Sunday, September 6, 2015

Catatan sebelum Bunga Tidur



          Aku tahu, ini waktu yang harusnya sepasang mata telah lumpuh. Tapi, biarlah, sebelum aku melunasi janji pada mimpi, aku tuliskan ini untukmu..

Untukmu yang bahkan tak pernah kusentuh, bahkan hanya sekadar baju atau ujung jilbabmu. Untukmu bahkan yang tak pernah tahu aku. Meski sekali aku pernah, menyapa. Dan kau, mungkin hanya butuh waktu saja untuk membalasnya.

Kau tahu, kenapa aku ingin tuliskan ini?

Sebab aku dijatuhi rindu. Kepadamu yang kini bersembunyi lagi. Menutup akunmu. Sama saja dengan menutup salah satu celah agar aku lebih istiqomah.

Apalagi yang akan dilakukan orang sepertiku ketika rindu –selain doa untukmu- kalau bukan mengecupmu dengan larik-larik yang rindunya terik.

Hadirlah kembali. Dalam terang yang kian menerangkan. Sebab yang kuyakin, yang merindumu, pasti tak hanya aku.

Semoga tidurmu dalam jaga malaikat-malaikat. Semoga ketika kau bangun, kau lebih merasa hangat. Sebab doaku, akan menyangkut di seluruh petak kamarmu.

Hujan Sore - Part 1 (Sebab Cinta tak Hanya Sekadar Rasa, Tapi Ibadah)




-Prolog-

Najuh

“Kenapa namamu Eros? Jika dibaca dari kanan berarti…”

“Hei, kenapa memusingkan namaku?!” Tanyaku diputuskannya begitu saja. Kali ini, dia lagi-lagi sebal. Sebab aku benar-benar lupa lagi membawa catatannya. Dan untuk meredam kesalnya. Aku mencoba mencari topik yang lain. Ternyata, lagi-lagi gagal.
***
Eros

Siang kini telah menyangkut di lahan waktu. Teman-teman sudah jenuh menunggu dosen yang kerap kali tak sempat hadir. Lagi-lagi mata kuliah menjadi tumpukan janji. Sebab mata kuliah terakhir, apalagi yang akan membikin betah duduk di bangku kelas kampus? Serempak seisi kelas keluar. Memencar. Mencari bahagianya masing-masing, setelah lagi-lagi kami dibikin pusing.
           
        Langkah kakiku terhenti di seberang pintu kelas. Melengketkan tubuh di dinding lantai dua. Menatap ke bawah. Beraneka mahasiswa sedang dengan kesibukannya. Hanya tersisa satu dari seisi kelas yang bingung tujuannya; aku.

“Perpus yok! Mau balikin buku nih. Sambil mau icip-icip wi-fi sebelum nge-lunch.” Oh, ternyata tersisa dua. Najuh dengan gayanya yang biasa. Tersenyum sok keren. Sok keren atas englishnya barusan. Entahlah. Teman-teman sekelas selalu membantah olokanku atas “sok keren” padanya itu. Mereka selalu setuju, Najuh itu memang keren. Tingkah keren yang alami. Tanpa pernah direkayasa. Begitu kata teman-teman. Meski sampai kini aku masih bingung. Keren alami itu yang seperti apa?

Aku menatapnya sambil mengernyitkan dahi. Yang kutatap malah tertawa, lalu membuang badan dari arahku. Berjalan membelakangi tubuhku. Lalu balik badan kembali, sebab belum menemukanku di sampingnya.

Come on, Girl!

Aku mengalah. Menuruti langkahnya. Mensejajarkan tubuhku dengan tubuhnya.

“Mau jadi guru Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris, sih?”

“Dua-duanya.” Jawabnya. Dan. Tertawa lagi.
***
            
           Najuh mengantarku pulang. Selalu begitu. Setiap hari. Meski setiap hari juga aku harus menolak. Sebab, rumahnya begitu berlawanan arah dari rumahku. Dan setiap hari pula, Najuh selalu berhasil membikin kilah-kilah yang akan membuatku mengangguk mau.

“Makasih, Juh! Mau mampir nggak?” kalimat ini, kalimat rutin yang keluar setelah aku melepas helm. Sungguh, itu bukan kalimat basa-basi. Ongkos dari kampus ke rumahku rupiahnya lebih banyak daripada nasi sebungkus di dekat kampus.

Nge-lunchmu itu di rumahku aja.” Dan ini kalimat rutin kedua. Setidaknya, makan siang di rumahku dengan masakan ibu, sebagai ucapan terima kasih atasnya yang selalu baik.  Biasanya dia mematikan sepeda motor. Tanda “iya” atas jawaban pertanyaanku. Tapi kali ini tidak.

“Bukannya nggak mau (ini jawaban halus rutinnya kalau menolak). Nggak sempat. Nih mau langsung futsal. Reunian bareng temen SMA. Titip salam aja sama ibu ya (ini lanjutan jawaban yang kadang-kadang).”

Aku mengangguk. Sepeda motornya melaju kembali. Sampai tubuhnya hilang di ujung gang. Baru aku masuk. Selalu begitu. Ya, lagi-lagi sebagai rasa terima kasih. Atas Najuh yang selalu baik. Meski dia tak pernah tahu dan berbalik.
***

Sebulan kemudian dari Najuh mengantarku pulang dan kemudian menolak halus untuk singgah makan siang di rumah, sebab akan bermain futsal reuni bersama teman SMAnya.  Setelah banyak waktu terasa menyenangkan bersama Najuh. Setelah banyak puisi-puisi yang kutaruh di larik-larik tanpa (dulu) pernah kusadari. Bahwa ternyata, dirinya yang kurangkum dalam bait-bait bukan rasa sebab ia selalu baik. Setelah banyak tawa dan senyumku saat bersamanya atau sebabnya, yang ternyata bukan (lagi) senang, karena aku memiliki teman sepertinya.

Semua tiba-tiba terasa benar-benar rasa.”    

Najuh menjauh. Tidak lagi ada ajakan ke perpus, ke kantin, ke warung makan atau ke masjid kampus sekalipun. Atau kemana-kemana. Tidak lagi ada Najuh yang baik hati mengantarku pulang. Tidak lagi ada Najuh yang senang tertawa ketika menatapku. Tidak lagi ada Najuh yang selalu duduk di kursi sebelahku. Tidak lagi ada Najuh yang menyediakan kursi untukku ketika aku telat. Tidak lagi ada Najuh yang mengajak menyiapkan tugas bersama. Tidak lagi ada Najuh yang rusuh meminjam catatan dan kerap kali lupa mengembalikannya.

Tidak lagi ada Najuh yang suka membikin sebal dan kesal. Tidak lagi ada Najuh yang senang meminjam buku-bukuku. Tidak lagi ada Najuh yang membantah rayuan teman-teman atas kami yang saban dekat. “Eros itu sahabat. Sama seperti aku menganggap kalian, Girls” jawabnya dengan gaya “sok keren” biasanya. Yang kini berganti jawaban “diam”. Ketika teman-teman bertanya, mengapa Najuh tak pernah duduk di depan lagi; duduk di kursi dekatku seperti biasa. Kenapa Najuh tak pernah terlihat ngobrol lagi dengan aku sebulan ini.

Semua tiba-tiba terasa benar-benar rasa.”   

Najuh menjauh. Dan mulai tampak nyata, rasa yang sebenarnya tengah singgah, di dadaku. Setelah tiga semester, aku dan Najuh bersepakat menjadi sahabat. Kini, berbeda. Mungkin, selamanya tak akan sama. Tak akan seperti sedia kala.
***
            
        “Eros, ntar hari minggu ada kajian oleh Ustadz Al-Fatih. Datang ya. Ustadz Al-Fatih, ustadz favorit aku dan pasti calon favorit kamu. Hehe ” Sara tertawa. Begitu mirip Najuh. Tawanya sering keterlaluan ramah. Tawa tulus tanpa rekayasa.
           
        “Insya Allah. Syukron katsiir ya, Ra. Tumpangan yang selalu menyenangkan.” (kalimat rutin yang sungguh bukan basa-basi, yang sebulan ini berganti setelah aku melepas helm).

“Singgah yuk, makan siang dulu. Kasihan peliharaan di perut kalau kelamaan. Hehe..” (kalimat rutin kedua sebagai rasa terima kasih turut berganti)  

Dan setelah sebulan ini, untuk pertama kalinya Sara mematikan sepeda motornya. Mengangguk tersenyum tanda setuju. Memarkirkan sepeda motor di garasi rumah dan masuk bersama menyantap makan siang. Nge-lunch. Tiba-tiba ada perasaan rindu mendengar kata yang diucapkan laki-laki “sok keren” itu.
***
-BERSAMBUNG-

Kudu ikuti part 2 nya ya! Jrenggg... Jrenggg #ehapaansihhh #abaikan

Okeeee... Ntar kita sambung lagi. Mau malam mingguan dulu nih :p *kabuur*

Saturday, September 5, 2015

Saat Pemuda Islam Jatuh Cinta (Mimbar Umum, 4 September 2015, Rubrik Dakwah)


          Virus merah jambu bisa melanda siapa saja. Apalagi anak yang akan berproses menuju remaja. Hanya sayangnya, kisah cinta remaja saat ini sudah melampaui batas. Yakni; berpacaran. Pacaran dianggap hal yang lumrah. Dianggap hal yang biasa dan boleh dilakukan. Apalagi untuk pasangan yang akan menikah. Padahal, Islam tak pernah mengajarkan untuk berpacaran sebelum menikah.
          Bahkan bukan hanya pacaran yang menjerumuskan. Tapi, interaksi antara lawan jenis yang berlebihanlah yang menjadi awal permasalahan. Awalnya, berteman terlalu dekat dengan lawan jenis. Bahkan orang tua tidak mewanti-wanti, jika anaknya keluar rumah. Peran orang tua atau orang dewasa (baca; abang atau kakak) sangat diperlukan untuk memantau bagaimana interaksi remaja dengan lawan jenisnya.
          Meski bukan pacaran, bersalaman dengan yang bukan mahrom, berdua-duaan dengan yang bukan mahrom, berboncengan naik sepeda motor dengan yang bukan mahrom, adalah hal-hal sederhana yang dibolehkan oleh kebanyakan orang muslim saat ini. Padahal, dalam sebuah hadits, laki-laki lebih baik ditusuk dengan jarum besi kepalanya daripada menyentuh wanita yang bukan mahromnya.
          Menyentuh sedikit saja dengan sengaja tidak dibolehkan dalam Islam. Bagaimana pula jika harus bersalaman, baik dengan guru maupun dengan kekasih. Yang harus diingat, orang Islam harus tahu siapa saja mahromnya, siapa saja yang boleh melihat auratnya dan bersentuhan dengannya.
          Seperti dalam ayat 31 surah An-Nur, “Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya dan janganlah menampilkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara-saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.”
          Dari ayat di atas, jelaslah, siapa saja yang boleh melihat aurat muslimah, yang boleh bersalaman atau berpergian berdua, atau berboncengan berdua dengan muslimah. Jika tidak ada disebutkan dalam ayat di atas, maka jatuh hukumnya adalah haram.
          Jadi, sebagai muslim, dimanalah letak ketaatan pasangan (baca; pacar), jika perintah Allah saja ditinggalkan, apalagi kita? Tentu tidak menutup kemungkinan, esok lusa kita juga akan ditinggalkan, setelah kehormatan (perempuan) atau harta (laki-laki) dikuras habis oleh pasangan yang bukan mahrom atau biasa disebut pacar.
          Muslim atau muslimah yang benar adalah, jika mereka mencintai seseorang, mereka akan mencintai karena Allah. Bertemu karena Allah dan berpisah karena Allah. Jika, jatuh cinta tapi belum siap menikah, maka mereka akan berusaha untuk menghilangkan rasa cinta tersebut dan lebih banyak mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah. Sebab rasa takut yang sangat besar. Takut dengan mencintai orang tersebut, dapat melalaikan rasa cintanya terhadap Allah.
          Allah hanya meridhoi rasa cinta hanya terhadap orang yang sudah menikah, setelah akad digemakan sesuai syari’at. Jika rasa cinta itu timbul sebelum menikah, maka solusinya adalah mempersiapkan diri untuk segera menikah atau jika belum siap maka berpuasalah, karena puasa dapat menjadi benteng bagi diri muslim dan muslimah.
          Ya, itulah solusi jika pemuda Islam jatuh cinta. Menikah atau puasa. Tentu, diri kita sendirilah yang tahu kemantapan hati kita. Tetapi, alangkah baiknya, jika pemuda Islam menikah muda atau menyegerakan menikah. Jika berlama-lama, takut menimbulkan fitnah. Bukankah fitnah lebih kejam dari pembunuhan?
          Nah, untuk menghindari timbul rasa cinta kepada yang bukan mahrom, maka ada beberapa hal yang harus dijaga dalam berinteraksi dengan lawan jenis. Yakni, pertama, berinteraksi jika hanya ada kepentingan yang benar-benar penting, misal dalam pendidikan, kesehatan dan ekonomi, jika hanya mengobrol biasa dan membuat panjang cerita, tinggalkanlah. Karena, dari situlah setan akan menggoda. Jika pun, mengobrol dalam kepentingan, harus ada yang menemani si muslimah. Misal, teman perempuan si muslimah, atau saudara/mahrom si muslimah. Dilarang keras berdua-duaan, apalagi di tempat yang tidak ada orang.
          Jika berbicara, baik muslim maupun muslimah, harus berbicara seperlunya saja. Tidak boleh dimanja-manjakan, dilembut-lembutkan (perempuan) dan tidak boleh bercanda berlebihan. Muslimah harus tegas dalam berbicara, tapi bukan berarti galak dan menyeramkan. Tegas dan galak, tentu berbeda.
          Meski hanya mengobrol lewat sms, chat ataupun media sosial, atau telpon tetap tidak boleh jika tidak berkepentingan. Sebab, setan paling bisa menggoda walaupun kita hanya melanggar peraturan sedikit. Jangan biarkan celah untuk setan menggoda. Dan ada baiknya, muslim dan muslimah yang bukan mahrom sama-sama dapat menjaga interaksi. Sama-sama mengetahui bagaimana berinteraksi dengan baik dan benar dalam Islam.
          Jika sudah siap menikah, maka utarakan pada orang tua. Berpacaran bertahun-tahun sama sekali tidak diperlukan dalam mencari jodoh. Toh, berpacaran sekian tahun, tapi jika bukan jodoh, tentu itu hanya membuang-buang waktu saja. Lebih baik, waktu pacaran itu diganti untuk beribadah lebih banyak kepada Allah, belajar dan bekerja yang rajin, membantu orang tua dan saudara.
          Ta’aruf adalah solusi pemuda Islam jika siap menikah. Jika memang, sudah memiliki sasaran, dan sasaran tersebut sudah di-istikhorohkan dan hasilnya mantap, maka untuk laki-laki datanglah kepada ayah atau ibunya atau walinya untuk melamarnya dengan niat baik, yakni niat mengambil si perempuan untuk beribadah kepada Allah dan menyempurnakan separuh agama dan sunnah Rasulullah saw. jika si perempuan bersedia, maka disegarakan untuk segera menyiapakan pernikahan, agar terhindar dari fitnah.
          Untuk perempuan, jika sudah memiliki sasaran, maka diperbolehkan untuk mengajukan diri lebih dulu. Lalu, jika laki-lakinya juga mau bersanding dengan si perempuan yang mengajukan diri, maka laki-lakinya yang datang melamar atau mengkhitbah si perempuan pada orang tua atau walinya.
          Muslimah tidak perlu gengsi, takut, ataupun malu jika sudah memiliki sasaran calon pasangan. Utarakan saja karena Allah. Meski memang, rasa malu perempuan jauh lebih besar dalam percintaan ketimbang lelaki. Sebagaimana, bunda Khadijah yang mengutarakan diri pada Rasulullah. Meski, bunda Khadijah janda, tapi tidak mengundurkan niatnya untuk melamar seorang lajang. Bagaimana, jika bunda Khadijah terlalu memikirkan rasa malunya, bisa jadi akan tetap menikah dengan Rasulullah, bisa jadi juga tidak. Dan Alhamdulillah, rasa ingin bunda Khadijah berjodoh dengan takdir Allah swt.
          Jadi, saudara seimanku. Jika sudah siap untuk menikah, jangan ditunda-tunda lagi. Hati sudah siap, namun harta belum mendukung. Ingatlah, bahwa Allah akan menolong orang-orang yang menikah. Dan untuk saudara seimanku, jika belum siap untuk menikah, maka berpuasalah. Tinggalkanlah berinteraksi berlebihan dengan orang yang bukan mahramnya. Tapi, jika sudah siap, maka menikahlah segera. Sebab, Rasulullah senang jika pengikutnya melimpah.
(Penulis adalah mahasiswi Bahasa dan Satra Indonesia FKIP UMSU dan kader PK KAMMI UMSU)

Payung dan Lelaki Hujan


 “Sudah pukul tujuh. Sudah waktunya pulang.” Sara menatapku serius. Wajah teduhnya tetap teduh, meski rautnya direcoki banyak peluh, sebab memang sedari pagi sampai kini, kami mendekam berdua di perpustakaan. Menulis segila mungkin. Melarikan diri bersama dari penatnya omong kosong salah satu pengurus harian di organisasi internal kampus kami untuk sementara. Dan kalimat perintah menyuruhku pulang barusan adalah kalimat pertamanya sejak pagi tadi.
Sara memang begitu. Ketika kesal, dia akan lebih memilih puasa berbicara. Maka kebetulan sedang tidak ada kuliah, kami sepakat untuk kabur dari rapat dan mematikan handphone masing-masing. Menumpahkan segala kesal, lara, amarah pada keyboard laptop yang telah baik hati menjadi saksi. Sebab, gibah dengan laptop tentu jauh lebih baik ketimbang curhat dengan teman sendiri tentang keburukan orang lain. Begitu katanya.
Sara tahu aku juga kesal. Maka dia mengajakku menulis tentang kekesalan masing-masing di laptop masing-masing. Menulis sampai puas. Keluar dari perpustakaan hanya untuk makan siang dan lebih sehatinya lagi, kami berdua sama-sama sedang didatangi tamu bulanan. Beberapa jam untuk membaca buku, beberapa jam untuk layar yang bisu.
Perdebatan kemarin, telah menimbulkan kekesalan di puncaknya. Meski tentu saja, hal itu biasa terjadi pada aktivis kampus.
 “Iya.”jawabku seadanya. Tetapi dengan senyum semringah. Sebab, aku selalu merasa beruntung memiliki sahabat seperti Sara.
“Nginap di kosku aja kenapa sih?”Sara khawatir. Sara selalu seperti ini, ketika jadwal yang sudah mati-matian kuatur, untuk tidak pulang di atas pukul enam sore. Dan akhirnya, kerja kerasku membikin jadwal hanya untuk kulanggar sendiri. Menenggelamkan wajah di beberapa organisasi tentu bukan urusan yang gampang.
“Bukan sahabat Sara kalau takut sama malam!”jawabku dengan jawaban dan tingkah yang selalu sama, menjawab sombong sambil mencubit pipi bakpaunya.
“Aku bosan dengan jawaban dan tingkahmu yang sama melulu. Sudah sana, katanya sudah rindu dengan supir angkot!”usirnya merajuk.
“Assalamualaikum..”aku pamit sambil terus meminta pada Allah, aku ingin terus menjadi sahabat terbaik Sara sampai jannah.
***
Purnama mungkin lupa janjinya, malam ini padahal aku ingin dia terang. Ah, aku mengusir penyakit kufur ini. Harusnya, ketika hujan merona seperti ini pun, syukurku tetap harus membahana. Bukankah hujan selalu sama indah? Wangi dinginnya mampu meredam kepenatan napas.
Mira adikku satu-satunya telah menemui mimpi di kamarnya sendiri. Ibu sedang berusaha mematikan rindu, sedang sok ABG telponan sama Ayah yang kini bertugas di luar kota. Ya, sudah sebulan ini ayah ibu LDR. Pertama kalinya rumah sepi senyap tanpa kejahilan ayah.
Biasa ketika hujan, ayah akan selalu mengajakku ke lantai atas. Berdiri di depan jendela, menghitung butir-butir hujan yang singgah menemui kaca jendela. Tapi setelah itu, ayah sering akan pura-pura permisi entah kemana. Ternyata ketika aku turun ke lantai bawah, dengan santainya tanpa bersalah, ayah mengaku, “Ujan-ujan lebih anget sama ibumu.”     
Sebentar, mengapa di depan rumah tetangga depan yang kosong seperti ada yang berdiri sendirian? Kalau memang itu pemilik rumahnya, mengapa harus berdiri di depan rumah? Bulu kudukku pelan ikut berdiri. Aku yang sedari tadi duduk di depan jendela pintu rumah depan memberanikan diri untuk keluar. Rasa penasaranku melambung tinggi.
Kubuka pintu bersama bismillah, dan dapatlah lebih jelas siapa sebenarnya makhluk yang berdiri sendirian di garasi rumah kosong yang tak berpagar. Aku menebak pasti, karena lebat hujan, dia berhenti jalan dan sedang berteduh dengan beraninya di gang rumahku yang terkenal dengan angkernya.  
Kulihat kerudungnya lebar, memakai busana muslimah seperti yang biasa dipakai ibu dan Mira. Lalu, wajahnya setengah ditutupi masker. Hanya kelihatan sepasang matanya yang terus menatapi hujan. Seperti perempuan yang memakai cadar.
Gang rumahku ini terkenal sepi, kenapa aku tiba-tiba begitu khawatir dengan perempuan itu. Ingin memanggil Mira sudah tidur. Ingin memanggil ibu aku takut mengganggu. Maka, aku pun mengambil sikap.
***
Mentari siang ini, tak meninggalkan sisa apa-apa atas lebat hujan tadi malam. Bahkan air dalam jalan yang berlubang telah hilang di serap sengat mentari yang lebih ganas dari kemarin. Tanpa Sara, aku sendirian di perpustakaan. Selain memulangkan buku, aku juga tiba-tiba merasa ingin sendiri.
Aku seperti kehilangan arah. Rasanya gundah gulana. Seperti gejala yang akan mendatangkan sedih yang berkepanjangan. Bahkan dingin ac perpustakaan tak mampu membikin sejuk sesak dada. Memulangkan aku pada lampau yang sebenarnya masih kusetiai sampai kini.
Kemarin, saat pulang malam lagi dari kampus, ternyata di perjalanan hujan tiba-tiba meluncur dan kemudian menderas. Aku mengutuki diriku sendiri. Aku tidak pernah berani berinteraksi langsung dengan hujan, bahkan ketika harusnya dulu, anak seusiaku merengek pada ibu atau ayahnya untuk diizinkan bergelut memeluk hujan, aku hanya mengurung diri di rumah menonton televisi dengan tenang.
Aku benar-benar panik. Berdoa terus agar hujan cukup membasah lokal, tidak perlu sampai rumahku juga. Ternyata, tidak juga reda. Maka, janjiku kukuh mulai malam itu. Bahwa, tidak akan lagi pulang di atas pukul enam. Karena pun memang, aku ini perempuan. Meski sebenarnya di luar rumah tidak melakukan yang aneh-aneh, tetap saja aku perempuan timur yang tak boleh keterlaluan punya rasa nekat lebih dari lelaki. Apalagi, jika malam ditamui hujan.
Aku turun dari angkot. Kemudian bingung mencari tempat teduh. Rasa takut dan panikku semakin luar biasa. Aku terus menyebut asma Allah. Siapa lagi yang akan menolong jika begini. Aku kehabisan pulsa dan tidak kusangka, uang yang kugenggam hanya pas-pasan untuk membayar jasa supir angkot.
Sepasang kakiku terus mengajak jalan. Hingga akhirnya, aku melihat peluang untuk berteduh. Ada rumah kosong yang garasinya tak berpagar di gang yang biasa aku lewati. Rumahku sekitar 500 meter lagi. Aku memang biasa berjalan kaki, sebab tidak ada angkot yang masuk ke jalan rumahku.
15 menit kutunggu hujan mereda, tapi tetap dentumnya sama saja. Bukankah sebenarnya hujan ini indah? Kenapa aku tak pernah untuk suka?
Aku berhenti menatapi hujan. Kuamati rumah yang ada di depan. Aku tak sadar, ternyata aku tepat berhenti di depan rumah calon suami Sara. Sara pernah memberitahu, bahwa ternyata dia dikhitbah dengan tetangga jauhku. Tapi, aku tak kenal. Dan bulan depan, insya Allah akad akan terlaksana.
Ah, dalam ketakutan, aku cemburu pada Sara. Aku tak pernah bertemu calon kekasihnya itu, hanya mendengar dari Sara, insya Allah lelaki itu soleh, dan bonusnya, karirnya mapan serta banyak perempuan yang menilai lelaki itu tampan. Meski aku tahu, Sara tak akan berani blak-blakan berbicara rupa calon kekasihnya itu. Sara si pemalu dari gua bidadari. Biasa begitu dia kujuluki.
Kulihat sekilas, rumah calon suami Sara itu pintunya terbuka. Lalu, keluar lelaki muda yang wajahnya sangat kukenali.  Jantungku lupa pada laju detaknya yang biasa. Bergetar. Berguncang. Amat hebat. Aku memejamkan mata, berharap dapat menenangkan kekagatanku sendiri. Entah harus gembira atau berprasangka lain.
Laki-laki itu, keluar dari teras rumahnya. Lalu membuka payung untuk melindunginya dari basah. Kemudian berjalan menuju pagar rumahnya yang rendah, keluar menyebrang jalan dan berjalan ke arahku. 
Aku ingin menangis rasanya saat ini juga. Lelaki ini, lelaki yang acap kali kutemui dalam mimpi-mimpi. Lelaki yang selama 5 tahun ini tak pernah lagi kulihat, yang selama 5 tahun ini kunanti dan kucari. Dan kini, dia berdiri di depanku. Mengulur senyum serta mengulur sebuah payung yang digenggamnya.
“Ini pakailah payungku. Sudah malam dan sepertinya hujan masih lama redanya. Nanti, kalau lewat sini lagi. Boleh dikembalikan ke rumah yang depan itu. Permisi.”
Bukankah, 5 tahun yang lalu, dia pernah melakukan hal ini juga padaku?
***
-Epilog-
Seragam putih abu-abuku sudah setengah basah. Atap halte bus yang kecil tak bisa melindungiku utuh dari air hujan. Aku harus berteduh lagi siang ini. Jam pulang ke rumah pun terpaksa diundur, perut yang meronta lapar pun kuelus-elus agar dapat bersabar.
  Hatiku berdesir. Sebab tiba-tiba, abang senior yang berjarak dua tahun di atasku, yang sering kuperhatikan diam-diam sedari awal masuk sampai akan naik kelas dua ini ikut berteduh di tempat yang sama denganku.
Ada beberapa kali, aku meminta izin keluar kelas hanya untuk lewat di depan kelasnya. Dan terkadang, kudapati dia sedang serius mendengarkan guru menjelaskan atau dia sedang presentasi di depan kelas, terkadang juga mengobrol dengan temannya.
Saat melewati depan masjid, selalu yang kucari sepatunya. Dan jika berhasil kutemukan, ada bahagia yang tidak dapat kujelaskan. Saat melewati parkiran, sepasang mataku akan selalu bergerak tanpa kuminta, untuk menemukan sepeda motornya. Lantas, senyum begitu saja mengembang di wajahku.
“Adek biasa pulang jalan kaki, kan? Rumahnya sekitar 500 meter dari sini, kan? Ini, pakai aja dulu payung Abang. Hari ini, Abang pengen main hujan.”
***
(Terbit di Analisa, 16 November 2016)