Wednesday, May 3, 2017

Paginya Nek Yem

Karya : Aisyah Haura Dika Alsa


            Langit bergulat dengan abu dan biru; pagi menjamu. Sepertinya, akan seperti pagi kemarin;mendung. Cahaya mentari sedang permisi, mencari ranah yang lebih membutuhi. Lorong-lorong dan jalan-jalan berisik dipenuhi pengendara apa saja dengan tempat tujuan yang berbeda-beda. Tentu saja, macat di mana-mana tidak mau kalah. Setiap simpang penuh klakson sahut-sahutan apalagi yang tak dipasang lampu merah.
           
Aku tidak akan berkelanjutan menceritakan pagi di jalan-jalan, apalagi tentang pagi yang macat-macatan. Aku akan menceritakan pagi dari seseorang, yang biasa dipanggil, Nek Yem.
***

            Nama Nek Yem tidak asing di sekitar rumahnya pun di kampung-kampung saudaranya. Saudara dekat, saudara jauh, semua kenal Nek Yem. Jika hari ini hobiku facebook-an, Nek Yem hobi mendatangi undangan bahkan tak peduli jika kejauhan. Jika hari ini hobiku mendaki gunung, Nek Yem hobi mengunjungi saudaranya tak tanggung-tanggung. Jika hari ini hobiku berselfie ria, Nek Yem masih lihai menjahit meski usianya tua. Itu beberapa penggal sikap baik Nek Yem, siapapun pantas meniru itu.

            Nek Yem sudah menjanda 16 tahun, suaminya pergi duluan menuju pelukan Tuhan. Anak-anak Nek Yem ada 9, 3 laki-laki dan 6 perempuan. Saat ini, Nek Yem tinggal satu atap dengan anak perempuannya nomor delapan. Juga ada anak perempuannya nomor lima dan nomor sembilan tinggal di sebelah. Masih satu tanah, tanah warisan adik perempuan Nek Yem.
           
            Nek Yem sama seperti yang lainnya, menjalani pagi yang bermacam rasa. Nek Yem yakin bahwa setiap manusia memiliki kisah duka suka hidupnya masing-masing. Nah, kali ini, biarkan cerita ini menjadi pagi Nek Yem seutuhnya.
***

            Nek Yem adalah pejalan pagi yang baik. Nek Yem selalu bangun satu jam sebelum subuh. Mandi, berwudhu, dan tahajjud serta ibadah lainnya disiapkan Nek Yem dengan sungguh dan kerelaan jiwa. Setelah beribadah sepertiga malam terakhir, Nek Yem akan menunggu azan subuh mengayun-ngayun daun telinga. Syahdu pun merdu. Malaikat-malaikat pun berbondong-bondong berebut mendoakan ampunan untuk Nek Yem.

            Nek Yem orang yang beruntung. Sungguh setiap paginya selalu baik. Nek Yem tak pernah lalai berjumpa dengan Tuhannya saat manusia lainnya; lambungnya dekat dengan kasur. Mulut Nek Yem tak henti berkomat-kamit; memuji Tuhannya. Sedetik saja, rasanya ia tak rela jika tidak berzikir, ia akan merasa kerugian.

            Aku berdiam. Usiaku dua satu sedang Nek Yem delapan puluh enam. Tapi, mengapa pagiku tak pernah sebaik pagi Nek Yem?
***

            Pukul enam, Nek Yem turun dari kasurnya –Nek Yem beribadah duduk di kasurnya– menuju ruang tivi anak perempuannya nomor sembilan –yang rumahnya masih satu atap dengan anak perempuannya nomor delapan–. Seperti biasanya, Nek Yem menonton ceramah ustazah kondang di salah satu stasiun TV swasta. Nek Yem telah membenarkan peribahasa, “Menuntut ilmu sampai ke liang lahat”.

            Nek Yem takzim mendengar ceramah ustazah tersebut sambil mulutnya tak henti mengalun zikir. Sedang mulutku? Ah, masih mengeluarkan dengkur. Nek Yem, bisakah pagimu kupinjam sebentar atau relakah kau menjalani pagiku untuk mengubahnya menjadi lebih baik?
***

            Nek Yem keluar rumah anak perempuannya nomor sembilan menuju rumah anak perempuannya nomor lima; rumah paling ujung. Nek Yem biasa sarapan di rumah paling ujung ini. Sarapan nasi hangat dan telur dadar dengan potongan cabai dan bawang saja sudah lezat sekali bagi Nek Yem. Ah iya, Nek Yem tak pernah neko-neko soal makanan. Apa saja selama baik dan halal dengan gampangnya masuk ke perut Nek Yem. Nek Yem juga tak memiliki banyak pantangan makanan meski usianya terus beranjak tua. Hanya tak boleh berlebihan garam saja atau masakan yang keasinan. Favoritnya, memang masakan anak perempuannya nomor lima, masakannya sesuai lidahnya; rasa manis.

            Sambil sarapan, Nek Yem juga lanjut menonton ceramah kegemarannya di rumah anak perempuannya nomor lima. Pagi yang lezat dan baik sekali untuk Nek Yem. Ah, aku? Untuk sarapan di rumah saja tak sempat, apalagi mendengar ceramah seperti Nek Yem.
***

            Ceramah usai, Nek Yem duduk berdiam diri, lagi-lagi kembali melantunkan zikir. Sudah kubilang, sedetik saja begitu berharga bagi Nek Yem. Jika ia lupa, langsung cepat-cepat lidahnya tarik gas untuk kembali mengingat Tuhannya. Ah, Nek Yem, pasti setiap saat Tuhan pun mengingatmu.

            Nek Yem keluar, duduk-duduk lesehan di lorong halaman rumah dengan alas tikar seadanya. Nek Yem akan mencari tempat yang terkena sinar matahari. Tubuhnya yang masih sehat di usia hampir sembilan puluh pasti juga didapat dari efek sinar matahari pagi. Nek Yem tak hanya sekadar duduk-duduk seperti aku yang sok kekinian; duduk-duduk di kafe-kafe dengan wallpaper yang keren dan asyik menjepret diri lalu dipajang di media sosial. Biar seluruh orang tahu, bahwa aku gaul dan tak ketinggalan zaman.
           
            Di sekitar rumah itu, ada 2 kucing betina dan 1 kucing jantan berseliweran. Merekalah salah tiga teman-teman di pagi Nek Yem. Nek Yem selalu sengaja menyisakan sarapannya untuk dibagikan kepada gerombolan kucing itu –yang mendatangi Nek Yem dengan mimik lapar–.Gerombolan kucing itu juga tidak pilih-pilih makanan. Apa yang disajikan akan mereka makan. Sedang aku? Mengapa banyak sekali pantangan? Hewan saja bisa ‘apa adanya’, mengapa aku ingin ‘serba ada’?
***

            Pukul sembilan, penyakit ngantuk rawan sekali untuk mereka yang tidak banyak bergerak. Nek Yem salah satu dari mereka itu. Nek Yem tentu saja tidak lagi banyak mengerjakan pekerjaan. Jadi, paginya diisi dengan menjahit agar tidak mengantuk. Nek Yem menerima orderan menjahit. Nek Yem suka sekali bertanya pada anak-anak dan cucu-cucunya, jika ada pakaian yang koyak atau robek maka serahkan saja pada Nek Yem. Jangankan pakaian, tilam saja Nek Yem menerima dengan senang hati. Dalam waktu dua atau tiga jam jahitan itu akan selesai, bisa selesai satu macam atau beberapa macam.

Nek Yem memang senang menjahit, dari muda dulu sampai sekarang. Padahal, Nek Yem tak pernah ikut kursus menjahit. Jangankan kursus menjahit, sekolah saja Nek Yem tidak pernah. Baca dan tulis, Nek Yem tak tahu sama sekali. Tapi, Nek Yem cerdas. Nek Yem belajar menjahit otodidak. Ah, usia Nek Yem jauh sekali dari muda. Tapi, tenaganya masih sangat bermanfaat untuk sekitarnya. Sedang aku? Membantu sedikit saja sudah mengera tenaga.


            Nek Yem anti sekali tidur pagi. Sedikitpun, Nek Yem tak akan membawa dirinya tidur meski hanya golek-golek. Nek Yem bilang, tidur pagi nanti jadi penyakit. Maka harus ada yang dikerjakan agar tidak mengantuk atau makan saja makanan yang pedas, agar kantuknya hilang. Begitu kata Nek Yem.
***

            Mendung sudah sedari tadi undur diri. Saat Nek Yem selesai sarapan maka selesai juga riwayat mendung pagi ini. Seperti biasanya, Nek Yem berhasil menjalani pagi dengan baik. Ah, iya, Nek Yem pejalan pagi paling baik.
Nek Yem pun beranjak dari duduknya sebab hari mulai siang. Apalagi, jika bukan bergegas menuju panggilan Tuhannya saat siang? Ah, Nek Yem. Kau menjemput janji Tuhan dengan senang hati.
            Dan Nek Yem, pintaku, doakanlah aku, agar aku tak banyak “ah-ah” lagi saat menceritakanmu.
***
(Penulis adalah mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)


(Terbit di Koran Pantura, Edisi 21 Februari 2017)