Sepasang mataku
memandang seseorang. Tangan kananku menopang dagu sedang tangan kiri membuat
ketukan di meja. Kepalaku sedang memikirkan sesuatu. Aku tertawa dengan
membuang napas kemudian. Pagi tadi, aku tahu sesuatu bahwa anak laki-laki yang sedang
kupandangi ini, dia sudah memiliki calon istri. Anak laki-laki yang sedang heboh
dan seru main game di smartphone bersama teman-temannya.
Dia anak bungsu
dan satu-satunya anak lelaki dari pemilik yayasan. Dia anak orang nomor satu di
sekolah kami. Jika di kisah-kisah fiktif, biasanya anak pemilik yayasan akan
bersifat arogan, dingin, dan bertingkah sesukanya. Dia tidak seperti itu,
kecuali sifat terakhir yang aku sebutkan di atas. Dia benar-benar jago
menggambar, melukis atau semacamnya dan memiliki tingkat keramahan yang lebih
pantas disebut menyebalkan. Singkatnya, dia ekstrovert.
Tadi malam, aku
tidak sengaja mendengar frasa ‘calon istri’ saat lewat ruang kerja Papa. Hal
itu menghentikan langkah kakiku di depan pintu ruang kerja Papa yang tertutup.
Aku hanya bisa mendengar 4 hal setelah frasa ‘calon istri’. Mereka adalah Lubis,
Jerman, Tere Liye, dan Belum Bisa Masak. Aku benar-benar bingung dengan
pembicaraan Papa di telpon. Besok paginya saat sarapan, aku beranikan diri
bertanya pada Papa. Papa hanya menjawab, malam tadi Papa sedang membicarakan calon
istri anak pemilik yayasan dan calon istrinya adalah teman sekelas kami. Berita
yang cukup membuat mulutku menganga beberapa detik. Tapi hanya itu kalimat Papa,
setelahnya, “Hush. Kamu belum boleh tahu dan jangan sebarkan ini ke siapapun
kalau uang jajan kamu mau tetap utuh.” Aku hanya bisa manyun. Papa memang
berbakat mengancam anaknya.
Papa memang sangat
dekat dengan Pak Ali, pemilik yayasan. Mereka sudah dekat sejak Pak Ali menjadi senior Papa sewaktu kuliah
sarjana di Inggris. Dan Pak Ali sering minta pendapat apapun dan bertukar
pikiran dengan Papa.
Kira-kira siapa
calon istrinya, di kelasku ini, ada tiga yang bermarga Lubis, Nurul Lubis,
Indah Lubis, Syifa Lubis dan rusuhnya tiga-tiganya sangat cantik. Tapi hanya
satu yang bisa masak. Itu berarti dia dieliminasi, dan itu adalah Syifa Lubis. Berarti
tinggal 2 gadis Lubis, Nurul dan Indah.
Aku makin
semangat menyelediki. Mataku sampai terpicing-picing saat menatap mereka. Meski
konsekuensinya cukup besar. Aku dilempar spidol dengan bu Yanti yang sedang
menjelaskan. Tapi diam-diam aku masih berpikir tentang penyelidikanku. Tinggal
2 petunjuk, Tere Liye dan Jerman. Dan, aku sudah menemukan jawabannya.
***
Bel istirahat
baru selesai terngiang di telinga kami. Entah kenapa, kali ini, lebih banyak
yang menetap di kelas daripada makan di kantin atau olahraga kecil di lapangan.
Ini fenomena yang jarang terjadi. Tiba-tiba, fenomena lain juga terjadi.
Renata, gadis hitam manis yang paling update
soal info terbaru, yang duduk di barisan belakang, menyampaikan update-annya
kepada Rendra yang duduk di barisan depan.
“Rendra, siapa
calon istrimu? Anak kelas kita jugakan? Siapa?” Renata benar-benar santai dan
ceria menyampaikannya. Sedang anak laki-laki itu tersedak karena ia sedang
makan. Seisi kelas terdiam. Untuk beberapa detik kemudian semua mulut
bertanya-tanya maksud dari pertanyaan Renata. Kelas menjadi seperti pasar
berisiknya.
“Wahhhh, Renata.
Kalimatnya lancar sekali. Aku bahkan nggak cerita ke siapapun bahkan ke Indri,
sahabatku. Serius. Aku nggak cerita apapun ke Renata, Pa.” Batinku teringat
ancaman Papa.
“Renata, siapa calon
suamimu? Apa mungkin anak laki-laki di kelas kita juga?” Anak laki-laki itu malah
balik bertanya pada Renata dengan tersenyum menyungging bibir.
Renata tertawa
berusaha menyembunyikan keterkejutannya atas serangan balik anak laki-laki itu.
Rendra, meski
dia bukan dari kalangan siswa juara kelas atau umum, tapi dia tetap siswa
senior yang paling populer karena jago seni dan sifat ekstrovertnya. Membuatnya
bisa mudah berteman dengan siapa saja. Dari kalangan bawah sampai atas. Seluruh
sekolah mengenal Rendra. Hal itu membuat gosip itu mudah menyebar ke seluruh
penjuru sekolah. Dan membuat aku dipanggil Papa ke ruangannya.
Papaku kepala
sekolah di sini. Aku benar-benar meyakinkan Papa bahwa bukan aku yang
menyebarkan berita itu. Papa sulit percaya. Karena Papa merasa berita ini tidak
ada yang tahu selain pihak calon istri dan calon suami. Papa menatapku kesal. “Lisa,
dalam ajaran agama kita, yang wajib diumumkan itu pernikahan. Kalau hanya masih
calon, itu nggak boleh diberitahu ke pihak lain. Nggak boleh diumumkan. Nggak
boleh. Kamu harus ingat, harus benar-benar kamu tancapkan di hati kamu. Jika
kedua calon sudah sepakat naik ke pelaminan dan dalam waktu dekat akan menikah
maka baru wajib diumumkan. Sebelum itu, jangan. Jangan. Kalau sampai nggak
jadi, siapa yang malu? Orang lain? Nggak mungkin orang lain yang malukan? Jadi,
kejadian apapun sebelum naik ke pelaminan harus dirahasiakan. Tapi, syukurlah, Renata
nggak bilang siapa calon istrinyakan?”
“Enggak, Pa.” Aku
menjawab lirih.
“Baguslah. Kamu
boleh kembali ke kelas.”
Aku mengangguk
permisi dan keluar ruangan Papa. Hoo.. Aku serasa benar-benar seperti keluar
dari ruangan kepala sekolah.
Di perjalanan
menuju kelas. Aku bertemu Renata yang baru selesai dari kamar mandi. Aku
memberanikan diri bertanya padanya. Seberusaha mungkin menyembunyikan bahwa aku
sudah tahu sebelumnya tentang berita itu.
“Rena, info yang
ini kamu tau dari mana?”
“Info yang mana?
Ooh, tentang Rendra?”
Aku mengangguk. “Dari
mamaku. Tau sendirikan, mamaku itu suka kali sama keluarganya Pak Ali, mamaku
juga suka sama Rendra. Jadi mamaku menawarkan anaknya yang cantik ini untuk
dijodohkan dengan Rendra. Tapi, kata Pak Ali, Rendra sudah ada calon istrinya.
Aih, mamaku, bener-bener buat malukan?” Renata tertawa. “Aku tau Rendra almost perfect, tapi aku suka sama yang
lain bukan dia. Syukurlah dia udah ada calon istri. Jadi mamaku bisa nyerah
jodoh-jodohi aku ke Rendra.”
“Ohh.. Gitu.
Mama kamu tau siapa calonnya?”
“Nggak. Pak Ali
cuma bilang calon istrinya sekelas sama kita, yang pasti bukan akulah. Itupun
karena mamaku ngotot nanya siapa calon istrinya makanya dikasih tahu sama pak
Ali kalau dia sekelas kita. Surprisekan? Dan kita juga sulit buat nebak. Karena
dia memperlakukan semua anak perempuan sama aja. Tapi aku yakin banyak yang
patah hati sih. Termasuk mamaku.” Renata tertawa lagi. Aku juga berusaha
tertawa. Kami melanjutkan obrolan lain sampai masuk kelas.
***
Aku
segera kirim chat ke Papa tentang dari mana Renata tahu perjodohan Rendra. Papa
minta maaf karena sempat kesal denganku. Aku memang dekat dengan Papa. Tapi kalau
Papa marah, aku benar-benar takut. Aku jadi menyesal kenapa harus bertanya
tentang hal itu pada Papa pagi tadi. Tapi sampai sekarang, aku juga masih
penasaran siapa calon istrinya. Dan aku juga merasa aneh dan bertanya-tanya
kepada diriku sendiri kenapa aku benar-benar penasaran siapa calon istrinya.
Jadi
hanya tinggal dua petunjuk, Tere Liye dan Jerman. Dan aku memang sudah tahu
jawaban dari petunjuk yang kudapatkan. Dan semua petunjuk itu menuju pada
Indah. Indah Ramadhani Lubis, itu nama panjang Indah. Aku sendiri cukup dekat
dengan Indah. Jadi, aku tahu Indah belum bisa memasak, dia sangat suka dengan
novel-novel Tere Liye, dan tergila-gila dengan apa saja yang berbau Jerman.
Nilai bahasa Jermannya tertinggi di kelas kami, ikut kursus bahasa Jerman, dan
berniat melanjutkan studi di Jerman. Iya. Aku yakin itu pasti Indah. Aku sudah
tahu siapa calon istrinya. Aku yakin tebakanku benar. Tapi, entah kenapa, aku
merasa berhasil tapi juga merasa tidak senang sekaligus. Mungkin, Renata benar.
Mengetahui perjodohan anak laki-laki itu, akan banyak hati yang patah. Apalagi,
aku tahu siapa calon istrinya.
***
Dua
minggu sudah berlalu dan dua minggu ini berita calon istri Rendra masih hangat
diperbincangkan karena sampai sekarang, tidak ada yang benar-benar tahu siapa
calon istri Rendra sebenarnya. Banyak tebakan-tebakan tapi yang menebak tidak
ada yang benar-benar yakin tebakannya benar. Karena anak laki-laki itu memang
tidak pernah didapati dekat atau pacaran dengan anak perempuan manapun. Jadi,
mendapati berita dia sudah punya calon istri, itu berita yang benar
mengejutkan. Sebab anak laki-laki itu juga tidak pernah bersikap berlebihan
pada anak perempuan. Dia hanya ramah dan seluruh sekolah juga tahu dia memang
baik pada siapa saja. Jadi, jika dia baik pada perempuan, mungkin perempuan itu
akan senang tapi mereka juga pasti akan berpikir bahwa dia memang baik seperti
itu.
Dan
dua minggu ini, aku benar-benar memperhatikan bagaimana sikap anak laki-laki
itu pada Indah. Dan hasilnya, aku malah tidak yakin lagi dengan tebakanku
sendiri.
***
Epilog
“....Pak Warno
jadi buka usahanya di Jerman?”
“Jadi, Pak Ali
insya Allah. Alhamdulillah dapat teman baik muslim Jerman di sana. Nanti
dibantu juga sama adik laki-laki saya yang mahasiswa on going di sana, Pak Ali.”
“Alhamdulillah,
semoga lancar bisnisnya di Jerman. Oh iya, saya mau tanya-tanya tentang calon
istrinya Rendra ini, Pak Ali.”
“Calon
istri?”
“Kenapa
terkejut, Pak Warno?”
Hehe.. Nggak apa-apa, Pak. Hanya saja nggak
terasa anak-anak sudah besar. Sudah harus kita mencarikan calon terbaiknya. ”
“Betul, Pak. Ibunya
Lisa marganya Lubiskan, Pak Warno?”
“Iya, Pak. Lubis.
Kenapa, Pak?”
“Nggak apa-apa,
Pak. Tanya saja. Kita sering berdiskusi tapi jarang kalau soal keluarga. Insya
Allah nantikan kita jadi besan.”
“Oiya, Pak. Tapi
Lisanya, belum bisa masak. Waktunya kebanyakan habis belajar di kamar.
Jadi, saya lalai soal tugasnya di dapur.”
“Nggak masalah,
Pak. Masak bisa belajar nanti. Yang penting sama saya, saya tahu Pak Warno
orangnya seperti apa, saya tahu bagaimana Pak Warno mendidik anak agama,
akhlak, bahkan pelajaran. Saya percaya Lisa akan menjadi istri yang baik.”
“Alhamdulillah
kalau begitu, Pak. Saya juga suka sama Rendra, Pak. Meski di sekolah terkadang
saya jewer telinganya. Tapi, saya juga percaya, Rendra akan menjadi suami yang
baik.”
“Alhamdulillah. Selain
suka belajar, Lisa suka apa, Pak?”
“Oh, dia suka
baca novel juga. Saya perhatikan di kamarnya, banyak novel siapa itu ya, Oh
iya. Tere
Liye.”
“Tere Liye? Oh,
ya ya, saya tahu. Pembaca yang baik pasti suka tulisan yang baik.”
“Iya, Pak. Oh
iya, Pak? Bagaimana dengan Rendranya? Apa tidak masalah nanti dia juga harus
kuliah di Jerman. Lisa itu ngebet sekali mau kuliah di luar negeri. Tapi, saya
bilang, hanya boleh di Jerman. Karena ada pakleknya di sana. Dia mau. Yang
penting luar negeri katanya. Meski sebenarnya dia ingin sekali di London. Tapi,
dia nggak berani bantah cakap papanya.”
“Iya, Pak. Nggak
masalah. Rendra juga mau lanjut ke Jerman. Dia sudah saya mulaikan kursus
bahasa Jerman di rumah.”
Itulah
percakapan Papa dan Pak Ali yang tidak bisa aku dengar seluruhnya waktu itu.
Ketika kami di semester enam, kami menikah. Dan malam sebelum akad, Papa
memberi tahu percakapan itu padaku. Kami menikah di Indonesia. Aku baru tahu
siapa calon istri Rendra ketika aku di semester lima. Hampir tiga tahun sudah
cukup rasa penasaran itu menggangguku.
Sebelumnya, aku
tidak pernah menyukai anak laki-laki manapun. Aku seperti punya duniaku
sendiri. Kasih sayang keluargaku benar-benar kudapatkan sampai rasanya aku
tidak butuh orang lain lagi selain mama, papa, serta abangku. Dan aku sudah
sangat cukup dan bahagia dengan dunia itu. Sampai akhirnya, ketika akan menaiki
kelas tiga SMA. Anak laki-laki itu berbicara pada temannya jauh sebelum berita
perjodohannya menyebar.
“Rendra, coba
kau pilih, di antara anak perempuan kawan kelas kita, siapa yang mau kau
jadikan istrimu nanti?” Tanya Reza di depan rak buku perpustakaan yang sepi.
“Kenapa
tiba-tiba nanya begitu?” Anak laki-laki itu terkejut tapi juga sambil tertawa.
“Nggak apa-apa,
aku cuma mau tau aja, kau ini normal atau nggak. Soalnya, nggak ada kayaknya
yang kau suka perempuan manapun.” Kata Reza tertawa.
“Lisa. Aku mau
Lisa yang jadi istriku.” Mereka tidak sadar bahwa ada aku duduk lesehan di
balik rak buku itu.
***
(Penulis adalah
Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
(Diterbitkan secara bersambung di Jurnal Asia pada tanggal 21 dan 28 Juli 2018)