Ya,
ya, aku akan ke sana. Aku akan melihat bagian bumi yang pernah ditaklukkan
Al-Fatih; yang disebut-sebut dalam sabda nabi. Aku akan ke sana. Aku pasti akan
ke sana.
“Lulaaaaaaaaaaaaaaa! Awas jatuhhhhhhhhhh!”
Bruk! Aw!
Jeritan Rosa menjadi percuma
sebab aku telah lebih dulu jatuh ke tanah. Aku tidak sadar lorong ini dibuat 5
cm lebih tinggi dari permukaan tanah. Warga sekolah menatapku iba, dan sialnya,
lebih banyak yang tertawa.
“La! Jalan pake apa sih? Ituuuu,
mata yang dikasih Allah secara cuma-cuma dipergunakan dengan baik. Kalau aja pakai mata itu bayar. Kamu itu boros,
mending sekalian nggak usah beli
matanya!”
“Ya Allah, temannya jatuh malah dimarahi
bukannya ditolongi. Hikss...” Aku
bangkit dan kecewa menatap Rosa yang wajahnya tiba-tiba galak.
“Kan
masih bisa bangkit sendiri? Lagian juga jatuhnya bukan dari lantai lima.” Rosa
memang selalu begitu. Dia bukan tipe orang yang cengeng dan tidak akan senang
juga melihat orang lain cengeng. Ya, kecuali masalah yang serius.
“Jujur cepat! Apa yang dipikiri sampai kamu jadi bahan
tertawaan kayak gitu?” Tanya Rosa
penasaran. Hm, kalau urusan kepo
memang Rosa ratunya!
“Oiya, tadi bu Linda baru aja nempel sesuatu di mading dan aku
langsung baca. Mimpi kita, Rosa, mimpi kita! Mimpi kita akan terwujud!” Jawabku
antusias
“Mimpi kita? Maksud kamu, pergi ke
Turki?”
“Iya!”
“Serius, La?”
“Iya!”
Rosa langsung menarik
tanganku kencang dan mengajak tubuhku berlari menuju mading dekat kantor guru. Dan
saat tiba di sana, aku –lebih tepatnya, kami– kembali menjadi bahan tertawaan, ah
bahan keanehan maksudku. Rosa tiba-tiba memelukku sambil teriak dengan histeris.
“Kita ke Turki, La! Ke Turki!” Turki nan jauh di sana. Tapi, wangi tanahnya,
rasanya seperti terus mendekat pada aku dan Rosa.
***
Setelah
melihat informasi yang ada di mading, kami mengambil langkah segera ke ruang
guru untuk menemui bu Linda. Namun, sayangnya, bu Linda menahan informasi lebih
lanjutnya. Bu Linda menjawab, besok ketika di kelas, bu Linda akan memperjelas.
Saat ini, bu Linda harus segera pergi mengajar di lain tempat. Ya, bu Linda
adalah wali kelas kami. Wali kelas paling cantik se-Indonesia Raya.
“Kita
harus bergerak lebih maju dari yang lain, Lula. Meski saat ini kita hanya
mengandalkan kertas informasi. Setidaknya, ada hal yang sudah kita persiapkan
lebih awal hari ini dan ketika besok bu Linda menjelaskan, kita bisa
mempersiapkan hal yang lain.” Jawab Rosa penuh kobaran semangat.
Setelah
bel pulang sekolah mengalun kencang seperti biasanya tepat pukul 13.30 Waktu
Indonesia bagian Lapar eh Waktu Indonesia bagian Barat maksudnya, aku dan Rosa
bergegas pulang ke rumah untuk mempersiapkan berkas-berkas yang dibutuhkan
untuk melamar beasiswa dari pemerintah Turki. Kami menyiapkan hal-hal yang kami
anggap mudah. Hal-hal yang masih tanda tanya untuk kami, tidak kami acuhkan terlebih
dahulu.
Turki
memang negara impian kami, kota Istanbul tepatnya yang ingin kami tapaki lebih
dulu. Menjejakkan kaki di sana dengan wajah gembira menatap jembatan Bosporus,
tertawa riang membelah selat Bosporus dengan menaiki kapal dan dengan muka yang ramah
menyapa megahnya masjid Sultan Ahmed di sana.
Rosa
memimpikan Turki karena habis diprovokasi oleh abangnya yang telah bekerja di
sana. Setiap hari, Rosa harus rela menyediakan telinganya atau sepasang matanya
untuk mendapatkan cerita yang dijelaskan dengan abangnya baik dengan chat ataupun
suara. Semenjak itu, Rosa juga ingin terbang ke sana. Melanjutkan pendidikan di
sana. Dan, terjawablah doa-doanya selama ini dengan ditempelnya informasi di
mading tentang beasiswa pemerintah Turki.
Sedang
aku, novel-novel tentang Turkilah yang telah memprovokasiku untuk benar-benar
merasa ingin tinggal di sana. Bukankah hal yang begitu asyik ketika memiliki
sahabat yang juga memiliki impian yang sama? Aku dan Rosa adalah salah satu
dari sepasang sahabat itu!
***
Aku
dan Rosa telah sama-sama melewati tes wawancara. Yap, aku dan Rosa sama-sama
lulus tes administrasi. Hingga kami dipanggil ke Kedutaan Turki yang ada di
Jakarta untuk tes wawancara. Dan kini, hanya tinggal menunggu waktu untuk mendengar
pengumuman. Doaku dan doa rosa semakin mengencang. Sebab, yang tertinggal kini
hanya doa dan tawakal.
Telpon
genggamku berdering. Rosa memanggil.
“Lulaaaaaaaaaaaaaa! Turki, La. Aku ke
Turki, La. Aku barusan cek email dan aku lulus. Kau juga lulus pasti. Cepat cek
email!” Deg. Mimpi Rosa telah terwujud! Rosa keren! Selain keren dia sudah
berhasil menyingkirkan ribuan pemburu beasiswa. Juga keren karena dia tahu
saja, aku belum sama sekali mengecek email.
Tanpa menunda lagi, laptop telah
kusambar dan kuletak di hadapku. Aku tidak lagi bisa menggambarkan keteganganku
dan bagaimana jatungku kubawa sebisa mungkin untuk tetap tenang. Tapi, percuma
saja, jantungku malah berdetak kian laju.
Tubuhku
tidak dapat bergerak. Jantungku seperti melemah. Bahagia Rosa malam ini, aku
tidak tahu bagaimana rasanya.
***
Epilog
Aku
benar-benar kecewa saat tahu pengumuman itu menyatakan aku gagal. Aku bahkan
tidak sanggup menghubungi Rosa dalam waktu dua hari. Rosa pasti bahagia sekali.
Meski begitu, di waktu sibuknya mempersiapkan keberangkatannya untuk
melanjutkan kuliah ke Turki, Rosa tetap bersedia hadir menghiburku dengan
datang ke rumah membawa makanan-makanan kesukaanku. Dan, seminggu setelah
pengumuman itu, Rosa datang ke rumahku. Tapi, tidak datang dengan membawa
makanan kesukaanku lagi. Rosa membawakan berita yang benar-benar membuat
jantungku akan lepas dari posisinya. Kabar berita yang lebih mencengangkan,
sebab aku benar-benar tidak menyangka Rosa akan menyampaikan berita itu.
Dan kini, Rosa yang berada di
belakangku harus rela merasa jengkel –merasa seperti obat nyamuk– Sebab, ia tidak
menikmati keindahan selat Bosporus seperti yang aku rasakan saat ini. Siapa
yang tidak jengkel jika melihat seorang yang cintanya telah dipendam sejak lama
dan akhirnya bisa bersatu dalam ikatan walimah, bersama-sama saling
bercengkrama di tanah impian sukma.
Laki-laki yang sedang bercengkrama
bersamaku saat ini di atas kapal yang membelah selat Bosporus ialah laki-laki yang
dulu menatapnya aku bahkan tak berani. Bertemunya aku senang tapi juga merasa
takut sekali. Laki-laki yang juga begitu menyayangi Rosa dengan sepenuh hati. Ya,
kalian benar. Selain sahabatku, Rosa adik iparku juga kini.
***
(Aisyah Haura Dika Alsa adalah mahasiswi Bahasa dan
Sastra Indonesia FKIP UMSU)
Terbit di Mimbar Umum, Sabtu, 4 Maret 2017