Monday, March 21, 2016

Catatan Ini tidak Memiliki Judul #2

Hei.

Lagi. Kau. Kusapa.

Aku ingin kau berhenti menjadi puisi. Maka, sekian saja. Jariku permisi.







Sebab kau, begitu berarti, harusnya di taruh dalam hati dan...... di sini. Di sisiku, saat aku bangun lalu menemukan wajahmu yang tertidur, nyenyak. Nanti.


#Sebuah rindu dalam tekad.
#Dini hari menjelang fajar kemudian pagi.

Untukmu yang nanti akan menemani : )

Wednesday, March 9, 2016

Perempuan dan Wajah Musim Penghujannya


Tubuhnya meringkuk dalam gigil, menahankan angin dari hujan lebat yang menembus kisi-kisi jendela besar dan angin mengepak-ngepak tak sabaran kain jendela yang tepat di atas pembaringannya. Ia mengutuk dalam hati kebodohannya sendiri. Harusnya dipan yang dua minggu belakangan ini telah menampung tubuhnya, tidak diletakkannya tepat di bawah jendela yang penutupnya hanya kain yang gampang digoyang angin. Ah, ini akibat darinya yang begitu mencintai jendela. Sebab, dari sana ia bisa memandang pesona apa saja. Apalagi, saat ini, ia sedang liburan (sendiri) panjang dari penatnya berbagai hiruk-pikuk hidup.
Bangun tidur, maka ia bisa sesukanya menghirup bebas udara segar dari sawah di sebelah rumah, tepat di depan jendelanya. Menyaksikan dengan mudah bintang-bintang masih gentayang di langit-langit gulita. Bahkan purnama masih setiai, layaknya pasutri yang romantisnya tiada tutup waktu. Duh, pasutri, akhir-akhir ini, ia tengah sibuk membayangkan siapa ayah dari anak-anaknya kelak. Pusing dengan masalah hatinya sendiri. Sampai-sampai, larilah ia melepas sayat-sayat yang menyiksa kepala dan dadanya di sebuah desa yang jauh dari bising kota, rumah nenek dari ayahnya.
Dan ketika baru tiba, sibuklah ia menyusun kasur agar diletakkan tepat di bawah jendela. Dari kota, ia telah mengayun harap, bahwa indahnya senja tak boleh susah dinantikannya. Ya, apalagi kalau bukan dipandang dari balik jendela. Soal makhluk halus, pengakuannya yang tak takut, tak main-main diucapkannya. Ia kuat nyali. Ia percaya mereka ada, tapi ia tak mengganggu, jadi mereka juga tak boleh berani mengganggunya.
Hujan tak selesai-selesai, selain angin membawa gigil, juga membawa percak-percak air. Selama dua minggu di sini, baru inilah hujan melebat, biasa hanya gerimis dan ia malah menikmati hujan ringan itu dari balik jendela kecintaannya. Sambil menyenandungkan duka yang digenggamnya. Dan pelan, jatuhlah bulir yang turun dari matanya, beranak sungai di pipinya. Dan seketika, gerimis pindah ke wajahnya.
***
            Sarapan hangat sudah tersedia lengkap di atas meja, nasi goreng dan teh manis, teh manis jambu lebih tepatnya. Ia memang tak pernah suka teh yang terlalu manis. Setidaknya bisa mencocokkan dengan begitu banyaknya hal yang tak terlalu manis di hidupnya, begitu pikirnya. Dan tuan rumah tahu betul tabiatnya soal minuman khas yang satu ini.
            Nenek dan pamannya telah lebih dulu menjinakkan perut di meja makan. Ia hadir, sebagai perempuan kota yang benar-benar tak mengerti, perempuan dan tugas rumahnya. Sebab itulah, ia yang selalu hadir belakangan. Dua minggu ini, membiarkan dirinya bak putri sultanah, yang kerjanya, makan, tidur, buang air, ibadah, main gadget, dan melamun, serta berkencan dengan pacar barunya; jendela kamar neneknya, yang di hari biasa kosong, namun selalu rapi bersih dibenahi setiap hari oleh nenek atau pamannya, yang telah duda ditinggal mati istrinya tanpa anak. Dan mulailah ia, memirip-miripkan kisahnya dengan cerita pamannya. Sama-sama ditinggal pergi, yang satu ditinggal mati dan yang satu ditinggal.. Ah, sudahlah. Perih selalu pedih di sanubarinya sendiri mengingat hal itu. Meski memang, hal itu masih membara, apinya belum abu. Rasanya masih sama dengan ketika dia pertama kali mendapatkan kesakitan itu.
            Dan di rumah sederhana inilah ia mengadu. Bercerita pada jerjak-jerjak besi jendela kamarnya meski bungkam pada tuan rumah. Neneknya selalu berusaha mengerti, pun pamannya. Dan mereka paham, kini ia tengah muda. Hal yang membuatnya kabur dari kota pastilah karena seorang pemuda. Mudah saja ditebak tanpa harus bertanya apapun padanya. Kadang, neneknya menemaninya duduk di depan jendela sambil mengelus rambut legam panjangnya dan memberi beberapa petuah yang pelan-pelan bisa melegakan dadanya. Juga sesekali pamannya yang izin masuk, ikut duduk menyetiainya melamun tanpa kata-kata. Sama-sama menangis dalam hati, mengenang pergi seorang yang dicintai.
***
Enam minggu yang lalu,
            “Dia menolak, Wa.”
            “Apa?” Ia kaget, bertanya lirih dan perih.
            “Dia menolak, Wa.” Rere mengulang pernyatannya dengan lebih tegas namun lembut, sebab ia tahu, ia akan turut iba, melihat sahabatnya yang sedang menantinya di taman belakang gedung fakultas mereka dengan wajah penuh harapan-harapan. Dan untuk membuat harapan-harapan itu tetap hidup, Rere tak mungkin harus berbohong atas kenyataan yang baru didapatnya.  
            Salwa terdiam. Bola matanya melemah seketika tapi tidak dengan debar jantungnya yang meronta, mencipta sesak yang berjumlah banyak.
            “Apa alasannya?” tanya Salwa lirih dan tetap merunduk, menatap sepatu barunya, yang dua hari lalu dibelikan ayah dari luar negeri, tepatnya di negara favoritnya.
            Rere membuang napas, ikut merasa sesak. Sebab, jawaban dari pemuda itu tak hanya membikin luka di dada sahabatnya, Salwa. Namun, juga berhasil menampar telak sesuatu di jantungnya. Dan sambil iba melihat sahabatnya yang telah gerimis sebelum diceritakan jawabannya, ia pun menjelaskan; juga sambil berusaha tak ikut menangis.
***
            Siang hari itu, mata kuliah terakhir selesai. Hanya dua mata kuliah hari itu dan pukul 11 siang, dosen telah permisi keluar, meski masih ada sejam lagi waktu seharusnya. Salwa dan Rere saling pandang. Tadi, Salwa telat dan duduk di bangku paling belakang. Berkedip pada Rere yang duduk di depan, setelah itu, melangkah keluar, menuju belakang gedung fakultas mereka.
            Di dalam kelas, Rere akan bergerak, melaksanakan rencana yang sudah dimatangkan bersama dengan Salwa. Menunggu laki-laki itu melangkah ke luar kelas.
Satu detik.. Dua detik.. Sepuluh detik...
            Yap!
            “Fatih, bisa ngobrol sebentar?”
            Ngobrol?” Laki-laki itu mengerutkan keningnya, membuat ujung sepasang alis hitam tebalnya bertemu.
            “Eh, maksudnya ada yang mau aku sampaikan. Penting.” Jawab Rere lebih sopan, mengingat karena ia pun jarang sekali ngobrol dengan teman sekelasnya ini.
            “Berdua?” Laki-laki itu kini bertanya dengan wajah yang lebih memperlihatkan banyak tanda tanya dari sebelumnya.
            “Iya, Eh, maksudnya, iya. Berdua. Rahasia soalnya. Bisa kan?”
            Nggak bisa kalau cuma berdua. Bisa mengundang pandangan negatif dari yang melihat. Kalau memang penting, ajak aja temen perempuan lain.”
            “Tapi, Salwa udah pulang duluan.”
            “Ya kan, nggak harus Salwa. Itu, teman-teman perempuan yang nongkrong di belakang masih banyak.” Laki-laki itu menunjuk bagian belakang kelas mereka.
            “Eh iya.. Ririn! Bentar temenin.” Rere memalingkan wajah ke belakang. Sambil berkode gugup ala cewek. Ririn pun menyahut.
            “Ngobrol di sini aja, ya.” Pinta laki-laki itu menunjuk kelas bagian depan yang sudah benar-benar sepi. Rere pun mengangguk, padahal rencana mereka bukan di kelas tentu saja. Bahkan, Ririn sama sekali bukan bagian dari rencana. Tapi, apalah daya, seorang Fatih memang tidak pernah ditemukan ngobrol asyik berduaan dengan perempuan manapun di kampus ini.
            Obrolan basa-basi pun telah dikeluarkan. Dua menit kemudian,
            “Aku nggak bisa, Re.” Jawabnya datar. Diusahakan datar lebih tepatnya.
            “Kenapa?” Tanya Rere dengan wajah penuh tanda tanya, menggantikan wajah penuh tanya laki-laki itu tadi dan Ririn pun sama rupanya.
            “Ya, nggak bisa aja.” Kali ini suaranya lebih tegas, meski volumenya tetap sama.
            “Maaf, Tih. Aku butuh penjelasan. Karena kan aku hanya sebagai penghubung. Jadi, aku takut Salwa kecewa berat kalau aku ngasih jawaban tanpa penjelasan.”
Laki-laki itu membuang napas. Menurutnya, jawabannya barusan sudah lebih dari cukup. Sejujurnya, dia hanya tak ingin membuat Rere, terlebih Salwa lebih kecewa atas penjelasannya. Tapi, melihat wajah memelas Rere dan berharap dapat menjadi cambukan halus untuk yang mendengar penjelasannya, termasuk Ririn-bagian yang tidak direncanakan, lebih tepatnya Rere dan Salwa lupa menyiapkan bagian yang ini-.
            “Menikah itu butuh persiapan.. Dan aku pikir, Salwa belum mempersiapkannya.” Jawab laki-laki itu pendek.
            “Persiapan dalam bentuk apa ini, Tih? Finansial atau apa?”
            “Bukan, bukan soal finansial. Aku sendiri memang belum banyak gajinya. Tapi, bukan soal itu. Itu soal dunianya. Yang aku maksud ini, soal akhiratnya, agamanya. Di pandang dari luar, Salwa belum siap. Meski aku tidak tahu bagaimana hati dan keimanannya. Tapi, pakaian itu identitas, jati diri kita.. Maaf, aku tidak bermaksud merendahkan ya, Re. Tapi, tadi Rere meminta penjelasan...”
            “....Maaf, kerudung beliau masih pendek dan transparan, baju juga kadang belum menutup aurat penuh, dan masih pakai celana, yang ketat pula...”
            “Sekali lagi, maaf, Re. Aku tak bermaksud menyinggung. Pendamping yang aku cari, hanya memiliki satu syarat. Taat saja pada aturan main Tuhannya dengan begitu insya Allah, ia akan lebih mudah untuk taat pada suaminya. Aku ingin memastikan anak-anakku nanti dididik oleh orang yang tepat ketika aku tinggal mencari nafkah. Ibunya harus dapat menjadi madrasah pertama dan terbaik untuk anak-anakku kelak. Karena, menjadi orang tua itu tidak mudah, Re. Padahal, orang tuanya telah dikubur dalam tanah, tapi ketika anaknya berzina, orang tua yang lebih dulu dikenai siksa...”
            Rere dan Ririn takzim mendengar penjelasan laki-laki itu dan tanpa mereka sadari, bulu kuduk mereka merinding mendengar penuturan laki-laki itu.
            “...Aku tak bermaksud sombong menolaknya, sedikit banyak aku tahu perilakunya. Kalau dipikirkan, mungkin aku bisa membimbingnya setelah menikah. Tapi, apa kuasaku? Aku hanya manusia biasa, Re. Masih penuh dosa. Boleh jadi, bukan aku yang berhasil menariknya seperti keinginanku namun aku yang terseret kelalaian dan semacamnya. Setelah menikah, auratnya nanti tidak lagi menjadi tanggungan dosa ayahnya, tapi tanggunganku, Re. Jadi, dengan ketidakkuasaanku, dengan masih banyaknya kelalaianku, aku takut, Re. Maka dari itu, aku mempertahankan kekuatanku yang seadanya ini, untuk memilih perempuan yang sudah bisa menjaga auratnya, merawat sholatnya, merutinkan Al-Qur’annya, dan tak main-main dengan aturan dari Tuhannya...”
            “...Sampai sini dulu ya, Re.. Setengah jam lagi aku masuk kerja. Sampaikan maafku sedalam-dalamnya untuk Salwa dan bilang padanya, doaku agar beliau bersuami lelaki yang lebih baik daripada aku. Assalamu’alaykum..”
            Laki-laki itu berlalu, tidak peduli bahkan Rere dan Ririn tidak mengangguki pamitnya. Menyisakan Rere dan Ririn yang masih sulit percaya. Mereka pikir selama ini, perempuan seperti Salwa, tidak akan ada lelaki yang berani dan ingin menolaknya. Bahkan, mereka sulit sekali mendefinisikan bagaimana sempurnanya wajah Salwa, kepandaiannya, prestasi-pretasinya, kebaikan dan keramahannya pada teman-teman, selalu baik, tidak pernah membeda-bedakan berteman dengan siapa. Kalau tidak ingat, dia tidak bisa jauh dari orang tua, ayahnya sudah menaruhnya di perguruan tinggi paling ternama di dunia.
            Dan laki-laki itu, laki-laki sederhana, yang wajahnya bersinar, padahal tidak ada cahaya apapun yang dilemparkan ke mukanya. Laki-laki yang bisa kuliah pun karena beasiswa. Laki-laki yang biasa menenteng buku kemana-mana, dan laki-laki yang baru saja menjelaskan,  “...aku mempertahankan kekuatanku yang seadanya ini..”. Jelas sekali, dia sedang mempertahankan kekuatannya, yang hanya karena kerendahan hatinya, tersebutlah olehnya, “..yang seadanya ini....
Padahal, tentulah butuh kekuatan hati dan iman yang hebat untuk menolak seorang seperti Salwa dengan segala kelebihannya dan tentu dia menguatkan hati untuk tidak takut menolak anak perempuan dari lelaki berusia senja yang ramah setiap pagi menegurnya saat pagi berjalan menuju kampus. Karena laki-laki itu, setelah naik angkot harus berjalan beberapa ratus meter ke kampusnya, tentu saja alasannya adalah menghemat kantung sakunya. Kalau saja, bukan karena rasa malu yang hebat terhadap lawan jenis, dia akan senang hati menyambut tawaran tumpangan yang nyaman. Tersebab Salwa ada di dalam mobillah, ia harus selalu menolak halus dan beralasan, “Olahraga pagi, Pak Rektor.
Epilog
            Yang membuat ia lari dari kota bukan karena lamarannya ditolak laki-laki itu, yang diam-diam, telah ia tautkan namanya di jantungnya selama hampir tiga tahun ini. Namun, sebulan setelah lamarannya disampaikan, tersebarlah kabar gembira dari laki-laki itu. Tapi, tidak gembira untuknya. Laki-laki itu menikah dengan perempuan yang dia kenal sekali. Perempuan yang siapapun damai melihat wajahnya, hanya saja tersebab sehelai kain yang menutup wajahnya, tentu wajanya tidak dapat dilihat sembarang orang. Perempuan yang baru dua bulan ini dikenalnya, yang baik hati menolongnya saat ia tergopoh-gopoh membawa banyak bungkusan sendirian, padahal mereka belum saling kenal. Dan dari pertemuan itu, mulailah mereka merajut persahabatan.
            Perempuan bercadar itu pun mengundang, tapi sungguh dia tidak sanggup. Sekali pun, ayahnya telah lelah membujuk, bahwa saat pernikahan nanti dia tidak akan menemui atau bertemu dengan laki-laki itu. Karena, tamu undangan laki-laki dan perempuan wadahnya dipisah. Tapi, apalah dayanya. Biarlah, dia melupakan sejenak rasa yang ramai di dadanya dan kini entah bagai apa selalu menggema hampa.
            Dan terakhir, kabar yang (mungkin) lebih parah, Rere telah salah memilih teman duduk saat berbicara dengan laki-laki itu mengenai lamaran Salwa. Habislah nama Salwa menjadi bulan-bulanan gosip paling meriah, terlebih dia menghilang saat menuju hari pernikahan Fatih dan Ratih. Ah, Ririn keterlaluan, terlalu serius mengurusi urusan yang jelas-jelas bukan urusannya.
***