Hei.
Lagi. Kau. Kusapa.
Aku ingin kau berhenti menjadi puisi. Maka, sekian saja. Jariku permisi.
Sebab kau, begitu berarti, harusnya di taruh dalam hati dan...... di sini. Di sisiku, saat aku bangun lalu menemukan wajahmu yang tertidur, nyenyak. Nanti.
#Sebuah rindu dalam tekad.
#Dini hari menjelang fajar kemudian pagi.
Untukmu yang nanti akan menemani : )
Ambil baiknya. Ketika buruknya kau temui. Ketuk wajahku. Ingatkan aku.
Monday, March 21, 2016
Wednesday, March 9, 2016
Perempuan dan Wajah Musim Penghujannya
Tubuhnya
meringkuk dalam gigil, menahankan angin dari hujan lebat yang menembus
kisi-kisi jendela besar dan angin mengepak-ngepak tak sabaran kain jendela
yang tepat di atas pembaringannya. Ia mengutuk dalam hati kebodohannya sendiri.
Harusnya dipan yang dua minggu belakangan ini telah menampung tubuhnya, tidak
diletakkannya tepat di bawah jendela yang penutupnya hanya kain yang gampang
digoyang angin. Ah, ini akibat darinya yang begitu mencintai jendela. Sebab,
dari sana ia bisa memandang pesona apa saja. Apalagi, saat ini, ia sedang
liburan (sendiri) panjang dari penatnya berbagai hiruk-pikuk hidup.
Bangun
tidur, maka ia bisa sesukanya menghirup bebas udara segar dari sawah di sebelah
rumah, tepat di depan jendelanya. Menyaksikan dengan mudah bintang-bintang
masih gentayang di langit-langit gulita. Bahkan purnama masih setiai, layaknya
pasutri yang romantisnya tiada tutup waktu. Duh, pasutri, akhir-akhir ini, ia
tengah sibuk membayangkan siapa ayah dari anak-anaknya kelak. Pusing dengan
masalah hatinya sendiri. Sampai-sampai, larilah ia melepas sayat-sayat yang
menyiksa kepala dan dadanya di sebuah desa yang jauh dari bising kota, rumah
nenek dari ayahnya.
Dan
ketika baru tiba, sibuklah ia menyusun kasur agar diletakkan tepat di bawah
jendela. Dari kota, ia telah mengayun harap, bahwa indahnya senja tak boleh
susah dinantikannya. Ya, apalagi kalau bukan dipandang dari balik jendela. Soal
makhluk halus, pengakuannya yang tak takut, tak main-main diucapkannya. Ia kuat
nyali. Ia percaya mereka ada, tapi ia tak mengganggu, jadi mereka juga tak
boleh berani mengganggunya.
Hujan
tak selesai-selesai, selain angin membawa gigil, juga membawa percak-percak
air. Selama dua minggu di sini, baru inilah hujan melebat, biasa hanya gerimis
dan ia malah menikmati hujan ringan itu dari balik jendela kecintaannya. Sambil
menyenandungkan duka yang digenggamnya. Dan pelan, jatuhlah bulir yang turun
dari matanya, beranak sungai di pipinya. Dan seketika, gerimis pindah ke
wajahnya.
***
Sarapan hangat sudah tersedia
lengkap di atas meja, nasi goreng dan teh manis, teh manis jambu lebih tepatnya.
Ia memang tak pernah suka teh yang terlalu manis. Setidaknya bisa mencocokkan
dengan begitu banyaknya hal yang tak terlalu manis di hidupnya, begitu
pikirnya. Dan tuan rumah tahu betul tabiatnya soal minuman khas yang satu ini.
Nenek dan pamannya telah lebih dulu menjinakkan
perut di meja makan. Ia hadir, sebagai perempuan kota yang benar-benar tak mengerti,
perempuan dan tugas rumahnya. Sebab
itulah, ia yang selalu hadir belakangan. Dua minggu ini, membiarkan dirinya bak
putri sultanah, yang kerjanya, makan, tidur, buang air, ibadah, main gadget, dan melamun, serta berkencan dengan
pacar barunya; jendela kamar neneknya, yang di hari biasa kosong, namun selalu
rapi bersih dibenahi setiap hari oleh nenek atau pamannya, yang telah duda
ditinggal mati istrinya tanpa anak. Dan mulailah ia, memirip-miripkan kisahnya
dengan cerita pamannya. Sama-sama ditinggal pergi, yang satu ditinggal mati dan
yang satu ditinggal.. Ah, sudahlah. Perih selalu pedih di sanubarinya sendiri
mengingat hal itu. Meski memang, hal itu masih membara, apinya belum abu.
Rasanya masih sama dengan ketika dia pertama kali mendapatkan kesakitan itu.
Dan di rumah sederhana inilah ia
mengadu. Bercerita pada jerjak-jerjak besi jendela kamarnya meski bungkam pada
tuan rumah. Neneknya selalu berusaha mengerti, pun pamannya. Dan mereka paham,
kini ia tengah muda. Hal yang membuatnya kabur dari kota pastilah karena seorang
pemuda. Mudah saja ditebak tanpa harus bertanya apapun padanya. Kadang,
neneknya menemaninya duduk di depan jendela sambil mengelus rambut legam panjangnya
dan memberi beberapa petuah yang pelan-pelan bisa melegakan dadanya. Juga
sesekali pamannya yang izin masuk, ikut duduk menyetiainya melamun tanpa kata-kata.
Sama-sama menangis dalam hati, mengenang pergi seorang yang dicintai.
***
Enam minggu yang lalu,
“Dia menolak, Wa.”
“Apa?” Ia kaget, bertanya lirih dan
perih.
“Dia menolak, Wa.” Rere mengulang
pernyatannya dengan lebih tegas namun lembut, sebab ia tahu, ia akan turut iba,
melihat sahabatnya yang sedang menantinya di taman belakang gedung fakultas
mereka dengan wajah penuh harapan-harapan. Dan untuk membuat harapan-harapan
itu tetap hidup, Rere tak mungkin harus berbohong atas kenyataan yang baru
didapatnya.
Salwa terdiam. Bola matanya melemah
seketika tapi tidak dengan debar jantungnya yang meronta, mencipta sesak yang
berjumlah banyak.
“Apa alasannya?” tanya Salwa lirih
dan tetap merunduk, menatap sepatu barunya, yang dua hari lalu dibelikan ayah
dari luar negeri, tepatnya di negara favoritnya.
Rere membuang napas, ikut merasa
sesak. Sebab, jawaban dari pemuda itu tak hanya membikin luka di dada
sahabatnya, Salwa. Namun, juga berhasil menampar telak sesuatu di jantungnya. Dan
sambil iba melihat sahabatnya yang telah gerimis sebelum diceritakan jawabannya,
ia pun menjelaskan; juga sambil berusaha tak ikut menangis.
***
Siang hari itu, mata kuliah terakhir
selesai. Hanya dua mata kuliah hari itu dan pukul 11 siang, dosen telah permisi
keluar, meski masih ada sejam lagi waktu seharusnya. Salwa dan Rere saling
pandang. Tadi, Salwa telat dan duduk di bangku paling belakang. Berkedip pada
Rere yang duduk di depan, setelah itu, melangkah keluar, menuju belakang gedung
fakultas mereka.
Di dalam kelas, Rere akan bergerak, melaksanakan
rencana yang sudah dimatangkan bersama dengan Salwa. Menunggu laki-laki itu
melangkah ke luar kelas.
Satu
detik.. Dua detik.. Sepuluh detik...
Yap!
“Fatih, bisa ngobrol sebentar?”
“Ngobrol?”
Laki-laki itu mengerutkan keningnya, membuat ujung sepasang alis hitam tebalnya
bertemu.
“Eh, maksudnya ada yang mau aku
sampaikan. Penting.” Jawab Rere lebih sopan, mengingat karena ia pun jarang
sekali ngobrol dengan teman
sekelasnya ini.
“Berdua?” Laki-laki itu kini
bertanya dengan wajah yang lebih memperlihatkan banyak tanda tanya dari
sebelumnya.
“Iya, Eh, maksudnya, iya. Berdua.
Rahasia soalnya. Bisa kan?”
“Nggak
bisa kalau cuma berdua. Bisa mengundang pandangan negatif dari yang melihat.
Kalau memang penting, ajak aja temen perempuan lain.”
“Tapi, Salwa udah pulang duluan.”
“Ya kan, nggak harus Salwa. Itu, teman-teman perempuan yang nongkrong di belakang masih banyak.”
Laki-laki itu menunjuk bagian belakang kelas mereka.
“Eh iya.. Ririn! Bentar temenin.” Rere memalingkan wajah ke
belakang. Sambil berkode gugup ala cewek. Ririn pun menyahut.
“Ngobrol di sini aja, ya.” Pinta laki-laki itu menunjuk
kelas bagian depan yang sudah benar-benar sepi. Rere pun mengangguk, padahal
rencana mereka bukan di kelas tentu saja. Bahkan, Ririn sama sekali bukan
bagian dari rencana. Tapi, apalah daya, seorang Fatih memang tidak pernah
ditemukan ngobrol asyik berduaan
dengan perempuan manapun di kampus ini.
Obrolan basa-basi pun telah
dikeluarkan. Dua menit kemudian,
“Aku nggak bisa, Re.” Jawabnya datar. Diusahakan datar lebih tepatnya.
“Kenapa?” Tanya Rere dengan wajah
penuh tanda tanya, menggantikan wajah penuh tanya laki-laki itu tadi dan Ririn
pun sama rupanya.
“Ya, nggak bisa aja.” Kali ini
suaranya lebih tegas, meski volumenya tetap sama.
“Maaf, Tih. Aku butuh penjelasan.
Karena kan aku hanya sebagai penghubung. Jadi, aku takut Salwa kecewa berat
kalau aku ngasih jawaban tanpa
penjelasan.”
Laki-laki
itu membuang napas. Menurutnya, jawabannya barusan sudah lebih dari cukup. Sejujurnya,
dia hanya tak ingin membuat Rere, terlebih Salwa lebih kecewa atas
penjelasannya. Tapi, melihat wajah memelas Rere dan berharap dapat menjadi
cambukan halus untuk yang mendengar penjelasannya, termasuk Ririn-bagian yang
tidak direncanakan, lebih tepatnya Rere dan Salwa lupa menyiapkan bagian yang
ini-.
“Menikah
itu butuh persiapan.. Dan aku pikir, Salwa belum mempersiapkannya.” Jawab
laki-laki itu pendek.
“Persiapan dalam bentuk apa ini,
Tih? Finansial atau apa?”
“Bukan, bukan soal finansial. Aku
sendiri memang belum banyak gajinya. Tapi, bukan soal itu. Itu soal dunianya. Yang
aku maksud ini, soal akhiratnya, agamanya. Di pandang dari luar, Salwa belum
siap. Meski aku tidak tahu bagaimana hati dan keimanannya. Tapi, pakaian itu
identitas, jati diri kita.. Maaf, aku tidak bermaksud merendahkan ya, Re. Tapi,
tadi Rere meminta penjelasan...”
“....Maaf,
kerudung beliau masih pendek dan transparan, baju juga kadang belum menutup aurat
penuh, dan masih pakai celana, yang ketat pula...”
“Sekali lagi, maaf, Re. Aku tak
bermaksud menyinggung. Pendamping yang aku cari, hanya memiliki satu syarat. Taat
saja pada aturan main Tuhannya dengan begitu insya Allah, ia akan lebih mudah
untuk taat pada suaminya. Aku ingin memastikan anak-anakku nanti dididik oleh
orang yang tepat ketika aku tinggal mencari nafkah. Ibunya harus dapat menjadi
madrasah pertama dan terbaik untuk anak-anakku kelak. Karena, menjadi orang tua
itu tidak mudah, Re. Padahal, orang tuanya telah dikubur dalam tanah, tapi
ketika anaknya berzina, orang tua yang lebih dulu dikenai siksa...”
Rere dan Ririn takzim mendengar
penjelasan laki-laki itu dan tanpa mereka sadari, bulu kuduk mereka merinding
mendengar penuturan laki-laki itu.
“...Aku tak bermaksud sombong
menolaknya, sedikit banyak aku tahu perilakunya. Kalau dipikirkan, mungkin aku
bisa membimbingnya setelah menikah. Tapi, apa kuasaku? Aku hanya manusia biasa,
Re. Masih penuh dosa. Boleh jadi, bukan aku yang berhasil menariknya seperti
keinginanku namun aku yang terseret kelalaian dan semacamnya. Setelah menikah,
auratnya nanti tidak lagi menjadi tanggungan dosa ayahnya, tapi tanggunganku,
Re. Jadi, dengan ketidakkuasaanku, dengan masih banyaknya kelalaianku, aku
takut, Re. Maka dari itu, aku mempertahankan kekuatanku yang seadanya ini,
untuk memilih perempuan yang sudah bisa menjaga auratnya, merawat sholatnya, merutinkan
Al-Qur’annya, dan tak main-main dengan aturan dari Tuhannya...”
“...Sampai sini dulu ya, Re.. Setengah
jam lagi aku masuk kerja. Sampaikan maafku sedalam-dalamnya untuk Salwa dan
bilang padanya, doaku agar beliau bersuami lelaki yang lebih baik daripada aku.
Assalamu’alaykum..”
Laki-laki itu berlalu, tidak peduli
bahkan Rere dan Ririn tidak mengangguki pamitnya. Menyisakan Rere dan Ririn
yang masih sulit percaya. Mereka pikir selama ini, perempuan seperti Salwa,
tidak akan ada lelaki yang berani dan ingin menolaknya. Bahkan, mereka sulit
sekali mendefinisikan bagaimana sempurnanya wajah Salwa, kepandaiannya,
prestasi-pretasinya, kebaikan dan keramahannya pada teman-teman, selalu baik,
tidak pernah membeda-bedakan berteman dengan siapa. Kalau tidak ingat, dia
tidak bisa jauh dari orang tua, ayahnya sudah menaruhnya di perguruan tinggi
paling ternama di dunia.
Dan laki-laki itu, laki-laki
sederhana, yang wajahnya bersinar, padahal tidak ada cahaya apapun yang dilemparkan
ke mukanya. Laki-laki yang bisa kuliah pun karena beasiswa. Laki-laki yang
biasa menenteng buku kemana-mana, dan laki-laki yang baru saja menjelaskan, “...aku
mempertahankan kekuatanku yang seadanya ini..”. Jelas sekali, dia sedang
mempertahankan kekuatannya, yang hanya karena kerendahan hatinya, tersebutlah
olehnya, “..yang seadanya ini....”
Padahal,
tentulah butuh kekuatan hati dan iman yang hebat untuk menolak seorang seperti
Salwa dengan segala kelebihannya dan tentu dia menguatkan hati untuk tidak
takut menolak anak perempuan dari lelaki berusia senja yang ramah setiap pagi
menegurnya saat pagi berjalan menuju kampus. Karena laki-laki itu, setelah naik
angkot harus berjalan beberapa ratus meter ke kampusnya, tentu saja alasannya
adalah menghemat kantung sakunya. Kalau saja, bukan karena rasa malu yang hebat
terhadap lawan jenis, dia akan senang hati menyambut tawaran tumpangan yang
nyaman. Tersebab Salwa ada di dalam mobillah, ia harus selalu menolak halus dan
beralasan, “Olahraga pagi, Pak Rektor.”
Epilog
Yang membuat ia lari dari kota bukan
karena lamarannya ditolak laki-laki itu, yang diam-diam, telah ia tautkan
namanya di jantungnya selama hampir tiga tahun ini. Namun, sebulan setelah lamarannya
disampaikan, tersebarlah kabar gembira dari laki-laki itu. Tapi, tidak gembira
untuknya. Laki-laki itu menikah dengan perempuan yang dia kenal sekali. Perempuan yang siapapun damai melihat wajahnya, hanya saja tersebab
sehelai kain yang menutup wajahnya, tentu wajanya tidak dapat dilihat sembarang
orang. Perempuan yang baru dua bulan ini dikenalnya, yang baik hati menolongnya
saat ia tergopoh-gopoh membawa banyak bungkusan sendirian, padahal mereka belum
saling kenal. Dan dari pertemuan itu, mulailah mereka merajut persahabatan.
Perempuan bercadar itu pun
mengundang, tapi sungguh dia tidak sanggup. Sekali pun, ayahnya telah lelah
membujuk, bahwa saat pernikahan nanti dia tidak akan menemui atau bertemu
dengan laki-laki itu. Karena, tamu undangan laki-laki dan perempuan wadahnya dipisah.
Tapi, apalah dayanya. Biarlah, dia melupakan sejenak rasa yang ramai di dadanya
dan kini entah bagai apa selalu menggema hampa.
Dan terakhir, kabar yang (mungkin)
lebih parah, Rere telah salah memilih teman duduk saat berbicara dengan
laki-laki itu mengenai lamaran Salwa. Habislah nama Salwa menjadi bulan-bulanan
gosip paling meriah, terlebih dia menghilang saat menuju hari pernikahan Fatih
dan Ratih. Ah, Ririn keterlaluan, terlalu serius mengurusi urusan yang jelas-jelas
bukan urusannya.
***
Subscribe to:
Posts (Atom)