Sunday, September 3, 2017

Skin Care



Karya : Aisyah Haura Dika Alsa

Aku memandangi kalkulator miniku yang berwarna biru. Aku suka dengan bentuknya yang mungil. Mirip telepon genggam pintar hanya saja bentuknya sedikit lebih lebar. Kalkulator ini sebenarnya terpaksa aku beli untuk mata kuliah Statistik. Lebih tepatnya untuk “ujian” mata kuliah Statistik. Jika perkuliahan biasa dibolehkan menggunakan handphone untuk menghitung, tentu saja saat ujian tidak diperkenankan. Dan dosen kami membolehkan jika dengan kalkulator. Dan kalian tahu? Hanya itu satu-satunya mata kuliah yang menghitung. Mata kuliah di jurusanku ialah merangkai kata dengan baik dan benar. Jadi, pasti kami kelimpungan jika tanpa alat bantu hitung.
Baiklah, pasti membingungkan membaca judul dan paragraf pertama tulisanku. Seperti tidak ada korelasinya? Maka dari itu, aku ingin melanjutkan tulisan ini. Agar ia berkorelasi.
Aku masih memandangi kalkulator mini biruku. Aku memang seperti orang yang tidak ada kerjaan. Aku tengah menunggu seorang pelanggan setiaku. Pelanggan? Setia lagi? Mengapa tulisanku kali ini malah banyak menimbulkan pertanyaan?
***

“Jadi, Hilya, kerjanya sekarang begini?” Kata temanku dengan jujurnya. Ekspresinya kutangkap seperti meremehkan pekerjaanku. Dan jujur saja, aku tersinggung. Tapi, adegan ketersinggungan itu tidak kuperlihatkan.
“Penghasilan perbulan alhamdulillah sama seperti penghasilan ngajar sebulan. Cuma bedanya, aku kerja dari rumah aja.” Jawabku sambil nyengir. Maksudku penghasilanku, dari hasil jualan dan menulis di media koran. Dia tentu saja meremehkan pekerjaan jualanku bukan menulisku. Karena, saat itu aku tengah mengantarkan barang jualanku kepada temanku satunya lagi. Tapi, sudahlah. Aku tidak ingin tersinggung lama. Mungkin, mengajar lebih bergengsi menurutnya ketimbang  jualan. Apalagi, memang, saat itu gayaku persis seperti kurir-kurir pengantar barang. Memakai helm merahku dan jaket abangku.
Aku memang memilih bekerja dari dalam rumah. Aku tidak menganggap mengajar itu bukan pekerjaan yang mulia atau tidak baik sehingga saat tamat kuliahku, aku malah memilih untuk tidak mengajar. Tawaran mengajar ada hinggap padaku tapi aku memang belum berkeinginan.
Setelah mengantar barang jualanku kepada teman-temanku dengan menggunakan sepeda motor yang kupinjam dari adik ibuku, aku membeli rujak di sebelah kampusku. Rujak langgananku saat kuliah dahulu. Rujak ini sangat laris manis. Harus tahan antri jika membelinya. Selain karena murah dan buahnya segar. Aku juga senang dengan penjualnya. Seorang ibu muda dengan dua anak yang berjilbab syar’i. Kalian tahu? Dari dialah, aku mencontoh kejujurannya saat berjualan. Dia akan mengatakan buahnya asam jika memang asam. Bahkan pembelinya boleh mencicipi terlebih dahulu. Dia memang ‘hanya’ penjual rujak. Tapi, di mataku. Dia adalah salah satu guruku tentang kejujuran. Aih, harusnya memang, kita tak meremehkan pekerjaan. Apapun itu.
“Apa kegiatannya sekarang, Dek?” tanyanya sambil memotong-motong buah yang kupesan. Tangannya ligat sekali membuatkan pesanan.
“Jualan online, Kak. Kerja di rumah aja.” Jawabku ramah. Aku salut padanya. Selain kejujurannya yang patut ditiru. Ternyata ingatannya juga kuat. Dia masih saja tanda padaku meski wajahku tidak lagi kelihatan.
“Oh iyalah, kerja di rumah. Is, Kakak irilah sebenarnya sama kelen ini. Kakak pun mau nutup wajah kakak. Kadang, ada pembeli (laki-laki) yang nengoki aja. Awak kan udah bersuami. Ga enak juga rasanya. Kalau pakai cadar kan bagus, ketutup muka awak. Nggak jadi fitnah.” Katanya cukup panjang mencurahkan keinginannya.
Sejujurnya, aku terhibur dengan kalimat kakak penjual rujak yang baik hati ini. Mengobati ketersinggungan atas keremehan pekerjaanku tadi. Ya, setiap orang memang memiliki pendapat. Tinggal kita yang ingin tetap memegang kokoh prinsip yang kita punya atau gugur karena hanya omongan orang lain. Itulah memang salah satu alasanku tidak bekerja di luar rumah. Kemungkinan membuka cadar saat bekerja di luar rumah itu lebih besar. Meski memang, aku tidak masalah jika suatu hari nanti aku terpaksa bekerja di luar rumah lalu membuka cadar sebab memang aku menghukuminya sunnah.
“Iya, Kak. Udahlah banyak dosa awak. Tambah lagi dosa karena muka awak. Karena pun perempuan, kalau nggak cantik pun, ketika dia keluar rumah bakal dihiasi sama setan kan, Kak? Pakai cadar ini, insya Allaah, ngurangi dosa awak sikitlah ya kan, Kak..”
“Iya-iya, Dek.. bener itu...” Katanya mengangguk dengan tanda penuh setuju.
Ketika aku masih bisa bekerja di dalam rumah dan dapat membiayai sendiri keperluanku tanpa memusingkan orang tua. Aku tidak boleh goyah saat ada yang meremehkan pekerjaanku. Meski memang, aku tidak pernah berpikir setelah tamat kuliah, aku akan bekerja sebagai pedagang. Karena, dahulu kala, dalam pikiranku, aku sama sekali tidak ada pandai-pandainya berjualan. Apalagi saat merayu orang lain untuk membeli daganganku. Rasanya waktu itu, entah kenapa aku merasa sangat tidak tega. Aih, lucu sekalikan?
Dan saat ini, alhamdulillah belum sebulan aku jualan, produk yang aku jual telah mencapai ratusan barang. Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah. Aku memang percaya dan aku berusaha menjadi hamba yang tawakkal. Sebab, memang rezeki telah diatur sedemikian rupa. Kalau dulu, aku berpikir, bisnis adalah persaingan. Tapi, saat setelah aku lebih mendalami agamaku, bisnis adalah rezeki yang tak akan tertukar. Dahulu saja, ulama bekerja hanya dua jam dalam sehari semalam. Selebihnya menuntut ilmu. Aih, aku jauh sekali dari ulama itu. Dan aku tak ingin risaukan rezekiku karena sebelum nyawaku tercabut, rezekiku telah dijamin –oleh Sang Maha Pemberi Rezeki– akan terus memenuhi hidupku. Yang perlu aku risaukan adalah, surga tak terjamin untukku. Tidak ada yang dapat menjaminkanku surga: tempat gembira yang selamanya.
Lagi-lagi, aku tak ingin merisaukan pekerjaanku. Sebab orang yang paling mulia diantara manusia manapun, yang pernah hidup di dunia ini, pekerjaannya adalah pedagang. Bahkan salah satu perempuan yang paling mulia yang pernah hidup di dunia ini –yang menjadi istrinya– juga pedagang. Kalian sudah pasti bisa menebaknya. Muhammad shalallaahu ‘alaihi wassalam dan Khadijah Radiallahu ‘anha.
Jadi, sekarang, Kalian sudah bisa pahamkan, korelasi dari judul cerita pendekku ini dengan isi ceritanya. Meski tidak menceritakan banyak tentang skin care. Tapi, itulah barang daganganku saat ini. Barang daganganku yang juga kupakai rutin. Sebab, tentu saja, aku ingin terlihat indah di mata lelakiku nanti.
(Penulis adalah Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
(Terbit di Medan Pos, 3 September 2017)

Menjadi Titisan Dosen

Karya : Aisyah Haura Dika Alsa

Ada semut-semut merah di layar dan di sela-sela tuts-tuts laptopku. Aku rasa kehadiran mereka disebabkan oleh susu adik sepupuku yang tumpah. Adik sepupuku sangat sulit minum susu. Jadi, agar ibuku –semoga Allah menyayanginya– dapat menyendokkan susu dengan lancar ke mulutnya maka ia harus diajak main game di laptop. Dan tidak jarang, susu dari sendok itu tumpah karena senggolan atau karena adik sepupuku tiba-tiba menolak dan membuang wajahnya dari sendok susu itu.
Baiklah, cukup membicarakan semut-semut merah yang ada di laptopku. Aku takut terdengar mereka dan menjadi tersinggung sebab mereka masih ada disini –di sela-sela tuts-tutsnya–. Sebenarnya, sudah beberapa minggu yang lalu aku ingin menuliskan ini. Menuliskan seseorang, seseorang yang benar-benar layak digugu dan ditiru. Ketika ia mengajar, ia tak sekadar memindahkan harumnya ilmu yang ada di kepalanya menuju kepala mahasiswa-mahasiswanya. Namun, ia juga dapat membuat kebaikan akhlaknya benar-benar ditiru oleh mahasiswanya. Yah, tentu saja ia seorang dosen.
   Jari-jariku hening sejenak, sepasang mataku menatap layar laptop yang ternyata telah tersusun di sana dua alinea. Lalu, aku mencari-cari kenangan dalam kepalaku. Di sana, aku melihat sosok wajah itu dan aku menjadi haru mengingatnya. Wajah itu, wajah yang ketika bertemu aku, melebarkan senyumnya dengan semringah dan menyapa namaku ceria. Tidak, ia tidak pernah menspesialkan aku. Ia tidak hanya mengingat namaku. Tapi, ia juga mengingat nama teman-temanku. Bahkan nama teman satu kelasku. Mungkin juga kelas-kelas lainnya. Aku tidak heran jika ‘guru’ mengingat seluruh nama anak-anak didiknya, apalagi seorang wali kelas. Tapi, baru ia satu-satunya dosen yang kutahu, yang berusaha mengingat semua nama mahasiswanya. “Iya, ibu sedang berusaha mengingat nama kalian semua.” Begitu katanya tulus waktu itu. Dan aku. Syahdu mendengar kalimatnya barusan.
Sebenarnya, ketika ia mengingat namaku. Tentu saja aku merasa senang namun...itu tidak spesial. Ya, aku katakan itu jujur. Karena rata-rata dosen yang masuk ke kelas, mengingat nama dan wajahku. Sekarang, jangan pusatkan padaku. Alihkan pada teman-temanku yang tidak aktif di kelas atau hanya sesekali saja memberanikan diri untuk berbicara dengan dosen di dalam kelas. Kuyakin, alangkah senang hati teman-temanku itu. Itu pasti terasa sangat spesial dan membuat mereka percaya diri untuk turut andil dalam pengajaran mata kuliah di kelas. Dan itu memang terbukti. Ketika ada game yang diadakan oleh dosenku –semoga Allah menyayanginya– maka yang memenangkan game mata kuliah itu adalah teman-teman yang tidak disangka-sangka. Sedang aku? Aku bahkan sedikit pun tidak membaca catatan binder mata kuliah itu sebagai persiapan. Karena waktu itu, aku kelelahan sebab sedang sibuk-sibuknya di organisasi. Aih, aku menjadi mahasiswa yang lupa tujuan utamanya di kampus biru itu.
Aku kembali mengamati tuts-tuts laptopku yang berwarna hitam sedang huruf-hurufnya diwarnai dengan warna lawannya yakni warna putih. Tidak lagi kutemukan di sana semut-semut merah itu. Kemana perginya mereka? Apa jangan-jangan mereka membuat kemah di bagian dalam laptopku? Mungkin, laptopku terasa manis bagi mereka hingga betah berlama di sana.
Aku membuang pandang dari laptopku menuju jendela kamar yang telah ditamui pagi. Dan aku bersyukur pagi ini, matahari yang baik hati masih terbit dari arah Timur. Tiba-tiba, aku ngeri membayangkan diriku jika melihat matahari terbit dari arah Barat. Yang akan terjadi sebelum nanti alam semesta akan memasuki halaman terakhir. Aku memanjatkan doa, semoga aku dan dosenku –semoga Allah menyayanginya– memasuki halaman terakhir masing-masing dengan ‘happy ending’ atau husnul khatimah.
***
Sudah satu tahun masa-masa PPL di sekolah hijau itu terlalui. Tapi, pesan masuk di pesan facebookku masih ramai dengan chat dari murid-murid PPL sekolah hijau itu. Mereka masih sering kali menanyakan kabarku. Dan beberapa minggu yang lalu mendesakku dengan sedikit memaksa untuk main ke rumah. Mereka rindu sekali katanya dan menginginkanku untuk berkunjung ke sekolah hijau sana. Aku bukan tidak ingin mereka bermain ke rumahku sini. Aku hanya memikirkan jarak yang cukup jauh dari sekolah hijau itu menuju rumahku. Bagaimana pun, mereka masih remaja tanggung yang satu tahun lebih muda dibanding adik kandungku.  
Karena terus didesak oleh mereka maka aku mengadakan pertemuan sebagai perayaan rindu satu tahun tidak bertemu. Juga karena atas saran dari adik kelas fakultasku, yang juga PPL di sana. Aku menjadi merasa tidak enak dengan adik kelasku itu. Karena, aku memperkenalkannya pada murid-murid PPLku lewat chat di facebook. Habislah ia diserbu oleh murid-murid PPLku. Tentu saja, penyerbuan itu tidak pernah kusangka dan adik kelasku juga merasa takjub dengan keberanian mereka menghampirinya yang padahal bukan guru PPL mereka. Karena adik kelasku itu, mengajar di aliyah(SMA) sedang aku dulu mengajar di tsanawiyah (SMP). Murid-murid PPLku mendesak mengajak adik kelasku itu untuk berkunjung ke rumahku. Ah, begitu rindunya mereka padaku?
Aku sungguh tidak menyangka mereka masih ingin bertemu dan mengatakan rindu. Apakah aku sebegitu mengesankannya bagi mereka? Aku mengingat-ingat, apa yang telah kulakukan dahulu pada mereka? Aku mengajar hanya biasa-biasa saja. Jarang membuat game. Karena aku memang tidak suka pembelajaran itu dengan game. Aku lebih senang guru atau aku menjelaskan dan aku atau murid-muridku mendengarkan. Metode belajar kuno. Tapi aku menyukainya. Aku juga sering marah-marah kalau mereka mulai aktif bersuara tidak sewajarnya saat pembelajaran. Meski, memang, aku sering bercerita kisah bermanfaat pada mereka. Ah, tapi itu hal yang tidak begitu spesial sepertinya,
Aku mengingat sesuatu. Ya, sesuatu. “Ibu kenapa bisa hafal nama kami semuanya?” Celetuk salah satu murid PPLku satu tahun lalu. Aku terkesiap. Hening tiba-tiba. Aku mengingat sesuatu yang tidak sengaja kulupakan. Aku memang bukan dosen. Bukan juga guru ‘sebenarnya’. Hanya guru PPL selama tiga bulan di sekolah hijau itu. Tapi, aku berusaha mencontoh apa yang dilakukan dosenku –semoga Allah menyayanginya–.
Sedari awal PPL, aku memang ingin mengingat semua nama muridku di kelas tanpa terkecuali. Tidak peduli ia aktif atau tidak dikelas. Tidak peduli ia pintar atau tidak. Memperlakukan mereka sama rata. Sangat berusaha untuk tidak berpilih kasih. Seperti yang telah dicontohkan oleh dosenku. Aku pikir, hal itulah yang membuat mereka begitu setia merinduiku. Begitu berkesan. Karena tidak hanya satu-dua yang masih meramaikan pesan masuk di facebookku. Tapi banyak.
Aku mengingat hari-hari akhir bersama mereka. Mereka begitu ringan tangan memberiku banyak hadiah dan itu hadiah-hadiah pribadi dari mereka. Hadiah kerudung, boneka, hiasan bunga, bahkan aku mendapatkan mpek-mpek dari salah satu mereka, makanan khas sukuku dan tentu saja kesukaanku. Dan hadiah yang paling lucu tapi yang paling berguna menurutku adalah hadiah balsem yang bentuknya langsing dan aromanya harum. Dan itu kupakai sampai tak tersisa. Lucu? Iya, mereka memang lucu-lucu. Dan rindu memenuhi kamarku. Semoga sampai kepada mereka lewat hantaran angin, kepada mereka yang saat ini tengah belajar di sekolah hijau itu.   
(Penulis adalah Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)  
(Terbit di Medan Pos, 27 Agustus 2017) 

Friday, July 21, 2017

Manisnya Kain Penutup Wajahnya



Karya : Aisyah Haura Dika Alsa


Perkuliahan telah selesai. Namun hujan di luar belum juga usai. Aku harus menunda waktu untuk pulang. Aku kelupaan membawa jas hujan. Padahal yahhh, baru saja siang kemarin aku jemur. Namun malah lupa mengangkatnya. Kalau di daerah rumahku hujan juga. Pasti jas hujannya kembali basah.
“Hujannya lama bener ya, Sya berhentinya. Musim hujan gini payah juga mau bergerak.” Piya, teman satu kelasku ternyata juga sedang menunggu reda hujan di depan kelas. Ikut berdiri dan menempelkan tubuh di dinding koridor gedung lantai dua. Aku tidak sadar Piya berdiri di sana. Berarti aku terlalu asyik melamunkan si jas hujan.
“Hus, nggak boleh ngomong begitu, Pi. Hujan itu rahmat dari Allah, nggak boleh dicela. Bayangkan nanti sebelum keluar Dajjal, bumi ini mengalami kekeringan selama tiga tahun. Stok hujan menipis bahkan ditahun ketiganya nanti sama sekali nggak ada hujan. Subhanallah, bayanginnya aja aku udah ngeri, Pi.”Aku bergidik sendiri atas omonganku barusan.
“Eh, iya, Sya. Astaghfirullah. Maaf. Nggak lagi deh.” Raut wajah Piya ikut membayang ngeri.
“Hujan deras gini kan mantep kalau kita doa, Pi. Kamu kan udah pengen banget nikah tuh. Nah, ini ajang yang pas buat doa.” Aku menggoda Piya untuk meruntuhkan raut wajahnya yang merasa bersalah.
“Hehe.. Kamu, Sya. Godain mulu. Oh iya, Sya. Aku lupa nyampeinnya kemarin. Kamu dapat salam lagi tuh dari abang senior. Bang Haris. Tahukan?”
“Bang Haris?Yang ketua organisasi itu ya?”
“Hu’um..” Piya mengangguk mengiyakan.
Seketika tubuhku lemas. Dan Piya menyadari raut wajahku yang berubah murung.
“Aku salah lagi ya, Sya..?” Piya hati-hati bertanya, memandang wajahku, yang malah memandang hujan yang masih senang luruh ke tanah.
“Piya, jawab jujur ya. Harus jujur pokoknya!” Pintaku serius pada Piya.
“Eh, mau tanya apa emang, Sya? Serius bener.” Piya malah kaget dengan permintaanku.
“Jawab jujur aja pokoknya, Pi.. Menurut kamu, aku ini kecentilan ya?” Kali ini, aku tidak lagi memandangi hujan, sepasang mataku kuarahkan tepat ke arah sepasang mata Piya. Piya malah mengerutkan keningnya. Dua detik kemudian tawanya lepas tanpa rasa bersalah. Membuatku sekarang yang gantian mengerutkan kening. Piya masih dengan tertawanya.
“Terus aja ketawa.” Aku membuang wajah dari tubuh Piya yang berdiri di samping kananku. Piya memberhentikan tawanya. Menyisakan sedikit kegelian di wajahnya.
“Hehe..maaf.. maaff.. Lagian, kamu ini, pertanyaannya kok tiba-tiba begitu? Kecentilan dari mana coba? Lah, kamu aja dijuluki ratu cuek di kelas hahaha..” Piya mengembalikan tawanya yang sempat diredamnya.
“Jadi.. “ Aku menahan suaraku…
“Jadi apanya, Sya? Kamu ini kenapa sih?” Piya masih menatapku dengan tawanya. Hoo, kalau tidak ingat, dia ini anak yang baik sekali sebenarnya, sudah aku tinggal pergi dari tawa pertamanya tadi. Aku kan serius bertanya. Kenapa dia malah asyik dengan tawanya.
***

Bulan sempurna di atas sana dengan lingkar purnama. Gulitanya langit membuatnya semakin istimewa dipandang. Hujan siang tadi ternyata tidak membekas pada ini malam. Malam ini, bintang dan bulan bertengger merona, membuatnya betah menatapnya. Gorden jendela kamarku, kubiarkan terbuka setengah. Aku masih ingin menatap benderang purnama. Meski jam dinding, jarum pendeknya hampir sampai tengah malam. Sebenarnya, aku masih kepikiran dengan jawaban dari Piya atas pertanyaaku siang tadi.
“Kamu itu jauh dari kata centil, Sya. Teman laki-laki di kelas aja, itu kadang rasanya pengen nimpuk kepala kamu pakai buku sangkin gemesnya sama kecuekanmu. Karena rasa segan mereka yang besar padamu jadi mereka nggak berani deh hehe..Nah, kamu itu pintar, Sya, aktif di kelas. Banyak dosen sayang sama kamu meski ya ada beberapa yang kayaknya nggak suka sama kritisnya kamu. Itu hal yang wajarlah. Saat kita semester satu aja, kamu udah jadi bahan gossip eh hehe maksudnya bahan perbincangan dosen-dosen dan kakak-kakak jurusan karena berhasil juara pertama lomba debat antar mahasiswa se kota kita ini. Belum lagi setelahnya, kamu banyak menangin lomba. Dan yang paling sesuatu, your face, Sya.” Aku menghembuskan kembali napasku yang berat ketika mengingat Piya menyebutkan kalimat terakhirnya.
Piya sudah jujur menjawab pertanyaanku siang tadi. Pertanyaanku muncul begitu pada Piya karena sudah berulang kali Piya menyampaikan salam yang entah dari siapa saja. Aku akan senang jika mendapat salam dari teman perempuan. Tapi, semua yang disampaikan Piya adalah salam dari laki-laki, entah itu teman satu angkatan yang beda kelas atau kakak-kakak tingkat bahkan beda jurusan.
Selama ini, aku sudah sangat berusaha pikirku. Itulah kenapa aku memilih cuek pada teman laki-laki di kelasku. Meski terkadang, aku merasa tidak tega juga. Tapi mau bagaimana lagi. Aku sudah pernah merasakan tidak enaknya punya banyak fans di sekolahan dulu. Dan itu sama sekali membuatku risih. Menurutku, aku benci sekali ketika ada laki-laki yang menyanjung-nyanjung wajahku. Aku merasa, diriku menjadi rendah sekali. Apalagi jika ada laki-laki yang berusaha mendekatiku, aku makin merasa diriku seperti murah. Untuk itulah, seberusaha mungkin aku menjaga jarak, jarang keluar rumah jika tidak ada hal yang penting dan mendesak, dan tentu saja menghindarkan diri untuk masuk ke komunitas atau organisasi yang ada laki-lakinya.
Aku sudah lelah sebenarnya. Tapi, aku tidak bisa menyalahkan wajahku. Ini murni ciptaan Tuhanku. Jika aku marah, berarti aku mencela ciptaanNya, itu berarti aku tidak tahu bersyukur. Hingga aku melihat seorang temanku, Salma. Beberapa hari ini, ia telah menutup wajahnya. Hanya sepasang matanya yang kelihatan. Salma bahkan tidak gentar meski dosen menyindir-nyindirnya saat di kelas, belum lagi teman-teman yang meski bercanda, mengolok-ngolok kain di wajahnya.
“Salma, Masya Allah, aku senang dengan perubahan kamu ini. Apa yang membuat kamu ingin memakainya, Ma?” Tanyaku pada Salma saat pertama kali Salma mengenakan sebuah cadar di wajahnya.
“Alhamdulillah, semua atas hidayah dari Allah, Sya. Aku tahu wajahku biasa-biasa saja, tapi aku tidak ingin menjadi fitnah di mata lelaki yang bukan mahromku. Karena, ketika perempuan keluar dari rumahnya, setan akan menghiasinya sehingga tampak semakin indah di mata lelaki. Dan menurutku, menutup aurat yang wajib saja tidak cukup.” Aku mematung mendengar penuturan Salma.
“Manisya, wajah kamu itu jauhhh lebih cantik daripada wajahku. Boleh jadi, fitnahnya semakin besar dan kamu lebih dianjurkan memakainya. Semoga kamu juga bisa pakai suatu hari ya. Aku pamit ya, aku harus pulang segera nih. Assalamu’alaykum..” Kalimat Salma di atas lebih menohok jantungku. Aku terdiam lama saat itu. Benar-benar sangat lama. Dan sampai hari ini, kalimat itu masih menghiasi hari-hariku. Saat makan, saat mau tidur, atau saat aku tidak sedang sibuk beraktifitas, kalimat Salma mengiang-ngiang di kepalaku.
Malam ini juga, aku harus bilang pada ibu dan ayah. Aku harus mengatakan kerisihanku selama ini. Aku harus berani bicara terus terang pada ibu dan ayah. Semoga ayah dan ibu belum tidur. Aku mengetuk pintu kamar mereka. Ternyata, benar, mereka masih terjaga meski sudah tengah malam.
***
Pagi ini, aku tidak peduli dengan apapun yang akan dikatakan orang-orang. Aku tidak akan dan ingin peduli. Dengan bismillah dan ridho orang tua, aku berangkat dengan selembar kain tebal tetapi sejuk dan ringan di wajahku bagian depan dan selembar kain tipisnya yang lain berada di belakang tubuhku, lebih pendek dari khimar yang aku pakai.
Dan pagi ini, aku berangkat ke luar rumah menuju kampus dengan hanya memperlihatkan sepasang mataku. Sudah aku katakan, aku tidak akan dan ingin peduli pada omongan orang-orang. Karena dengan selembar kain ini, akan lebih memuliakan perempuan muslimah siapapun, termasuk aku.
(Penulis adalah alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
(Terbit di Medan Pos, 16 Juli 2017)
Judul Asli : Manisya dan Selembar Kain di Wajahnya 

Sunday, July 9, 2017

Muazin yang Menikah dengan Hafshah



Karya : Aisyah Haura Dika Alsa

Ia menanti seseorang yang berdiri di balik pintu yang dibuka setengah. Lama sekali orang yang ditunggunya itu berbicara dengan rekan kerjanya dan ia juga sudah lama sekali berdiri di sini. Tidak ada tempat yang dapat menjadi kursi. Ingin memotong pembicaraan mereka tentu saja ia tidak tahu diri maksudnya tidak tahu sopan santun. Untungnya ada Rumaysho, sahabatnya yang menemani. Jadi, baiklah, ia akan menunggu beberapa menit lagi di sini. Kalau tidak ingat ini permintaan ayahnya, ia tidak akan mau menunggu selama ini. Sebenarnya, sudah dua hari yang lalu ayahnya menyuruhnya, hanya saja ia merasa ayahnya menyuruh sesuatu yang tidak mudah baginya. Meski ayahnya juga terpaksa menyuruhnya karena kesibukan pekerjaannya.
“Hafshah..” Kata laki-laki itu sedikit kaget melihat Hafshah dengan teman perempuannya berdiri di samping ruangannya.
Akhirnya orang yang ditunggu keluar juga dari ruangannya dan hufffff Hafshah bersyukur sekali, dia yang terlebih dahulu menyapa Hafshah. Hafshah meresponnya dengan sedikit kaget juga.
Hafshah hanya tersenyum, sedikit dipaksa, sebab ia tiba-tiba menjadi gugup. Tidak tahu harus kalimat apa yang terlebih dahulu keluar dari mulutnya.
“Sedang apa di sini? Ada yang ingin diurus?” Tanya orang yang ditunggu Hafshah.
“Ngg.. tidak.. Saya hanya ingin memberikan ini. Undangan dari ayah.” Hafshah memberikan sebuah amplop –yang telah dipegangnya sejak tadi– kepada orang yang ditunggunya itu.
“Oh.. Undangan dari masjid ya?”
“Iya.”
“Jadi, Hafshah ke sini ingin bertemu dengan saya? Eh, Maksud saya ingin memberikan undangan ini? Sudah lama menunggunya?”
“Nggak lama kok.” Terpaksa Hafshah berbohong.
“Oh.. Baiklah, terima kasih ya sudah repot-repot mengantarnya. Sampaikan salam dan mohon maaf kepada ayah ya. Saya sangat sibuk akhir-akhir ini. Jadi, sulit menemui ayah.”
“Tidak masalah. Saya permisi.”
“Iya, hati-hati, Hafshah.”

Hafshah pamit sambil ia merasa beberapa pasang mata perempuan muda di sana menatapnya tidak sedap. Ia merasa banyak perempuan muda di ruangan ini yang menyukai lelaki itu.
***
Azan Ashar lembut masuk ke telinga. Membangunkan tidur siang orang-orang yang sedang istirahat. Menghentikan pekerjaan orang-orang yang masih mencari nafkah. Membuat orang-orang memencet tombol off di remote televisi. Dan tidak sedikit yang malah tidak peduli sama sekali dengan azan yang tengah berkumandang.
Hafshah menutup laptopnya dan bangkit menuju kamar mandi. Berwudhu. Sudah seminggu ini, ia tidak lagi mendengar suara azan dari muazin yang memiliki suara merdu. Sebenarnya, tidak masalah siapapun muazinnya. Asal dia paham tajwid dan bisa membaca lafaz azan dengan benar. Namun, rasanya, ah Hafshah begitu malu mengakuinya.
Hafshah adalah salah satu mahasiswi di perguruan tinggi swasta yang terkenal di kotanya. Ia hampir menginjak semester akhir. Jadi ia lebih banyak menatap laptopnya akhir-akhir ini karena selain menulis yang menjadi hobinya ia juga harus menyelesaikan proposal penelitiannya.
Hafshah hanya mahasiswi biasa, tidak pernah sekalipun aktif di komunitas atau organisasi manapun. Kata ayahnya, ia harus lebih banyak di rumah. Keluar hanya untuk keperluan yang penting dan mendesak. Ia sempat protes tapi mendengar jawaban ayahnya, “Begitulah cara ayah memuliakan anak perempuan ayah yang sangat berharga bagi ayah. Karena menjaga anak perempuan tidak seperti menjaga anak laki-laki. Harus lebih ketat. Sama seperti menjaga tuan putri yang tidak sembarang orang bisa bergaul dengannya. Paham, Nak?” Hafshah pun luluh hatinya.
Dan laki-laki yang ditemuinya siang tadi adalah pegawai di kampusnya yang notebene tetangga rumahnya. Karena satu tempat jadi ayahnya menyuruh Hafshah yang mengantar undangan tersebut. Karena jika mengantar ke rumahnya pun sedang sulit ditemui dan laki-laki itu tinggal sendiri di rumahnya.
***

Matahari turun dari waktu cerah, jingga-jingga mulai berkuasa. Di simpang-simpang jalan yang tak berlampu merah, kendaraan berantakan, masing-masing ingin bersegera sampai rumah, tak peduli harus membuat orang lain marah, semua ingin lebih dulu jalan. Syukurnya, beberapa menit setelah riuh klakson sahut-sahutan, beberapa  pemuda di tempat rela menjadi tukang atur arah agar kendaraan bisa tertib dan jalan.
Hafshah sesenja ini baru pulang dari kampus, sebab mengurus proposalnya. Ia berjalan kaki dari simpang untuk sampai ke rumah dan melirik sebentar ke arah beberapa pemuda yang mengatur jalan, ternyata mereka teman sekolah dasarnya. Hafshah segan ingin menegur, pun mereka juga merasa sama pada Hafshah. Hafshah selalu senang melihat mereka yang suka rela mengatur jalan di simpang-simpang yang tidak ada lampu merah baik itu pemuda setempatnya ataupun bapak-bapaknya.
Begitu Hafshah sampai di rumah dan membuka pintu, azan magrib pun berkumandang. Tangannya tiba-tiba bergetar di daun pintu, detak jantungnya bertambah laju. Lelaki itu.. Apakah sudah tidak sibuk lagi?
“Ya Allaah, kenapa aku harus peduli dengan urusannya. Aku tidak ingin peduli siapapun yang azan di masjid itu. Yang penting waktu sudah menunjukkan aku untuk shalat” Hafshah dengan lucunya memarahi dirinya sendiri. Adiknya, Umar yang akan siap-siap pergi ke masjid terheran-heran melihat kakaknya pulang-pulang malah merepet halus.
“Kakak kok nggak pakai salam masuk ke rumah?”
Ya Tuhan, Hafshah pun baru menyadarinya. Konsentrasinya hilang beberapa saat karena kaget mendengar suara azan yang ternyata adalah suara laki-laki itu.
“Assalamu’alaykum, adikku yang paling tampan.” Hafshah berbalik ke arah Umar dan setelahnya bergegas masuk ke kamar. Umar hanya bergumam si kakak sedang aneh.
Setengah jam setelah ayah dan Umar selesai shalat Magrib di masjid, ayahnya menyuruh Hafshah keluar kamar. Bukan hanya itu tapi juga disuruh duduk di ruang tamu. Hafshah menolak. Aih, dia merasa malu sekali. Kenapa tiba-tiba ayahnya menyuruhnya ikut menjamu tamu, bukankah ayahnya tidak pernah sekalipun menyuruh Hafshah keluar kamar jika ada tamu laki-laki. Kecuali itu saudara mereka. Dan, tamu laki-laki malam ini adalah laki-laki yang tadi suara azannya membuat Hafshah kaget. Ada apa dengan ayah? Aih, Hafshah tidak mengerti.
Hafshah akhirnya duduk di ruang tamu ditemani ibunya. Ayahnya masih asyik ngobrol dengan laki-laki itu. Ayahnya memang selalu asyik kalau ngobrol dengannya, pernah sampai lupa waktu sangkin asyiknya.
Lima menit.. sepuluh menit.. Hafshah dibiarkan ayahnya duduk terdiam. Dia hanya merunduk. Melihat pernak-pernik kain taplak meja yang dijahit ibunya sendiri. Hanya itu yang ia bisa lakukan sebab laki-laki itu duduk tepat di sebrang depannya.
“Hafshah..” Ayahnya telah selesai ngobrol sepertinya dengan laki-laki itu.
“Iya, Ayah..” Balas Hafshah menatap ayahnya.
“Bagaimana proposalnya sudah selesai? Kapan akan diseminarkan?”
“Minggu depan, Yah insya Allaah..”
“Sebentar lagi berarti ya. Ini Mas Aziz sudah siap menikah katanya. Hafshah berkenan? Hafshahkan pernah bilang pada ayah ingin dicarikan suami, Hafshah bilang kalau bisa sebelum wisuda sudah menikah. Bagaimana, Nak?”
Hafshah terpana mendengar penuturan ayahnya. Tidak menyangka ayahnya akan berbicara seperti itu. Ia terdiam masih dengan sedikit kaget. Kepalanya merunduk lagi, kali ini bukan lagi menatap pernak-pernik kain taplak meja yang dijahit ibunya sendiri. Ia menatap jari-jarinya yang tiba-tiba terasa dingin sekali. Mulutnya tidak bisa mengeluarkan bunyi satu huruf pun. Suaranya tiba-tiba lenyap entah kemana. Ia merasa ini kejadian yang paling memalukan dalam hidupnya. Namun, berbeda dengan hatinya. Hatinya bak musim dingin yang telah dijemput musim semi; tumbuh banyak bunga-bunga.
Lima menit lengang. Tidak ada suara siapapun. Apalagi suara Hafshah yang seharusnya menjawab pertanyaan ayahnya.
“Kalau perempuan diam tandanya setuju, Yah.” Akhirnya dengan senyuman, ibu Hafshah yang menerjemahkan diamnya Hafshah.
“Baik, ibu dan Hafshah boleh kembali ke belakang. Nanti akan kita bicarakan lebih lanjut. Ayah dan Mas Aziz mau siap-siap ke masjid.” Kata ayahnya, yang kali ini wajahnya bertambah riang.
***
Epilog

Kalian tahu, setiap mereka yang berikhtiar dalam mencari jodoh bisa saja gagal. Bahkan sehari sebelum pernikahan, sebelah pihak bisa saja membatalkan pernikahan. Sebab jodoh, memang telah rapi tertulis sebagai takdir masing-masing manusia. Jika gagal sebelum akad sakral tidak perlu berlama kecewa. Tuhan telah menyiapkan sebuah nama atau mungkin beberapa nama yang layak menemani hidup kita. Dan untuk tahu Hafshah dan laki-laki itu berjodoh atau tidak, lihat kembali judul di atas.
(Penulis adalah alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
 (Terbit di Medan Pos, 9 Juli 2017)