Langit
bergulat dengan abu dan biru; pagi menjamu. Sepertinya, akan seperti pagi
kemarin;mendung. Cahaya mentari sedang permisi, mencari ranah yang lebih
membutuhi. Lorong-lorong dan jalan-jalan berisik dipenuhi pengendara apa saja
dengan tempat tujuan yang berbeda-beda. Tentu saja, macat di mana-mana tidak
mau kalah. Setiap simpang penuh klakson sahut-sahutan apalagi yang tak dipasang
lampu merah.
Aku tidak akan
berkelanjutan menceritakan pagi di jalan-jalan, apalagi tentang pagi yang
macat-macatan. Aku akan menceritakan pagi dari seseorang, yang biasa dipanggil,
Nek Yem.
***
Nama
Nek Yem tidak asing di sekitar rumahnya pun di kampung-kampung saudaranya. Saudara
dekat, saudara jauh, semua kenal Nek Yem. Jika hari ini hobiku facebook-an, Nek Yem hobi mendatangi
undangan bahkan tak peduli jika kejauhan. Jika hari ini hobiku mendaki gunung,
Nek Yem hobi mengunjungi saudaranya tak tanggung-tanggung. Jika hari ini hobiku
berselfie ria, Nek Yem masih lihai
menjahit meski usianya tua. Itu beberapa penggal sikap baik Nek Yem, siapapun
pantas meniru itu.
Nek
Yem sudah menjanda 16 tahun, suaminya pergi duluan menuju pelukan Tuhan. Anak-anak
Nek Yem ada 9, 3 laki-laki dan 6 perempuan. Saat ini, Nek Yem tinggal satu atap
dengan anak perempuannya nomor delapan. Juga ada anak perempuannya nomor lima
dan nomor sembilan tinggal di sebelah. Masih satu tanah, tanah warisan adik
perempuan Nek Yem.
Nek
Yem sama seperti yang lainnya, menjalani pagi yang bermacam rasa. Nek Yem yakin
bahwa setiap manusia memiliki kisah duka suka hidupnya masing-masing. Nah, kali
ini, biarkan cerita ini menjadi pagi Nek Yem seutuhnya.
***
Nek
Yem adalah pejalan pagi yang baik. Nek Yem selalu bangun satu jam sebelum
subuh. Mandi, berwudhu, dan tahajjud serta ibadah lainnya disiapkan Nek Yem
dengan sungguh dan kerelaan jiwa. Setelah beribadah sepertiga malam terakhir,
Nek Yem akan menunggu azan subuh mengayun-ngayun daun telinga. Syahdu pun
merdu. Malaikat-malaikat pun berbondong-bondong berebut mendoakan ampunan untuk
Nek Yem.
Nek
Yem orang yang beruntung. Sungguh setiap paginya selalu baik. Nek Yem tak
pernah lalai berjumpa dengan Tuhannya saat manusia lainnya; lambungnya dekat
dengan kasur. Mulut Nek Yem tak henti berkomat-kamit; memuji Tuhannya. Sedetik
saja, rasanya ia tak rela jika tidak berzikir, ia akan merasa kerugian.
Aku
berdiam. Usiaku dua satu sedang Nek Yem delapan puluh enam. Tapi, mengapa pagiku
tak pernah sebaik pagi Nek Yem?
***
Pukul
enam, Nek Yem turun dari kasurnya –Nek Yem beribadah duduk di kasurnya– menuju
ruang tivi anak perempuannya nomor sembilan –yang rumahnya masih satu atap
dengan anak perempuannya nomor delapan–. Seperti biasanya, Nek Yem menonton
ceramah ustazah kondang di salah satu stasiun TV swasta. Nek Yem telah
membenarkan peribahasa, “Menuntut ilmu sampai ke liang lahat”.
Nek
Yem takzim mendengar ceramah ustazah tersebut sambil mulutnya tak henti
mengalun zikir. Sedang mulutku? Ah, masih mengeluarkan dengkur. Nek Yem, bisakah
pagimu kupinjam sebentar atau relakah kau menjalani pagiku untuk mengubahnya
menjadi lebih baik?
***
Nek
Yem keluar rumah anak perempuannya nomor sembilan menuju rumah anak
perempuannya nomor lima; rumah paling ujung. Nek Yem biasa sarapan di rumah
paling ujung ini. Sarapan nasi hangat dan telur dadar dengan potongan cabai dan
bawang saja sudah lezat sekali bagi Nek Yem. Ah iya, Nek Yem tak pernah neko-neko soal makanan. Apa saja selama
baik dan halal dengan gampangnya masuk ke perut Nek Yem. Nek Yem juga tak
memiliki banyak pantangan makanan meski usianya terus beranjak tua. Hanya tak
boleh berlebihan garam saja atau masakan yang keasinan. Favoritnya, memang
masakan anak perempuannya nomor lima, masakannya sesuai lidahnya; rasa manis.
Sambil
sarapan, Nek Yem juga lanjut menonton ceramah kegemarannya di rumah anak
perempuannya nomor lima. Pagi yang lezat dan baik sekali untuk Nek Yem. Ah, aku?
Untuk sarapan di rumah saja tak sempat, apalagi mendengar ceramah seperti Nek
Yem.
***
Ceramah
usai, Nek Yem duduk berdiam diri, lagi-lagi kembali melantunkan zikir. Sudah
kubilang, sedetik saja begitu berharga bagi Nek Yem. Jika ia lupa, langsung cepat-cepat
lidahnya tarik gas untuk kembali mengingat Tuhannya. Ah, Nek Yem, pasti setiap
saat Tuhan pun mengingatmu.
Nek
Yem keluar, duduk-duduk lesehan di lorong halaman rumah dengan alas tikar
seadanya. Nek Yem akan mencari tempat yang terkena sinar matahari. Tubuhnya
yang masih sehat di usia hampir sembilan puluh pasti juga didapat dari efek
sinar matahari pagi. Nek Yem tak hanya sekadar duduk-duduk seperti aku yang sok
kekinian; duduk-duduk di kafe-kafe dengan wallpaper yang keren dan asyik
menjepret diri lalu dipajang di media sosial. Biar seluruh orang tahu, bahwa
aku gaul dan tak ketinggalan zaman.
Di
sekitar rumah itu, ada 2 kucing betina dan 1 kucing jantan berseliweran. Merekalah
salah tiga teman-teman di pagi Nek Yem. Nek Yem selalu sengaja menyisakan sarapannya
untuk dibagikan kepada gerombolan kucing itu –yang mendatangi Nek Yem dengan mimik
lapar–.Gerombolan kucing itu juga tidak pilih-pilih makanan. Apa yang disajikan
akan mereka makan. Sedang aku? Mengapa banyak sekali pantangan? Hewan saja bisa
‘apa adanya’, mengapa aku ingin ‘serba ada’?
***
Pukul
sembilan, penyakit ngantuk rawan
sekali untuk mereka yang tidak banyak bergerak. Nek Yem salah satu dari mereka
itu. Nek Yem tentu saja tidak lagi banyak mengerjakan pekerjaan. Jadi, paginya diisi
dengan menjahit agar tidak mengantuk. Nek Yem menerima orderan menjahit. Nek
Yem suka sekali bertanya pada anak-anak dan cucu-cucunya, jika ada pakaian yang
koyak atau robek maka serahkan saja pada Nek Yem. Jangankan pakaian, tilam saja
Nek Yem menerima dengan senang hati. Dalam waktu dua atau tiga jam jahitan itu
akan selesai, bisa selesai satu macam atau beberapa macam.
Nek Yem memang
senang menjahit, dari muda dulu sampai sekarang. Padahal, Nek Yem tak pernah
ikut kursus menjahit. Jangankan kursus menjahit, sekolah saja Nek Yem tidak
pernah. Baca dan tulis, Nek Yem tak tahu sama sekali. Tapi, Nek Yem cerdas. Nek
Yem belajar menjahit otodidak. Ah, usia Nek Yem jauh sekali dari muda. Tapi,
tenaganya masih sangat bermanfaat untuk sekitarnya. Sedang aku? Membantu
sedikit saja sudah mengera tenaga.
Nek
Yem anti sekali tidur pagi. Sedikitpun, Nek Yem tak akan membawa dirinya tidur
meski hanya golek-golek. Nek Yem
bilang, tidur pagi nanti jadi penyakit. Maka harus ada yang dikerjakan agar
tidak mengantuk atau makan saja makanan yang pedas, agar kantuknya hilang.
Begitu kata Nek Yem.
***
Mendung
sudah sedari tadi undur diri. Saat Nek Yem selesai sarapan maka selesai juga
riwayat mendung pagi ini. Seperti biasanya, Nek Yem berhasil menjalani pagi dengan
baik. Ah, iya, Nek Yem pejalan pagi paling baik.
Nek Yem pun
beranjak dari duduknya sebab hari mulai siang. Apalagi, jika bukan bergegas
menuju panggilan Tuhannya saat siang? Ah, Nek Yem. Kau menjemput janji Tuhan
dengan senang hati.
Dan
Nek Yem, pintaku, doakanlah aku, agar aku tak banyak “ah-ah” lagi saat
menceritakanmu.
***
(Penulis adalah mahasiswi Bahasa dan
Sastra Indonesia FKIP UMSU)
(Terbit di Koran Pantura, Edisi 21 Februari 2017)
(Terbit di Koran Pantura, Edisi 21 Februari 2017)