Thursday, April 4, 2019

PRINCE

Karya : Aisyah Haura Dika Alsa

“Ratih, cerpen Pangeranmu terbit hari minggu kemarin.” Tiba-tiba suara Jay muncul dari balik simpang koridor. Suara teriakan Jay membuat orang-orang yang ada di koridor lantai tiga kampus memperhatikan Jay, termasuk kami yang sedang duduk di depan kelas menunggu dosen tiba. “Aih, si Jay ini memang, apa hidupnya resah kalau nggak buat orang malu.” Gerutu Dia kesal dengan volume berbisik.
Jay tiba dengan wajahnya yang ceria seperti biasa. Jay memberi koran yang digenggamnya kepada Dia. “Terima kasih, Jay. Temanku yang rajin beli koran. Tapi papaku jaaaauh lebih dulu rajin beli koran.” Dia membalas dengan senyum di wajahnya. “Setiap hari koran itu ada di rumahku.” Sambungnya kali ini dengan wajah dan intonasi yang dingin.
“Hm, begitu ya? Tapi, suatu hari nanti, setiap minggu, setiap koran yang papamu beli, akan ada namaku di sana sebagai penulis berbakat abad ini.” Balas Jay tak mengalah.
“Setiap minggu? Setiap koran? Papaku cuma langganan koran ini. Nggak ada langganan koran lain.” Ekspresi Dia membalas ocehan Jay masih sama. Pura-pura tersenyum  di awal lalu kalimat terakhirnya menjadi intonasi yang dingin. Aku tersenyum diam-diam melihat ekspresi khasnya itu.
Jay membuang napas “Apa hidupmu resah kalau nggak buat orang malu, Tih?” Jay berbisik pada Dia. Tapi kami masih bisa mendengar. Dia menjawab ‘iya’ dan tertawa, sebab kalimat kesal miliknya tadi pindah ke mulut Jay.
Beberapa saat kemudian, “Aku mau ke kamar mandi.” Dia bangkit dari duduknya dan saat berjalan empat langkah, tidak sengaja menyenggol binder dan pensil yang sedang kupegang, membuat binder itu jatuh dengan posisi terbuka. Dia terkejut sejenak tapi kemudian malah terdiam lama, mengamati sebuah benda yang baru saja kugambar di binderku. Aku menyadari dia memperhatikan sesuatu. Dengan secepatnya, aku mengambil binder dan pensilku. Dia menatapku dengan matanya yang dingin dan tajam sedang aku bergegas masuk ke dalam kelas.
***

Mata kuliah Menulis tengah berlangsung. Dosen yang mengampunya menyuruh kami presentasi individu ke depan kelas menceritakan tentang penulis favorit. Dan tiba giliran Dia.
“Untuk teman-teman yang suka menulis dan rajin baca koran pasti sudah tidak asing dengan penulis ‘Prince’. Iya, itu nama penanya. Prince adalah satu-satunya penulis fiksi favorit saya. Mungkin karena sampai hari ini Prince masih merahasiakan identitasnya. Jadi, meskipun sudah terkenal, Prince tetap tidak ingin membuka identitas aslinya. Dan menurut saya, itu bentuk rendah hatinya. Hanya dua hal yang saya tahu tentang identitas Prince, Prince seusia kita dan juga berasal dari kota kita. Saya tahu dua hal itu karena pertama kali membaca tulisan Prince, Prince pernah menuliskan identitasnya. Bisa dilihat di sini.” Dia mengajak kami untuk melihat ke layar proyektor. Di layar proyektor muncul gambar sebuah foto koran yang memuat tulisan Prince dengan judul tulisan, “Misteri Gambar Zaidan”. Lalu dia memperbesar gambar ke arah bawah untuk memperlihatkan tulisan di bawah akhir tulisan Prince. “Penulis adalah siswa kelas 5 SD di sekolah swasta Medan”
“Ayah saya telah berlangganan koran nasional ini sejak saya kelas 5 SD. Dan itu pertama kalinya juga saya membaca karya Prince. Cerpen anak yang bercerita tentang gambar tas kantor yang selalu digambar Zaidan. Dikisahkan, Zaidan yang berusia 9 tahun terus menggambar tas kantor berbentuk persegi panjang berwarna hitam. Lalu, setelah selesai menggambar, gambar itu akan dirobek-robeknya. Dan itu menjadi perhatian kedua orang tuanya. Ayahnya memarahi Zaidan karena membuang-buang kertas. Tapi, ibunya menenangkan Zaidan yang menangis dan bertanya, kenapa Zaidan selalu menggambar  tas kantor itu lalu setelah selesai malah merobek-robek gambarnya. Dengan terisak Zaidan menceritakan kejadiannya. Bahwa waktu itu, Zaidan penasaran dengan isi tas kantor ayahnya yang diletak di atas meja makan. Lalu, Zaidan membongkar tas itu. Saat membongkar tidak sengaja Zaidan membuat sebuah kertas dokumen yang paling penting terkoyak. Ayahnya marah sekali dan memukul Zaidan. Semenjak itu, Zaidan merasa sangat takut pada ayahnya. Zaidan merasa ayahnya lebih sayang terhadap tas kantornya daripada dirinya. Mendengar hal itu membuat orang tua Zaidan terperangah, terutama ayahnya.”
“Begitu kisahnya. Cerpen ini sangat bagus menurut saya waktu itu bahkan sampai sekarang. Dan terbit di media nasional yang ditulis oleh anak berusia 11 tahunan. Misteri di sini, bukan mengisahkan kisah makhluk halus atau hantu. Tapi, kisah yang mengandung nilai yang menyentuh. Dan bisa dilihat ilustrasi gambarnya, Prince sendiri yang menjadi ilustrator untuk cernaknya. Hanya saja satu kurangnya menurut saya, di akhir kisah, tidak diceritakan, ayahnya meminta maaf pada Zaidan. Kisahnya berakhir begitu saja setelah Prince menuliskan bahwa orang tua Zaidan terperangah, terutama ayahnya.”
“Beberapa tahun yang lalu, saya mencari tahu lebih detail tentang Prince di internet. Tapi, yang saya dapatkan hanya tentang, Prince juga menulis di media cetak lain dan tidak hanya koran lokal atau nasional, tetapi juga majalah nasional. Saya tidak tahu tulisan Prince yang pertama kali terbit di media cetak. Namun di layar proyektor inilah tulisan Prince yang pertama kali saya baca dan saya telah membaca dan mengoleksi 38 judul karya Prince berupa cerpen, cernak dan puisinya yang telah terbit di koran nasional ini selama 9 tahun terakhir.”
“Karena, ayah saya hanya berlangganan koran nasional ini, jadi saya sebelumnya tidak pernah membaca karya Prince di media lain. Prince juga tidak memiliki akun media sosial. Pernah beberapa kali Prince menuliskan itu di bagian akhir tulisannya. Dan sampai hari ini, setahu saya, nama pena Prince belum pernah menerbitkan buku. Baik buku dengan judul baru ataupun buku antologi karya-karyanya. Itu saja yang dapat saya sampaikan tentang Prince.”
***

Jay menghampiri tempat duduk Dia, yang duduk di barisan depan; tepat di depan dudukku.
“Ratih, waktu itu Bu Meli bilang setelah presentasimu, boleh jadi Prince satu kampus dengan kita dan boleh jadi juga karena keseriusannya menulis fiksi, dia mengambil jurusan yang sama dengan kita. Atau jangan-jangaaannnn, dia satu kelas sama kita!” Jay mengoceh seperti biasa. Membuat aku geli karena gaya aktif dan konyolnya. “Tapi, Ratih bilang, hanya waktu kelas 5 SD Prince nulis identitasnya, setelah itu nggak pernah lagi sama sekali. Menurutku, bisa jadi dia kuliah di luar kota atau juga di luar negeri.” Sari yang merespon. “Nggak, nggak, tulisan Prince banyak menceritakan spot di Medan. Kemungkinan besar dia masih tinggal di Medan. Ya kan,Tih?” Jay meminta persetujuannya. Dia tersenyum dingin, “Kalau gitu, misal dia ada di kelas kita, menurutmu siapa orangnya? Karena nama penanya Prince, kemungkinan besar dia laki-laki. Dan laki-laki di kelas kita cuma ada 3 orang.” Dia bertanya serius pada Jay, membuat Jay sedikit kaget karena awalnya Jay hanya bergurau.
“Hm, oke, dimulai dari si Rado..., ah nggak mungkin, nggak mungkin anak ini, karena Prince nggak suka mengekspos dirinya, si Rado ini suka kali cari perhatian dosen dan baca status facebook yang panjang-panjang aja dia nggak mau. Apalagi ngabisin satu buku meski halamannya cuma sepuluh. Lalu ke siiiiii, Raihan. Hm, Raihan cerdas, teliti memperhatikan, tapi nggak-nggak, aku bahkan nggak pernah lihat dia baca buku. Penulis itukan hobi baca buku. Bawa buku kemana-mana. Nah, tinggal satu, kalau aku ngaku, aku ini Prince, kalian percaya nggak?” Jay berkacak pinggang. “Enggak.” Dia dan Sari serentak menjawab dingin rasa percaya diri Jay yang tinggi. Jay mengerucutkan bibirnya ke depan.
***

“Jay, aku pinjam laptopmu. Laptopku sama Sari. Sari jam 9 nanti baru sampai perpus.” Dia tiba-tiba datang ke meja kami.
“Ratih, gadis yang baik hati, bisa nggak nada suaramu nggak terdengar dingin seperti itu, padahal dikau sedang butuh bantuanku.”
Dia membuang napasnya. “Kalau nggak mau pinjami yaudah nggak masalah.”
“Eits, gitu aja merajuk.” Dia tanpa aba-aba dari Jay langsung mengambil laptop dari hadapan Jay. Beberapa menit kemudian,
“Jay.” Panggil Dia pelan dengan mimik dinginnya. Matanya masih menatap layar laptop Jay.
“Kenapa, Ratih yang baik hati?”
“Kau belum log out emailmu. Ini kayaknya email penting dan nggak boleh orang lain lihat.” Mendengar itu, aku menegakkan dudukku; yang duduk di sebelah kiri Jay. Pandanganku beralih dari layar laptopku ke arah laptop Jay yang ada di sebrang sebelah kananku. Aku mengingat sesuatu.
“Email? Sejujurnya,.... aduh aku malu bilangnya, Tih. Jangan kaget yah hehe..”
Dia terperangah. “Jadi, jadi kau nggak bercanda waktu itu di kelas..”
“Bercanda di kelas? Aih, dikau mengingat aku berarti ya, Tih hehe..”
“Aku lagi nggak mau dengar candaanmu sekarang. Ini emailmukan? Biar aku log out.”
“Hm, okelah aku jujur, aku nggak punya email, Ratih. Kirim tugas aja aku numpang sama email Raihan. Itu email Raihan kayaknya. Kemarin dia pakai laptopku.” Jawab Jay lesu.
Dia makin terperangah. Terdiam. Lalu menatapku. Pandangan kami beradu. Dia menatapku dengan penuh kecurigaan kali ini. Bahkan lebih curiga dari melihat aku menggambar tas kantor persegi panjang berwarna hitam di binderku seminggu lalu.
***
Epilog

Waktu itu, aku lupa membawa laptop dan tugas harus segera dikirim. Sedang Jay juga tidak memiliki email. Jadi, aku menggunakan emailku yang khusus untuk kuliah. Tapi di waktu itu juga, tiba-tiba, Om Yanto mengabari, aku harus segera mengecek email yang khusus untuk mengirim karya ke koran. Aku merasa sudah mengeluarkan akun emailku. Karena itu email yang sangat penting jadi tidak boleh sembarangan. Tapi mungkin sinyal tidak stabil waktu itu. Jadi email menulisku batal dilogout dari laptop Jay. Akhirnya, email itu sudah sangat cukup untuk memecahkan identitas Prince. Dan Dia terdiam beberapa menit waktu itu. Dan hanya mengatakan, “Aku logout emailnya.” Setelah itu, tidak ada lagi suaranya. Dan aku menunggu beberapa hari kemudian, tapi tidak ada kejadian apapun. Berarti dia tidak menceritakan kepada siapapun, termasuk kepada Sari. Hal itu pasti sangat membuatnya terkejut dan itu membuatnya menjadi semakin dingin padaku.
9 tahun yang lalu, aku merasa sangat merindukan ayah. Tidak ada kenangan indah yang kuingat bersama ayah. Ayah jarang pulang dan ketika pulang hanya bertengkar dengan ibu. Dan ketakutanku semakin besar pada ayah, saat aku tidak sengaja mengoyak dokumen penting ayah. Aku ingin sekali menulis tentang ayah tapi hanya kenangan itu yang aku punya. Jadi aku menjadikannya sebuah cernak dan mengirimkannya ke media nasional. Aku tidak percaya diri menuliskan nama asliku saat menulis cernak itu. Karena aku tidak ingin orang-orang menduga itu kisahku dan membuat pembaca memandang jelek ayahku.
Saat usiaku 9 tahun, 6 bulan setelah insiden tas kantor itu, ayah dan ibu bercerai. Membuat aku dan ibu tinggal di rumah Om Yanto, adik ibu. Om Yanto adalah redaktur sastra di koran lokal, juga sebagai penulis produktif. Om Yantolah yang berperan menjadi guru menulisku. Dua tahun setelah perceraian itu, ayah meninggal. Aku tidak menangis waktu itu. Tapi, karena aku tidak menangis waktu itu, membuatku sampai hari ini malah jadi sering menangis saat malam karena merindukan ayah. Dan saat merindukan ayah, dengan spontan aku menggambar tas kantor miliknya. Karena hanya itu kenangan yang paling membekas bersama ayah.
Aku mengikuti jejak Om Yanto menulis dengan nama pena. Dan hanya satu setengah tahun aku menulis dengan memakai nama asli, setelah tulisanku untuk pertama kalinya tembus media nasional saat usiaku 11 tahun, aku malah merasa nyaman memakai nama pena sebab aku juga tidak suka dikenal banyak orang.
            Dan Dia bilang, hanya satu kekurangan cernak, Misteri Gambar Zaidan, bahwa ayah Zaidan tidak meminta maaf pada Zaidan. Karena memang, ayahku tidak pernah melakukannya.
 (Penulis adalah Alumni FKIP UMSU)