Saturday, March 4, 2017

Mimpi Sepasang Karib




Turki! Turki!

Ya, ya, aku akan ke sana. Aku akan melihat bagian bumi yang pernah ditaklukkan Al-Fatih; yang disebut-sebut dalam sabda nabi. Aku akan ke sana. Aku pasti akan ke sana.

“Lulaaaaaaaaaaaaaaa! Awas jatuhhhhhhhhhh!”

Bruk! Aw!

            Jeritan Rosa menjadi percuma sebab aku telah lebih dulu jatuh ke tanah. Aku tidak sadar lorong ini dibuat 5 cm lebih tinggi dari permukaan tanah. Warga sekolah menatapku iba, dan sialnya, lebih banyak yang tertawa.

“La! Jalan pake apa sih? Ituuuu, mata yang dikasih Allah secara cuma-cuma dipergunakan dengan baik. Kalau aja pakai mata itu bayar. Kamu itu boros, mending sekalian nggak usah beli matanya!”

“Ya Allah, temannya jatuh malah dimarahi bukannya ditolongi. Hikss...” Aku bangkit dan kecewa menatap Rosa yang wajahnya tiba-tiba galak.

Kan masih bisa bangkit sendiri? Lagian juga jatuhnya bukan dari lantai lima.” Rosa memang selalu begitu. Dia bukan tipe orang yang cengeng dan tidak akan senang juga melihat orang lain cengeng. Ya, kecuali masalah yang serius.

“Jujur cepat! Apa yang dipikiri sampai kamu jadi bahan tertawaan kayak gitu?” Tanya Rosa penasaran. Hm, kalau urusan kepo memang Rosa ratunya!

“Oiya, tadi bu Linda baru aja nempel sesuatu di mading dan aku langsung baca. Mimpi kita, Rosa, mimpi kita! Mimpi kita akan terwujud!” Jawabku antusias

“Mimpi kita? Maksud kamu, pergi ke Turki?”

“Iya!”

“Serius, La?”

“Iya!”

Rosa langsung menarik tanganku kencang dan mengajak tubuhku berlari menuju mading dekat kantor guru. Dan saat tiba di sana, aku –lebih tepatnya, kami– kembali menjadi bahan tertawaan, ah bahan keanehan maksudku. Rosa tiba-tiba memelukku sambil teriak dengan histeris. “Kita ke Turki, La! Ke Turki!” Turki nan jauh di sana. Tapi, wangi tanahnya, rasanya seperti terus mendekat pada aku dan Rosa.
***

            Setelah melihat informasi yang ada di mading, kami mengambil langkah segera ke ruang guru untuk menemui bu Linda. Namun, sayangnya, bu Linda menahan informasi lebih lanjutnya. Bu Linda menjawab, besok ketika di kelas, bu Linda akan memperjelas. Saat ini, bu Linda harus segera pergi mengajar di lain tempat. Ya, bu Linda adalah wali kelas kami. Wali kelas paling cantik se-Indonesia Raya.
            “Kita harus bergerak lebih maju dari yang lain, Lula. Meski saat ini kita hanya mengandalkan kertas informasi. Setidaknya, ada hal yang sudah kita persiapkan lebih awal hari ini dan ketika besok bu Linda menjelaskan, kita bisa mempersiapkan hal yang lain.” Jawab Rosa penuh kobaran semangat.
            Setelah bel pulang sekolah mengalun kencang seperti biasanya tepat pukul 13.30 Waktu Indonesia bagian Lapar eh Waktu Indonesia bagian Barat maksudnya, aku dan Rosa bergegas pulang ke rumah untuk mempersiapkan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk melamar beasiswa dari pemerintah Turki. Kami menyiapkan hal-hal yang kami anggap mudah. Hal-hal yang masih tanda tanya untuk kami, tidak kami acuhkan terlebih dahulu.
            Turki memang negara impian kami, kota Istanbul tepatnya yang ingin kami tapaki lebih dulu. Menjejakkan kaki di sana dengan wajah gembira menatap jembatan Bosporus, tertawa riang membelah selat Bosporus dengan  menaiki kapal dan dengan muka yang ramah menyapa megahnya masjid Sultan Ahmed di sana.
            Rosa memimpikan Turki karena habis diprovokasi oleh abangnya yang telah bekerja di sana. Setiap hari, Rosa harus rela menyediakan telinganya atau sepasang matanya untuk mendapatkan cerita yang dijelaskan dengan abangnya baik dengan chat ataupun suara. Semenjak itu, Rosa juga ingin terbang ke sana. Melanjutkan pendidikan di sana. Dan, terjawablah doa-doanya selama ini dengan ditempelnya informasi di mading tentang beasiswa pemerintah Turki.
            Sedang aku, novel-novel tentang Turkilah yang telah memprovokasiku untuk benar-benar merasa ingin tinggal di sana. Bukankah hal yang begitu asyik ketika memiliki sahabat yang juga memiliki impian yang sama? Aku dan Rosa adalah salah satu dari sepasang sahabat itu!
***

            Aku dan Rosa telah sama-sama melewati tes wawancara. Yap, aku dan Rosa sama-sama lulus tes administrasi. Hingga kami dipanggil ke Kedutaan Turki yang ada di Jakarta untuk tes wawancara. Dan kini, hanya tinggal menunggu waktu untuk mendengar pengumuman. Doaku dan doa rosa semakin mengencang. Sebab, yang tertinggal kini hanya doa dan tawakal.
           
            Telpon genggamku berdering. Rosa memanggil.

“Lulaaaaaaaaaaaaaa! Turki, La. Aku ke Turki, La. Aku barusan cek email dan aku lulus. Kau juga lulus pasti. Cepat cek email!” Deg. Mimpi Rosa telah terwujud! Rosa keren! Selain keren dia sudah berhasil menyingkirkan ribuan pemburu beasiswa. Juga keren karena dia tahu saja, aku belum sama sekali mengecek email.

Tanpa menunda lagi, laptop telah kusambar dan kuletak di hadapku. Aku tidak lagi bisa menggambarkan keteganganku dan bagaimana jatungku kubawa sebisa mungkin untuk tetap tenang. Tapi, percuma saja, jantungku malah berdetak kian laju.

            Tubuhku tidak dapat bergerak. Jantungku seperti melemah. Bahagia Rosa malam ini, aku tidak tahu bagaimana rasanya.
***

Epilog
            Aku benar-benar kecewa saat tahu pengumuman itu menyatakan aku gagal. Aku bahkan tidak sanggup menghubungi Rosa dalam waktu dua hari. Rosa pasti bahagia sekali. Meski begitu, di waktu sibuknya mempersiapkan keberangkatannya untuk melanjutkan kuliah ke Turki, Rosa tetap bersedia hadir menghiburku dengan datang ke rumah membawa makanan-makanan kesukaanku. Dan, seminggu setelah pengumuman itu, Rosa datang ke rumahku. Tapi, tidak datang dengan membawa makanan kesukaanku lagi. Rosa membawakan berita yang benar-benar membuat jantungku akan lepas dari posisinya. Kabar berita yang lebih mencengangkan, sebab aku benar-benar tidak menyangka Rosa akan menyampaikan berita itu.
            Dan kini, Rosa yang berada di belakangku harus rela merasa jengkel –merasa seperti obat nyamuk– Sebab, ia tidak menikmati keindahan selat Bosporus seperti yang aku rasakan saat ini. Siapa yang tidak jengkel jika melihat seorang yang cintanya telah dipendam sejak lama dan akhirnya bisa bersatu dalam ikatan walimah, bersama-sama saling bercengkrama di tanah impian sukma.
            Laki-laki yang sedang bercengkrama bersamaku saat ini di atas kapal yang membelah selat Bosporus ialah laki-laki yang dulu menatapnya aku bahkan tak berani. Bertemunya aku senang tapi juga merasa takut sekali. Laki-laki yang juga begitu menyayangi Rosa dengan sepenuh hati. Ya, kalian benar. Selain sahabatku, Rosa adik iparku juga kini.
***
(Aisyah Haura Dika Alsa adalah mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
Terbit di Mimbar Umum, Sabtu, 4 Maret 2017

Monday, February 6, 2017

Kemana Dinda?

Harusnya ketika kau pergi, maka permisi. Harusnya ketika aku menanti, maka kau harus kembali……..
Gerak tangan kananku terhenti. Bukan karena penaku macetnya kambuh lagi. Bukan pula karena aku kehabisan kertas di sini. Aku hanya bingung. Kemana balasan surat ini akan mengepakkan sayap, jika alamat tak pernah kau tinggalkan untukku. Kemana surat balasanku akan berlabuh, untuk menanggalkan rindu-rindu setelah aku, kau tinggal pergi.
Aku mulai menulis lagi…
2 menit… 3 menit… 4 menit…
Aku berhenti menulis lagi. Kali ini, bukan karena kebingungan yang mengganggu tadi. Namun, dadaku perih. Sepasang mataku ternyata telah hujan. Pipi-pipiku diwarna banyak basah. Harusnya, kau tak boleh begini. Bagaimana mungkin kau pergi tiba-tiba lantas tak menorehkan jejak untuk sisa? Harusnya, kau biarkan aku tahu kotamu kini.
Harusnya, kau…
***
Namaku, Salsa, mahasiswi semester empat di salah satu universitas swasta kotaku. Aku mencintai buku-buku, layaknya mencintai bunyi hujan, bau hujan, ah maksudku, hujan dan sekawanannya. Selain itu, aku menyenangi senyap meskipun aku lebih sering berada di kalangan ramai orang. Setelah itu, hal yang tidak aku suka, tentu ketika aku kehilangan gairah. Ketika bodohnya aku menjauh dari Tuhanku. Jika bukan untuk beribadah pada-Nya, lalu untuk apalagi hidupku?
Tiba-tiba, ada berpotong-potong kenang yang ingin berlarian masuk ke kepalaku, ke jiwaku. Kenang tentang seorang teman berkulit putih yang sungguh putih, marganya Lubis, wajahnya penuh merah jambu jerawat manis, hidungnya mancung, bola matanya indah coklat, tubuhnya mungil, gayanya selalu kocak, singkatnya, dia cantik dan humoris.
Potongan-potongan kenang tadi menjalar dan menebar dengan cepat ke seluruh tubuhku. Seperti bulir-bulir awan begitu cepatnya memeluk tanah. Dia sama seperti hujan, indah. Sama seperti terang purnama atau seperti jingga-jingga yang disenangi siapa saja.
Entah mengapa, aku merasa selalu dispesialkannya. Padahal, kami tak pernah pulang bersama, tak pernah berpergian berdua, tak pernah melakukan hal-hal yang menyenangkan bersama-sama. Hanya terkadang, mengenyangkan perut bersama di masjid ketika siang, shalat zuhur bersama atau terkadang mengerjakan tugas kuliah bersama teman-teman yang lainnya. Selalu melakukan hal-hal yang biasa.
Tetapi, dia selalu baik. Ketika pulang dari jalan-jalan ke Thailand, aku kebagian oleh-oleh darinya. Ketika orang tuanya pergi naik haji, aku lagi-lagi kebagian oleh-oleh. Dan pernah hari itu, bersama surat dan sebuah kotak bulat yang mungil, dia berikan padaku. Isi kotak bulat itu, tasbih dan hiasan jilbab indah berwarna merah. Sungguh, dia memang baik hati.
Sampai akhirnya, aku membalasnya dengan memberikan sebuah pena yang mirip dengan penaku. Hanya berbeda warna, penaku hitam, penanya biru. Tentu kami saling memberi dengan cara sembunyi-sembunyi. Takut teman lain banyak yang cemburu. Ah, iya, bukankah saling berbagi antarteman itu hal yang biasa? Tapi, ketika dia yang memberi, aku selalu merasa dispesialkan. Ah, dia memang teman yang baik. Teman-teman yang lain pun mengakui.
Ketika aku sibuk dengan padat aktivitas organisasiku, ada dia yang baik memberi kabar tentang tugas ataupun keadaan di kuliah. Beberapa bulan lalu, aku diutus dengan beberapa teman organisasi internalku menghadiri musyawarah wilayah di Palembang. Maka, dia sering menanyakan bagaimana kabarku, mewartakan apa-apa saja hal-hal baru selama aku alpa dalam kuliah. Tanpa pernah kutanya dan kuminta.
Saat ini, namanya sering disebut-sebut. Lalu, aku akan selalu diam dan entah mengapa dadaku akan tiba-tiba nyeri. Maka teman lain akan menjawab. “Dinda sudah pindah…..”
Aku masih ingat malam itu. Malam pedih perih. Wajahku hujan, aku menangis diam-diam, saat ada acara pengkaderan di organisasiku. Beberapa hari dia tak masuk kuliah. Padahal, dalam satu mata kuliah, kami mendapat kelompok yang sama. Itulah awal dia menghilang. Dan kami anggap hal yang biasa, mungkin dia sedang ada acara atau liburan lagi ke negera tetangga. Hari berikutnya, dia alpa lagi. Aku mulai bertanya-tanya dalam hati, sebab tak ada kabar yang pasti. Bahkan dari Sri, salah satu teman terdekatnya. Dan mirisnya, aku terlalu sibuk dengan organisasiku, sampai rasanya selalu lupa ingin menanyakan kabarnya secara langsung.
Dan malam itu, saat jadwal istirahat, aku bertanya pada Sri. Dan Sri dengan nyeri menjawab pesan singkatku. Bahwa, Dinda telah pindah. Aku masih menerima ketika Dinda Pindah kampus dan kota. Namun, yang sulit kuterima adalah jejak-jejaknya sedikitpun tak dibiarkannya bersisa. Ponselnya tidak aktif, media sosialnya juga tidak aktif. Kata Sri, Dinda menelponnya dengan nomor wartel yang ada di Aceh. Dan hanya memberi kabar tentang itu saja.
Sampai hari ini, aku masih sulit menerima. Sampai hari ini, aku masih ingin dia meminta maaf, bahwa diam-diam hujan air mata telah banyak kuluruh untuknya. Dia harus memelukku, bahwa dia telah meninggalkan rindu yang menderu-deru. Dia harus pulang kembali, sebab dadaku selalu perih ketika mengingat atau mendengar namanya. Aku merasa sangat kehilangannya.
Ya, itu jika aku ingin egois. Maka, hal yang paling baik dan bisa kulakukan adalah mendoakannya. Berharap dan memohon pada Tuhan, dia selalu dilindungi dan baik-baik saja. Berharap suatu hari, dia akan hadir kembali sebagai teman yang tetap baik hati.
Kini, tiada lagi yang berani menjawab pertanyaan dosen dengan humor. Kini, berkurang satu, teman yang sering menawariku bekalnya. Kini, berkurang satu, teman yang sering bertanya-tanya tentang kuliah. Kini, berkurang satu, teman yang sering mengelus lembut lengan tanganku. Kini, berkurang satu, teman yang senang memberiku oleh-oleh. Kini, berkurang satu, teman yang sering meminjam buku-bukuku. Kini, berkurang satu, teman yang sering menyemangatiku melalui pesan-pesan singkatnya. Kini…ah.
Aku kehilangan teman, yang baru kusadari, bahwa ternayata, aku begitu menyayanginya, setelah kepergiannya.
***
-Epilog-
Beberapa bulan yang lalu..
Namaku, Dinda, mahasiswi semester empat di salah satu universitas swasta kotaku. Jarak rumah dan kampus memang jauh, tiap pagi harus kutempuh dengan laju. Tak boleh sedikitpun pergi ke kampus bergeser dari jadwal yang biasa. Sebab, jika begitu, maka aku harus sanggup menikmati macet di tengah kota, harus sungguh berlari-lari mengejar pintu kelas yang tak lagi terbuka; sebab dosen sudah masuk dan mengajar.
“Assalamualaikum, boleh saya masuk, Pak?”
“Waalaikumsalam. Masuk lah cepat.”
Hei, itu bukan aku yang telat. Namun, itu….Salsa…
“Wan, makasiah novelnya. Pinjam novel yang lain lagi boleh?”aku mengembalikan novel yang dipinjamkan Salsa padaku seminggu lalu setelah mata kuliah berakhir. Aku memang memanggil Salsa dengan sebutan “Wan”; panggilan akrab antara kami. Wan, sebutan “Kawan” jika dipendekkan.
“Boleh-boleh, besok ya insya Allah awak bawa. Ingatkan ntar malam, Wan.”balasnya dengan senyuman semringah, memperlihatkan dua lesung pipi kanan kirinya yang aduhai.
(Pengarang adalah mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)

Aisyah Haura Dika Alsa adalah mahasiswi semester VII jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU. Karya-karyanya sudah tersebar di beberapa media lokal.
(Terbit di Harian Medan Bisnis, 5 Februari 2017)
http://www.medanbisnisdaily.com/e-paper/2017-02-05/#10

Sunday, July 31, 2016

Ayah dan Lelaki Penjual Mie Tiaw



Karya : Aisyah Haura Dika Alsa
 
Sudah dua hari ini, Fa ingin sekali makan mie tiaw. Kalau istilah biasanya, Fa ngidam. Duh, Fa tiba-tiba menjadi aneh sendiri membayangkan jika dia benar-benar mengandung seorang anak dan kemudian mengalami ngidam. Pasalnya, akhir-akhir ini di rumahnya, ayahnya sudah sibuk menjodoh-jodohkan Fa dengan lelaki-lelaki yang menurut ayahnya baik. Namun, Fa masih saja belum mengangguk atas pilihan ayahnya dan itu tentu saja membuat ayahnya uring-uringan. Ayahnya merasa perlu terus mencari lelaki terbaik untuk mengganti tanggungjawabnya kelak terhadap Fa. Ayahnya ingin, tamat kuliah S1 tamat pula lajang anak perempuan satu-satunya. Sebab, ia sudah tak sabar mengayun cucu maka setiap hari dia harus berusaha membujuk Fa untuk terbuka keinginannya menikah muda.
            Anaknya sendiri; Fa, masih acuh tak acuh terhadap keinginan ayahnya. Sampai-sampai, ia tak berani mengadukan keinginan ngidam mie tiawnya itu pada ayahnya. Apalagi kalau bukan takut digoda. Fa bukan tak bisa masak. Kesibukannya membuatnya kalah lebih dulu terhadap lelah. Ibunya sudah lama tiada, telah diganti dengan ibu tiri yang baik hati. Namun, Fa sungkan jika meminta dimasakin mie tiaw ngidamnya itu. Kalau beli, dia bosan dengan rasa yang sama saja. Maunya, ada rasa yang sedikit berbeda. Ah, Fa, ada-ada saja keinginan ngidam tak sungguhannya. Bagaimana jika nanti saat ngidam sungguhannya, apakah jauh pelik daripada ini?
***
“Duar.....!!!!” Ayahnya seperti biasa, bertingkah konyol, membuka pintu kamar Fa dengan iseng membuat kaget.
“Ih, Ayah nih! Rusuh ih! Tapi,nggak kaget kok, wek!” Balas Fa. Terang saja, dia menyembunyikan kagetnya, agar ayahnya tak merasa menang.
“Moso ndak kaget? Kaget dong!”
“Mulai deh. Lain kali, Fa kunci tuhpintu. Biar nggak ada makhluk yang sembarang masuk. Pake ngangetin pula.” Rengut Fa.
“Hehehehe... Anak Ayah makin merengut makin cantik...” Goda ayahnya lagi tanpa wajah berdosa.
“Ayah masuk kamar Fa ada perlu apa? Kalau cuma mau godain Fa, so sorry deh. Fa sibuk.” Fa pura-pura cuek, kembali menatap layar laptopnya. Padahal sedari tadi, dia menunggu ayahnya pulang dan bisa mengecek beberapa rupiah untuk mendiamkan perutnya yang lapar dan dengan gengsi yang tinggi dia pura-pura tidak mencium bau sedap makanan yang muncul dari bingkis plastik yang dibawa ayahnya dan sesekali mencuri-curi pandang ke bingkis palstik yang masih dibawa ayahnya itu.
“Oh. Begitu. Padahal Ayah berniat baik. Tapi, yasudahlah. Lagi sibuk katanya. Oke kalau begitu. Ayah makan sama ibu aja.”
“Hahahaha... Ayah!!! Gitu aja ngambek sih. Fa laper. Ayah beli apa tuh?” Runtuhlah gengsi Fa kini.
“Loh, katanya sibuk? Sudah, tidak apa-apa. Ayah nggak mau ganggu Fa.” Jawab ayahnya sok serius.
Fa tidak peduli, dengan rusuh dia berusaha menyerobot bingkis plastik yang ada di tangan ayahnya.
“Loh.. Loh.. Apa-apaan ini?”
“Ih.. Ayah, siniin, Fa laper. Itu mie tiaw, kan? Ha. Dapet!”
Beberapa menit kemudian, Fa melahap mie tiaw jatahnya dengan gesit dan ayahnya ikut makan di kamarnya.
“Fa tahu nggak, Ayah beli mie tiawnya di mana? Enakkan? Fa pasti kaget kalau tahu”
“Emang Ayah beli di mana?”
“Di warung anaknya pak Rahman.”
Mendengar nama Pak Rahman, tiba-tiba Fa keselek,gayanya mirip di sinetron-sinetron itu.
***
Malam ini, malam minggu. Jalanan ramai sekali. Fa diajak keluar oleh ayahnya ke pusat kuliner di kota ini dan tempatnya tidak jauh dari rumah, namun tempat ini jarang sekali mereka kunjungi dan entah angin apa yang membuat ayahnya tumben-tumbennya mengajak Fa dan ibu tirinya makan di luar. Karena biasanya, ayahnya lebih senang membeli makanan lalu makan bersama-sama di rumah.
            Selesai memakirkan mobil, Fa, ayahnya, dan ibu tirinya masuk ke dalam sebuah warung yang ramai sekali pengunjungnya, sampai-sampai susah sekali mencari meja kosong. Namun, tak lama, ada seorang lelaki berusia senja, sepantaran ayah Famenghampiri mereka, menyambut mereka ramah dan memersilakan duduk di meja yang sepertinya sudah disiapkan. Tiba-tiba, Fa ingat siapa lelaki itu.Itu pak Rahman, nama yang membuatnya keselek sewaktu makan mie tiaw dua hari yang lalu. Entahlah, Fa tiba-tiba merasa.....ada sesuatu.
***
Perjumpaan di malam minggu lalu, membuat Fa datang kembali, namun ‘datang’ yang ini berbeda.Jika malam minggu lalu, membuatnya telak digoda ayahnya dan dia sama sekali tak memiliki kuasa untuk menyerang kembali celotehan ayahnya seperti biasa, hanya diam sambil lebih banyak menunduk dan beruntungnya selembar kain yang menutupi wajahnya dapat menyembunyikan mukanya yang telah merona merah. Dan ‘datang’ kali ini, jelas berbeda. Fa berkeinginanmelihat bagaimana kesehariannya. Jadi, diputuskannya selama tiga hari berturut-turut ini, setiap setelah ashar, dia akan menyempatkan ‘datang’ dengan menyuruh Lina, karibnya untuk membeli makanan yang dijual oleh lelaki itu.
            Tiga hari berturut-turut, jawaban Lina tetap sama, “Yang ladeni aku masih adiknya, Fa. Waktu dia lengang pun, dia tetap memilih duduk jika pembelinya perempuan.” Lina tahu itu adik perempuan lelaki itu karena memang Fa yang memberi tahu. 
***
            Malam minggu selanjutnya, ayah Fa mengajaknya lagi ke warung itu. Namun kali ini, makan di rumah, tidak lagi makan di warung seperti minggu lalu. “Ayo, Fa. Temani Ayah turun.”
“Ayah aja deh, Fa lagi asyik chatingan sama Lina.”
“Yakin?” Tanya ayahnya memastikan, yang lebih tepatnya menggoda Fa.
“Hu’um.”
            Fa tidak berbohong, Fa memang sedang ngobrol dengan Lina di BBM. Namun, ketika ayahnya keluar, dia mencuri-curi pandang ke arah warung itu. Terus mencari-cari letak tubuh seorang yang dulu pernah sangat dibencinya. Namun, malam itu, Fa tidak menemukan sepotong wajah ataupun punggung dari lelaki itu.
***
Sebulan kemudian, saat Fa melipat mukenahnya, ayahnya mengetuk pintu kamarnya dan izin untuk masuk menemuinya.
“Bagaimana?” Tanya ayahnya, kali ini tidak dengan wajah menggoda Fa lagi.
“Insya Allah. Fa mantep, Yah. Doakan ya, Yah. Semoga Fa dijauhkan dari rasa nafsu. Semoga rasa mantap ini datang benar-benar dari Allah..”
“Alhamdulillah, aamiin ya Allah.. Akhirnya.” Ayahnya mengecup kening Fa.
“Ayah tahu kamu pasti mau mengistikhorohkan yang ini..” Lanjut ayahnya.
“Hu, mulai deh Ayah.!”
“Ya iya, dari beberapa lelaki yang ayah tawarkan, hanya dengan yang ini Fabener-bener malu-malu. Yang lainnya biasa aja. Ya kalau pun malu, ya malu biasaaja, malunya perempuan sholehah dengan lelaki yang bukan mahromnya.”
“Emang iya ya, Yah?”
“Nah, Fa sendiri nggak sadar ya?Ayah tahu, pipi Fa sudah merona merah meski ditutup niqob. Ayah tahu, Fa malu bertemu dan beralasan ingin di mobil saja, padahal, kalau pergi kemana-mana, mana mau Fasendirian di mobil. Pasti ikut turun sama Ayah. Eh, ini kok tumben-tumbennya. Hmm....”
“Ih, Ayah!” Fa kesal menatap ayahnya. Namun, sedetik kemudian, tumpahlah tangis Fa dipelukan ayahnya. Tiba-tiba, Fa merasa takut sekali jauh dari ayahnya. Hal yang tak pernahFa rasakan sebelumnya. Sebab, ayahnya selalu ada saat Fa selalu ingin dan butuh, bahkan ketika Fatak pernah meminta sekalipun. Ayahnya telah baik menjadi damainya hari-hari Fasedari dulu hingga kini.
***
Seminggu kemudian, ayah memeluk Fa begitu erat dan dipunggung Fa, air matanya berlinang. Ayahnya jarang sekali menangis, dan di momen ini, tangisnya adalah kesedihan yang dicampur kebahagiaan beratus kali lipat serta harapan-harapan sudah ditimbun beberapa bulan sebelumnya. Sedih karena Fa bukan tanggungjawabnya lagi. Bahagia karena dia merasa Fa ditanggungjawabi oleh lelaki yang ia percaya dapat membawa Fa bahagia sampai jannah. Pelukannya semakin erat, semua mata tertuju haru melihat ayahnya yang supel dan ceria, ternyata tak disangka-sangka memiliki air mata yang deras juga.
Dan Fa benar-benar tak menyangka, bahwa lelaki yang tadi berjabat tangan dengan ayahnya; sebagai wali nikahnya adalah lelaki penjual mie tiaw yang meneruskan bisnis ayahnya, yang dulu begitu dibencinya karena ketika di sekolah dasar dulu, lelaki itu rajin sekali menjaili Fa sampai-sampai Fa pernah sekali menangis. Namun, lelaki itulah yang dulu baik hati menemani Fa setiap harikarena ayahnya selalu telat menjemput Fa ke sekolah. Lelaki yang dengan polosnya meminta maaf dan berjanji tidak mengganggu Fa lagi. “Maaf ya, Fa. Maaf ya, Om. Aku janji nggak akan ganggu Fa lagi. Aku hanya ingin berteman dengan Fa. Karena Fa anak yang paling cantik dan pintar di kelas. Tapi, Fa cuek sekali.”
***
(Penulis adalah mahasiswi semester VI Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
Terbit di Tribun Bone, Jumat, 22 Juli 2016