Saturday, June 25, 2016

Kisah Ri, Anak Tukang Cuci

Karya : Aisyah Haura Dika Alsa

        
          Namanya, Ri. Anak laki-laki ibu paling tampan, paling rajin, paling baik, dan paling-paling lainnya. Begitu selalu kata ibunya. Ibunya tidak hanya membual, pada kenyataannya, Ri, memang seperti itu. Meski anak laki-laki, Ri tak mau manja pada pekerjaan-pekerjaan rumah. Abangnya, Rul pun sama. Sama-sama mengerti tanggung jawab. Padahal, ibunya, ijazah SMP saja tidak punya di laci meja rumahnya. Tapi, mendidik anak-anaknya, tidak bisa diragukan kepandaiannya. Pengalaman dan kisah-kisah dari orang lainlah tempat belajarnya. Ibu Ri tak sempat membaca, karena pekerjaan mencucinya dari pukul 7 sampai pukul 7 lagi. Belum lagi, harus mengawasi anak-anaknya di rumah saat malam, memastikan anak-anaknya belajar sungguh-sungguh dan bukan menonton tv dengan syahdu. Namun, Ibu Ri rajin hadir ke pengajian dekat rumah, senang menyimak kisah-kisah baik dan sukses orang lain. Dan yang menurutnya baik maka diterapkannya untuk mendidik anak-anaknya.
       
        Ri, saat ini, usianya lima belas tahun. Tingkat pertama di putih abu-abu. Ri memang hanya anak tukang cuci. Ayah dan ibunya bercerai saat Ri berusia dua tahun. Dari Ri berusia tiga tahun sampai kini, ayahnya tak pernah menampakkan wajah lagi. Kabar burung, ayahnya merantau sebagai kuli ke negara tetangga lalu menikah lagi masih dengan orang Indonesia. Setelah itu, kabar apapun tidak ada lagi hinggap di rumah sederhana Ri. Mengingat kisah ayahnya, Ri hanya bisa terdiam. Dia bahkan tidak tahu, nyawa ayahnya masih ada atau sudah melayang. Kata ibunya, ibunya sudah berusaha keras mencari siang malam.          
         Ri, memang hanya anak tukang cuci. Tapi, siapa yang boleh melarang jika anak tukang cuci maju pesat kepandaiannya di sekolahnya. Ri bolak-balik memenangkan lomba pidato bahasa Inggris, menjadi perwakilan sekolahnya untuk tingkat nasional lomba debat bahasa Inggris dan juga tak kalah kepandainnya mengaji serta suara merdunya semakin membuatnya memesona. Dalam hidupnya, Ri percaya, bahwa pendidikan, kerja keras, dan patuh pada perintah Tuhan adalah gudang kerja yang akan membawanya bahagia dunia pun akhirat. 
          Siapa bilang Ri tidak pernah iri dengan teman-temannya. Di saat teman-temannya, pulang sekolah bisa asyik nongkrong di kafe-kafe oke, atau hanya sekadar jalan-jalan dengan sepeda motor ataupun mobil mewah. Ri harus pulang mengerjakan pekerjaan rumah yang sudah dibagi ibunya untuknya dan untuk Rul, abangnya. Ri, memang anak laki-laki. Tapi, menyapu dan mengepel lantai, mencuci baju, menyetrika, mencuci piring sudah jadi makanan Ri sehari-hari. Bahkan Ri mencoba-coba membuatkan meja dan kursi ataupun lemari sederhana dengan kayu yang dipungutnya dari toko kayu sebelah rumahnya. 
          Tapi, Ri tidak pernah iri berlarut-larut. Ri memang selalu menceritakan apapun pada ibunya. Jadi, Ri selalu punya obat atas segala sedih yang dia dapat. Ibunya selalu membesarkan hatinya. Bahwa hidup, bahagia atau tidaknya, bukan orang lain yang menentukan. Tapi, diri sendiri. Ibunya bilang, “Adek harus belajar bahagia dengan bahagia yang sesungguhnya. Karena, di mata Allah, Adek insya Allah lebih mulia dibanding teman-teman Adek yang hanya duduk-duduk santai di kafe-kafe oke jika Adek ikhlas membantu Ibu. Adek boleh pilih, nampak mulia di hadapan manusia atau nampak mulia di hadapan Allah yang menciptakan manusia.”
          Kalian tahu? Ibu Ri punya cara sendiri membuat hiburan untuk Ri dan abangnya, Rul. Salah satunya dengan lelucon ibunya dan hal-hal yang lain adalah ibu mereka sering memberikan hadiah-hadiah kecil pada anak-anaknya, memberikan pujian, mengucapkan terima kasih setiap hari, mengecup kening mereka sambil mengungkap sayang dan kasih, bahkan di usia anak-anaknya yang semakin beranjak besar, Ibu Ri masih menghantar mereka tidur dengan kisah-kisah dan motivasi-motivasi orang-orang hebat, yang didengar ibunya dari kisah tetangga-tetangga yang sukses atau kisah-kisah saat di pengajian.  
***

          Sebelum ashar ini, Ri pergi ke masjid. Kalian tahu? Salah satu didikan ibu mereka adalah, sholat lima waktu di masjid. Ibu mereka selalu mengulang-ngulang, anak laki-laki wajib solat 5 waktunya di masjid. Sekalipun, dia harus merangkak pergi ke masjid. Jadi, melihat wajah Ri dan Rul, abangnya sudah hal yang rutin di sana. Dan kalian tahu? Ri sudah diangkat menjadi salah satu muazin tetap di masjid dekat rumahnya. Bayangkan saja, suara merdu Ri setiap subuh membangunkan tidur para manusia. Suara azan Ri, setiap magrib dan isya menyegarkan kembali pikiran-pikiran siapa saja yang siang tadi telah diperas mencari nafkah. 
          Sebenarnya, ada satu hal yang paling membikin hati Ri bisa sedih berkepanjangan. Yang bisa saja membuatnya nyaris putus asa. Yang membuatnya pernah dan masih bertanya-tanya, mengapa dia tak pernah merasa kasih sayang dari seorang ayah. Pasti rasanya indah jika ada ayah. Pasti rasanya menenangkan jika punya ayah. Seperti yang biasa Ri lihat di sekitarnya. Tapi, kenapa Tuhan tak pernah mengizinkan Ri untuk bisa merasakannya. Ah, Ri ingin sekali.. Ingin sekali.. Meski hanya satu kali.. Tapi, meski begitu, dalam hatinya. Ri tak pernah mau mengizinkan ibunya menikah lagi. Meski memang, ibunya tak pernah sama sekali membicangkan tentang ayah tiri. Dimana ayah, dimana.. Begitu tanya Ri saban hari. Apakah sedikit saja markah tidak ada? Sedikit saja, Tuhan.. Sedikit saja. Begitu ingin Ri setiap hari. 
          Saat di masjid tadi, melihat Ga, teman karibnya bersama ayahnya naik sepeda motor bersama ke masjid membuat hati Ri tiba-tiba sesak. Bahkan dalam solatnya, Ri menangis. Lalu, pelan-pelan agar tidak ketahuan karena malu, Ri mengusap air matanya. Tidak seperti biasanya, Ri izin pulang lebih awal. Begitu membuka pintu langsung masuk ke kamarnya. Hanya Ri sendiri di rumah. Abangnya, Rul belum pulang kerja. Ibunya sebentar lagi akan pulang. Ri menangis sendirian di kamarnya. Hal kecil barusan membuat lukanya kembali nganga. Padahal, setiap bulan Ramadan, Ga dan ayahnya memang selalu berboncengan ke masjid. Karena, rumah Ga lebih dekat ke masjid jika naik sepeda motor. 
          Saat ibunya pulang, Ri pura-pura tidur. Ibunya kemudian masuk ke kamar. “Lho, anak lanang kok tidur. Pantang tidur sore-sore! Bangun, Dek. Itu sarungnya juga belum diganti.” Ri memang bangun tapi wajahnya kusut. Ibunya mulai curiga, hanya saja, ibunya memilih mendiamkan dulu. Karena, ibunya harus bergegas menyiapkan buka puasa. “Yok, Dek. Bantu ibu dulu nyiapin buka puasa.” 
          Seperti biasa, Ri, ibunya, dan abangnya, Rul berbuka puasa bersama. Ri dan Rul memang tidak pernah mau buka puasa di luar atau di masjid. Karena, tidak ada yang menemani ibu mereka buka puasa di rumah. Lalu, setelah menenggak secangkir teh manis dan beberapa kue, Ri dan abangnya bergegas ke masjid. Tapi, kali ini tidak. Ri lebih memilih berdiam saat Rul mengajaknya bergegas ke masjid. “Ayo, Dek. Bergegas. Nanti ketinggalan. Nggak dapat saf depan. Rugi tho, Dek.” Perintah Rul, abangnya. Ri tidak mendengarkan. Ri lebih memilih masuk kamar. Meninggalkan abangnya begitu saja, membuat abangnya menggaruk kepala yang tidak gatal. “Yasudah, Mas saja yang pergi.” Ibunya menengahi. 
          Ibunya pergi mengambil wudhu. Bergegas sholat magrib. Biasanya, ibunya langsung makan nasi, tapi kali ini tidak. Anak bungsunya sedang merajuk di kamarnya. Ah, ibu yang tidak tamat SMP. Tapi, mengerti mana yang harus lebih dulu dikerjakan. 

       Di dalam kamar Ri –dan juga Rul–, ibunya sudah mendengar isak anak bungsunya. Dibanding Rul, Ri memang lebih sensitif. Apalagi mengenai ayah begini. “Nggak takut tho, Dek dimurka Allah nggak jamaah di masjid. Adekkan nggak ada halangan untuk ke masjid. Adek kenapa? Ayo cerita pada Ibu.” Ri hanya menjawab hanya dengan isakan. 
          Ibunya sudah tahu, hanya satu hal yang membuat anak laki-lakinya sampai menangis seperti ini. Masalah apapun, Ri tahan tak menangis. Tapi, kalau masalah yang satu ini. Ri tak kuasa menahan. Lalu, ibunya mengelus lembut kepala Ri “Dek, Adek memang nggak ada ayah. Tapi, coba lihat Mas Rul. Mas Rul bahkan lebih-lebih dari ayah. Siapa yang setiap hari mengantar Adek ke sekolah bahkan menjemput Adek meski hanya dengan sepeda. Siapa yang hampir setiap malam menemani belajar, menemani mengerjakan tugas, rela begadang untuk mendengarkan Adek latihan pidato. Siapa yang rela bekerja saat liburan sekolah untuk bisa membelikan Adek baju dan sepatu lebaran baru. Padahal, yang kerja, baju dan sepatunya itu-itu saja. Siapa yang selalu menyempatkan waktu untuk menemani Adek mendaftar lomba, menyempatkan hadir untuk melihat Adek saat lomba. Siapa yang...........” Ibu Ri tidak kuat melanjutkan perkataannya. Kalimat ibunya membuat Ri tersentak.
          “Adek nggak boleh hanya melihat satu sisi saja. Lihatlah, dari sisi yang lain. Adek pahamkan?” Kalimat tambahan ibunya semakin membuatnya terisak. Tapi, isak kali ini sebab Ri menyesal karena sudah merajuk dan membuat ibunya menangis. 
          “Sekarang, Adek bergegas sholat magrib. Keburu waktunya habis. Setelah itu sholat taubat. Mohon ampun sama Allah karena magrib ini nggak jamaah di masjid.” Ri menghapus air matanya. Lalu, berdiri menuju kamar mandi. Sholat magrib dengan isak kembali dan kemudian dua rokaat sunnah meminta ampunan Sang Maha Kasih. Ibunya benar. Ri tidak boleh melihat kehidupannya hanya dengan satu sisi. Lihatlah, dari dia bayi sampai kini, siapa yang berjuang untuk hidupnya dan sekolahnya serta prestasinya, jika bukan ibunya. 12 tahun bukan waktu yang sebentar untuk berkeliling dari satu rumah ke rumah yang lain untuk bekerja sebagai tukang cuci. Ibunya benar, Ri memang tak punya ayah. Tapi, Ri punya ibu dan abang yang berharga melebihi harta, yang tidak akan dapat ditukarkan dengan apapun di dunia ini.
***
(Penulis adalah mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
Harian Mimbar Umum, 25 Juni 2016