Wednesday, June 14, 2017

Stop Mocking Jomblo!

Kali ini, lagi pengen nulis sesuatu yang em.. ‘sesuatu’-lah  xD


Aku akan bahas sedikit tipe-tipe jomblo. Bagi sebagian orang, kata jomblo itu kata yang membuat hati terbelah-terbelah, mudah sensitif, galau, merana, lelah, letih, lesu, lunglai, haelah nggak segitunya juga kali ya..

Dan buat beberapa orang, kata jomblo ituuuu, julukan yang nggak boleh ada padanya, pokoknya nggak boleh jomblo, pokoknya harus ada pasar eh pacar maksudnya, buat mereka ini, jomblo itu ngenes, nggak ada yang perhatian, nggak ada yang ngesms-in, nggak ada yang ngingeti makan, minum, mandi, shalat, tidur, belajar, plisss deh ah -____-

Dan buat sebagian yang lain, jomblo itu waktu yang tepat buat muhasabah diri, memperbaiki diri, berkarya, banyak beribadah, dan berbakti pada orang tua. Tipe jomblo yang terakhir ini, udah mulai banyak kok ya alhamdulillaah, seiring dengan banyaknya penulis yang peduli terhadap muda-mudi yang ‘gila’ cinta. Jadi, muda-mudi ini mungkin pernah pacaran then sakit hati or apalah dan akhirnya mikir, nggak ada guna dan nggak ada manfaatnya pacaran. Cuma buang-buang waktu, buang duit, buang masa muda, buang pahala, buang angin eh bukan ya? Salah satu penulis yang getol bener nulis tentang bullshitnya pacaran adalah bang Tere Liye, yang notabene, the only one of my fav fiction author.

Di tulisan ini, tujuan aku bukan buat mengklasifikan tipe-tipe jomblo secara lebih detail, itu sebagai paragraf pembuka saja. Sesuai dengan judul tulisanku di atas, aku cuma mau ngingetin sih, ke diriku ya terutama, dan ke pembaca. Aku cuma mau berbagi sedikit aja tentang ‘mock = mengejek’ jomblo itu. Tentu saja aku bukan ingin menghakimi orang lain, tapi menghakimi diriku sendiri.

Minggu yang lalu, aku pernah buat status gitu di fb, di fb ada status kenanganku satu tahun yang lalu tentang cerpen anakku yang terbit di salah satu media cetak kota Medan. Jadi, cernak (cerpen anak) itu judulnya, “Ramadan di Rumah Nenek”, ya pokoknya tentang cerita anak-anaklah. Terus aku komentari kira-kira begini,

“Kamu? Sudah Ramadan di rumah mertua?
Eh, maaf, Mblo
Cuma bercanda kok” Lalu, aku bagikan.

Serius, komentar di atas, itu aku niatkan emang cuma bahan candaan doang. Candaan yang ngejek diriku sendiri dan beberapa teman-teman seusiaku yang masih jomblo tentunya ya.

Beberapa hari kemudian, aku mulai berpikir, kok kayaknya nggak pantes ya. Okelah niatku nggak ada nyinggung orang lain. Cuma buat bahan candaan diri sendiri. Tapi, kayaknya kok ga pantes ya. Terlebih lagi, kalau ada yang bener-bener merasa “diejek” dengan komentarku tersebut. Ya Allah, berarti aku belum bisa menjaga tulisanku. Jadi, aku hapus segera. Aku ngerasa, itu kalimat bener-bener nggak layak dilontarkan.

Karena yah, nyari jodoh itu mungkin bagi sebagian orang nggak mudah. Mungkin, dia udah berusaha berkali-kali, lantas gagal berkali-kali. Dan dia harus membangkitkan semangatnya lagi buat ‘percaya’ diri nyari jodoh lagi. Karena, penolakan tentu saja membuatnya menjadi kurang percaya diri. Ya manusiawilah.

Atau ada seseorang yang pengeeeennn bener nikah, hanya saja, karena dia punya trauma yang cukup dalam tentang pernikahan, entah itu karena keluarganya yang broken home, atau maaf pernah mendapatkan pelecehan seksual, atau pernah pacaran, dan disakiti banget sama pacarnya itu (yang ini ya salah sendiri ya, harusnya memang tidak pacaran, tapi alhamdulillah kalau sudah taubat) Dan dia harus berjuang, melawan trauma yang ada dalam dirinya, untuk percaya, bahwa pernikahannya nanti nggak akan seperti itu. Apalagi, jika dimulai dengan niat dan cara yang baik, yakni taaruf yang sesuai sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.

Atau ada kekurangannya yang buat dia nggak percaya diri dan akhirnya sulit membuatnya untuk menjalin keseriusan dengan lawan jenis :’(

Mereka ini, mungkin kalau lihat komentarku yang tadi itu, mungkin benci benerrrr yak -____- Maafin ya, kalau komentar tersebut, mungkin pernah ada membuat sakit hati dari kalian. Meskipun nggak diniatin buat nyakiti kalian, tapi tetap aja komentarku itu memang nggak layak :’’’’( So, aku tulis ini buat minta maaf sekalian. Mungkin untuk teman-teman seusiaku, masalah kejombloan itu bukan masalah serius. Yah, baru-baru tamat kuliah, ada yang sibuk kerja, ada yang sibuk lanjut s2, mungkin hanya sebagian kecil yang berpikir untuk segera menikah. Nah, gimana kalau perempuan yang usianya sudah lebih dari 28 tahun dan laki-laki yang usianya sudah lebih dari 35, masalah jomblo itu, udah masalah yang serius ya kayaknya buat mereka. Dan, di beranda fbku tentu saja nggak hanya anak-anak seusiaku yang ada, tapi ada juga yang lebih tua. Kudu belajar menjaga perasaan yahhh :’’)  

Bener emang kata orang-orang yang bijak, jomblo itu bukan buat diejekin, dibully, or diapalah, tapi buat disemangatin menikah. Karena menikah itu kalau kata guru agama SMAku, pak Legiono –semoga Allaah mengampuni dosa-dosa beliau dan melapangkan kubur beliau–, nikah itu, enaknya 1%, 99 %-nya enak banget. Hehehe kami yang waktu itu menyimaknya pun terkekeh-kekeh.

Buat sebagian orang, mencari jodoh itu, susah-susah gampang (kalau udah jodohnya gampang aja biasanya, lancar aja gitu, ini kata orang tua yak dan kata mereka yang sudah menikah)

Jadi, jangan dicontoh ya apa yang pernah aku buat. Kita sesama jomblo semoga mendapat pasangan yang bertaqwa dan taat kepada Allaah subhana wata’ala dan Rasulullah shalalallahu ‘alaihi wassalam. Karena, kalau udah taat sama Allaah dan Rasulullaah shalallahu ‘alaihi wassalam, aman deh rumah tangganya insya Allaah. Dan buat yang sudah menikah, semoga Allaah terus meletakkan rasa cinta dan kasih sayang di hatinya dan dihati pasangannya, semoga bisa terus bersama-sama sampai jannah aamiin.. Dan buat kamu yang masih pacaran, kamu sebenarnya udah tahu pacaran itu haram, nggak boleh, dan belum tentu juga jadi jodoh, semoga Allaah memudahkanmu untuk memutuskan pacarmu dan kembali mengharap cintaNya saja. Jomblo di jalan Allaah itu mulia tapi lebih mulia lagi kalau siap nikah muda hehe..

Ditulis oleh Aisyah Haura Dika Alsa

Monday, June 5, 2017

Nulis itu dulu...

Pagi... Met pagiiiii (abaikan sapaan #alay 😁😁)

Beberapa hari ini, sering rindu sama masa-masa SMP dan SMA yang rajin bener nulis di kertas. Beratus-ratus halaman kok ya dulu tahan nulisnyaaa :'D 

Hm, sedih sih sebenarnya, karena kecintaan nulis ga segiat dulu. Dulu ya, kalau guru lagi nerangi di kelas aja, curi-curi waktu buat nulis, apalagi duduknya paling belakang hahaha ya Allaah maafin ya Bundaaaaa, udah ngerasain mah sekarang jadi guru. Warbiyyyassaahhh bener energi berdiri di depan kelas di antara puluhan murid dan harus berbagai cara ditempuh buat semuanya bisa fokus mendengarkan T.T 

Nulis itu dulu, kayak bener-bener jadi teman. Mau kelas ribut seribut-ributnya sampai kedengaran ke ruang guru, bisa tetap santai nulis. Mau lagi di kerjaan pun waktu jaga praktek en praktek lagi sepi nggak ada pasien juga tetap nulis, bisa lebih fokus karena tempatnya sepi. Lah iya cuma sendirian di praktek wkwkwkw xD

Kalau sekarang, hm, kurindu diskusi di sanggar, hmj, aku sudah rindu sedari duluuuu tapi sussssahhhh mau bilang. Rasanya pengen ngumpul like dulu, tapi... 

Jadi, sekarang salah satu semangat nulis itu, waktu adek-adek hmj atau teman-teman seangkatan kuliah ngunggah karyanya yang terbit di media cetak. 

Pas masih kuliah ditolak bapak redaktur tulisannya itu udah jadi makanan setiap minggu, tapi semenjak semester tua dan sampai udah selesai kuliah, kayaknya semangat nulis perlu ditumbuhkan kembali. Kalau bisa seperti dulu masih SMP dan SMA, nulis bisa bener-bener jadi temen. Meski ya, semenjak kuliah, nggak pede lagi nulis tentang kisah pribadi, paling sesekali, kok kayaknya lebih enak nulis kisah orang lain. Jadi, buat pembaca, meskipun dalam ilmu sastranya tulisan itu ada hubungannya dengan sastrawan, tapi bukan berarti semua kisah yang disajikan atau dituliskan itu kisah pribadi penulisnya. Salah besar kalau ngira begitu XDDD

Salah satu hal yang membuat semangat menulis memang gabung dengan teman-teman yang suka nulis atau biasa disebut komunitas menulis, yahhh banyak bener emang manfaatnya kalau kita ikut komunitas menulis, tapi yahhh, hari ini belum ada komunitas menulis khusus cewe yang saye tahu, kemarin udah sempat buat komunitas menulis khusus cewe tapi karena meranjak semester tua takut ga bisa menghandlenya, buat adek-adek yang  minta diadakan komunitas menulisnya lagi, maafkan kakak yaaaa T.T Kalian juga lagi mau beranjak semester akhirkaaaan? Jadi fokuslah dengan kuliahnya :**** Ga mudah, di situ PPL, kuliah, ngajuin judul, en kompri. Tapi kakak yakin dikadik bisa melewatinya, #pelukrindu

Kemarin ada lihat, nulis #random di salah satu fbnya komunitas menulis online, itu kayak yang... membangkitakan kembali gairah menulis xD, makanya jadi kepikiran buat nulis keresahan ini blog pribadi. Meskipun ga ikut gabung kegiatannya, tapi boleh juga diamalkan sendirian. Biar rutin lagi nulisnya :'D Yah, sambil sesekali mengenang dahulu kala ketika rajin-rajnnya nulis puisi di twitter en blog. Jadi, sambil kembali giat menulis sambil kuantitas dan kualitas bacanya juga kudu dinaikin. Karena menulis tanpa membaca itu sama aja kayak keramas ga pakai shampo. Oke. Bye.

Wednesday, May 3, 2017

Paginya Nek Yem

Karya : Aisyah Haura Dika Alsa


            Langit bergulat dengan abu dan biru; pagi menjamu. Sepertinya, akan seperti pagi kemarin;mendung. Cahaya mentari sedang permisi, mencari ranah yang lebih membutuhi. Lorong-lorong dan jalan-jalan berisik dipenuhi pengendara apa saja dengan tempat tujuan yang berbeda-beda. Tentu saja, macat di mana-mana tidak mau kalah. Setiap simpang penuh klakson sahut-sahutan apalagi yang tak dipasang lampu merah.
           
Aku tidak akan berkelanjutan menceritakan pagi di jalan-jalan, apalagi tentang pagi yang macat-macatan. Aku akan menceritakan pagi dari seseorang, yang biasa dipanggil, Nek Yem.
***

            Nama Nek Yem tidak asing di sekitar rumahnya pun di kampung-kampung saudaranya. Saudara dekat, saudara jauh, semua kenal Nek Yem. Jika hari ini hobiku facebook-an, Nek Yem hobi mendatangi undangan bahkan tak peduli jika kejauhan. Jika hari ini hobiku mendaki gunung, Nek Yem hobi mengunjungi saudaranya tak tanggung-tanggung. Jika hari ini hobiku berselfie ria, Nek Yem masih lihai menjahit meski usianya tua. Itu beberapa penggal sikap baik Nek Yem, siapapun pantas meniru itu.

            Nek Yem sudah menjanda 16 tahun, suaminya pergi duluan menuju pelukan Tuhan. Anak-anak Nek Yem ada 9, 3 laki-laki dan 6 perempuan. Saat ini, Nek Yem tinggal satu atap dengan anak perempuannya nomor delapan. Juga ada anak perempuannya nomor lima dan nomor sembilan tinggal di sebelah. Masih satu tanah, tanah warisan adik perempuan Nek Yem.
           
            Nek Yem sama seperti yang lainnya, menjalani pagi yang bermacam rasa. Nek Yem yakin bahwa setiap manusia memiliki kisah duka suka hidupnya masing-masing. Nah, kali ini, biarkan cerita ini menjadi pagi Nek Yem seutuhnya.
***

            Nek Yem adalah pejalan pagi yang baik. Nek Yem selalu bangun satu jam sebelum subuh. Mandi, berwudhu, dan tahajjud serta ibadah lainnya disiapkan Nek Yem dengan sungguh dan kerelaan jiwa. Setelah beribadah sepertiga malam terakhir, Nek Yem akan menunggu azan subuh mengayun-ngayun daun telinga. Syahdu pun merdu. Malaikat-malaikat pun berbondong-bondong berebut mendoakan ampunan untuk Nek Yem.

            Nek Yem orang yang beruntung. Sungguh setiap paginya selalu baik. Nek Yem tak pernah lalai berjumpa dengan Tuhannya saat manusia lainnya; lambungnya dekat dengan kasur. Mulut Nek Yem tak henti berkomat-kamit; memuji Tuhannya. Sedetik saja, rasanya ia tak rela jika tidak berzikir, ia akan merasa kerugian.

            Aku berdiam. Usiaku dua satu sedang Nek Yem delapan puluh enam. Tapi, mengapa pagiku tak pernah sebaik pagi Nek Yem?
***

            Pukul enam, Nek Yem turun dari kasurnya –Nek Yem beribadah duduk di kasurnya– menuju ruang tivi anak perempuannya nomor sembilan –yang rumahnya masih satu atap dengan anak perempuannya nomor delapan–. Seperti biasanya, Nek Yem menonton ceramah ustazah kondang di salah satu stasiun TV swasta. Nek Yem telah membenarkan peribahasa, “Menuntut ilmu sampai ke liang lahat”.

            Nek Yem takzim mendengar ceramah ustazah tersebut sambil mulutnya tak henti mengalun zikir. Sedang mulutku? Ah, masih mengeluarkan dengkur. Nek Yem, bisakah pagimu kupinjam sebentar atau relakah kau menjalani pagiku untuk mengubahnya menjadi lebih baik?
***

            Nek Yem keluar rumah anak perempuannya nomor sembilan menuju rumah anak perempuannya nomor lima; rumah paling ujung. Nek Yem biasa sarapan di rumah paling ujung ini. Sarapan nasi hangat dan telur dadar dengan potongan cabai dan bawang saja sudah lezat sekali bagi Nek Yem. Ah iya, Nek Yem tak pernah neko-neko soal makanan. Apa saja selama baik dan halal dengan gampangnya masuk ke perut Nek Yem. Nek Yem juga tak memiliki banyak pantangan makanan meski usianya terus beranjak tua. Hanya tak boleh berlebihan garam saja atau masakan yang keasinan. Favoritnya, memang masakan anak perempuannya nomor lima, masakannya sesuai lidahnya; rasa manis.

            Sambil sarapan, Nek Yem juga lanjut menonton ceramah kegemarannya di rumah anak perempuannya nomor lima. Pagi yang lezat dan baik sekali untuk Nek Yem. Ah, aku? Untuk sarapan di rumah saja tak sempat, apalagi mendengar ceramah seperti Nek Yem.
***

            Ceramah usai, Nek Yem duduk berdiam diri, lagi-lagi kembali melantunkan zikir. Sudah kubilang, sedetik saja begitu berharga bagi Nek Yem. Jika ia lupa, langsung cepat-cepat lidahnya tarik gas untuk kembali mengingat Tuhannya. Ah, Nek Yem, pasti setiap saat Tuhan pun mengingatmu.

            Nek Yem keluar, duduk-duduk lesehan di lorong halaman rumah dengan alas tikar seadanya. Nek Yem akan mencari tempat yang terkena sinar matahari. Tubuhnya yang masih sehat di usia hampir sembilan puluh pasti juga didapat dari efek sinar matahari pagi. Nek Yem tak hanya sekadar duduk-duduk seperti aku yang sok kekinian; duduk-duduk di kafe-kafe dengan wallpaper yang keren dan asyik menjepret diri lalu dipajang di media sosial. Biar seluruh orang tahu, bahwa aku gaul dan tak ketinggalan zaman.
           
            Di sekitar rumah itu, ada 2 kucing betina dan 1 kucing jantan berseliweran. Merekalah salah tiga teman-teman di pagi Nek Yem. Nek Yem selalu sengaja menyisakan sarapannya untuk dibagikan kepada gerombolan kucing itu –yang mendatangi Nek Yem dengan mimik lapar–.Gerombolan kucing itu juga tidak pilih-pilih makanan. Apa yang disajikan akan mereka makan. Sedang aku? Mengapa banyak sekali pantangan? Hewan saja bisa ‘apa adanya’, mengapa aku ingin ‘serba ada’?
***

            Pukul sembilan, penyakit ngantuk rawan sekali untuk mereka yang tidak banyak bergerak. Nek Yem salah satu dari mereka itu. Nek Yem tentu saja tidak lagi banyak mengerjakan pekerjaan. Jadi, paginya diisi dengan menjahit agar tidak mengantuk. Nek Yem menerima orderan menjahit. Nek Yem suka sekali bertanya pada anak-anak dan cucu-cucunya, jika ada pakaian yang koyak atau robek maka serahkan saja pada Nek Yem. Jangankan pakaian, tilam saja Nek Yem menerima dengan senang hati. Dalam waktu dua atau tiga jam jahitan itu akan selesai, bisa selesai satu macam atau beberapa macam.

Nek Yem memang senang menjahit, dari muda dulu sampai sekarang. Padahal, Nek Yem tak pernah ikut kursus menjahit. Jangankan kursus menjahit, sekolah saja Nek Yem tidak pernah. Baca dan tulis, Nek Yem tak tahu sama sekali. Tapi, Nek Yem cerdas. Nek Yem belajar menjahit otodidak. Ah, usia Nek Yem jauh sekali dari muda. Tapi, tenaganya masih sangat bermanfaat untuk sekitarnya. Sedang aku? Membantu sedikit saja sudah mengera tenaga.


            Nek Yem anti sekali tidur pagi. Sedikitpun, Nek Yem tak akan membawa dirinya tidur meski hanya golek-golek. Nek Yem bilang, tidur pagi nanti jadi penyakit. Maka harus ada yang dikerjakan agar tidak mengantuk atau makan saja makanan yang pedas, agar kantuknya hilang. Begitu kata Nek Yem.
***

            Mendung sudah sedari tadi undur diri. Saat Nek Yem selesai sarapan maka selesai juga riwayat mendung pagi ini. Seperti biasanya, Nek Yem berhasil menjalani pagi dengan baik. Ah, iya, Nek Yem pejalan pagi paling baik.
Nek Yem pun beranjak dari duduknya sebab hari mulai siang. Apalagi, jika bukan bergegas menuju panggilan Tuhannya saat siang? Ah, Nek Yem. Kau menjemput janji Tuhan dengan senang hati.
            Dan Nek Yem, pintaku, doakanlah aku, agar aku tak banyak “ah-ah” lagi saat menceritakanmu.
***
(Penulis adalah mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)


(Terbit di Koran Pantura, Edisi 21 Februari 2017)

Saturday, March 4, 2017

Mimpi Sepasang Karib




Turki! Turki!

Ya, ya, aku akan ke sana. Aku akan melihat bagian bumi yang pernah ditaklukkan Al-Fatih; yang disebut-sebut dalam sabda nabi. Aku akan ke sana. Aku pasti akan ke sana.

“Lulaaaaaaaaaaaaaaa! Awas jatuhhhhhhhhhh!”

Bruk! Aw!

            Jeritan Rosa menjadi percuma sebab aku telah lebih dulu jatuh ke tanah. Aku tidak sadar lorong ini dibuat 5 cm lebih tinggi dari permukaan tanah. Warga sekolah menatapku iba, dan sialnya, lebih banyak yang tertawa.

“La! Jalan pake apa sih? Ituuuu, mata yang dikasih Allah secara cuma-cuma dipergunakan dengan baik. Kalau aja pakai mata itu bayar. Kamu itu boros, mending sekalian nggak usah beli matanya!”

“Ya Allah, temannya jatuh malah dimarahi bukannya ditolongi. Hikss...” Aku bangkit dan kecewa menatap Rosa yang wajahnya tiba-tiba galak.

Kan masih bisa bangkit sendiri? Lagian juga jatuhnya bukan dari lantai lima.” Rosa memang selalu begitu. Dia bukan tipe orang yang cengeng dan tidak akan senang juga melihat orang lain cengeng. Ya, kecuali masalah yang serius.

“Jujur cepat! Apa yang dipikiri sampai kamu jadi bahan tertawaan kayak gitu?” Tanya Rosa penasaran. Hm, kalau urusan kepo memang Rosa ratunya!

“Oiya, tadi bu Linda baru aja nempel sesuatu di mading dan aku langsung baca. Mimpi kita, Rosa, mimpi kita! Mimpi kita akan terwujud!” Jawabku antusias

“Mimpi kita? Maksud kamu, pergi ke Turki?”

“Iya!”

“Serius, La?”

“Iya!”

Rosa langsung menarik tanganku kencang dan mengajak tubuhku berlari menuju mading dekat kantor guru. Dan saat tiba di sana, aku –lebih tepatnya, kami– kembali menjadi bahan tertawaan, ah bahan keanehan maksudku. Rosa tiba-tiba memelukku sambil teriak dengan histeris. “Kita ke Turki, La! Ke Turki!” Turki nan jauh di sana. Tapi, wangi tanahnya, rasanya seperti terus mendekat pada aku dan Rosa.
***

            Setelah melihat informasi yang ada di mading, kami mengambil langkah segera ke ruang guru untuk menemui bu Linda. Namun, sayangnya, bu Linda menahan informasi lebih lanjutnya. Bu Linda menjawab, besok ketika di kelas, bu Linda akan memperjelas. Saat ini, bu Linda harus segera pergi mengajar di lain tempat. Ya, bu Linda adalah wali kelas kami. Wali kelas paling cantik se-Indonesia Raya.
            “Kita harus bergerak lebih maju dari yang lain, Lula. Meski saat ini kita hanya mengandalkan kertas informasi. Setidaknya, ada hal yang sudah kita persiapkan lebih awal hari ini dan ketika besok bu Linda menjelaskan, kita bisa mempersiapkan hal yang lain.” Jawab Rosa penuh kobaran semangat.
            Setelah bel pulang sekolah mengalun kencang seperti biasanya tepat pukul 13.30 Waktu Indonesia bagian Lapar eh Waktu Indonesia bagian Barat maksudnya, aku dan Rosa bergegas pulang ke rumah untuk mempersiapkan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk melamar beasiswa dari pemerintah Turki. Kami menyiapkan hal-hal yang kami anggap mudah. Hal-hal yang masih tanda tanya untuk kami, tidak kami acuhkan terlebih dahulu.
            Turki memang negara impian kami, kota Istanbul tepatnya yang ingin kami tapaki lebih dulu. Menjejakkan kaki di sana dengan wajah gembira menatap jembatan Bosporus, tertawa riang membelah selat Bosporus dengan  menaiki kapal dan dengan muka yang ramah menyapa megahnya masjid Sultan Ahmed di sana.
            Rosa memimpikan Turki karena habis diprovokasi oleh abangnya yang telah bekerja di sana. Setiap hari, Rosa harus rela menyediakan telinganya atau sepasang matanya untuk mendapatkan cerita yang dijelaskan dengan abangnya baik dengan chat ataupun suara. Semenjak itu, Rosa juga ingin terbang ke sana. Melanjutkan pendidikan di sana. Dan, terjawablah doa-doanya selama ini dengan ditempelnya informasi di mading tentang beasiswa pemerintah Turki.
            Sedang aku, novel-novel tentang Turkilah yang telah memprovokasiku untuk benar-benar merasa ingin tinggal di sana. Bukankah hal yang begitu asyik ketika memiliki sahabat yang juga memiliki impian yang sama? Aku dan Rosa adalah salah satu dari sepasang sahabat itu!
***

            Aku dan Rosa telah sama-sama melewati tes wawancara. Yap, aku dan Rosa sama-sama lulus tes administrasi. Hingga kami dipanggil ke Kedutaan Turki yang ada di Jakarta untuk tes wawancara. Dan kini, hanya tinggal menunggu waktu untuk mendengar pengumuman. Doaku dan doa rosa semakin mengencang. Sebab, yang tertinggal kini hanya doa dan tawakal.
           
            Telpon genggamku berdering. Rosa memanggil.

“Lulaaaaaaaaaaaaaa! Turki, La. Aku ke Turki, La. Aku barusan cek email dan aku lulus. Kau juga lulus pasti. Cepat cek email!” Deg. Mimpi Rosa telah terwujud! Rosa keren! Selain keren dia sudah berhasil menyingkirkan ribuan pemburu beasiswa. Juga keren karena dia tahu saja, aku belum sama sekali mengecek email.

Tanpa menunda lagi, laptop telah kusambar dan kuletak di hadapku. Aku tidak lagi bisa menggambarkan keteganganku dan bagaimana jatungku kubawa sebisa mungkin untuk tetap tenang. Tapi, percuma saja, jantungku malah berdetak kian laju.

            Tubuhku tidak dapat bergerak. Jantungku seperti melemah. Bahagia Rosa malam ini, aku tidak tahu bagaimana rasanya.
***

Epilog
            Aku benar-benar kecewa saat tahu pengumuman itu menyatakan aku gagal. Aku bahkan tidak sanggup menghubungi Rosa dalam waktu dua hari. Rosa pasti bahagia sekali. Meski begitu, di waktu sibuknya mempersiapkan keberangkatannya untuk melanjutkan kuliah ke Turki, Rosa tetap bersedia hadir menghiburku dengan datang ke rumah membawa makanan-makanan kesukaanku. Dan, seminggu setelah pengumuman itu, Rosa datang ke rumahku. Tapi, tidak datang dengan membawa makanan kesukaanku lagi. Rosa membawakan berita yang benar-benar membuat jantungku akan lepas dari posisinya. Kabar berita yang lebih mencengangkan, sebab aku benar-benar tidak menyangka Rosa akan menyampaikan berita itu.
            Dan kini, Rosa yang berada di belakangku harus rela merasa jengkel –merasa seperti obat nyamuk– Sebab, ia tidak menikmati keindahan selat Bosporus seperti yang aku rasakan saat ini. Siapa yang tidak jengkel jika melihat seorang yang cintanya telah dipendam sejak lama dan akhirnya bisa bersatu dalam ikatan walimah, bersama-sama saling bercengkrama di tanah impian sukma.
            Laki-laki yang sedang bercengkrama bersamaku saat ini di atas kapal yang membelah selat Bosporus ialah laki-laki yang dulu menatapnya aku bahkan tak berani. Bertemunya aku senang tapi juga merasa takut sekali. Laki-laki yang juga begitu menyayangi Rosa dengan sepenuh hati. Ya, kalian benar. Selain sahabatku, Rosa adik iparku juga kini.
***
(Aisyah Haura Dika Alsa adalah mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
Terbit di Mimbar Umum, Sabtu, 4 Maret 2017

Monday, February 6, 2017

Kemana Dinda?

Harusnya ketika kau pergi, maka permisi. Harusnya ketika aku menanti, maka kau harus kembali……..
Gerak tangan kananku terhenti. Bukan karena penaku macetnya kambuh lagi. Bukan pula karena aku kehabisan kertas di sini. Aku hanya bingung. Kemana balasan surat ini akan mengepakkan sayap, jika alamat tak pernah kau tinggalkan untukku. Kemana surat balasanku akan berlabuh, untuk menanggalkan rindu-rindu setelah aku, kau tinggal pergi.
Aku mulai menulis lagi…
2 menit… 3 menit… 4 menit…
Aku berhenti menulis lagi. Kali ini, bukan karena kebingungan yang mengganggu tadi. Namun, dadaku perih. Sepasang mataku ternyata telah hujan. Pipi-pipiku diwarna banyak basah. Harusnya, kau tak boleh begini. Bagaimana mungkin kau pergi tiba-tiba lantas tak menorehkan jejak untuk sisa? Harusnya, kau biarkan aku tahu kotamu kini.
Harusnya, kau…
***
Namaku, Salsa, mahasiswi semester empat di salah satu universitas swasta kotaku. Aku mencintai buku-buku, layaknya mencintai bunyi hujan, bau hujan, ah maksudku, hujan dan sekawanannya. Selain itu, aku menyenangi senyap meskipun aku lebih sering berada di kalangan ramai orang. Setelah itu, hal yang tidak aku suka, tentu ketika aku kehilangan gairah. Ketika bodohnya aku menjauh dari Tuhanku. Jika bukan untuk beribadah pada-Nya, lalu untuk apalagi hidupku?
Tiba-tiba, ada berpotong-potong kenang yang ingin berlarian masuk ke kepalaku, ke jiwaku. Kenang tentang seorang teman berkulit putih yang sungguh putih, marganya Lubis, wajahnya penuh merah jambu jerawat manis, hidungnya mancung, bola matanya indah coklat, tubuhnya mungil, gayanya selalu kocak, singkatnya, dia cantik dan humoris.
Potongan-potongan kenang tadi menjalar dan menebar dengan cepat ke seluruh tubuhku. Seperti bulir-bulir awan begitu cepatnya memeluk tanah. Dia sama seperti hujan, indah. Sama seperti terang purnama atau seperti jingga-jingga yang disenangi siapa saja.
Entah mengapa, aku merasa selalu dispesialkannya. Padahal, kami tak pernah pulang bersama, tak pernah berpergian berdua, tak pernah melakukan hal-hal yang menyenangkan bersama-sama. Hanya terkadang, mengenyangkan perut bersama di masjid ketika siang, shalat zuhur bersama atau terkadang mengerjakan tugas kuliah bersama teman-teman yang lainnya. Selalu melakukan hal-hal yang biasa.
Tetapi, dia selalu baik. Ketika pulang dari jalan-jalan ke Thailand, aku kebagian oleh-oleh darinya. Ketika orang tuanya pergi naik haji, aku lagi-lagi kebagian oleh-oleh. Dan pernah hari itu, bersama surat dan sebuah kotak bulat yang mungil, dia berikan padaku. Isi kotak bulat itu, tasbih dan hiasan jilbab indah berwarna merah. Sungguh, dia memang baik hati.
Sampai akhirnya, aku membalasnya dengan memberikan sebuah pena yang mirip dengan penaku. Hanya berbeda warna, penaku hitam, penanya biru. Tentu kami saling memberi dengan cara sembunyi-sembunyi. Takut teman lain banyak yang cemburu. Ah, iya, bukankah saling berbagi antarteman itu hal yang biasa? Tapi, ketika dia yang memberi, aku selalu merasa dispesialkan. Ah, dia memang teman yang baik. Teman-teman yang lain pun mengakui.
Ketika aku sibuk dengan padat aktivitas organisasiku, ada dia yang baik memberi kabar tentang tugas ataupun keadaan di kuliah. Beberapa bulan lalu, aku diutus dengan beberapa teman organisasi internalku menghadiri musyawarah wilayah di Palembang. Maka, dia sering menanyakan bagaimana kabarku, mewartakan apa-apa saja hal-hal baru selama aku alpa dalam kuliah. Tanpa pernah kutanya dan kuminta.
Saat ini, namanya sering disebut-sebut. Lalu, aku akan selalu diam dan entah mengapa dadaku akan tiba-tiba nyeri. Maka teman lain akan menjawab. “Dinda sudah pindah…..”
Aku masih ingat malam itu. Malam pedih perih. Wajahku hujan, aku menangis diam-diam, saat ada acara pengkaderan di organisasiku. Beberapa hari dia tak masuk kuliah. Padahal, dalam satu mata kuliah, kami mendapat kelompok yang sama. Itulah awal dia menghilang. Dan kami anggap hal yang biasa, mungkin dia sedang ada acara atau liburan lagi ke negera tetangga. Hari berikutnya, dia alpa lagi. Aku mulai bertanya-tanya dalam hati, sebab tak ada kabar yang pasti. Bahkan dari Sri, salah satu teman terdekatnya. Dan mirisnya, aku terlalu sibuk dengan organisasiku, sampai rasanya selalu lupa ingin menanyakan kabarnya secara langsung.
Dan malam itu, saat jadwal istirahat, aku bertanya pada Sri. Dan Sri dengan nyeri menjawab pesan singkatku. Bahwa, Dinda telah pindah. Aku masih menerima ketika Dinda Pindah kampus dan kota. Namun, yang sulit kuterima adalah jejak-jejaknya sedikitpun tak dibiarkannya bersisa. Ponselnya tidak aktif, media sosialnya juga tidak aktif. Kata Sri, Dinda menelponnya dengan nomor wartel yang ada di Aceh. Dan hanya memberi kabar tentang itu saja.
Sampai hari ini, aku masih sulit menerima. Sampai hari ini, aku masih ingin dia meminta maaf, bahwa diam-diam hujan air mata telah banyak kuluruh untuknya. Dia harus memelukku, bahwa dia telah meninggalkan rindu yang menderu-deru. Dia harus pulang kembali, sebab dadaku selalu perih ketika mengingat atau mendengar namanya. Aku merasa sangat kehilangannya.
Ya, itu jika aku ingin egois. Maka, hal yang paling baik dan bisa kulakukan adalah mendoakannya. Berharap dan memohon pada Tuhan, dia selalu dilindungi dan baik-baik saja. Berharap suatu hari, dia akan hadir kembali sebagai teman yang tetap baik hati.
Kini, tiada lagi yang berani menjawab pertanyaan dosen dengan humor. Kini, berkurang satu, teman yang sering menawariku bekalnya. Kini, berkurang satu, teman yang sering bertanya-tanya tentang kuliah. Kini, berkurang satu, teman yang sering mengelus lembut lengan tanganku. Kini, berkurang satu, teman yang senang memberiku oleh-oleh. Kini, berkurang satu, teman yang sering meminjam buku-bukuku. Kini, berkurang satu, teman yang sering menyemangatiku melalui pesan-pesan singkatnya. Kini…ah.
Aku kehilangan teman, yang baru kusadari, bahwa ternayata, aku begitu menyayanginya, setelah kepergiannya.
***
-Epilog-
Beberapa bulan yang lalu..
Namaku, Dinda, mahasiswi semester empat di salah satu universitas swasta kotaku. Jarak rumah dan kampus memang jauh, tiap pagi harus kutempuh dengan laju. Tak boleh sedikitpun pergi ke kampus bergeser dari jadwal yang biasa. Sebab, jika begitu, maka aku harus sanggup menikmati macet di tengah kota, harus sungguh berlari-lari mengejar pintu kelas yang tak lagi terbuka; sebab dosen sudah masuk dan mengajar.
“Assalamualaikum, boleh saya masuk, Pak?”
“Waalaikumsalam. Masuk lah cepat.”
Hei, itu bukan aku yang telat. Namun, itu….Salsa…
“Wan, makasiah novelnya. Pinjam novel yang lain lagi boleh?”aku mengembalikan novel yang dipinjamkan Salsa padaku seminggu lalu setelah mata kuliah berakhir. Aku memang memanggil Salsa dengan sebutan “Wan”; panggilan akrab antara kami. Wan, sebutan “Kawan” jika dipendekkan.
“Boleh-boleh, besok ya insya Allah awak bawa. Ingatkan ntar malam, Wan.”balasnya dengan senyuman semringah, memperlihatkan dua lesung pipi kanan kirinya yang aduhai.
(Pengarang adalah mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)

Aisyah Haura Dika Alsa adalah mahasiswi semester VII jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU. Karya-karyanya sudah tersebar di beberapa media lokal.
(Terbit di Harian Medan Bisnis, 5 Februari 2017)
http://www.medanbisnisdaily.com/e-paper/2017-02-05/#10