan jilbab indah berwarna merah. Sungguh, dia memang baik
hati.
Sampai akhirnya, aku membalasnya dengan memberikan
sebuah pena yang mirip dengan penaku. Hanya berbeda warna, penaku hitam,
penanya biru. Tentu kami saling memberi dengan cara sembunyi-sembunyi. Takut
teman lain banyak yang cemburu. Ah, iya, bukankah saling berbagi antarteman itu
hal yang biasa? Tapi, ketika dia yang memberi, aku selalu merasa dispesialkan.
Ah, dia memang teman yang baik. Teman-teman yang lain pun mengakui.
Ketika aku sibuk dengan padat aktivitas
organisasiku, ada dia yang baik memberi kabar tentang tugas ataupun keadaan di
kuliah. Beberapa bulan lalu, aku diutus dengan beberapa teman organisasi
internalku menghadiri musyawarah wilayah di Palembang. Maka, dia sering
menanyakan bagaimana kabarku, mewartakan apa-apa saja hal-hal baru selama aku
alpa dalam kuliah. Tanpa pernah kutanya dan kuminta.
Saat ini, namanya sering disebut-sebut. Lalu, aku
akan selalu diam dan entah mengapa dadaku akan tiba-tiba nyeri. Maka teman lain
akan menjawab. “Dinda sudah pindah…..”
Aku masih ingat malam itu. Malam pedih perih.
Wajahku hujan, aku menangis diam-diam, saat ada acara pengkaderan di
organisasiku. Beberapa hari dia tak masuk kuliah. Padahal, dalam satu mata
kuliah, kami mendapat kelompok yang sama. Itulah awal dia menghilang. Dan kami
anggap hal yang biasa, mungkin dia sedang ada acara atau liburan lagi ke negera
tetangga. Hari berikutnya, dia alpa lagi. Aku mulai bertanya-tanya dalam hati,
sebab tak ada kabar yang pasti. Bahkan dari Sri, salah satu teman terdekatnya. Dan
mirisnya, aku terlalu sibuk dengan organisasiku, sampai rasanya selalu lupa
ingin menanyakan kabarnya secara langsung.
Dan malam itu, saat jadwal istirahat, aku bertanya
pada Sri. Dan Sri dengan nyeri menjawab pesan singkatku. Bahwa, Dinda telah
pindah. Aku masih menerima ketika Dinda Pindah kampus dan kota. Namun, yang
sulit kuterima adalah jejak-jejaknya sedikitpun tak dibiarkannya bersisa.
Ponselnya tidak aktif, media sosialnya juga tidak aktif. Kata Sri, Dinda
menelponnya dengan nomor wartel yang ada di Aceh. Dan hanya memberi kabar
tentang itu saja.
Sampai hari ini, aku masih sulit menerima. Sampai
hari ini, aku masih ingin dia meminta maaf, bahwa diam-diam hujan air mata
telah banyak kuluruh untuknya. Dia harus memelukku, bahwa dia telah
meninggalkan rindu yang menderu-deru. Dia harus pulang kembali, sebab dadaku
selalu perih ketika mengingat atau mendengar namanya. Aku merasa sangat
kehilangannya.
Ya, itu jika aku ingin egois. Maka, hal yang paling
baik dan bisa kulakukan adalah mendoakannya. Berharap dan memohon pada Tuhan,
dia selalu dilindungi dan baik-baik saja. Berharap suatu hari, dia akan hadir
kembali sebagai teman yang tetap baik hati.
Kini, tiada lagi yang berani menjawab pertanyaan
dosen dengan humor. Kini, berkurang satu, teman yang sering menawariku bekalnya.
Kini, berkurang satu, teman yang sering bertanya-tanya tentang kuliah. Kini,
berkurang satu, teman yang sering mengelus lembut lengan tanganku. Kini,
berkurang satu, teman yang senang memberiku oleh-oleh. Kini, berkurang satu,
teman yang sering meminjam buku-bukuku. Kini, berkurang satu, teman yang sering
menyemangatiku melalui pesan-pesan singkatnya. Kini…ah.
Aku kehilangan teman,
yang baru kusadari, bahwa ternayata, aku begitu menyayanginya, setelah kepergiannya.
***
-Epilog-
Beberapa
bulan yang lalu..
Namaku, Dinda,
mahasiswi semester empat di salah satu universitas swasta kotaku. Jarak rumah
dan kampus memang jauh, tiap pagi harus kutempuh dengan laju. Tak boleh
sedikitpun pergi ke kampus bergeser dari jadwal yang biasa. Sebab, jika begitu,
maka aku harus sanggup menikmati macet di tengah kota, harus sungguh
berlari-lari mengejar pintu kelas yang tak lagi terbuka; sebab dosen sudah
masuk dan mengajar.
“Assalamualaikum,
boleh saya masuk, Pak?”
“Waalaikumsalam.
Masuk lah cepat.”
Hei, itu bukan
aku yang telat. Namun, itu….Salsa…
“Wan, makasiah
novelnya. Pinjam novel yang lain lagi boleh?”aku mengembalikan novel yang
dipinjamkan Salsa padaku seminggu lalu setelah mata kuliah berakhir. Aku memang
memanggil Salsa dengan sebutan “Wan”; panggilan akrab antara kami. Wan, sebutan
“Kawan” jika dipendekkan.
“Boleh-boleh, besok ya
insya Allah awak bawa. Ingatkan ntar malam, Wan.”balasnya dengan senyuman
semringah, memperlihatkan dua lesung pipi kanan kirinya yang aduhai.
(Pengarang
adalah mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
Aisyah Haura Dika Alsa adalah mahasiswi
semester VII
jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU.
Karya-karyanya sudah tersebar di beberapa media lokal.
(Terbit di Harian Medan Bisnis, 5 Februari 2017)
http://www.medanbisnisdaily.com/e-paper/2017-02-05/#10