“Ratih, cerpen
Pangeranmu terbit hari minggu kemarin.” Tiba-tiba suara Jay muncul dari balik
simpang koridor. Suara teriakan Jay membuat orang-orang yang ada di koridor
lantai tiga kampus memperhatikan Jay, termasuk kami yang sedang duduk di depan
kelas menunggu dosen tiba. “Aih, si Jay ini memang, apa hidupnya resah kalau
nggak buat orang malu.” Gerutu Dia kesal dengan volume berbisik.
Jay tiba dengan
wajahnya yang ceria seperti biasa. Jay memberi koran yang digenggamnya kepada
Dia. “Terima kasih, Jay. Temanku yang rajin beli koran. Tapi papaku jaaaauh
lebih dulu rajin beli koran.” Dia membalas dengan senyum di wajahnya. “Setiap
hari koran itu ada di rumahku.” Sambungnya kali ini dengan wajah dan intonasi
yang dingin.
“Hm, begitu ya?
Tapi, suatu hari nanti, setiap minggu, setiap koran yang papamu beli, akan ada
namaku di sana sebagai penulis berbakat abad ini.” Balas Jay tak mengalah.
“Setiap minggu?
Setiap koran? Papaku cuma langganan koran ini. Nggak ada langganan koran lain.”
Ekspresi Dia membalas ocehan Jay masih sama. Pura-pura tersenyum di awal lalu kalimat terakhirnya menjadi
intonasi yang dingin. Aku tersenyum diam-diam melihat ekspresi khasnya itu.
Jay membuang
napas “Apa hidupmu resah kalau nggak buat orang malu, Tih?” Jay berbisik pada
Dia. Tapi kami masih bisa mendengar. Dia menjawab ‘iya’ dan tertawa, sebab
kalimat kesal miliknya tadi pindah ke mulut Jay.
Beberapa saat
kemudian, “Aku mau ke kamar mandi.” Dia bangkit dari duduknya dan saat berjalan
empat langkah, tidak sengaja menyenggol binder dan pensil yang sedang kupegang,
membuat binder itu jatuh dengan posisi terbuka. Dia terkejut sejenak tapi
kemudian malah terdiam lama, mengamati sebuah benda yang baru saja kugambar di
binderku. Aku menyadari dia memperhatikan sesuatu. Dengan secepatnya, aku
mengambil binder dan pensilku. Dia menatapku dengan matanya yang dingin dan
tajam sedang aku bergegas masuk ke dalam kelas.
***
Mata kuliah
Menulis tengah berlangsung. Dosen yang mengampunya menyuruh kami presentasi
individu ke depan kelas menceritakan tentang penulis favorit. Dan tiba giliran
Dia.
“Untuk
teman-teman yang suka menulis dan rajin baca koran pasti sudah tidak asing
dengan penulis ‘Prince’. Iya, itu nama penanya. Prince adalah satu-satunya
penulis fiksi favorit saya. Mungkin karena sampai hari ini Prince masih
merahasiakan identitasnya. Jadi, meskipun sudah terkenal, Prince tetap tidak
ingin membuka identitas aslinya. Dan menurut saya, itu bentuk rendah hatinya.
Hanya dua hal yang saya tahu tentang identitas Prince, Prince seusia kita dan
juga berasal dari kota kita. Saya tahu dua hal itu karena pertama kali membaca
tulisan Prince, Prince pernah menuliskan identitasnya. Bisa dilihat di sini.”
Dia mengajak kami untuk melihat ke layar proyektor. Di layar proyektor muncul
gambar sebuah foto koran yang memuat tulisan Prince dengan judul tulisan,
“Misteri Gambar Zaidan”. Lalu dia memperbesar gambar ke arah bawah untuk
memperlihatkan tulisan di bawah akhir tulisan Prince. “Penulis adalah siswa kelas 5 SD di sekolah swasta Medan”
“Ayah saya telah
berlangganan koran nasional ini sejak saya kelas 5 SD. Dan itu pertama kalinya
juga saya membaca karya Prince. Cerpen anak yang bercerita tentang gambar tas
kantor yang selalu digambar Zaidan. Dikisahkan, Zaidan yang berusia 9 tahun
terus menggambar tas kantor berbentuk persegi panjang berwarna hitam. Lalu,
setelah selesai menggambar, gambar itu akan dirobek-robeknya. Dan itu menjadi
perhatian kedua orang tuanya. Ayahnya memarahi Zaidan karena membuang-buang
kertas. Tapi, ibunya menenangkan Zaidan yang menangis dan bertanya, kenapa
Zaidan selalu menggambar tas kantor itu
lalu setelah selesai malah merobek-robek gambarnya. Dengan terisak Zaidan
menceritakan kejadiannya. Bahwa waktu itu, Zaidan penasaran dengan isi tas
kantor ayahnya yang diletak di atas meja makan. Lalu, Zaidan membongkar tas
itu. Saat membongkar tidak sengaja Zaidan membuat sebuah kertas dokumen yang
paling penting terkoyak. Ayahnya marah sekali dan memukul Zaidan. Semenjak itu,
Zaidan merasa sangat takut pada ayahnya. Zaidan merasa ayahnya lebih sayang
terhadap tas kantornya daripada dirinya. Mendengar hal itu membuat orang tua
Zaidan terperangah, terutama ayahnya.”
“Begitu kisahnya.
Cerpen ini sangat bagus menurut saya waktu itu bahkan sampai sekarang. Dan
terbit di media nasional yang ditulis oleh anak berusia 11 tahunan. Misteri di
sini, bukan mengisahkan kisah makhluk halus atau hantu. Tapi, kisah yang
mengandung nilai yang menyentuh. Dan bisa dilihat ilustrasi gambarnya, Prince
sendiri yang menjadi ilustrator untuk cernaknya. Hanya saja satu kurangnya
menurut saya, di akhir kisah, tidak diceritakan, ayahnya meminta maaf pada
Zaidan. Kisahnya berakhir begitu saja setelah Prince menuliskan bahwa orang tua
Zaidan terperangah, terutama ayahnya.”
“Beberapa tahun
yang lalu, saya mencari tahu lebih detail tentang Prince di internet. Tapi,
yang saya dapatkan hanya tentang, Prince juga menulis di media cetak lain dan
tidak hanya koran lokal atau nasional, tetapi juga majalah nasional. Saya tidak
tahu tulisan Prince yang pertama kali terbit di media cetak. Namun di layar
proyektor inilah tulisan Prince yang pertama kali saya baca dan saya telah
membaca dan mengoleksi 38 judul karya Prince berupa cerpen, cernak dan puisinya
yang telah terbit di koran nasional ini selama 9 tahun terakhir.”
“Karena, ayah
saya hanya berlangganan koran nasional ini, jadi saya sebelumnya tidak pernah
membaca karya Prince di media lain. Prince juga tidak memiliki akun media
sosial. Pernah beberapa kali Prince menuliskan itu di bagian akhir tulisannya.
Dan sampai hari ini, setahu saya, nama pena Prince belum pernah menerbitkan
buku. Baik buku dengan judul baru ataupun buku antologi karya-karyanya. Itu
saja yang dapat saya sampaikan tentang Prince.”
***
Jay menghampiri
tempat duduk Dia, yang duduk di barisan depan; tepat di depan dudukku.
“Ratih, waktu
itu Bu Meli bilang setelah presentasimu, boleh jadi Prince satu kampus dengan
kita dan boleh jadi juga karena keseriusannya menulis fiksi, dia mengambil jurusan
yang sama dengan kita. Atau jangan-jangaaannnn, dia satu kelas sama kita!” Jay
mengoceh seperti biasa. Membuat aku geli karena gaya aktif dan konyolnya. “Tapi,
Ratih bilang, hanya waktu kelas 5 SD Prince nulis identitasnya, setelah itu
nggak pernah lagi sama sekali. Menurutku, bisa jadi dia kuliah di luar kota
atau juga di luar negeri.” Sari yang merespon. “Nggak, nggak, tulisan Prince
banyak menceritakan spot di Medan. Kemungkinan besar dia masih tinggal di Medan.
Ya kan,Tih?” Jay meminta persetujuannya. Dia tersenyum dingin, “Kalau gitu, misal
dia ada di kelas kita, menurutmu siapa orangnya? Karena nama penanya Prince,
kemungkinan besar dia laki-laki. Dan laki-laki di kelas kita cuma ada 3 orang.”
Dia bertanya serius pada Jay, membuat Jay sedikit kaget karena awalnya Jay
hanya bergurau.
“Hm, oke,
dimulai dari si Rado..., ah nggak mungkin, nggak mungkin anak ini, karena
Prince nggak suka mengekspos dirinya, si Rado ini suka kali cari perhatian
dosen dan baca status facebook yang panjang-panjang aja dia nggak mau. Apalagi
ngabisin satu buku meski halamannya cuma sepuluh. Lalu ke siiiiii, Raihan. Hm,
Raihan cerdas, teliti memperhatikan, tapi nggak-nggak, aku bahkan nggak pernah
lihat dia baca buku. Penulis itukan hobi baca buku. Bawa buku kemana-mana. Nah,
tinggal satu, kalau aku ngaku, aku ini Prince, kalian percaya nggak?” Jay berkacak
pinggang. “Enggak.” Dia dan Sari serentak menjawab dingin rasa percaya diri Jay
yang tinggi. Jay mengerucutkan bibirnya ke depan.
***
“Jay, aku pinjam
laptopmu. Laptopku sama Sari. Sari jam 9 nanti baru sampai perpus.” Dia
tiba-tiba datang ke meja kami.
“Ratih, gadis
yang baik hati, bisa nggak nada suaramu nggak terdengar dingin seperti itu,
padahal dikau sedang butuh bantuanku.”
Dia membuang
napasnya. “Kalau nggak mau pinjami yaudah nggak masalah.”
“Eits, gitu aja
merajuk.” Dia tanpa aba-aba dari Jay langsung mengambil laptop dari hadapan Jay.
Beberapa menit kemudian,
“Jay.” Panggil
Dia pelan dengan mimik dinginnya. Matanya masih menatap layar laptop Jay.
“Kenapa, Ratih
yang baik hati?”
“Kau belum log
out emailmu. Ini kayaknya email penting dan nggak boleh orang lain lihat.”
Mendengar itu, aku menegakkan dudukku; yang duduk di sebelah kiri Jay. Pandanganku
beralih dari layar laptopku ke arah laptop Jay yang ada di sebrang sebelah
kananku. Aku mengingat sesuatu.
“Email? Sejujurnya,....
aduh aku malu bilangnya, Tih. Jangan kaget yah hehe..”
Dia terperangah.
“Jadi, jadi kau nggak bercanda waktu itu di kelas..”
“Bercanda di
kelas? Aih, dikau mengingat aku berarti ya, Tih hehe..”
“Aku lagi nggak mau
dengar candaanmu sekarang. Ini emailmukan? Biar aku log out.”
“Hm, okelah aku
jujur, aku nggak punya email, Ratih. Kirim tugas aja aku numpang sama email Raihan.
Itu email Raihan kayaknya. Kemarin dia pakai laptopku.” Jawab Jay lesu.
Dia makin
terperangah. Terdiam. Lalu menatapku. Pandangan kami beradu. Dia menatapku
dengan penuh kecurigaan kali ini. Bahkan lebih curiga dari melihat aku
menggambar tas kantor persegi panjang berwarna hitam di binderku seminggu lalu.
***
Epilog
Waktu itu, aku
lupa membawa laptop dan tugas harus segera dikirim. Sedang Jay juga tidak
memiliki email. Jadi, aku menggunakan emailku yang khusus untuk kuliah. Tapi di
waktu itu juga, tiba-tiba, Om Yanto mengabari, aku harus segera mengecek email
yang khusus untuk mengirim karya ke koran. Aku merasa sudah mengeluarkan akun
emailku. Karena itu email yang sangat penting jadi tidak boleh sembarangan. Tapi
mungkin sinyal tidak stabil waktu itu. Jadi email menulisku batal dilogout dari
laptop Jay. Akhirnya, email itu sudah sangat cukup untuk memecahkan identitas Prince.
Dan Dia terdiam beberapa menit waktu itu. Dan hanya mengatakan, “Aku logout
emailnya.” Setelah itu, tidak ada lagi suaranya. Dan aku menunggu beberapa hari
kemudian, tapi tidak ada kejadian apapun. Berarti dia tidak menceritakan kepada
siapapun, termasuk kepada Sari. Hal itu pasti sangat membuatnya terkejut dan
itu membuatnya menjadi semakin dingin padaku.
9 tahun yang
lalu, aku merasa sangat merindukan
ayah. Tidak ada kenangan indah yang kuingat bersama ayah. Ayah jarang pulang
dan ketika pulang hanya bertengkar dengan ibu. Dan ketakutanku semakin besar
pada ayah, saat aku tidak sengaja mengoyak dokumen penting ayah. Aku ingin
sekali menulis tentang ayah tapi hanya kenangan itu yang aku punya. Jadi aku
menjadikannya sebuah cernak dan mengirimkannya ke media nasional. Aku tidak
percaya diri menuliskan nama asliku saat menulis cernak itu. Karena aku tidak
ingin orang-orang menduga itu kisahku dan membuat pembaca memandang jelek ayahku.
Saat usiaku 9
tahun, 6 bulan setelah insiden tas kantor itu, ayah dan ibu bercerai. Membuat
aku dan ibu tinggal di rumah Om Yanto, adik ibu. Om Yanto adalah redaktur
sastra di koran lokal, juga sebagai penulis produktif. Om Yantolah yang
berperan menjadi guru menulisku. Dua tahun setelah perceraian itu, ayah
meninggal. Aku tidak menangis waktu itu. Tapi, karena aku tidak menangis waktu
itu, membuatku sampai hari ini malah jadi sering menangis saat malam karena
merindukan ayah. Dan saat merindukan ayah, dengan spontan aku menggambar tas
kantor miliknya. Karena hanya itu kenangan yang paling membekas bersama ayah.
Aku mengikuti
jejak Om Yanto menulis dengan nama pena. Dan hanya satu setengah tahun aku
menulis dengan memakai nama asli, setelah tulisanku untuk pertama kalinya tembus
media nasional saat usiaku 11 tahun, aku malah merasa nyaman memakai nama pena
sebab aku juga tidak suka dikenal banyak orang.
Dan
Dia bilang, hanya satu kekurangan cernak, Misteri Gambar Zaidan, bahwa ayah
Zaidan tidak meminta maaf pada Zaidan. Karena memang, ayahku tidak pernah
melakukannya.
(Penulis
adalah Alumni FKIP UMSU)