Saturday, July 28, 2018

Calon Istri



Sepasang mataku memandang seseorang. Tangan kananku menopang dagu sedang tangan kiri membuat ketukan di meja. Kepalaku sedang memikirkan sesuatu. Aku tertawa dengan membuang napas kemudian. Pagi tadi, aku tahu sesuatu bahwa anak laki-laki yang sedang kupandangi ini, dia sudah memiliki calon istri. Anak laki-laki yang sedang heboh dan seru main game di smartphone bersama teman-temannya.
Dia anak bungsu dan satu-satunya anak lelaki dari pemilik yayasan. Dia anak orang nomor satu di sekolah kami. Jika di kisah-kisah fiktif, biasanya anak pemilik yayasan akan bersifat arogan, dingin, dan bertingkah sesukanya. Dia tidak seperti itu, kecuali sifat terakhir yang aku sebutkan di atas. Dia benar-benar jago menggambar, melukis atau semacamnya dan memiliki tingkat keramahan yang lebih pantas disebut menyebalkan. Singkatnya, dia ekstrovert.
Tadi malam, aku tidak sengaja mendengar frasa ‘calon istri’ saat lewat ruang kerja Papa. Hal itu menghentikan langkah kakiku di depan pintu ruang kerja Papa yang tertutup. Aku hanya bisa mendengar 4 hal setelah frasa ‘calon istri’. Mereka adalah Lubis, Jerman, Tere Liye, dan Belum Bisa Masak. Aku benar-benar bingung dengan pembicaraan Papa di telpon. Besok paginya saat sarapan, aku beranikan diri bertanya pada Papa. Papa hanya menjawab, malam tadi Papa sedang membicarakan calon istri anak pemilik yayasan dan calon istrinya adalah teman sekelas kami. Berita yang cukup membuat mulutku menganga beberapa detik. Tapi hanya itu kalimat Papa, setelahnya, “Hush. Kamu belum boleh tahu dan jangan sebarkan ini ke siapapun kalau uang jajan kamu mau tetap utuh.” Aku hanya bisa manyun. Papa memang berbakat mengancam anaknya.
Papa memang sangat dekat dengan Pak Ali, pemilik yayasan. Mereka sudah dekat sejak  Pak Ali menjadi senior Papa sewaktu kuliah sarjana di Inggris. Dan Pak Ali sering minta pendapat apapun dan bertukar pikiran dengan Papa.
Kira-kira siapa calon istrinya, di kelasku ini, ada tiga yang bermarga Lubis, Nurul Lubis, Indah Lubis, Syifa Lubis dan rusuhnya tiga-tiganya sangat cantik. Tapi hanya satu yang bisa masak. Itu berarti dia dieliminasi, dan itu adalah Syifa Lubis. Berarti tinggal 2 gadis Lubis, Nurul dan Indah.
Aku makin semangat menyelediki. Mataku sampai terpicing-picing saat menatap mereka. Meski konsekuensinya cukup besar. Aku dilempar spidol dengan bu Yanti yang sedang menjelaskan. Tapi diam-diam aku masih berpikir tentang penyelidikanku. Tinggal 2 petunjuk, Tere Liye dan Jerman. Dan, aku sudah menemukan jawabannya.
***

Bel istirahat baru selesai terngiang di telinga kami. Entah kenapa, kali ini, lebih banyak yang menetap di kelas daripada makan di kantin atau olahraga kecil di lapangan. Ini fenomena yang jarang terjadi. Tiba-tiba, fenomena lain juga terjadi. Renata, gadis hitam manis yang paling update soal info terbaru, yang duduk di barisan belakang, menyampaikan update-annya kepada Rendra yang duduk di barisan depan.
“Rendra, siapa calon istrimu? Anak kelas kita jugakan? Siapa?” Renata benar-benar santai dan ceria menyampaikannya. Sedang anak laki-laki itu tersedak karena ia sedang makan. Seisi kelas terdiam. Untuk beberapa detik kemudian semua mulut bertanya-tanya maksud dari pertanyaan Renata. Kelas menjadi seperti pasar berisiknya.
“Wahhhh, Renata. Kalimatnya lancar sekali. Aku bahkan nggak cerita ke siapapun bahkan ke Indri, sahabatku. Serius. Aku nggak cerita apapun ke Renata, Pa.” Batinku teringat ancaman Papa.
“Renata, siapa calon suamimu? Apa mungkin anak laki-laki di kelas kita juga?” Anak laki-laki itu malah balik bertanya pada Renata dengan tersenyum menyungging bibir.
Renata tertawa berusaha menyembunyikan keterkejutannya atas serangan balik anak laki-laki itu.
Rendra, meski dia bukan dari kalangan siswa juara kelas atau umum, tapi dia tetap siswa senior yang paling populer karena jago seni dan sifat ekstrovertnya. Membuatnya bisa mudah berteman dengan siapa saja. Dari kalangan bawah sampai atas. Seluruh sekolah mengenal Rendra. Hal itu membuat gosip itu mudah menyebar ke seluruh penjuru sekolah. Dan membuat aku dipanggil Papa ke ruangannya.
Papaku kepala sekolah di sini. Aku benar-benar meyakinkan Papa bahwa bukan aku yang menyebarkan berita itu. Papa sulit percaya. Karena Papa merasa berita ini tidak ada yang tahu selain pihak calon istri dan calon suami. Papa menatapku kesal. “Lisa, dalam ajaran agama kita, yang wajib diumumkan itu pernikahan. Kalau hanya masih calon, itu nggak boleh diberitahu ke pihak lain. Nggak boleh diumumkan. Nggak boleh. Kamu harus ingat, harus benar-benar kamu tancapkan di hati kamu. Jika kedua calon sudah sepakat naik ke pelaminan dan dalam waktu dekat akan menikah maka baru wajib diumumkan. Sebelum itu, jangan. Jangan. Kalau sampai nggak jadi, siapa yang malu? Orang lain? Nggak mungkin orang lain yang malukan? Jadi, kejadian apapun sebelum naik ke pelaminan harus dirahasiakan. Tapi, syukurlah, Renata nggak bilang siapa calon istrinyakan?”
“Enggak, Pa.” Aku menjawab lirih.
“Baguslah. Kamu boleh kembali ke kelas.”
Aku mengangguk permisi dan keluar ruangan Papa. Hoo.. Aku serasa benar-benar seperti keluar dari ruangan kepala sekolah.
Di perjalanan menuju kelas. Aku bertemu Renata yang baru selesai dari kamar mandi. Aku memberanikan diri bertanya padanya. Seberusaha mungkin menyembunyikan bahwa aku sudah tahu sebelumnya tentang berita itu.
“Rena, info yang ini kamu tau dari mana?”
“Info yang mana? Ooh, tentang Rendra?”
Aku mengangguk. “Dari mamaku. Tau sendirikan, mamaku itu suka kali sama keluarganya Pak Ali, mamaku juga suka sama Rendra. Jadi mamaku menawarkan anaknya yang cantik ini untuk dijodohkan dengan Rendra. Tapi, kata Pak Ali, Rendra sudah ada calon istrinya. Aih, mamaku, bener-bener buat malukan?” Renata tertawa. “Aku tau Rendra almost perfect, tapi aku suka sama yang lain bukan dia. Syukurlah dia udah ada calon istri. Jadi mamaku bisa nyerah jodoh-jodohi aku ke Rendra.”
“Ohh.. Gitu. Mama kamu tau siapa calonnya?”
“Nggak. Pak Ali cuma bilang calon istrinya sekelas sama kita, yang pasti bukan akulah. Itupun karena mamaku ngotot nanya siapa calon istrinya makanya dikasih tahu sama pak Ali kalau dia sekelas kita. Surprisekan? Dan kita juga sulit buat nebak. Karena dia memperlakukan semua anak perempuan sama aja. Tapi aku yakin banyak yang patah hati sih. Termasuk mamaku.” Renata tertawa lagi. Aku juga berusaha tertawa. Kami melanjutkan obrolan lain sampai masuk kelas.
***
            Aku segera kirim chat ke Papa tentang dari mana Renata tahu perjodohan Rendra. Papa minta maaf karena sempat kesal denganku. Aku memang dekat dengan Papa. Tapi kalau Papa marah, aku benar-benar takut. Aku jadi menyesal kenapa harus bertanya tentang hal itu pada Papa pagi tadi. Tapi sampai sekarang, aku juga masih penasaran siapa calon istrinya. Dan aku juga merasa aneh dan bertanya-tanya kepada diriku sendiri kenapa aku benar-benar penasaran siapa calon istrinya. 
            Jadi hanya tinggal dua petunjuk, Tere Liye dan Jerman. Dan aku memang sudah tahu jawaban dari petunjuk yang kudapatkan. Dan semua petunjuk itu menuju pada Indah. Indah Ramadhani Lubis, itu nama panjang Indah. Aku sendiri cukup dekat dengan Indah. Jadi, aku tahu Indah belum bisa memasak, dia sangat suka dengan novel-novel Tere Liye, dan tergila-gila dengan apa saja yang berbau Jerman. Nilai bahasa Jermannya tertinggi di kelas kami, ikut kursus bahasa Jerman, dan berniat melanjutkan studi di Jerman. Iya. Aku yakin itu pasti Indah. Aku sudah tahu siapa calon istrinya. Aku yakin tebakanku benar. Tapi, entah kenapa, aku merasa berhasil tapi juga merasa tidak senang sekaligus. Mungkin, Renata benar. Mengetahui perjodohan anak laki-laki itu, akan banyak hati yang patah. Apalagi, aku tahu siapa calon istrinya.
***

            Dua minggu sudah berlalu dan dua minggu ini berita calon istri Rendra masih hangat diperbincangkan karena sampai sekarang, tidak ada yang benar-benar tahu siapa calon istri Rendra sebenarnya. Banyak tebakan-tebakan tapi yang menebak tidak ada yang benar-benar yakin tebakannya benar. Karena anak laki-laki itu memang tidak pernah didapati dekat atau pacaran dengan anak perempuan manapun. Jadi, mendapati berita dia sudah punya calon istri, itu berita yang benar mengejutkan. Sebab anak laki-laki itu juga tidak pernah bersikap berlebihan pada anak perempuan. Dia hanya ramah dan seluruh sekolah juga tahu dia memang baik pada siapa saja. Jadi, jika dia baik pada perempuan, mungkin perempuan itu akan senang tapi mereka juga pasti akan berpikir bahwa dia memang baik seperti itu.
            Dan dua minggu ini, aku benar-benar memperhatikan bagaimana sikap anak laki-laki itu pada Indah. Dan hasilnya, aku malah tidak yakin lagi dengan tebakanku sendiri.
***
Epilog

“....Pak Warno jadi buka usahanya di Jerman?”
“Jadi, Pak Ali insya Allah. Alhamdulillah dapat teman baik muslim Jerman di sana. Nanti dibantu juga sama adik laki-laki saya yang mahasiswa on going di sana, Pak Ali.”
“Alhamdulillah, semoga lancar bisnisnya di Jerman. Oh iya, saya mau tanya-tanya tentang calon istrinya Rendra ini, Pak Ali.”
Calon istri?”
“Kenapa terkejut, Pak Warno?”
 Hehe.. Nggak apa-apa, Pak. Hanya saja nggak terasa anak-anak sudah besar. Sudah harus kita mencarikan calon terbaiknya. ”
“Betul, Pak. Ibunya Lisa marganya Lubiskan, Pak Warno?”
“Iya, Pak. Lubis. Kenapa, Pak?”
“Nggak apa-apa, Pak. Tanya saja. Kita sering berdiskusi tapi jarang kalau soal keluarga. Insya Allah nantikan kita jadi besan.”
“Oiya, Pak. Tapi Lisanya, belum bisa masak. Waktunya kebanyakan habis belajar di kamar. Jadi, saya lalai soal tugasnya di dapur.”
“Nggak masalah, Pak. Masak bisa belajar nanti. Yang penting sama saya, saya tahu Pak Warno orangnya seperti apa, saya tahu bagaimana Pak Warno mendidik anak agama, akhlak, bahkan pelajaran. Saya percaya Lisa akan menjadi istri yang baik.”
“Alhamdulillah kalau begitu, Pak. Saya juga suka sama Rendra, Pak. Meski di sekolah terkadang saya jewer telinganya. Tapi, saya juga percaya, Rendra akan menjadi suami yang baik.”
“Alhamdulillah. Selain suka belajar, Lisa suka apa, Pak?”
“Oh, dia suka baca novel juga. Saya perhatikan di kamarnya, banyak novel siapa itu ya, Oh iya. Tere Liye.”
“Tere Liye? Oh, ya ya, saya tahu. Pembaca yang baik pasti suka tulisan yang baik.”
“Iya, Pak. Oh iya, Pak? Bagaimana dengan Rendranya? Apa tidak masalah nanti dia juga harus kuliah di Jerman. Lisa itu ngebet sekali mau kuliah di luar negeri. Tapi, saya bilang, hanya boleh di Jerman. Karena ada pakleknya di sana. Dia mau. Yang penting luar negeri katanya. Meski sebenarnya dia ingin sekali di London. Tapi, dia nggak berani bantah cakap papanya.”
“Iya, Pak. Nggak masalah. Rendra juga mau lanjut ke Jerman. Dia sudah saya mulaikan kursus bahasa Jerman di rumah.”
Itulah percakapan Papa dan Pak Ali yang tidak bisa aku dengar seluruhnya waktu itu. Ketika kami di semester enam, kami menikah. Dan malam sebelum akad, Papa memberi tahu percakapan itu padaku. Kami menikah di Indonesia. Aku baru tahu siapa calon istri Rendra ketika aku di semester lima. Hampir tiga tahun sudah cukup rasa penasaran itu menggangguku.
Sebelumnya, aku tidak pernah menyukai anak laki-laki manapun. Aku seperti punya duniaku sendiri. Kasih sayang keluargaku benar-benar kudapatkan sampai rasanya aku tidak butuh orang lain lagi selain mama, papa, serta abangku. Dan aku sudah sangat cukup dan bahagia dengan dunia itu. Sampai akhirnya, ketika akan menaiki kelas tiga SMA. Anak laki-laki itu berbicara pada temannya jauh sebelum berita perjodohannya menyebar.
“Rendra, coba kau pilih, di antara anak perempuan kawan kelas kita, siapa yang mau kau jadikan istrimu nanti?” Tanya Reza di depan rak buku perpustakaan yang sepi.
“Kenapa tiba-tiba nanya begitu?” Anak laki-laki itu terkejut tapi juga sambil tertawa.
“Nggak apa-apa, aku cuma mau tau aja, kau ini normal atau nggak. Soalnya, nggak ada kayaknya yang kau suka perempuan manapun.” Kata Reza tertawa.
“Lisa. Aku mau Lisa yang jadi istriku.” Mereka tidak sadar bahwa ada aku duduk lesehan di balik rak buku itu.
***
                    (Penulis adalah Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
                  (Diterbitkan secara bersambung di Jurnal Asia pada tanggal 21 dan 28 Juli 2018)